Jumat, 16 Januari 2015

HARRY POTTER DAN UJIAN NASIONAL

Dalam seri kelima, Harry Potter and the Order of the Phoenix, ada kisah menarik tentang hubungan anak didik dan pendidik. Harry Potter dan  Dumbledore sang kepala sekolah percaya bahwa Voldermort, penguasa dunia kegelapan akan muncul kembali.

Namun, para pejabat di Kementrian tidak percaya. Para pejabat Kementrian menuduh Harry Potter dan Dumbledore sebagai tukang bohong dan penyebar berita bohong yang memicu fitnah dan ketakutan.

Kementrian sangat marah dan mengirimkan orang untuk memata-matai sekolah, Harry, dan sang kepala sekolah. Bersamaan dengan itu mulai disebarkan fitnah untuk memojokkan Harry. Harry dipancing berbuat salah agar bisa dihukum dan dikeluarkan dari sekolah para penyihir.

Pejabat Kementrian membangun opini bahwa Harry adalah anak ingusan yang tidak dapat dipercaya. Karena itu harus terus dicurigai, dimata-matai, dan diberi pelajaran. Mereka juga tidak percaya pada kepala sekolah dan guru.

Bersebalikan dengan Kementrian, kepala sekolah dan para guru sangat percaya pada Harry Potter dan teman-temannya. Mereka sangat percaya pada para murid karena mereka sangat mengenal setiap muridnya. Bukankah para guru itu yang paling dekat dengan para murid. Mereka mengenal murid satu persatu. Paham betul kelebihan dan kekurangan setiap muridnya. Karena itu mereka tidak pernah salah bila harus membuat keputusan dan menilai murid-muridnya.

Itulah sebabnya mengapa kepala sekolah memberi kesempatan bagi Harry Potter menghadapi Voldermort. Ia sangat yakin Harry Potter sanggup mengalahkan penguasa kegelapan itu dengan sedikit bantuannya pada saat yang tepat.

Keyakinan dan kepercayaan Dumbledore sungguh dibalas Harry Potter dengan baik. Harry berhasil menaklukan si penguasa kegelapan dengan bantuan kepala sekolahnya  pada waktu yang tepat.

Para guru dan kepala sekolah memang mesti percaya pada para murid karena mengenal mereka dengan baik. Tidak mengherankan bila di sekolah sihir pun, kepala sekolah dan para guru percaya pada muridnya, karena mengenal mereka satu persatu.

Betapa tragisnya, untuk rentang waktu yang panjang, para birokrat pendidikan negeri ini sama sekali tidak percaya pada para kepala sekolah dan guru. Untuk menentukan  siswa lulus atau tidak, bukan guru dan kepala sekolah penentunya. Tetapi ujian nasional. Ujian nasional diyakini bisa meningkatkan kualitas lulusan dan mencegah kecurangan yang bisa dilakukan sekolah, terutama para guru.

Namun keyakinan itu tidak terbukti. Kualitas lulusan kita tetap tidak banyak beranjak. Sementara itu kecurangan malah bersifat massif, sistematis, dan susah diatasi. Macam-macam bentuk kecurangan itu. Kecurangan yang paling marak adalah pembocoran soal atau jawaban ujian nasional.

Karena itu, kita pantas bersyukur bila kini penentuan kelulusan dikembalikan kepada guru atau pihak sekolah. Artinya, kita kembali ke jalan yang benar setelah sekian lama tersesat dalam cara fikir dan praktik yang keliru.

Di mana pun di dunia ini, pihak sekolah yaitu guru dan kepala sekolah yang menentukan apakah murid naik kelas atau tidak, lulus atau tidak. Alasannya sangat sederhana, karena guru dan kepala sekolah yang terus mengikuti perkembangan murid dari hari ke hari.

Mereka mengenal murid-muridnya secara rinci dan mendalam. Mereka tahu si Z pintar secara akademik, namun kurang dapat bekerjasama, sedangkan si Q memiliki kecerdasan sosial sangat baik, namun agak lambat dalam matematika. Dengan demikian mereka bisa membuat penilaian dan keputusan yang lengkap dan utuh.

Tidak demikian halnya dengan ujian nasional yang melulu akademik dan seragam. Bila kini hasil ujian nasional tidak digunakan sebagai penentu kelulusan dan dimanfaatkan untuk pemetaan, pastilah lebih tepat dan elok.

Para kepala sekolah dan guru tetap akan bekerja keras dan memberikan yang terbaik agar sekolahnya tidak termasuk dalam kategori sekolah tidak berprestasi dalam pemetaan berdasarkan hasil ujian nasional. Namun ada perbedaan dengan ujian nasional masa lalu.

Pada masa lalu, tidak sedikit kepala sekolah dan guru merasa sangat tertekan dan stres karena mendapat tekanan dari para atasan agar hasil ujian nasional harus baik dan kelulusan seratus persen. Akibatnya kepala sekolah dan guru menjadikan sekolah sebagai lembaga bimbingan tes. Kegiatan utama adalah mempersiapkan para siswa menghadapi ujian nasional. Pedoman pembelajaran bukan kurikulum tetapi kisi-kisi ujian nasional.

Dengan demikian sekolah kehilangan fungsinya sebagai lembaga pendidikan yang memiliki tujuan mulia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Sungguh sekolah direduksi atau disederhanakan menjadi tempat untuk melatih para siswa menghadapi ujian akademik yang sangat kognitif. Padahal semestinya sekolah dan pendidikan mempersiapakan anak didik mampu menghadapi ujian hidup yang tidak sederhana ujian nasional.

Target yang ditetapkan kepala daerah agar hasil ujian naional seratus persen lulus bukan saja telah membuat banyak kepala sekolah dan guru pusing dua puluh satu keliling. Pun membuat sejumlah kapala sekolah dan guru jadi nekad berbuat curang dengan mencari bocoran soal atau jawaban ujian nasional.

Pada tingkat inilah ujian nasional sangat terasa daya rusaknya bagi pendidikan kita. Pendidikan telah menjadi komoditi politik kepala daerah, tekanan yang mengerikan bagi kepala sekolah, guru, murid dan orang tua murid. Setiap tahun ujian nasional lebih sering dirasakan sebagai gangguan nasional.

Memfungsikan ujian nasional sebagai cara untuk pemetaan dan menjadi masukan bagi perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan adalah tindakan tepat. Semoga cara baru ini bisa mengembalikan ruh pendidikan sebagai wahana penumbuhmekaran manusia. Bukan sekadar lembaga bimbingan tes. Dipompa lalu kempes. Proses instan menjawab tes.

PENDIDIKAN SEJATI MEMPERSIAPKAN MANUSIA MENGHADAPI UJIAN HIDUP, BUKAN UJIAN NASIONAL.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd