Kamis, 15 Januari 2015

PROSEDUR DAN MORALITAS: KEPANTASAN, KELAYAKAN, DAN KEBENARAN

Sungguh ini pelik. Berdasarkan aturan hukum dan prosedur yang standar, orang yang telah menjadi tersangka belum tentu bersalah. Bahkan orang yang telah diputuskan bersalah pada pengadilan tingkat pertama masih diberi kesempatan banding. Kalah lagi saat banding, terbuka kesempatan untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Bila Mahkamah Agung memperkuat keputusan pada tingkat di bawahnya, sang tersangka masih bisa mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Kini PK bisa diajukan lebih dari sekali. Itulah sebabnya bandar narkoba yang sudah dihukum mati belum dapat dieksekusi karena mengajukan PK. Bila akhirnya sang tersangka kalah lagi pada PK, ia dapat mengajukan permohonan grasi kepada presiden.

Proses panjang ini dibuat untuk menjamin terlaksananya prinsip dasar hukum yaitu kepastian dan keadilan. Pengadilan berulang-ulang dan bertingkat-tingkat dilakukan untuk memastikan kebenaran. Karena di dalam hukum tidak boleh terjadi, orang yang tidak bersalah dihukum.

Inilah prosedur hukum yang standar. Semua orang diminta untuk mengikuti seluruh prosedur ini dengan sabar. Sebab prosedur ini berlaku pada siapa pun yang sedang tersangkut masalah hukum. Keberlakuan prosedur ini merupakan cara untuk memastikan bahwa proses hukum yang sedang berlangsung benar-benar mengikuti kaidah, sehingga hasilnya sesuai dengan ketentuan hukum dan keadilan.  Bukan rasa keadilan seperti yang selama ini diwacanakan. Hukum itu bukan getuk yang mengundang rasa.

Oleh karena prosedur dan proses hukum berlaku pada setiap orang, wajar jika tidak sedikit orang, bahkan ahli hukum dan penggiat hak asasi manusia yang  sangat kritis pada berbagai keputusan pemerintah mendukung pencalonan Budi Gunawan. Karena prinsip praduga tak bersalah dan mengikuti prosedur hukum standar.

Mayoritas anggota Komisi III DPR RI juga berpendapat sama. Meskipun kita tidak tahu apa yang ada dalam benak mereka. Terutama yang berasal dari KMP. Sebab selama ini mereka selalu mengkritisi kebijakan pemerintah. Bahkan mengecam dan melawannya. Saat keputusan pemerintah tentang pencalonan Kapolri mendapat sorotan dan penolakan masyarakat, dan KPK menetapkan calonnya jadi tersangka. Mereka malah sangat antusias mendukungnya. Sampai-sampai pendukung mereka sangat terheran-heran. Boleh jadi ada udang busuk di balik bakwan basi.

Dari prestasi dan reputasinya, Budi Gunawan rasanya pantas dan layak jadi Kapolri. Dia lulusan terbaik saat menyelesaikan pendidikannya di AKPOL. Juga saat mengikuti Lemhanas. Menjadi yang terbaik pada dua lembaga tersebut bukanlah prestasi sembarangan. Prestasi itu menunjukkan Budi Gunawan sungguh memiliki kelebihan.

Ia kemudian terpilih menjadi ajudan Presiden Megawati. Kita semua mahfum, hanya yang terbaik yang bisa dapatkan jabatan penting dan bergengsi itu. Ambillah contoh Wiranto. Ia merupakan prajurit jempolan, jadi ajudan presiden dan selanjutnya menjadi orang nomor satu di TNI.

Budi Gunawan juga seorang Doktor. Tidak pernah gampang untuk menjadi Doktor, apalagi mendapatkannya selama masa tugas aktif jadi polisi. Banyak dosen perguruan tinggi yang setiap hari berkutat dengan ilmu dan penelitian, gagal jadi Doktor. Itu menunjukkan tidak gampang menjadi Doktor.

Budi Gunawan pernah dihebohkan oleh kasus rekening gendut yang katanya melibatkan sejumlah perwira tinggi Polri. Tetapi Bareskrim Polri yang melakukan pemeriksaan atas laporan PPATK menyatakan Budi Gunawan bersih. PPATK pun tidak pernah secara resmi menyatakan keberatan atas temuan Bareskrim Polri itu.

KPK juga pernah meributkan rekening gendut ini. Tetapi tidak pernah memberikan status hukum, misalnya memanggil dan memeriksa Budi Gunawan atas laporan PPATK. Oleh karena itu KOMPOLNAS berani mengajukannya sebagai calon Kapolri bersama sejumlah perwira lain kepada Presiden Jokowi. Semuanya sesuai dengan prosedur.

Dapat dikatakan secara keseluruhan sesuai prosedur dan Budi Gunawan pantas serta layak menjadi calon Kapolri. Bahkan menjadi Kapolri. Kini Komisi III DPR RI juga meloloskannya. Ada komisioner KOMPOLNAS yang memberikan apresiasi atas keputusan Komisi III DPR itu.

Namun, satu hari sebelum proses uji kelayakan dan kepatutan di DPR, KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka dalam kasus dugaan gratifikasi. Pastilah ada kaitannya dengan rekening gendut. Masyarakat ada yang menyambut gembira keputusan KPK ini. Ada pula yang bertanya-tanya dan bingung.

Karena keputusan KPK terasa sangat mendadak. Bahkan ada penggiat IPW yang mempertanyakan keputusan KPK, dan menduga kuat bersifat politis. Jika dibandingkan dengan penanganan kasus perwira tinggi Polisi lain yang tersangkut kasus sejenis. Karena penetapan perwira tinggi itu sebagai tersangka melalui proses pemeriksaan yang panjang. Sang perwira tinggi tersebut diperiksa berulang-ulang, baru ditetapkan jadi tersangka.

Apapun motif KPK, agaknya keputusannya harus dihormati. KPK harus segera mengambil langkah-langkah untuk melanjutkan penyidikan. Selama ini memang banyak pertanyaan pada KPK terkait cara kerjanya. KPK menetapkan Hadi Poernomo, Suryadharma Ali, Soetan Bhatoegana, dan Jero Wacik jadi tersangka. Namun mereka tetap dibiarkan beraktivitas dan ada yang belum pernah dipanggil. Bahkan ada pejabat kemdikbud yang sudah lebih dari dua tahun ditetapkan jadi tersangka oleh KPK, namun sampai sekarang belum jelas kasusnya dilanjutkan atau tidak. Inilah fakta lain tentang KPK. Wajar jika ada anggota masyarakat mulai melihat KPK ikut berpolitik. Paling tidak Hendardi, ketua Setara Instirut meyatakan hal tersebut di televisi.

Menanggapi keputusan Komisi III DPR, Presiden Jokowi melakukan temu wartawan. Dalam kesempatan itu Presiden Jomowi menununjukkan bahwa keputusan menetapkan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri juga sudah mengikuti prosedur. Ia tunjukkan semua surat dari KOMPOLNAS, termasuk soal rekening gendut. Pada akhir penjelasan Presiden Jokowi menyatakan menghormati keputusan KPK, memperhatikan proses politik di DPR dan akan menunggu keputusan DPR melalui sidang paripurna. Barulah setelah itu Pemerintah akan membuat kebijakan, jelasnya.

Asas praduga tak bersalah harus dihormati. Artinya Budi Gunawan belum tentu bersalah. Namun, tak elok jika ia dipaksakan jadi Kapolri. Karena begitu ia jadi Kapolri kedudukannya menjadi sangat berbeda. Ia memimpin institusi penegak hukum yang setara denagn KPK tetapi memiliki kekuatan lebih. Paling kurang akan terjadi suasana yang kurang mengenakkan antara kedua isntitusi terdebut.

Dalam situasi itu suasana politik pasti akan panas dan heboh. Akan terjadi rivalitas. Karena memang rawan terjadinya benturan dan konflik kepentingan. Pemerintah juga akan disibukkan oleh dampak tak terelakkan dari pemberitaan media yang pasti membuat suasana panas dan runyam. Karena kita sangat mahfum, media pun sudah banyak yang tidak netral serta suka mengipas-ngipas atau ngomporin. Paling tidak hal itu kita sakasikan sejak pilpres sampai kini.

Karena itu kita berharap, Presiden Jokowi yang "bertubuh kurus kering" dibandingkan presiden-presiden sebelumnya, tidak kering nuraninya. Presiden Jokowi akan membuat keputusan yang bijak. Bijaksana bukan bijaksini.

Bijaksana itu maknanya berorientasi ke sana yaitu kepada rakyat banyak yang memberinya amanah. Sedangkan bijaksini berorientasi ke sini yaitu ke lingkar dalam presiden yaitu tokoh-tokoh, tokoh-tokoh partai, dan partai yang mendukungnya.

Percayalah, jika Presiden Jokowi mengambil keputusan yang tidak bijaksana, tetapi bijaksini. Rakyat akan meninggalkannya. Semoga Presiden Jokowi mengambil keputusan yang bijaksana.

PEMIMPIN YANG EMPATIS DAN ADIL PASTI BIJAKSANA, TIDAK BIJAKSINI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd