Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Al Anbiya 107).
Hari ini, 3 Januari 2015 kita memperingati Maulid Nabi, hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sejak dulu memang ada upaya sistematis untuk mengerdilkan peran Nabi Muhammad SAW hanya sebagai utusan untuk sekelompok kecil orang, terutama umat Islam. Pastilah upaya ini memiliki tujuan yang lebih luas dan serius yaitu mengisolasi dan menyudutkan ajaran yang dibawanya sebagai ajaran yang hanya dapat berlaku secara terbatas. Sama sekali tidak universal. Itulah sebabnya tidak sedikit upaya dilakukan untuk mengkaitkan Islam dengan Arab dan kearaban sebagai upaya untuk membonsai atau mengerdilkan Islam sebagai ajaran universal.
Tragisnya, tidak sedikit umat Islam yang justru kurang cermat membedakan Islam dan Arab, dan ikut serta mempopulerkan sesuatu yang Arab dan belum tentu sesuai dengan Islam. Padahal upaya ini telah dilakukan banyak orang untuk mengerdilkan ajaran Islam secara sistematis.
Nabi Muhammad SAW disebut sebagai utusan terakhir, penutup para nabi. Apa makna sesungguhnya ungkapan ini?
Sejumlah tafsir bisa dikedepankan oleh siapa pun. Paling tidak ungkapan itu bisa bermakna sebagai berikut ini.
Tak akan ada lagi utusan setelan Nabi Muhammad SAW. Itu membawa konsekuensi yang tidak sederhana, terutama bagi ajaran yang dibawanya. Karena Ia yang terakhir, maka ajarannya berlaku bagi semua orang. Dalam konteks inilah mengapa Allah menegaskan keberadaan Nabi Muhammad SAW seperti yang terurai dalam ayat pada pembukaan tulisan ini. Nabi Muhammad SAW diutus sebagai rahmat bagi alam semesta.
Penegasan ini merupakan prinsip utama yang sangat penting. Terutama bagi penerapan ajaran Islam dalam segala zaman. Oleh karena Nabi Muhammad SAW diutus sebagai rahmat. Ungkapan ini dipertegas dengan cara yang sama dengan prinsip Ketuhanan dalam Islam yaitu tiadalah kami utus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. Itu bermakna memang tiada tujuan lain. Seperti ungkapan tiada Tuhan selain Allah, yang bermakna hanya Allah lah Tuhan satu-satunya.
Jadi sangat aneh, kontradiktif dan sama sekali bertentangan dengan prinsip ini jika Islam diperkenalkan, disebarluaskan dan dicitrakan dengan kekerasan seperti yang ditampilkan oleh para teroris, ISIS dan kelompok-kelopok lain seperti yang selama ini kita saksikan, FPI misalnya. Islam koq dikedepankan dengan anarki dan maki-maki. Di mana rahmatnya?
Sebagai utusan terakhir terdapat sejumlah keistimewaan yang membedakan Nabi Muhammad SAW dengan nabi-nabi yang lain. Nabi-nabi lain diutus untuk umat dan wilayah yang terbatas. Bila umat tidak mengikuti seruan para nabi, maka mereka mendapat hukuman langsung berupa musibah yang dahsyat. Seringkali musibah itu menyebabkan umat itu harus diganti dengan umat yang lain.
Oleh karena para nabi itu menghadapi perlawanan yang dahsyat, mereka diberi sejumlah mu'jizat atau kelebihan supranatural seperti yang paling menonjol pada Nabi Musa As dan Nabi Isa As. Dengan mu'jizat yang bersifat supranatural itu para nabi itu diperlihatkan keunggulannya.
Pada Nabi Muhammad SAW keadaannya sungguh berbeda. Menghadapi mereka yang ingkar dan ingin membunuh nabi serta menghancurkan Islam, Allah tidak menurunkan banjir bandang seperti pada zaman Nabi Nuh As. Tetapi mengizinkan Nabi Muhammad SAW memimpin peperangan. Dalam peperangan itu Nabi Muhammad SAW pernah mengalami kekalahan.
Peristiwa ini merupakan titik balik paradigma kenabian, Allah tidak lagi bertindak langsung seperti membelah laut, dan menenggelamkan Firaun ke dalam Laut Merah. Tetapi memberikan tanggung jawab itu ke pundak Nabi Muhammad SAW. Ini bermakna Allah telah memberikan kepercayaan pada manusia melalui teladan utamanya yaitu Nabi Muhammad SAW, bahwa manusia harus menggunakan kebebasannya untuk memilih, membuat keputusan, dan bertindak aktif melaksanakan keputusan itu. Manusia harus terlibat, mengalami sendiri perjuangan untuk menegakkan kebenaran. Sungguh ini merupakan paradigma baru kenabian. Dalam arti inilah menjadi sangat bermakna mengapa Nabi Muhammad SAW disebut sebagai utusan terakhir. Melalui dirinya, Allah memberi kepercayaan lebih besar pada manusia, memberikan kesempatan pada manusia untuk aktif mengambil keputusan dan berani menerima resiko.
Bertalian dengan itu tidak mengherankan bila mu'jizat terbesar dan terutama Nabi Muhammad SAW tidak bersifat supranatural seperti Nabi Musa As. Tetapi kitab suci Al Qur'an yang hadir secara fisik dan bisa dibaca serta dikaji oleh siapa pun. Al Qur'an adalah bacaan terbuka. Maknanya siapa pun bisa mengkaji dan mencaritemukan maknanya. Inilah makna lain dari utusan terakhir. Nabi Muhammad SAW membawa kitab suci Al Qur'an yang bisa dikaji oleh siapa pun, kapan pun, dan di mana pun.
Berbeda dengan mu'jizat yang dimiliki Nabi Musa As. Bagi yang tidak menyaksikannya secara langsung, satu-satunya cara untuk mengakuinya adalah rasa percaya. Al Qur'an sangat berbeda. Ia ada dihadapan manusia, hadir sebagai teks yang dapat dibaca, bahkan oleh mereka yang tidak meyakini kebenaran isinya. Mereka bisa mengkajinya secara subjektif atau objektif. Setiap orang ditantang untuk mencari makna terdalamnya. Tidak usah heran bila setiap,orang bisa mendapatkan makna berbeda dari ayat yang sama. Sebab Al Qur'an adalah bacaan yang terbuka.
Orang yang tidak percaya pada prinsip-prinsip Ketuhanannya bahkan bisa menerapkan substansi isinya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kaitan inilah harus dipahami upaya Hossein Askari yang membuat indeks keislaman sebuah negara. Hossein Askari hendak tunjukkan sifat universalitas ajaran Islam. Bahkan bukan orang Islam pun menerapkan dan menghayatinya. Meski mereka enggan mengakuinya.
Sedangkan sebagian ummat Islam mempelajarinya, namun tidak melaksanakannya. Karena itu tidak usah heran bila negara-negara Eropa yang tidak Islam lebih bersih, teratur, dan tertatata dibandingkan kebanyakan negara yang menyebut dirinya negara Islam. Bukankah kebersihan, keteraturan dan tatakelola yang baik merupakan perintah nyata dalam Al Qur'an? Bukankah shalat membiasakan orang Islam untuk bersih, tertata dan teratur? Tetapi mengapa rajin shalat, namun dalam hidup sehari-hari tidak bersih, tertata dan teratur? Pastilah ada pemahaman dan penghayatan yang kurang atau tidak pas.
Sebagai utusan terakhir, Nabi Muhammad menyempurnakan ajaran yang telah ada sebelumnya, yang dibawa oleh para pendahulunya. Nabi Musa As menerapkan hukum kesetimpalan yang ketat dan tegas yang dikenal sebagai hukum qishas. Mata ganti mata, telinga ganti telinga, nyawa ganti nyawa. Sedangkan Nabi Isa As memilih jalan kasih. Bila ditampar pipi kirimu berikan pipi kananmu.
Nabi Muhammad SAW datang menyempurnakan ajaran itu dengan ayat berikut ini, “Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik (terhadap orang yang berbuat jahat kepadanya) maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zhalim.” [QS Asy Syura: 40]
Ayat di atas sekaligus mengakui realitas manusia dan tingkatan iman atau moralitasnya. Ada manusia yang memang belum puas dan tidak meras adil bila kejahatan tidak dibalas setimpal sebagaimana hukum Nabi Musa As. Al Qur'an memberi peluang untuk itu, balasan terhadap suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Ini hukum kesetimpalan. Namun, Al Qur'an tidak berhenti di situ. Kesetimpalan hanyalah satu alternatif pilihan. Ada yang lebih baik yaitu memaafkan. Kita tahu, tidak mudah memberi maaf. Apalagi bagi orang yang telah menjahati atau memfitnah kita. Tetapi Al Qur'an memberi pilihan dan mendorong agar manusia berkehendak dengan tulus memaafkan. Ini juga bukan pilihan terakhir dan terbaik. Ada yang lebih baik lagi yaitu berbuat baik pada orang yang telah berbuat jahat pada kita. Ini sangat sulit. Hanya sedikit orang yang mampu lakukan. Inilah jalan kasih.
Nabi Muhammad SAW sebagai utusan terakhir menyempurnakan ajaran para pendahulunya dalam rajutan ajaran yang indah. Ajaran yang menghargai dan mengakui realitas manusia dan sekaligus mendorong manusia untuk melampauinya.
Oleh karena kedatangannya merupakan rahmat bagi semesta alam dan membawa Al Qur'an sebagai mu'jizat utama, maka dalam soal iman tidak boleh ada paksaan. Ini prinsip yang sangat penting. Semua orang dipersilahkan membaca dan mengkaji Al Qur'an. Semua manusia didorong menggunakan akal fikiran dan memanfaatkan kebebesannya untuk memilih dan memutuskan. Dalam Al Qur'an ditegaskan,
‘Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?’ (QS. Yunus: 99). ‘Tidak ada paksaan dalam beragama.’ (QS. Al-Baqarah: 256)
Inilah kehebatan Al Qur'an dan makna Nabi Muhammad sebagai utusan terakhir. Manusia tidak boleh dipaksa, tetapi didorong untuk menggunakan kebebasan dan akal fikirannya. Dengan keduanya manusia akan memilih dan memutuskan. Dalam kaitan ini kita bisa belajar tentang Abu Thalib, paman Nabi Muhammad SAW yang membelanya habis-habisan, namun tetap bertahan dalam kekafiran. Tidak menerima Islam sebagai keimanannya. Peristiwa ini menegaskan bahwa dalam soal iman setiap manusia harus mengambil keputusan untuk dirinya. Ia tidak boleh tergantung pada siapa pun termasuk pada Nabi Muhammad SAW.
Ajaran Islam tentang kebebadan dalam iman ini dan dorongan yang sangat kuat agar manusia menggunkan fikiran dan kebebasannya secar mandiri yang membuat banyak intelektual nonmuslim terpesona. Sementara tidak sedikit cendekiwan muslim yang menyatakan bahwa ajaran ini sangat moderen.
Sebagai konsekuensinya, Islam sangat menghargai keberadaan agama lain. Bagi Islam keberadaan agama lain bukanlah ancaman, tetapi dihayati sebagai realitas yang niscaya. Sebab sebelum Islam datang, telah berkembang banyak kepercayaan dan agama lain. Bagi Islam yang penting adalah kemauan dan kemampuan untuk saling menghargai secara tulus. Dengan tegas Al Qur'an uraikan,
Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku. (QS Al Kafirun: 6)
Penyebutan mu lebih dulu daripada ku, menegaskan bahwa Islam, ajaran yang dibawa utusan terakhir, sangat menghargai keberadaan agama lain. Karena sifat rahmat yang melekat pada diri dan jaran utusan tetakhir tersebut.
RAHMAT BAGI SEMESTA ALAM MERUPAKAN TUJUAN KEHADIRAN NABI MUHAMMAD SAW YANG DIUJUDKAN MELALUI UNIVERSALITAS AJARAN YANG DIBAWA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd