Kamis, 03 September 2015

ADA KALLA RIZAL RAMLI BENTURAN

Ada apa sebenarnya? Mengapa begitu masuk kabinet Rizal Ramli secara terbuka mempersoalkan kebijakan pemerintah? Padahal dia sudah menjadi bagian, bahkan bagian yang penting, dalam pemerintahan? Para analis yang menyatakan Rizal masuk kabinet untuk meredam kritiknya, harus gigit jari jempol kaki. Rizal Ramli sama sekali tak menjadi majal karena masuk kabinet.

Anehnya, mengapa pula Yusuf Kalla yang sangat marah? Bukan hanya seperti kebakaran jenggot, bahkan seperti kebekaran bulu ketek. Laporan utama Majalah Tempo sampai menyebutkan para staf Kalla ikutan marah-marah. Ada apa di balik ini semua?

Rupanya yang marah bukan hanya Yusuf Kalla dan lingkunagn terdekatnya. Juga koleganya yang menguasai media yaitu Surya Paloh. Media Indonesia dan Metro TV digunakan untuk menyerang balik Rizal Ramli. Alasan yang digunakan adalah kesantunan, tatakrama, dan kekompakan kabinet.

Ada benarnya kritik terhadap Rizal Ramli yang mempertanyakan kebijakan pemerintah sampai mengajak debat terbuka. Apalagi wakil presiden merupakan atasan bila dilihat dalam hirarki tatakelola organisasi. Sebab salah satu tugas wakil presiden adalah menkoordinir menteri koordinator.

Kritik terhadap Rizal Ramli semakin terasa pas dan benar mengingat salah satu tujuan pergantian menteri adalah meningkatkan kepercayaan pasar terhadap kabinet yang selama beberapa bulan terakhir sudah semakin merosot dan berdampak pada ekonomi secara keseluruhan, khususnya pada pelemahan rupiah.

Bukan rahasia bila ketidakpercayaan itu terutama ditujukan pada menteri-menteri ekonomi. Sebagian besar kita juga tahu bahwa sebagian menteri yang terkait ekonomi, terutama Menteri Koordinator Perekonomian yaitu Sofyan Djalil, dekat dan direkomendasikan oleh Jusuf Kalla.

Rasanya memang kurang elok dan kurang santun bila baru saja masuk dalam tim di kabinet, Rizal Ramli langsung menggebrak. Seakan ia masih di luar pemerintahan. Dalam konteks seperti ini apa yang ditulis dalam Editorial Media Indonesia yang meminta ketegasan Presiden Jokowi untuk menjadi konduktor yang mampu membangun keselarasan dan harmoni kabinet terasa ada benarnya.
Namun, ada sisi lain selain kesantunan yang tidak kalah penting, yaitu kejujuran dan nalar yang nakar. Kejujuran terkait dengan kebijakan pemerintah benar-benar harus ditegakkan. Pertanyaannya adalah, apakah kebijakan pemerintah yang dikritisi oleh Rizal Ramli yaitu pengadaan listrik yang bilangannya sangat besar dan pengadaan pesawat tidak dicoraki oleh masuknya kepentingan pribadi dan kelompok si pejabat? Ini perlu dipertanyakan karena sejak negara ini merdeka, kepentingan rakyat selalu ditunggangi atau dicoraki oleh kepentingan pribadi dan/atau kelompok.

Kekritisan Rizal bukan tak beralasan. Rasanya sebagian kita masih belum lupa mengapa SBY ogah berpasangan lagi dengan JK saat pilpres berikutnya. Salah satu alasan adalah pemanfaatan kebijakan pemerintah bagi perusahaan-perusahaan yang ada di bawah kendali JK. Saat itu pembangunan penambahan daya listrik termasuk yang diperjuangkan JK.

Mengapa pula kolega dekat JK yaitu Surya Paloh ikutan marah seperti tercermin dalam pemberitaan media miliknya? Surya Paloh sudah lama membangun kerja sama dengan pemerintah Cina. Begitu dekatnya hubungan itu sampai-sampai ia mendapat gelar Profesor Kehormatan dari Beijing Foreign Studies University. Kita tahu, Cina kini sangat ekspansif mau menanamkan modalnya. Bukan saja dalam kereta api super cepat, juga listrik.

Boleh jadi fakta-fakta inilah yang membuat JK dan Surya Paloh seperti kebakaran bulu ketek. Sedangkan Presiden Jokowi ora popo, tenang-tenang saja.

Mengapa Rizal meraung justru saat baru saja masuk kabinet? Pada dasarnya ia kritis, nalar dan sangat berpengalaman. Ia pernah menolak jabatan menteri karena merasa tidak cocok dengan kapasitasnya.

Namun, boleh jadi kekritisan dan keberanian Rizal berpadu dengan pola komunikasi politik Presiden Jokowi. Kita masih ingat saat penyusunan kabinet. Ada tekanan kuat agar nama tertentu harus masuk. Pengusung nama-nama itu memiliki kekuatan politik yang sangat besar. Jokowi kemudian "menggunakan tangan KPK dan PPATK" untuk merontokkan orang-orang itu.

Pola yang sama terjadi lagi saat pengajuan calon tunggal Kapolri.
Saat muncul kehebohan masyarakat mempersoalkan, yang menyatakan bahwa calon Kapolri itu bukan pilihan Jokowi ialah Buya Safii Maarif. Bukan Jokowi sendiri.

Kelihatannya Jokowi tidak hendak berbenturan langsung dengan pihak tertentu, terutama yang berada dalam lingkar kuasa. Tetapi ia ingin tetap menyelesaikan masalah dan menunjukkan keberpihakannya pada suara mayoritas yang berkembang dalam masyarakat.

Boleh jadi, suara kritis dan keras Rizal Ramli ada dalam pola itu. Jika benar, maka dapat disimpulkan memang ada perbedaan kepentingan dalam tubuh  pemerintahan. Memasukkan Rizal dalam kabinet diharapkan dapat membuat keseimbangan baru.

MESKIPUN KESANTUNAN ITU PERLU, TETAPI BEKERJA KERAS UNTUK KESEJAHTERAAN RAKYAT LEBIH PENTING DAN HARUS DIPRIORITASKAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd