Minggu, 06 September 2015

WIS UDA(H)

(WISUDA UNJ, 3 September 2015)

Pasti. Segala sesuatu di semesta raya ini ada awal dan akhirnya. Biasanya yang awal dan akhir itu dirasakan sebagai sesuatu yang istimewa, sehingga ada sejumlah "ritual" yang dilakukan untuk mensyukuri atau merayakannya. Kala anak manusia lahir, ada "ritual" yang dilakukan. Berbeda caranya di berbagai tempat dan budaya. Cara orang Jawa dan Amazon pastilah tidak sama saat menyambut kehadiran bayi sebagai saat awal bagi kehidupan sang bayi.

Begitupun saat akhir. Seluruh budaya di dunia ini menjalankan ritual tertentu sebagai penghormatan bagi manusia yang meninggal. Keyakinan agama sangat memengaruhi ritual yang dilaksanakan. Di dalam Islam, jika mayat tak ditemukan seperti pada kecelakaan Batavia Air, ada shalat ghaib untuk mendoakan yang wafat.

Awal dan akhir memang istimewa. Oleh karena itu adanya ritual tertentu yang mengiringi dan meramaikannya merupakan keniscayaan.

Dalam pendidikan, pada semua tingkat, keadaannya sama saja. Awal dan akhir dirasakan dan dibuat istimewa. Saat baru masuk ada macam-macam kegiatan. Pada tingkat SMP, SMA dan perguruan tinggi seringkali terjadi masalah. Biasanya karena ulah para senior yang mengisengi juniornya. Bahkan sampai ada yang tewas.

Sejatinya masa awal itu adalah kesempatan memberikan pemahaman pada para didikan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan apa yang akan ditempuh, dihadapi, dan dihayatinya selama mengikuti proses pemelajaran. Namun, ada saja yang memanfaatkan kesempatan ini untuk tonjolkan kuasa dan mewujudkan keisengan yang pasti menimbulkan gangguan.

Kala pendidikan berakhir, dalam arti proses belajar secara formal sudah diselesaikan. Ketika para didikan telah menyelesaikan semua persyaratan akademik dan administrasi, pendidikan diakhiri. Tibalah saatnya wisuda, biasa diplesetkan menjadi wis udah, artinya sudah selesai.

Rasanya, paling tidak bagi saya, wisuda S1 itu terasa sangat istimewa, malah terasa sakral, mirip seperti pernikahan. Ada getar di jiwa. Terasa plong dan bahagia. Sedih juga, karena masa-masa mengasyikkan selama kuliah pun berakhir.

Saat wisuda, semua cerita bahagia dan derita seperti lebur jadi hanya bahagia. Air mata jadi mata air yang terus mengalir memancar tak terbendung. Inilah ungkapan rasa bahagia karena berhasil menyudahi dan melampaui serangkaian proses yang sulit, kadang dirempahi oleh banyak kejadian yang mengiris kalbu. Proses belajar di perguruan tinggi memang tidak selalu mudah.

Wisuda memang  saat penyudahan, merupakan akhir dari rangkaian proses panjang yang acap kali berliku dan menanjak. Karena itu layak disyukuri, pantas dirayakan.

Sebagai bagian dari rangkaian proses belajar formal, wisuda adalah akhir. Namun, sebagai proses menjalani kehidupan, wisuda adalah awal. Awal bagi para lulusan untuk menghadapi ujian dan tantangan hidup nyata, hidup yang sesungguhnya.

Banyak orang berhasil dalam ujian akademik pada berbagai jenjang pendidikan formal, tetapi gagal dalam ujian kehidupan. Sebab ujian kehidupan lebih sulit, pelik, rumit, bahkan mengerikan. Kecererdasan, meski dengan ukuran super, belum memadai untuk menghadapi ujian kehidupan yang mengandung resiko tak terduga. Ujian akademik itu terbatas waktunya, jelas kisi-kisi dan indikatornya. Tidak demikian dengan ujian kehidupan.

Tidak sedikit orang mendapatkan prestasi sangat memuaskan karena nilai yang tinggi dalam pendidikan formal, tetapi sangat memuakkan dalam kehidupan nyata di masyarakat. Mereka memperoleh pujian karena prestasi akademiknya, namun sering mendapatkan cacian dalam interaksi dengan sesama saat menjalani hidup.

Hidup dan kehidupan nyata membutuhkan lebih dari sekadar kecerdasan tinggi dan prestasi akademik menjulang. Hidup mempersyaratkan lebih banyak dari itu. Hidup tidak dapat dijalani dengan baik jika kita hanya memiliki seperangkat keterampilan teknis. Meskipun keterampilan teknis itu tentu saja ada gunanya.

Hidup meniscayakan dikuasainya keterampilan atau kompetensi-kompetensi kemanusiaan yang sifatnya lebih substansial yaitu empati, peduli, berbagi, kejujuran, disiplin, dan fokus. Terserah orang mau menyebutnya budi pekerti, karakter atau istilah-istilah lain. Kompetensi-kompetensi substansial inilah yang bisa menjamin kebertahanan manusia dan masyarakat untuk hidup secara layak, bermartabat, dan maju.

Oleh karena itu para pendidik di berbagai tingkat dan satuan pendidikan tidak boleh berpuas diri bila telah berhasil membuat didikan lulus tepat waktu dengan indeks prestasi kumulatif tinggi dan sangat tinggi. Harus dikembangkan dan dipenuhi indikator lain terkait dengan kompetensi-kompetensi substansial kemanusiaan.

Dengan demikian keberhasilan proses pendidikan dan pembelajaran tidak hanya diukur pada pencapaian yang sepenuhnya bersifat teknis pragmatis. Misalnya kecepatan lulusan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya. Mestinya indikator menyangkut kompetensi substansial kemanusiaan juga diukur, meskipun harus diakui tidak mudah untuk mengukurnya. Sebab sejatinya pendidikan tidak hanya mengubah manusia ke arah yang lebih baik dan bermutu secara teknis, ini merupakan tujuan pengajaran bukan pendidikan. Pendidikan mengubah manusia semakin menjulang dalam kompetensi substansial kemanusiaan.

Jika ditanya, apakah lulusan UNJ yang sarjana pendidikan bisa mengajar? Dengan pasti bisa dijawab secara positif, ya. Namun, jika lebih dalam ditanya lagi,mampukah mereka mendidik? Jawabannya menjadi sulit. Hal yang sama sangat pantas ditanyakan dan dipertanyakan pada para dosen. Karena mengajar memang lebih mudah dan sederhana tinimbang mendidik.

Dalam konteks seperti ini layak mencolek KKNI ( Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia). Dalam naskah KKNI disebutkan,

Secara konseptual, setiap jenjang kualifikasi dalam KKNI disusun oleh empat parameter utama yaitu (a) keterampilan kerja, (b) cakupan keilmuan/pengetahuan, (c)metoda dan tingkat kemampuan dalam engaplikasikan keilmuan/pengetahuan tersebut serta (d) kemampuan manajerial. Ke‐empat parameter yang terkandung dalam masing‐masing jenjang disusun dalam bentuk deskripsi yang disebut Deskriptor KKNI. Dengan demikian ke‐9 jenjang KKNI merupakan deskriptor yang menjelaskan hak, kewajiban dan kemampuan seseorang dalam melaksanakan suatu pekerjaan atau mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan keahliannya. Uraian tentang parameter pembentuk setiap Deskriptor KKNI adalah sebagai berikut:

Keterampilan kerja atau kompetensi merupakan kemampuan dalam ranah kognitif, ranah psikomotor, dan ranah afektif yang tercermin secara utuh dalam perilaku atau dalam melaksanakan suatu kegiatan, sehingga dalam menetapkan tingkat kompetensi seseorang dapat ditilik lewat unsur‐unsur dari kemampuan dalam ketiga ranah tersebut. (Sumber, www.penyelarasan.kemdiknas.go.id/content/detail/201.html).

Tampaknya kompetensi substansial kemanusian hanya muncul sekilas dalam parameter pertama. Itupun dikaitkan secara langsung dalam melaksanakan suatu kegiatan. Maknanya jika berbentuk perilaku pasti merupakan perilaku instrumental.

Penelusuran lebih dalam terhadap KKNI memang ditemukan sejumlah konsep yang terkait dengan kompetensi substansial kemanusiaan ini. Namun, dalam penjelasan dan implementasinya kurang mendapat tempat. Jika pun muncul, lebih banyak menggunakan istilah-istilah teknis. Karena itu KKNI sebenarnya lebih terkait dengan pengajaran daripada pendidikan. KKNI lebih fokus pada pembentukan kompetensi untuk memenuhi tuntutan masyarakat industri yang dikerangkakan oleh paradigma marerialis kapitalis. Tidak mengherankan karena acuannya adalah Eropa dan Australia.

Saya sama sekali tidak melihat kaitan lekat erat antara KKNI dan Pancasila sebagai dasar negara dan masyarakat Indonesia. Bila pun muncul kaitan itu, kelihatannya hanya bersifat asesori, bukan substansi. Inilah bahayanya jika pendidikan disederhanakan atau direduksi sekadar menjadi pengajaran untuk memenuhi tuntutan dunia kerja dan industri. Rasanya tidak berlebihan jika kita harus terus mengingatkan bahwa sejatinya

PENDIDIKAN TIDAK PERNAH HANYA BERKUTAT DENGAN TUJUAN-TUJUAN TEKNIS PRAGMATIS, TETAPI UPAYA MEMANUSIAKAN MANUSIA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd