Kamis, 01 Oktober 2015

TRAGEDI MINA

Keledai tak masuk lubang yang sama dua kali.

Tragis. Ini bukan yang pertama. Tragedi Mina telah berkali-kali terjadi. Korbannya tidak pernah sedikit. Tahun 1987, 402 orang meninggal, 1990 meninggal 1426 orang, 1994 meninggal 270 orang, 1997 meninggal 340 orang, 2006 meninggal 364 orang, 2015 sudah meninggal 1200 orang, dipastikan korban akan terus bertambah. Apakah bisa disimpulkan bahwa penyelenggara haji kualitasnya lebih rendah dari keledai?

Musim haji tahun ini memang memunculkan duka lara yang lebih. Sejumlah jemaah wafat karena tertimpa alat berat yang digunakan untuk membangun Masjidil Haram agar lebih nyaman bagi jemaah haji dan umrah. Para korban hancur remuk karena tertimpa benda sangat berat.

Tragisnya Kerajaan Arab Saudi belum pernah memberikan penjelasan rinci tentang tragedi yang menghancurkan ratusan korban itu. Tiba-tiba raja mengumumkan santunan bagi yang meninggal, cacat dan terluka. Apakah hanya dengan cara itu Kerajaan Arab Saudi yang mendapat keuntungan berjibun dari penyelengaraan haji menghargai nyawa manusia? Apa dikira uang bisa menyelesaikan semua masalah?

Apakah kelalaian yang menyebabkan tewasnya ratusan korban dengan tragis itu selesai dengan memberikan santunan? Memberi santunan bukan tidak pantas dipuji. Namun seharusnya ada penjelasan yang rinci dan jujur mengapa tragedi itu sampai terjadi. Mengapa alat-alat berat itu sengaja dibiarkan berdiri tepat di tempat yang pasti dipenuhi manusia? Mengapa tidak dibersihkan terlebih dahulu karena akan digunakan oleh tamu-tamu Allah?

Karena itu menjadikan buruknya cuaca sebagai sebab tragedi , sama sekali tidak dapat diterima. Menunjuk cuaca buruk sebagai sebab tragedi itu adalah indikator kurangnya tanggung jawab, dan sama sekali tidak empatis. Apalagi dengan sembarangan dan mudah menyebut kejadian ini sebagai takdir. Tragedi ini merupakan akibat buruknya tatakelola dan ketidakmampuan menetapkan secara akurat dan objektif prioritas. Bukankah keamanan dan keselamatan para jemaah yang beribadah di atas segala-galanya?

Belum lagi kering air mata keluarga dan kuburan korban alat berat. Terjadi lagi tragedi yang lebih memilukan karena korbannya lebih banyak yaitu tragedi Mina. Sejauh ini sudah lebih dari seribu orang yang dipastikan wafat. Korban dari banyak negara.

Ironisnya, bukannya bekerja cepat dan bersikap transparan terkait dengan kepastian jumlah korban, Kerajaan Arab Saudi malah sibuk menyalahkan jemaah haji sebagai penyebab tragedi ini. Sungguh sikap yang bukan saja tidak profesional dan proposional, bahkan terasa menjijikkan.

Akibatnya, tragedi ini menjadi semakin tragis karena banyak orang terlibat polemik, saling tuduh dan saling maki dengan menyalahkan pihak-pihak tertentu. Sampai membangkitkan kembali sentimen Sunni-Syiah. Benar-benar keterlaluan dan tak nalar.

Menghadapi tragedi yang merenggut nyawa manusia, apalagi dalam jumlah besar, yang pertama dan utama harus dilakukan adalah menangani para korban. Korban yang masih hidup dan terluka harus segera ditolong, dikenali, dan keluarga serta negara asalnya diberi akses untuk mengetahui dan ikut membantu.

Sementara yang wafat harus segera diidentifikasi serta diumumkan agar pihak keluarga mendapatkan kepastian. Kita pantas marah karena Kerajaan Arab Saudi sangat tertutup dan terlalu lambat bereaksi. Negara yang warganya menjadi korban pun tak diberi kesempatan untuk mendapatkan informasi yang rinci dan pasti.

Sikap tertutup Kerajaan Arab Saudi memang menimbulkan sejuta tanya. Sesungguhnya apa yang terjadi? Berapa korban yang meninggal? Bagaimana keadaan korban yang terluka? Dimana para jemaah yang belum ditemukan? Apa penyebab tragedi ini?

Semakin memilukan dan mengerikan karena Kerajaan Arab Saudi tegas menolak investigasi yang terbuka, transparan dan objektif. Mereka akan melakukan investigasi sendiri. Sungguh sikap tertutup yang sangat memalukan, sekaligus menimbulkan tanya, ada apa sebenaranya? Apa yang coba disembunyikan oleh Kerajaan Arab Saudi?

Tragedi Mina sudah berulang-ulang terjadi. Korbannya tidak pernah sedikit dan dari berbagai negara. Dalam investigasi mestinya negara yang warganya jadi korban harus diajak serta. Hanya dengan cara ini objektivitas, kebenaran dan keadilan bisa didapatkan dan ditegakkan.

Sebenarnya Kerajaan Saudi tidak perlu takut dipersalahkan. Karena tujuan utama investigasi  adalah untuk mencegah jangan sampai tragedi yang berkali-kali terjadi ini  sampai terulang lagi. Sikap tertutup Kerjaan Saudi pastilah makin memicu kecurigaan dan kemarahan.

Kerajaan Saudi bisa belajar dari Indonesia. Saat pesawat Rusia jatuh di Gunung Salak dan ketika Air Asia jatuh dalam perjalanan Surabaya-Singapura, Indonesia membuka diri terutama pada negara yang warganya jadi korban. Dengan demikian tidak ada yang disembunyikan, tidak ada misteri dan kecurigaan.

Ketertutupan Kerajaan Arab Saudi harus dibuka paksa bila mereka tetap ngotot. Langkah Iran membawa masalah tragedi Mina ke Mahkamah Internasional layak didukung. Tujuannya adalah untuk mendapatkan kebenaran objektif. Dengan demikian semua negara yang warganya menjalankan ibadah haji dan Kerajaan Arab Saudi dapat sama-sama mengembangkan cara, mekanisme dan regulasi yang mengutamakan keselamatan dan kenyamanan beribadah.

Permasalahan penyelenggaraan haji tidak adil rasanya jika hanya dibebankan pada Kerajaan Arab Saudi. Semua negara yang mengirimkan jemaah harus juga menetapkan dan mengembangkan tatakelola yang baik agar sejak keberangkatan dari tanah air masing-masing  jemaah sudah benar-benar disiapkan.

Indonesia misalnya harus lebih hati-hati untuk meminta penambahan kuota. Juga memastikan pemeriksaan yang ketat agar jemaah yang berangkat adalah mereka yang memenuhi semua persyaratan, sehat rohani dan jasmani.

Tragedi Mina yang mengerikan ini benar-benar harus menjadi pelajaran sangat berharga. Harus dimanfaatkan untuk mengkritisi tatakelola penyelenggaraan haji, baik oleh Kerajaan Arab Saudi maupun negara-negara yang mengirimkan jemaahnya.

Kerajaan Arab Saudi telah bekerja sangat keras untuk terus menerus memperbaiki dan meningkatkan fasilitas dan tatakelola di tempat-tempat utama ibadah haji. Namun, ada sejumlah pertanyaan yang layak diajukan.

Mengapa daerah sekeliling Masjidil Haram dibangun fasilitas hotel mewah yang dikuasai oleh keluarga kerajaan dan pemodal asing? Dengan demikian hanya jemaah yang tajir alias kaya raya yang bisa tinggal dekat dengan "Rumah Allah" yaitu Kaabah? Sedangkan untuk jemaah haji yang biasa atau normal, semua fasilitas menginap sangat jauh dari Masjidil Haram? Mengapa bisa seperti ini?

Jika memang bermaksud meningkatkan pelayanan penyelenggaraan haji, mengapa kawasan yang sangat dekat dengan Masjidil Haram dikelola dengan cara-cara kapitalisme yang bertujuan mengeruk untung sebesar-besarnya. Mengapa yang boleh menikmati kenyamanan dan keistimewaan hanya jamaah haji yang banyak fulus? Apakah tatakelola seperti ini tidak menjadikan ibadah haji sebagai ladang bisnis?

Apakah peningkatan fasilitas ibadah, seperti terus menambah lantai Masjidil Haram dan tempat melempar jumrah di Mina bertujuan meningkatkan pelayanan atau meningkatkan kapasitas agar setiap tahun jemaah terus bertambah tanpa memperhitungkan kenyamanan dan keselamatan? Jangan-jangan tatakelola jemaah haji dilaksanakan mengikuti gaya kapitalisme untuk mengeruk sebanyak mungkin keuntungan memanfaatkan ibadah yang diwajibkan bagi kaum muslim yang mampu? Dalam kaitan itulah "permainan kuota" haji harus dicermati.

Dalam konteks Indonesia juga harus ditelaah secara kritis. Apakah tatakelola ibadah haji dan umrah terutama yang melibatkan pihak swasta, dikelola dengan pola kapitalis atau tidak? Sekarang ini ada modus penyelenggaraan umrah dan haji yang semakin aneh. Berumrah dulu baru dibayar dengan mencicil, pakai bunga segala. Umrah dan haji berhadiah dan bonus.

Apakah menjadikan ibadah haji sebagai ladang bisnis yang dikelola  dengan pola kapitalis dibenarkan?

Tragedi Mina seharusnya menghenyakkan kita pada pertanyaan mendasar, apakah berbagai tragedi yang menimpa jemaah haji merupakan akibat langsung dari tatakelolanya yang bergaya kapitalis, yang menjadikan keuntungan sebagai tujuan?

Apakah peningkatan fasilitas yang bertujuan untuk terus meningkatkan jumlah jemaah haji merupakan konsekuensi lanjutan dari tujuan memperoleh untung sebanyak-banyaknya?

Menarik untuk mencermati bagaimana sikap ustad dan ustadzah yang menjadi penyelenggara perjalanan haji di Indonesia. Mereka terus berteriak bahwa jemaah yang meninggal selama menjalankan ibadah haji pasti masuk syurga karena mati syahid. Apakah pernyataan ini sengaja dibesar-besarkan agar orang tetap berlomba-lomba naik haji? Apakah para ustad dan ustadzah itu merasa diri "wakil Tuhan" sehingga bisa ikut menentukan orang masuk syurga?

Tragedi crane dan Mina tahun ini, seharusnya menjadi titik tolak untuk secara kritis dan mendalam mempertanyakan tatakelola penyelenggaraan haji secara komprehensif, bagi Kerajaan Arab Saudi dan negara-negara yang mengirimkan jemaah untuk berhaji.

TRAGEDI SEHARUSNYA MENJADIKAN KITA MAWAS DIRI DAN BERTAMBAH BIJAK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd