Sabtu, 21 November 2015

FREEPORT, SELALU BIKIN REPOT

Ada apa sebenarnya? Mengapa Freeport bisa bikin repot? Mengapa Freeport bisa membuat petinggi negeri ini, sampai tingkat presiden dibikin repot? Mengapa para menteri saling tuding? Inikah hasil dari kebebasan yang menjadi ciri zaman reformasi?

Terkuaknya kasus dugaan pencatutan yang dilakukan Ketua DPR RI Setya Novanto terkait perpanjangan kontrak Freeport benar-benar seperti membuka kotak hitam pesawat yang mengalami kecelakaan. Terdapat sejumlah info yang semakin jelas dan ada info yang semakin kabur, melebar ke mana-mana. Perkembangan kasus ini membuat terkuaknya kasus ini seperti membuka kotak pandora. Seluruh virus penyakit keluar dan tak dapat dikendalikan.

Kasus yang menjerat kader Partai Golkar ini memang tidak berdiri sendiri. Terpaut sangkut dengan pihak-pihak lain yang memiliki kepentingan berbeda-beda. Sejatinya pencatutan memang tak pernah berdiri sendiri, selalu merupakan jaringan, sebuah sistem yang melibatkan banyak orang.

Sejak dahulu pada era Sukarno, Freeport selalu bikin repot. Sebab bisnis yang dikerjakan Freeport ini berukuran sangat besar uangnya dan melibatkan kepentingan pihak-pihak yang berkategori internasional.

Freeport benar-benar bagai kerikil di pelupuk mata. Sangat mengganggu, tetapi sungguh sulit disingkirkan. Sebab Freeport adalah perusahaan besar yang berasal dari negara besar. Melibatkan kepentingan yang besar.

Pada era Suharto segala sesuatu tentang Freeport hanya menimbulkan riak kecil yang sangat tidak berarti bagi masyarakat. Sebab saat itu kita berada pada era ketertutupan. Banyak hal yang menyangkut nasib rakyat dan bangsa serba gelap gulita. Hanya segelintir elit pemerintahan yang tahu. Karena itu kesannya tidak ada masalah terkait dengan Freeport. Meski kita semua tahu Freeport mengeduk habis kekayaan Papua, sedangkan rakyat Papua tetap miskin papa dan sengsara.

Kini era keterbukaan. Apapun bisa dibuat menjadi terbuka bahkan telanjang. Apalagi bila menyangkut kepentingan publik atau rakyat banyak. Semua orang, terutama melalui media sosial, bisa ikut andil memberi pendapat, penilaian, kritik, bahkan menghujat dan memfitnah.

Persoalan perpanjangan kontrak Freeport memang sudah menjadi pembicaraan ramai di tengah masyarakat. Kita secara terbuka pernah melihat di berbagai tayangan televisi dan pemberitaan media cetak saling serang, tingkai pangkai antara Menteri ESDM yang dikenal dekat dengan Wakil Presiden JK dengan Rizal Ramli, pada saat Rizal baru saja diangkat menjadi menteri koordinator.

Rizal mempersoalkan bahwa perpanjangan kontrak yang diusahakan oleh Menteri ESDM itu melanggar konstitusi. Bukan hanya Rizal yang berpendapat begitu. Komisi yang membidangi energi di DPR juga berpendapat sama, sampai mendesak Presiden Jokowi.

Terkait dengan persoalan itu, Pikiran Rakyat.online (27.10.2015) memberitakan,

JAKARTA, (PRLM).- Komisi VII DPR RI mendesak Presiden Jokowi agar Menteri ESDM Sudirman Said mencabut surat perpanjangan kontrak dengan PT. Freeport, karena perpanjangan yang dilakukannya tersebut melanggar konstitusi, UU No.4 tahun 2009 tentang Minerba atau pertambangan, dan peraturan turunan yang lain.

Dengan begitu PP Nomor 7522/ 13/ MEM/ 2015 tertanggal 7 Oktober 2015 perihal permohonan perpanjangan operasi PT Feeport Indonesia itu inkonstitusional maka harus dicabut.

Demikian disampaikan Ketua Komisi VII DPR RI Kartika Warnika bersama pimpinan dan anggota Komisi VII DPR RI yang lain pada wartawan di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (27/10/2015).

Politisi termasuk yang paling keras menyikapi surat yang diterbitkan oleh Menteri ESDM tersebut. Harian Terbit (23.10.2015) menguraikan,

Jakarta, HanTer-Anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan (PDIP), Yulian Gunhar menilai, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said gagal paham terkait  isi kontrak karya PT Freeport Indonesia dan isi aturan UU No. 4 tahun 2009 tentang Minerba.

"Kami mendesak agar Sudirman Said segera mencabut surat yang pernah dilayangkannya kepada PT. Freeport Indonesia karena surat itu bersifat inkonstitusional terlebih hal itu baru bisa dilakukan 2 tahun sebelum masa kontrak berakhir 2021," kata Yulian dalam konferensi pers di ruang Fraksi PDI P di Gedung DPR, Jumat (23/10/2015).

Menurutnya, apabila surat itu tidak segera direvisi oleh menteri Sudirman Said dan menjadi landasan hukum permohonan perpanjangan izin operasi serta perpanjangan kontrak karya PT. Freeport, maka menteri ESDM dapat dikategorikan melakukan pelanggaran konstitusi sebagaimana diamanatkan dalam UU NKRI 1945 pasal 3 ayat 3.

Berbagai tanggapan terhadap surat yang dikeluarkan Sudirman Said memicu kontroversi karena disinyalir melanggar konstitusi. Ini bermakna masalahnya tidak ringan dan tidak sederhana. Secara politis bisa menggelincirkan Jokowi dari tampuk kekuasaan. Karena Sudirman Said adalah pembantu presiden, meski sangat dekat dengan wakil presiden. Bila terbukti bahwa surat yang dikeluarkan Sudirman Said bertentangan dengan konstitusi, presidenlah yang harus bertanggung jawab.

Dalam situasi panas penuh pertentangan inilah muncul kasus dugaan pencatutan yang melibatkan Setya Novanto. Menteri ESDM yang pertama kali membuka kasus ini ke publik. Segera saja kasus ini menjadi berita besar dan memunculkan kehebohan. Menteri ESDM bertindak cepat membawa kasus ini ke Dewan Kehormatan DPR RI.

Kontroversi melebar ke mana-mana. Saling tuduh antara para politis berlangsung seru. Pernyataan yang bertentangan datang dari berbagai penjuru. Baik dari pihak pemerintah, politisi parlemen, dan pihak-pihak lain.

Rizal Ramli kembali angkat bicara. CNN Indonesia (18.11.2015) menulis,

Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli menilai polemik soal makelar saham PT Freeport Indonesia hanya sinetron yang menggambarkan perseteruan dua kelompok kepentingan. Peristiwa ini dinilainya sebagai potret hitam sejumlah elite mengabaikan kepentingan bangsa karena sibuk mengurus kepentingannya sendiri.

"Kita nikmati saja semua proses ini, karena ini bagaikan sinetron tentang perkelahian dua geng. Nah geng ini kadang-kadang bersahabat, bersekongkol. Di lain kesempatan mereka berantem. Semakin terbuka ini semakin bagus buat Indonesia," ujar Rizal di Jakarta, Rabu (18/11).

Menurutnya, sinetron politik Freeport ini bisa jadi kesempatan bagi publik untuk membongkar praktik kongkalikong para elite di sektor tambang. Sinetron ini juga dianggapnya sebagai momentum tepat untuk mengoreksi kesalahan pengelolaan sumber daya alam di masa lalu.

"Ini adalah momentum untuk menulis ulang sejarah pengelolaan sumber daya alam karena selama ini bangsa kita dirugikan. Freeport bayar royaltinya kecil, limbah dibuang seenaknya, tidak ada divestasi," ujarnya ketus.

Jika yang membuat pernyataan ini orang jalanan, kita boleh tidak mempercayainya. Rizal Ramli adalah tokoh berkaliber. Ia pernah jadi menteri pada era Gus Dur, dan menolak tawaran jadi menteri pada era SBY karena merasa tidak cocok dengan tawaran itu. Ia orang yang sudah sangat lama mengurusi energi dan sangat paham seluk beluknya.

Apa yang dikatakannya, menjadikan kasus ini momentum untuk membangun cerita baru tentang bisnis pertambangan yang berpihak pada kemakmuran rakyat dan negara perlu didukung penuh. Saatnya untuk mengikis habis mafia energi yang selama ini mengeruk keuntungan untuk kelompoknya sendiri dan merugikan rakyat.

Pastilah tidak mudah mewujudkan apa yang diungkapkan Rizal Ramli. Freeport ini mengurusi bisnis sangat besar dan melibatkan orang besar serta "mafia besar". Oleh sebab itu sangat sulit untuk menebak akan seperti apa perkembangan dan solusi akhirnya.

Mari kita perhatikan ungkapan-ungkapan Wakil Presiden JK. JK sangat aktif berbicara tentang dugaan pencatutan yang dilakukan Setya Novanto. JKlah yang menyatakan pada publik bahwa presiden marah karena pencatutan nama ini. JK juga yang mengancam akan membawa kasus ini ke ranah hukum.

Saat pembicaraan Setya Novanto dengan Freeport dibuka ke publik, ternyata banyak tersebut nama Luhut sang Menkopohukam. JK lantas membuat komentar sebagimana yang dimuat Tempo.co (17.11.2015),

TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengaku bingung membaca nama Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan disebut-sebut dalam transkrip pembicaraan lobi perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia. Transkrip pembicaraan itu melibatkan beberapa orang dengan inisial SN, MS dan R.

"Ya kalau menyebut nama kan tentu harus lebih jelas  masalahnya apa," kata Kalla, di Bandar Udara Halim Perdana Kusuma, Selasa, 17 November 2015. "Karena disebut nama saja tentu tergantung konteksnya apa. Jadi kami lihat nanti pemeriksaannya di DPR."

Sebelumnya, dalam transkrip yang beredar luas di kalangan jurnalis, SN dan R menyebut nama Luhut memiliki peran untuk meloloskan perpanjangan kontrak PT Freeport. Dalam transkrip itu juga disebut adanya nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang akan meloloskan perpanjangan kontrak Freeport degan kompensasi pembagian saham 20 persen.

Kita tidak tahu mengapa JK secara sengaja mempersoalkan penyebutan nama Luhut dalam rekaman pembicaraan itu. Apakah ini ada kaitannya dengan reaksi kerasnya saat Luhut diangkat menjadi Kepala Staf Kepresidenan. Saat itu JK mempersoalkan besarnya wewenang yang dimiliki Luhut. Mungkin pula terpaut dengan sikap Luhut yang memiliki banyak kesamaan dengan Rizal Ramli yang juga pernah berseteru dengan JK. 

Karena itulah, akan sangat baik dan berguna bagi rakyat dan negara ini bila kasus Freeport ini dibuka tuntas. Tak ada yang ditutupi dan disembunyikan. Jangan mendustai rakyat. Jangan hanya dugaan pencatutan yang dilakukan Setya Novanto yang diusut dan dibesar-besarkan. Juga penerbitan surat yang dilakukan oleh Sudirman Said. Sebab isi surat itu diduga keras bertentangan dengan konstitusi.

Menarik mengikuti komentar Luhut setelah namanya banyak disebut dalam rekaman percakapan Setya Novanto. Tempo.co (19.11.2015) menguraikan,

TEMPO.CO, Jakarta – Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Pandjaitan menggelar jumpa pers khusus untuk menjelaskan posisinya terkait dengan disebutnya nama Luhut dalam transkrip percakapan petinggi Freeport, Ketua DPR Setya Novanto, dan pengusaha MR soal lobi perpanjangan Freeport. Transkrip rekaman itu beredar, terkait dengan pelaporan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said ke Mahkamah Kehormatan DPR.

Luhut menegaskan, ia tidak pernah terlibat dalam kasus perpanjangan izin PT Freeport. “Saya tidak salah, saya tidak ada bisnis satu peser pun dengan siapa pun dan itu janji pada diri dan istri saya. Selama saya menjadi pejabat negara, tidak akan saya melacurkan profesionalisme saya, ingat itu!” kata Luhut di kantornya, Kamis, 19 November 2015.

Luhut mengatakan tidak ada rencana hukum soal tuduhan dirinya terlibat dalam kasus perpanjangan Freeport. Pemerintah, kata Luhut, juga bersikap tegas tidak akan memperpanjang kontrak Freeport sebelum masa kontrak berakhir. “Sikap presiden tetap tidak akan pernah memperpanjang Freeport sebelum 2019. Desakan untuk memperpanjang itu ada dari sana-sini, tapi itu jelas tidak bisa dilakukan.

Penjelasan Luhut di atas menegaskan paling kurang tiga hal. Pertama, Luhut tidak terlibat sebagaimana yang tertera dalam rekaman percakapan itu. Kedua, desakan untuk memperpanjang Freeport sebelum waktunya datang dari sana-sini. Ketiga, perpanjangan sebelum waktunya tidak bisa dilakukan.

Kita sama sekali tidak tahu, siapa terlibat apa. Namun, kita jadi semakin memahami persoalan, terutama ungkapan Rizal Ramli tentang geng. Penjelasan Luhut bahwa ada pihak-pihak yang mendesak sementara pemerintah tidak akan memperpanjang kontrak sebelum waktunya berakhir, semakin menegaskan bahwa geng itu memang ada. Jika memang perpanjangan Freeport tidak akan dilakukan sebelum waktunya yaitu 2019, mengapa surat Menteri ESDM bisa terbit?

Kita juga tidak tahu apa yang mendorong politisi PDIP bersikap sangat keras terhadap Menteri ESDM? Apakah kekisruhan yang menyeret Setya Novanto ini ada kaitannya dengan belum ditariknya nama Puan Maharani sebagai anggota DPR? Apakah kekisruhan ini akan dimanfaatkan untuk mendorong perubahan pimpinan DPR?

Karena itulah kita sangat berharap agar persoalan Freeport ini dibuka tuntas. Jangan hanya meributkan dugaan pencatutan yang dilakukan Setya Novanto. Juga dibongkar tuntas semua sepak terjang yang dilakukan Sudirman Said. Terutama terkait dengan surat yang dibuatnya untuk Freeport. Pun komentarnya yang menuduh pihak lain yang mengkritisinya sebagai orang-orang tidak paham.

Bila kasus Freeport ini akhirnya akan menjadi ajang "dagang sapi" partai-partai politik dan penguasa untuk kepentingan-kepentingan jangka pendek mereka, sungguh negara bangsa ini sedang didorong ke arah longsor menuju kehancuran. Rakyat Indonesia harus mendorong dan mengawasi agar penyelesaian Freeport ini sungguh-sungguh untuk kepentingan negara bangsa Indonesia.

Tragis memang, sebuah perusahaan asing yang telah mengobok-ngobok dan mengoyok-ngoyok kekayaan alam kita, bisa membuat kita berkelahi sendiri. Lebih tragis lagi, para petinggi Jakarta meributkan Freeport tanpa meminta pendapat rakyat Papua.

NEGARA BANGSA INI TAK AKAN PERNAH MENJADI LEBIH BAIK DAN MAJU BILA PARA PEJABAT TINGGI LEBIH MENGEDEPANKAN KEPENTINGAN PRIBADI DAN KELOMPOKNYA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd