Selasa, 24 November 2015

DEWAN, MAJELIS DAN GEROMBOLAN

Dalam konteks keindonesiaan, kata dewan dan majelis menunjukkan keunggulan, tempat yang tinggi dan mulia serta menentukan. Kata dewan digunakan untuk menunjukkan kedudukan yang tinggi seperti Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan Agung, Dewan Pengupahan, Dewan Juri. Semua dewan itu menentukan. Karena itu dihormati dan ditinggikan. Mengapa? Sebab tidak mudah untuk meraihnya. Bisa dibayangkan betapa berat perjuangan seseorang untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Dulu sewaktu masih ada Dewan Pertimbangan Agung, hanya tokoh-tokoh yang sangat terpilih bisa menjadi anggotanya. Karena Dewan Pertimbangan Agung  bertugas memberi masukan dan nasihat untuk presiden.

Begitupun halnya dengan kata majelis. Kata ini digunakan untuk menunjukkan ketinggian dan kebaikan. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah pemegang tertinggi kedaulatan rakyat. MPR bisa memberhentikan presiden. Sementara itu majelis ta'lim adalah kumpulan orang yang mempelajari agama. Apakah ketentuan agama yang dipelajari dilaksanakan, agaknya itu persoalan lain.

Dewan dan majelis merujuk pada kumpulan orang. Namun tidak semua kumpulan orang bisa disebut dewan atau majelis. Kumpulan orang yang pekerjaannya mencatut, memalak, merampok, menipu, mencuri, membegal, membunuh, bukan disebut dewan atau majelis tetapi gerombolan, dan geng/mafia.

Perbedaan kata yang digunakan untuk menunjukkan kumpulan orang hakikinya menegaskan terdapat ketidaksamaan antara anggota dewan dan majelis dengan anggota gerombolan dan geng/mafia. Dewan dan majelis mengacu pada kebaikan, pengabdian, kejujuran, disiplin, dan ketinggian moral. Sedangkan gerombolan, dan geng/mafia merujuk pada kejahatan, kecurangan, kerakusan, tipu-tipu, menghalalkan segala cara, dan kerendahan moral. Sangat jelas perbedaannya. Seperti malaikat dengan iblis, langit dengan bumi, air dengan minyak kotor.

Wajar jika orang berharap anggota dewan dan majelis itu menjunjung tinggi moralitas, kejujuran, disiplin, pengabdian, dan kepentingan orang banyak. Membebaskan diri dari mengejar kepentingan dan keuntungan pribadi dan kelompok. Bekerja sepenuhnya untuk kepentingan orang banyak demi kemajuan.

Sebab bila anggota dewan atau majelis tidak menunjung tinggi moralitas, maka hakikinya ia adalah bagian dari gerombolan atau geng/mafia. Jadi, seharusnya anggota dewan dan majelis itu adalah orang terpilih yang secara konsisten melaksanakan kebaikan yang merupakan perujudan dari ketinggian moral. Seharusnya begitu.

Tetapi hidup manusia jarang sekali berisi hal-hal yang seharusnya. Bukankah seringkali dikatakan bahwa manusia itu tempatnya salah, lupa, dan dosa. Manusia itu lemah dan lengah. Dengan demikian berulang-ulang diucapkan oleh banyak orang bahwa kesalahan itu adalah manusiawi, sesuatu yang wajar. Tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang tak pernah berbuat salah.

Namun, dari pepatah petitih lama kita juga diberi tahu bahwa karena nila setitik rusak susu sebelanga, keledai tidak masuk lubang yang sama dua kali, panas setahun hilang oleh hujan sehari. Maknanya kita harus sangat hati-hati. Kapan kesalahan, dan kesalahan apa yang berterima dan mudah dimaafkan, serta kesalahan apa yang masuk kategori kejahatan, yang bukan saja tidak termaafkan, pun menyebabkan pelakunya dihujat habis-habisan dan harus diberi sanksi serta hukuman.

Manusia sebagai individu dan anggota masyarakat pastilah memiliki toleransi terhadap kesalahan yang dilakukan orang lain. Bagi mereka ada pembedaan, kesalahan seperti apa yang dianggap wajar, dan kesalahan mana yang masuk kategori kurang ajar. Sudah barang tentu para anggota dewan dan majelis yang seharusnya menjadi teladan moral dan kebaikan tidak mudah ditoleransi bila membuat kesalahan. Apalagi bila kesalahannya bisa dimasukkan kategori kejahatan. Lebih-lebih jika dilakukan berulang-ulang.

Dalam konteks itulah kasus yang membelit Setya Novanto harus dilihat. Apakah benar ia telah melakukan kesalahan yang bisa dikategorikan kejahatan? Apa beda kesalahan yang dilakukannya saat berkunjung ke Amerika Serikat mendukung calon presiden yang rasis dan anti Islam, dengan yang diduga dilakukannya sekarang yaitu mencatut nama presiden dan wakil presiden dalam perpanjangan kontrak Freeport?

Persoalan Setya Novanto menjadi sangat berbeda karena ia adalah Ketua DPR RI. Bukankah ketua dari sebuah dewan yang terhormat seharusnya menjadi teladan? Bukankah merupakan kewajiban moral utama bagi Setya Novanto menjaga kehormatan dewan yang sangat terhormat itu?

Tentu saja perbuatan yang dituduhkan pada Setya Novanto yang merupakan kader utama Partai Golkar menambah "ancur" citra DPR. Belum lagi hilang dari perhatian kita kasus korupsi yang melilit anggota DPR RI  yaitu Jerro Wacik dari Partai Demokrat, Fuad Amin dari Partai Gerindra, Andriansyah dari PDIP, Rio Capella dari Partai NasDem, dan Dewie Yasin Limpo dari Partai Hanura.

Berbagai kasus yang terungkap ke publik sebenarnya merupakan sebagian kecil saja dari berbagai ketidakpantasan yang boleh terjadi di dalam dewan dan majelis. Dewan dan majelis apapun.

Kita membayangkan dan berharap dewan dan majelis apapun diisi oleh manusia-manusi terpilih yang matang secara kemanusiaan. Artinya bukan hanya cerdas secara intelektual  yang terlihat dari serenceng gelar yang dipajang bersama namanya. Pun terutama sangat cerdas secara moral dan sosial.

Kecerdasan moral dan sosial terutama terlihat dari sikap, integritas, dan komitmen serta konsistensinya untuk melakukan pengabdian dengan tujuan untuk melayani dan memajukan kepentingan publik. Bukan kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Namun, kita sering dibuat kaget dan sangat kecewa karena ada saja orang yang berada di dalam dewan dan majelis yang masih kekanak-kanakan, seenaknya melanggar aturan, tidak disiplin, bahkan dengan sengaja berbuat salah yang bisa dikategorikan sebagai kejahatan. Inilah fakta yang terjadi di negeri tercinta ini.

Kita sulit menentukan apakah berbagai kesalahan bahkan kejahatan yang dilakukan oleh orang yang menjadi anggota atau ketua dewan dan majelis disebabkan karakter, sifat dan kebiasaan individu atau sistem yang terdapat dalam dewan atau majelis yang lemah sehingga siapa pun yang ada di dalamnya tidak pernah takut untuk melanggar aturan. Misalnya, tidak ada sanksi yang jelas dan adil bagi pelaku yang bersalah atau dengan sengaja berbuat kejahatan. Boleh jadi karena keduanya sekaligus, individu dan sistem.

Dalam konteks ini sangat menarik untuk mencermati DPR RI yang diketuai oleh politisi dari KMP. Khususnya terkait dengan kasus ketua dan wakil ketuanya. Pelanggaran yang oleh publik dinilai sangat memalukan karena pelanggaran etika dan kepantasan, oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dinyatakan sebagai pelanggaran ringan. Bahkan saat ketuanya yaitu Setya Novanto diduga melakukan pelanggaran berat, MKD masih mencoba mensiasatinya dengan memainkan aturan agar sang ketua yang berasal dari kubu mereka selamat.

Seyogyanya di dalam dewan dan majelis ukurannya adalah nalar dan moral ketika menghadapi berbagai masalah, terutama tersangkut paut dengan masalah etika. Karena itu prinsip keadilan harus mengatasi segala pertimbangan. Tak peduli kawan, bahkan saudara, bila bersalah dikenakan hukuman yang sesuai.

Rupanya, kita harus kecewa. Karena yang dipertontonkan oleh MKD adalah semangat gerombolan. Dalam gerombolan memang tak ada rasa malu. Prinsip dalam gerombolan adalah kawan harus dibela, meski bersalah. Mengapa prinsip gerombolan seperti itu?

Karena bila kawan tidak dibela, boleh jadi dia akan membongkar semua kejahatan gerombolan secara keseluruhan. Inilah nalar dan moral gerombolan.

BILA DEWAN DAN MAJELIS DIKELOLA DENGAN NALAR DAN MORAL GEROMBOLAN, MAKA NEGARA BANGSA INI AKAN MENUJU KEHANCURAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd