Sabtu, 28 November 2015

KOTORAN SEMUA MANUSIA SAMA BUSUKNYA, INGUS SEMUA MANUSIA SAMA MENJIJIKKAN

Banyak manusia memiliki baju bagus, rumah mewah, dan harta berlimpah. Tidak sedikit manusia yang sebaliknya. Miskin papa, hidup menggelandang karena tak punya rumah, perutnya lebih sering masuk angin daripada masuk nasi, lebih akrab dengan nyamuk, kecoa dan tikus daripada tetangga sebab mengais rezeki di tempat pembuangan sampah. Si kaya raya dan si miskin papa itu sudah pasti berbeda.

Apakah karena perbedaan kepemilikan harta itu, martabat si kaya lebih tinggi daripada si miskin? Apakah si kaya lebih mulia dibandingkan si miskin? Apakah si kaya lebih bahagia dibandingkan si miskin?

Rumah si kaya pasti lebih tinggi daripada rumah si miskin. Boleh jadi kedudukan si kaya dalam masyarakat lebih tinggi karena masyarakat kita cenderung lebih menghargai orang kaya daripada orang baik.

Banyak manusia memiliki gelar sangat panjang yang melekat pada namanya. Itu tandanya ia orang terpelajar. Kecuali jika ijazahnya palsu. Sedangkan di dalam lingkungan mereka tinggal tidak sedikit manusia yang tidak pernah makan sekolahan karena tidak mampu secara ekonomi.

Apakah manusia yang terpelajar lebih baik dibandingkan yang kurang atau tidak terpelajar sama sekali? Apakah manusia yang terpelajar lebih terhormat?

Kedua jenis manusia ini pastilah berbeda. Pada umumnya manusia terpelajar mendapat pekerjaan yang lebih baik, penghasilan yang lebih besar dan status sosial yang lebih tinggi serta kedudukan yang terhormat.

Sejumlah manusia sangat faham ajaran agama, mereka disebut agamawan atau sebutan lain. Banyak diantara mereka yang hafal isi kitab suci, kata demi kata. Mereka bahkan mengerti mengapa dalam kita suci dipilih kata tertentu, bukan kata lain yang merupakan sinonimnya. Bersebalikan dengan mereka terdapat sejumlah besar orang yang pemahaman agamanya dangkal dan kabur atau tidak jelas. Jangankan hafal, mengucapkan kata-kata dalam kitab suci saja mereka tidak fasih dan sering salah.

Apakah para agamawan itu lebih sholeh tinimbang mereka yang pemahaman agamanya dangkal? Apakah peluang para agamawan itu lebih besar untuk masuk syurga?

Secara matematis agaknya para agamawan itu mestinya lebih banyak beribadah dan pergi ke rumah ibadah dibandingkan orang awam yang pemahaman agamanya dangkal dan kabur alias gak jelas. Mereka juga lebih banyak membaca kitab suci dan bicara tentang kebenaran.

Setiap manusia itu unik. Itu artinya tidak ada manusia yang sama. Semua manusia berbeda. Berbeda warna kulit, asal muasal suku bangsa, kekayaan, tingkat pendidikan, pemahaman agama dan serenceng perbedaan lainnya. Perbedaan antara manusia adalah fakta tak terbantahkan. Bahkan anak kembar identik pun pasti berbeda.

Tetapi beragam perbedaan itu sama sekali tidak berpengaruh terhadap martabat manusia. Martabat manusia itu tidak seperti martabak telor yang dibedakan dalam tingkatan biasa, spesial, super dan istimewa. Setiap tingkatan mengandung telur, daging, dan sayur yang berbeda. Karena itu harganya berbeda.

Setiap manusia, bahkan sebelum menjadi manusia, baru berupa embrio telah memiliki martabat yang sama. Oleh karena itu para perempuan yang menggugurkan kandungan bukan karena alasan yang dibolehkan secara medis dan hukum pasti dihukum. Itu maknanya embrio yang baru berupa calon manusia itu memiliki martabat.

Semua manusia yang terlahir memiliki martabat yang sama. Tidak penting apakah dia lahir dengan kulit hitam, putih atau belang-belang. Tidak peduli ia terlahir cacat atau normal. Itulah hakikat manusia dan martabatnya.

Manusia kaya raya yang rumah dan penghasilannya lebih tinggi dibandingkan orang miskin martabatnya tidak lebih tinggi. Martabat manusia inilah yang melahirkan keyakinan tentang kesetaraan manusia, bahwa manusia itu adalah sesama. Kekayaan dan kemiskinan sama sekali tidak berpengaruh terhadap martabat manusia.

Manusia yang kaya belum tentu lebih mulia tinimbang manusia miskin. Kemuliaan tidak ditentukan oleh kebendaan. Hanya orang materialis yang telah dibutakan oleh dunia yang percaya bahwa kemuliaan tergantung pada kekayaan.

Kemuliaan manusia ditentukan oleh keluhuran budi pekerti dan ketinggian moral. Tengoklah sejarah panjang manusia. Berapa orang Nabi yang dari sejak awal sampai wafatnya merupakan orang miskin? Dan berapa orang yang berpunya? Bukankah Isa A.s lahir di kandang domba bukan di istana raja. Musa A.s dipelihara keluarga raja, tetapi bukan anak atau keponakan raja. Muhammad SAW yatim sejak kecil.

Sejak dahulu kala sampai zaman Jusuf Kalla, berapa banyak manusia yang tergolong sangat kaya dan berkuasa merupakan manusia-manusia yang hina, terhina dan dihinakan. Sebut saja sebagai contoh Firaun dan Qorun.

Sekarang ini dengan sangat terang benderang kita saksikan manusia yang sangat kaya, rumah dan mobilnya mewah dan sangat banyak, tetapi tersekap dalam penjara karena korupsi. Berapa banyak pula yang dijebloskan ke panjara karena pelanggaran hukum dan moral. Ada diantara mereka kaya karena melakukan kejahatan, terutama korupsi. Ada pula yang menjadi terhina justru karena dikendalikan oleh kekayaannya.

Bukan hanya kemuliaan, kebahagiaan pun tidak sepenuhnya ditentukan oleh kekayaan. Kekayaan bisa mendatangkan kesenangan, bukan kebahagiaan. Kebahagiaan mengandung kesenangan di dalamnya, namun kesenangan belum tentu berisi dan menyebabkan kebahagiaan.

Secara statistik bisa dilihat bahwa lebih banyak orang kaya yang bunuh diri, menggunakan narkoba dan membutuhkan hiburan seperti klub malam, diskotik dan karaoke. Apakah ada orang bahagia bunuh diri dan kecanduan narkoba?

Kebahagiaan bukan tentang seberapa banyak harta yang dimiliki, seberapa luas dan mewah rumah yang ditempati, seberapa banyak mobil dan uang yang dipunyai. Kebahagiaan adalah soal hati dan fikiran. Seberapa tulus hati mampu bersyukur dan menikmati apapun yang dimiliki, bahkan mensyukuri dan menikmati ketidakpunyaan. Kebahagiaan adalah tentang seberapa positif fikiran menghadapi hidup yang penuh tantangan dan cobaan.

Itulah sebabnya rumah mewah, makanan yang mahal dan enak bukanlah syarat yang harus dipenuhi untuk merasakan dan menghayati kebahagiaan. Hati yang tulus dan selalu lapang, fikiran yang selalu terbuka dan positif adalah syarat utamanya.

Kelebihan manusia tidak terbatas pada kepemilikan harta. Juga bisa berupa tingkat pendidikan. Manusia bisa berbeda karena tinggi rendahnya pendidikan yang pernah dijalani, sehingga ada pembedaan antara manusia terpelajar dan kurang atau tidak terpelajar.

Apakah manusia yang terpelajar lebih baik dibandingkan yang kurang atau tidak terpelajar sama sekali?

Manusia terpelajar biasanya lebih baik dalam hal-hal teknis seperti pekerjaan, dan penghasilan. Tetapi sebagai manusia belum tentu mereka lebih baik dibandingkan manusia yang kurang atau tidak terpelajar.

Seharusnya manusia terpelajar lebih baik perilaku, tindakan, sifat dan sikapnya jika dibandingkan manusia yang kurang terpelajar. Karena mereka lebih berpengetahuan, memiliki daya analisis dan kritis yang lebih tajam sehingga mampu membuat berbagai keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Proses pendidikan yang lama mestinya membuat mereka lebih matang, dewasa, dan bijaksana. Memiliki integritas dan komitmen yang lebih baik.

Tetapi apakah dalam kenyataan hidup selalu seperti itu? Barangkali tidak selalu. Kita sering menemukenali manusia terpelajar terlibat kasus korupsi, tidak jujur dan tidak berdisiplin, kurang bertanggungjawab, bahkan tidak pedulian, ada pula yang tidak tahu malu. Seringkali mereka tidak konsisten dan kurang menunjukkan integritas. Kesannya, keterpelajaran dan kecerdasannya hanya digunakan untuk memenuhi ambisi dan kepentingan sendiri dan kelompok, bahkan dengan cara-cara preman jalanan.

Banyak diantara mereka yang tidak mampu menunjukkan kematangan dan sikap dewasa. Suka seenaknya. Mencela karya dan hasil pekerjaan orang, padahal dirinya yang merupakan manusia terpelajar tidak memiliki karya yang dapat dibanggakan.

Di dalam pesawat terbang, sekumpulan orang terpelajar yang bergelar profesor doktor pernah ribut dengan pramugari karena tidak terima saat diminta mematikan telepon genggam pada waktu pesawat akan lepas landas. Kejadian itu menunjukkan betapa rendah disiplin dan kepedulian mereka atas keselamatan bersama. Kesannya mereka orang jalanan yang sama sekali tidak makan sekolahan.

Kebaikan sebagai manusia boleh jadi bisa ditentukan oleh tingkat pendidikan. Namun, dalam kenyataan tidak selalu seperti itu. Sebab kebaikan sebagai manusia lebih ditentukan oleh kejernihan dan keteguhan hati dan fikiran untuk setia, konsisten, dan konsekuen mengikuti dan menjalankan suara hati dan berbagai norma yang berlaku universal.
Karena itu keterpelajaran atau tingkat pendidikan tidak bermakna bila tidak mampu memberi pengaruh pada kejernihan dan keteguhan hati dan fikiran. Penelitian-penelitian mutakhir tentang otak di dalam neurosains menunjukkan bahwa seringkali manusia yang memiliki tingkat kecerdasan intelektual tinggi sebagai tanda keterpelajaran, gagal dalam kehidupan sosial, menjadi pecundang di tempat kerja, dan virus berbahaya dalam lingkungan sosial.

Apakah manusia yang terpelajar lebih terhormat?

Mestinya begitu. Sebab mereka dapat menjadi teladan bagi orang di sekelilingnya. Karena seharusnya mereka bisa membantu memetakan masalah masyarakat dan mencarikan solusinya. Menjadi inovator untuk mencaritemukan apapun baru, pelopor perubahan menuju peningkatan kehidupan bersama. Pokoknya manusia terpelajar itu harus menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang di sekitarnya.

Pastilah ada manusia terpelajar yang menjalankan fungsi-fungsi tersebut, dan mereka dihormati. Namun dalam kehidupan nyata, bukan hanya keterpelajaran yang membuat manusia menjadi terhormat. Manusia terpelajar banyak yang dihinakan karena menjadi manusia yang merugikan orang lain, mengejar kepentingan dan ambisi pribadi dengan cara-cara yang tidak pantas.

Dalam situasi seperti itu tidak sedikit manusia biasa yang kurang terpelajar mampu tunjukkan komitmen dan konsistensi luar biasa dalam kepedulian pada orang lain, membantu sesama, memberikan dan melaksanakan berbagai solusi praktis atas beragam masalah masyarakat, dan dalam jangka panjang mengabdikan diri pada kepentingan orang banyak.

Tengoklah dalam masyarakat kita siapakah yang paling peduli pada anak yatim, orang miskin, anak jalanan, korban kekerasan, korban bencana alam, penderita hiv/aids, korban kecanduan narkoba? Apakah manusia terpelajar atau bukan? Siapakah yang peduli dan menemukan solusi atas masalah sampah, listrik pedesaan, kompor sederhana dan murah bagi orang miskin, penataan lingkungan kumuh agar layak huni? Agaknya lebih banyak dilakukan manusia biasa yang rendah pendidikannya.

Semua fakta yang terjadi di dalam masyarakat menegaskan bahwa kehormatan yang diperoleh sebagai manusia tidak selalu tergantung pada tingkat pendidikan. Tetapi pada ketulusan dalam mengabdi dan peduli, komitmen jangka panjang untuk memberdayakan masyarakat, dan kemampuan berkarya untuk kemanusiaan.

Hal yang sama berlaku bagi kesholehan. Agamawan yang sangat memahami agama dan hafal kitab suci belum tentu lebih sholeh dari orang biasa yang pemahamannya tentang agama hanya pas-pasan. Karena kesholehan bukan sekedar soal pemahaman, tetapi lebih pada perbuatan nyata.

Bukankah semua agama mengajarkan pentingnya berbuat baik atau amal sholeh? Agama tidak pernah berhenti pada pemahaman dan ibadah. Pemahaman dan ibadah itu harus melahirkan tindakan berupa amal sholeh. Inilah yang menentukan kesholehan.

Apa gunanya manusia rajin ke rumah ibadah dan melakukan berbagai ritual ibadah, tetapi tidak peduli pada tetangganya yang sakit atau mendapat musibah? Di dalam Islam ada cerita tentang seorang pelacur yang masuk syurga karena memberi minum anjing yang hampir mati kehausan. Isa A.s membagi-bagi makanan pada semua orang, dan tidak peduli apakah dia akan mendapat bagian dari makanan itu. Inilah sekelumit contoh amal sholeh. Kesholehan tergantung perbuatan atau amal sholeh, bukan kedalaman pemahaman.

Karena itu peluang masuk syurga juga tidak ditentukan pada pemahaman mendalam terhadap ajaran agama sebagaimana dimiliki para agamawan. Namun sangat tergantung pada bagaimana ajaran agama itu diujudnyatakan dalam kehidupan keseharian. Hakikinya agama adalah tindakan, bukan sekadar pemahaman, apalagi hafalan.

Dibutuhkan konsistensi jangka panjang untuk terus menerus secara berkelanjutan berbuat baik, kapan, dimana pun, dan kepada siapa saja. Pastilah yang paling sulit nenjaga konsistensi jangka panjang itu. Konsisten berbuat baik, itulah yang menentukan. 

Pada zaman Nabi Muhammad SAW ada cerita tetang seorang lelaki yang sangat perkasa dalam peperangan. Keberanian dan semangat bertempurnya amat luar biasa. Semua orang yang melihatnya yakin jika gugur ia akan mati syahid. Nabi Muhammad SAW menyatakan sebaliknya. Benar saja, lelaki itu akhirnya mati bunuh diri. Rupanya ia terkena beberapa sabetan pedang yang membuat tubuhnya tersayat terkuka. Lelaki itu rupanya tidak mampu menahan sakit. Karena merasa sangat sakit, ia kemudian bunuh diri.

Tidak gampang masuk syurga. Pastilah tidak bisa masuk syurga jika manusia hanya paham ajaran agama, apalagi sekadar menghafal kitab suci. Bertindak, berperilaku dan berbuat baik dalam jangka panjang, itulah kunci penentunya.

Semua manusia memang berbeda. Ada manusia yang lebih kaya, lebih terpelajar, dan lebih paham agama dibandingkan manusia lain. Tetapi perbedaan itu tidak membuat yang berlebih menjadi lebih tinggi, dan lebih hebat.

Hakikinya semua manusia memiliki martabat. Martabat itu melekat dalam kemanusiaannya. Manusia bermartabat karena ia adalah manusia. Bukan karena kekayaan, pendidikan dan pemahaman agamanya.

Karena semua manusia itu bermartabat, maka manusia adalah sesama. Sebagai sesama, semua manusia harus saling menghormati. Bila ada manusia yang ngotot menjadikan perbedaan untuk merendahkan dan menghina manusia lain, sebaiknya dia diingatkan bahwa kotoran semua manusia sama busuknya, dan ingus semua manusia sama menjijikkan.

Sama sekali tak ada alasan menjadikan perbedaan antar manusia sebagai dasar untuk merendahkan dan menghina sesama manusia.

SEMUA MANUSIA BERMARTABAT, MANUSIA ITU ADALAH SESAMA YANG HARUS SALING MENGHORMATI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd