Senin, 30 November 2015

ISTIRAHAT DALAM DAMAI DAN BAHAGIA, PROF

(Doa dan Penghormatan bagi Prof. Dr. Yusufhadi Miarso, M. Sc.)

Kala kematian nyamper, manusia bagai tisu yang terendam dalam pusaran air kencang. Sama sekali tak berdaya. Pasrah menyerah. Inilah takdir niscaya bagi manusia. Siapa pun manusia itu. Semua manusia.

Kematian adalah kelelapan sangat lama tanpa mimpi. Masa penantian entah sampai kapan. Sampai akhirnya kiamat tiba. Kematian adalah rehat, istirah panjang setelah arungi kehidupan yang penuh tantangan, godaan, cobaan, suka, dan duka, tawa dan air mata.

Kematian adalah migrasi revolusioner. Perubahan luar biasa. Dari hidup yang penuh dinamika, gerak maju tanpa henti, tumbuh mekar terus menerus, kemungkinan relatif tanpa batas, berubah total pada kediaman total, statis tanpa gerak, kekakuan sempurna, dan akhir segala kemungkinan.

Meski begitu, kematian bukanlah terminal akhir. Sekadar halte persinggahan. Menuju tujuan akhir yang pencapaiannya sangat ditentukan oleh apa yang telah kita lakukan sepanjang hidup yang terasa sangat  sekejap.

Kita tak pernah tahu kapan kematian itu nyamper. Memindahkan kita secara revolusioner ke alam barzah, menjadi ruh yang menanti. Menanti dalam diam (?)

Sungguh berhadapan dengan kematian, kita tak punya pilihan dan kesempatan. Terasa mengerikan karena sangat misterius. Bagi yang ditinggalkan merupakan kesedihan mendalam karena tak ada lagi kesempatan bernuka-muka sebagai sesama. Tak ada jaminan bisa bertemu lagi.

Kesedihan itulah yang terasa saat menerima khabar Prof. Dr. Yusufhadi Miarso M. Sc. berpulang. Meski tidak pernah menjadi muridnya secara formal, banyak ilmu dan keteladanan yang saya dapatrasakan.

Reputasinya dalam bidang teknologi pendidikan sangat luar biasa. Beliau merupakan salah seorang penggagas dan pelopor lahirnya televisi pendidikan Indonesia, dan pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran. Sejumlah buku yang ditulisnya dalam bidang ini menjadi rujukan sampai saat ini.

Namun melampuai itu semua, Beliau adalah seorang teladan dalam pencarian, kekritisan, konsistensi, keberanian dan ketegasan.

Beliau adalah guru besar yang paling banyak membuat surat terbuka kepada para pimpinan kampus dari berbagai periode dan tingkat untuk mengingatkan agar tetap berada pada jalan yang mereka janjikan saat berkampanye sebelum dipilih menjadi pimpinan. Agar para pimpinan tidak berbuat sesuka hatinya, apalagi sampai mengingkari janji-janjinya.

Sebab Beliau sangat meyakini bahwa kampus bukanlah lembaga politik yang hanya fokus pada kuasa dan kekuasaan. Karena itu janji kampanye tidak berfungsi sebagai "jualan kecap nomor satu" yang bisa diabaikan saat berkuasa. Janji kampanye adalah visi, misi, tujuan dan strategi yang harus diujudnyatakan sebagai wahana untuk meningkatkan kualitas anak bangsa menyongsong masa depan.

Beliau juga menolak keras gagasan menjadikan kampus sebagai lembaga yang hanya berkutat pada keuntungan-keuntungan ekonomis. Oleh karena itu, Beliau menentang keras pembukaan kelas jauh yang sangat diminati banyak pejabat. Sebab penyelenggaraan proses pembejarannya dilaksanakan mirip transaksi di pasar induk. Siapa yang memiliki modal paling banyak mendapatkan barang dan jasa paling baik. Pendidikan adalah interaksi sesama manusia, bukan transaksi pedagang dengan pembeli.

Beliau sangat menyadari resiko tindakannya. Untuk waktu yang sangat panjang Beliau menjadi "orang luar dan orang lain" di almamaternya sendiri. Ia tidak pernah menunjukkan rasa penyesalan atas resiko yang ditanggungnya. Tetap bahagia, positif dan produktif. Itulah yang membuatnya tetap menjadi dosen yang menarik, favorit, dan sangat disenangi, serta dihormati.

Meski sepuh dan memiliki reputasi tinggi, ia sangat terbuka dan akrab terutama dengan mahasiswa strata satu. Menyediakan waktu untuk berdiskusi hangat di lorong-lorong dan jalanan kampus. Hangat dan penuh canda. Mau dan mampu menyimak dengan empatis. Bersedia dikritik dan tidak sungkan menerima masukan.

Kesediaanya didatangi ke rumah untuk berdiskusi dan membawakan buku ke kampus agar mahasiswa bisa dengan cepat dan mudah mengerjakan tugas dan karya ilmiah merupakan sikap guru sejati yang semakin langka sekarang ini. Ketelitiannya saat memeriksa pekerjaan mahasiswa dan kemauan mendengarkan argumentasi mereka, sungguh sikap yang menumbuhkan semangat.

Apapun keadaannya sebagai konsekuensi dari sikap kritis dan keberaniannya, sama sekali tidak mengganggu semangat pengabdian dan kehendak untuk berbagi dengan sejawat dan mahasiwa. Beliau tampaknya konsisten menjalani sikap seperti namanya. Bukankah Nabi Yusuf As yang menjadi panutan namanya adalah manusia yang semakin matang, kuat, dan bijak justru karena terus menerus diganggu, difitnah dan dihancurkan, justru oleh saudara-saudaranya sendiri?

Beliau sungguh sabar dan tegar. Pun saat dalam waktu yang sangat pendek sekaligus kehilangan istri dan anaknya. Pastilah secara psikologis sangat memukul dan meremukkan. Gurat kedukaan sangat tampak pada wajahnya sebagai akibat musibah itu. Namun, justru pada saat inilah sangat tampak kekuatan, kesabaran, dan ketegarannya.

Beliau tunjukkan, karena hidup terus berjalan dan yang masih hidup harus berbuat bagi yang lain, memberi kemanfaatan sebanyak mungkin, pekerjaan dan pengabdian tetap berjalan. Seakan kejadian yang sangat memukul itu hanya gajlukan kecil dalam perjalanan panjang menuju capaian akhir.

Beliau tak kenal lelah dan semakin bersemangat. Tambah sepuh memang. Namun semangat kritis, keberanian untuk bersuara keras dan berbeda tetap tidak mengendur. Konsistensi dalam kekritisan dan keberanian menerima resiko tampaknya merupakan jalan yng dengan sadar telah dipilih. Dengan semangat itu Beliau berpulang.

Selamat jalan Prof. Istirahlah dalam damai dan bahagia di sisiNya

PROF. YUSUFHADI MIARSO ADALAH TELADAN UNTUK KEKRITISAN, KEBERANIAN, DAN KOSNSISTENSI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd