Kematian adalah kepastian tanpa syarat. Mati tidak mempersyaratkan apapun, tidak harus sakit atau tua terlebih dahulu. Bayi dalam kandungan bisa dijemput kematian. Orang yang sehat bisa mendadak meninggal. Fakta inilah yang membuat kematian misterius, dan bagi sebagian orang dirasakan sebagai kengerian.
Terasa ngeri karena kita tak pernah tahu bagaimana kematian akan menyambangi. Apakah seperti seorang karib yang datang dengan rasa kangen karena lama tak bersua, seperti petugas kelurahan yang hendak melakukan sensus, atau seperti gerombolan 'debt colector' yang dengan muka marah dan suara keras kasar menagih hutang. Semuanya sepenuhnya tergantung pada kebaikan kita selama mengarungi kehidupan. Bagaimanapun caranya, kematian pasti datang.
Kemarin pagi kematian nyamper seorang karib yang sangat baik, Acmad Sopandi Hasan. Ia pribadi yang sangat unik. Baginya hidup adalah pencarian tanpa batas, tak kenal lelah.
Ia seorang dosen dan pelukis, namun semangatnya adalah pencari-penemu. Ia bukan tipe pelukis yang karyanya pas-pasan, tetapi asyik berteori di pusat kesenian atau seminar yang membicarakan senirupawan besar macam Picasso, Rembrant dan Salvador Dalli.
Sopandi tidak punya waktu untuk omong kosong kayak gitu. Ia bekerja bagai antropolog. Selama masa yang sangat panjang ia melakukan kajian dengan semangat empatis peneliti kualitatif ke Baduy Dalam, dan pedalaman Kalimantan, Sumatera, Sulawesi serta Papua.
Ia tidak sekadar datang, tetapi tinggal untuk waktu lama bersama orang-orang pedalaman. Ia bukan hanya menggali seni rupa mereka, namun menukik sangat dalam pada filosofi hidup mereka. Dengan cara itulah ia kemudian mewartakan Baduy pada dunia lewat lukisan karyanya. Sungguh seni rupa kehidupan. Seni rupa yang beranjak dari denyut jantung kehidupan manusia dalam kehidupan nyata. Seni rupa yang lahir dari pencarian mendalam ke jantung-jantung kehidupan.
Tidak mengherankan bila ia mengembangkan cara mengajar yang sangat berbeda. Ia tidak mau membuang waktu terlalu lama bersama mahasiswa di kelas dan studio. Ia bawa mahasiswa ke alam nyata.
Ia memberi kesempatan sangat luas pada mahasiswa untuk belajar dan menggali alam. Ia mau tunjukkan bahwa kampus terbaik adalah masyarakat, dan kurikulum utama adalah kehidupan.
Ia mendorong mahasiswa untuk memanfaatkan bahan-bahan yang disediakan alam untuk berekspresi dan berkreativitas dalam seni rupa. Sebagai penggiat pencinta alam, Sopandi paham betul akibat buruk penggunaan bahan-bahan kimia dalam seni rupa dan kehidupan.
Ia pernah mengajak mahasiswa membersihkan pohon-pohon di pinggiran jalan Jakarta dari paku yang digunakan untuk memasang iklan. Ia ingin mahasiswa mengalami dan merasakan bahwa seni rupa harus terkait dengan kehidupan.
Bukankah Jakarta sudah sangat dicemari oleh polusi iklan yang secara kasar dan sembarangan menghancurkan pohon-pohon. Keindahan harus dimulai dari menjaga harmoni manusia dengan alam. Melalui seni rupa, Sopandi menanamkan filosofi hidup dan kehidupan. Cara ini pasti lebih baik dibandingkan mendengarkan dosen berkicau ngalur ngidul di ruang kelas yang sempit dan pengap.
Pastilah gaya Sopandi yang tidak biasa ini dirasakan sebagai gangguan bahkan ancaman bagi sejumlah dosen lain, bahkan pimpinan jurusan dan fakultas. Itulah sebabnya untuk waktu yang tidak pendek, Sopandi lebih dipersepsi dan dirasakan sebagai kerikil di sudut mata. Ia sering difitnah dan dikucilkan.
Ini tidak mengherankan karena kebanyakan institusi pendidikan kita dikelola bagai birokrasi kelurahan atau pabrik makanan cepat saji. Bukan sebagai ladang persemaian dan peragian bagi bibit-bibit terbaik bangsa ini.
Sama sekali tidak mengejutkan karena di tempat Sopandi mengabdi, dosen yang rajin menggesekkan jarinya di mesin absen lebih dihargai daripada dosen yang berani berkorban untuk memberikan yang terbaik bagi mahasiswa.
Justru situasi penuh tekanan itulah yang tampaknya menggairahkan semangat pencariannya. Ia makin sering menjelajahi hutan-hutan pedalaman, pegunungan, bukit-bukit batu, bahkan merambah pertambangan di Kalimantan.
Pencarian dan keletihannya tidak sia-sia. Sopandi mendunia sebagai penemu bahan-bahan alam ramah lingkungan untuk batik dan seni rupa. Namanya bahkan diabadikan menjadi Warna Alam Sopandi.
Sopandi adalah guru sejati. Ia tidak menyederhanakan seni rupa menjadi sekadar garis, bentuk dan warna. Ia menjadikan seni rupa sebagai wahana untuk memahami, menghayati dan memaknai kehidupan.
Ia tidak menjadikan pendidikan sekadar interaksi antara mahasiswa dan dosen untuk menjalani kewajiban mengisi daftar presensi. Ia tidak mau menjejali mahasiswa dengan teori-teori yang dibangun di negeri lain yang belum tentu sesuai dengan nafas kehidupan kita.
Selamat jalan karibku. Damailah di sisi Ilahi, dalam kebahagiaan.
GURU SEJATI MEMEKARKAN KESADARAN TENTANG MAKNA KEHIDUPAN.
Rabu, 25 November 2015
SENI RUPA KEHIDUPAN (DOA BAGI ACHMAD SOPANDI HASAN, Ph. D)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd