Saat pilpres, pasangan JKW-JK menawarkan Nawa Cita. Sebuah rumusan tentang apa yang akan dituju oleh pasangan ini. Jika menggunakan bahasa sehari-hari, rumusan itu mirip cita-cita yang harus diusahakan dan dicapai jika keduanya terpilih.
Rumusan Nawa Cita itu sungguh padat dan penuh makna. Secara lengkap inilah isinya,
1. Kami akan menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim.
2. Kami akan membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya.
3. Kami akan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
4. Kami akan menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya.
5. Kami akan meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program Indonesia Pintar wajib belajar 12 tahun bebas pungutan.
6. Kami akan meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya.
7. Kami akan mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.
8. Kami akan melakukan revolusi karakter bangsa, melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan.
9. Kami akan memperteguh Kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia, melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebhinekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga.
Rumusan Nawa Cita sungguh luar biasa bagus dan sangat bermakna. Sangat tepat pada cita pertama ditekankan menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara. Mengapa sangat tepat?
Karena selama kekuasaan Orde Baru dan era reformasi, negara lebih sering hadir sebagai pihak yang memata-matai rakyat dan melakukan intimidasi, terutama terhadap mereka yang berbeda pendapat dengan pemerintah. Sejumlah peristiwa dapat digunakan sebagai pengingat bahwa negara sering tidak hadir, justru ketika sangat dibutuhkan.
Sulit rasanya melupakan kasus Kedung Ombo, pembantaian masyarakat di Lampung saat Hendropriyono bertugas di sana, tragedi Tanjung Priok yang membawa nama Tri Sutrisno dan L.B. Moerdani, operasi militer di Aceh dan Papua, teror terhadap penandatangan petisi 50, hilangnya sejumlah aktivis yang membawa-bawa nama Prabowo, terbunuhnya Munir yang kembali memunculkan nama Hendropriyono, dan sejumlah besar pelanggaran HAM yang sampai kini belum ada tanda-tanda penyelesaiannya.
Masih sangat terpateri dalam ingatan kita tentang serangkaian konflik mengerikan terjadi saat Orde Baru runtuh. Sepanjang 1999 sampai awal tahun 2000an, secara beruntun terjadi kerusuhan dan konflik Ambon, Poso, dan Sampit yang menyebabkan ribuan warga negara tewas secara sadis, dan mengerikan. Di Sampit, diduga ratusan orang termasuk para bayi dan ibu hamil ditemukan mayatnya tanpa kepala.
Sulit rasanya memisahkan semua kerusuhan ini dengan kerusuhan yang terjadi saat Orde Baru hancur berantakan. Saat itu kerusuhan yang muncul sangat terpola, dan diduga dilakukan oleh orang-orang yang sangat terlatih. Sayangnya, kita belum pernah bersungguh-sungguh membongkar, kejahatan apa dan siapa yang telah memungkinkan semua kerusuhan mengerikan itu terjadi secara massif nyaris di seluruh Indonesia.
Spekulasi beredar bahwa anasir-anasir kekuatan Orde Barulah yang paling mungkin melakukan kerusuhan yang massif dan terpola itu. Kita tak pernah tahu, siapa sesungguhnya dalang semua kerusuhan itu. Satu hal yang paling pasti, saat semua itu terjadi, kita tidak tahu, negara lagi pleserin kemana? Akibatnya rakyat menjadi korban, dibantai dengan sangat mengerikan.
Konflik dan kerusuhan itu dinyatakan telah selesai, meski bisa tiba-tiba muncul kembali. Namun, trauma yang berbekas menjadi luka di dalam sistem otak para korban, tak akan pernah benar-benar pulih. Artinya, konflik dan kekerasan yang terjadi karena negara entah lagi dimana, menyemai benih dendam dalam banyak benak orang. Ingatlah, perlawanan rakyat dan anak muda Palestina tak akan pernah surut dan berakhir. Salah satu penyebabnya adalah sisa luka yang tak pernah bisa hilang dalam benak hampir semua orang Palestina karena kekejaman Israel.
Ketakhadiran negara sungguh bisa membawa akibat yang sangat jauh berjangka panjang. Itulah sebabnya, kita menyambut dengan antusias Nawa Cita JKW-JK. Karena menegaskan kehadiran negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara. Sudah sangat lama kita mencita-citakan kondisi ini.
Agaknya, sebagian orang akhirnya menjatuhkan pilihan pada JKW-JK karena butir kedua dalam Nawa Cita yaitu
2. Kami akan membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya.
Sudah sangat lama kita menyaksikan dan menjadi korban pemerintahan yang korup, tidak demokratis, tidak bersih dan tidak efektif. Dulu, sebagian besar rakyat memilih SBY karena yakin ia akan mampu menciptakan pemerintahan yang bersih, tidak korup dan efektif. Karena sangat percaya, sebagian besar rakyat memilihnya sampai dua kali.
Namun, rakyat kemudian menghukum SBY dan Partai Demokrat karena terbukti secara sah dan meyakinkan, banyak kader Partai Demokrat yang terjerat kasus korupsi. Tidak tanggung-tanggung, ketua umum, bendahara dan petinggi partai lainnya. Sebagian kita sungguh merasa dikibulin. Akibatnya Partai Demokrat dihukum oleh rakyat pada pemilu 2014.
Nawa Cita JKW-JK kita rasakan sebagai solusi dan harapan akan Indonesia yang lebih baik. Kita sungguh sangat menginginkan pemerintah yang bersih, efektif dan terpercaya. Sebab, kita belum pernah mengalaminya. Sekalipun, sejak kita memiliki pemerintahan.
Sejak Orde Baru, pembangunan Indonesia dirancang mengikuti model pertumbuhan yang sepenuhnya berasal dari Barat, dan sangat berorientasi perkotaan. Akibatnya kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Makasar, dan Manado tumbuh melaju cepat, menciptakan kemiskinan yang berdesakan di sudut-sudut kumuh perkotaan, dan pelosok-pelosok sepi pedesaan. Desa menjadi semakin sepi, tak berdaya dan hancur. Sektor pertanian semakin kerontang kering dan ditinggalkan, sementara itu pusat-pusat industri semakin kejam terhadap buruh dengan keterampilan dan pendidikan rendah.
Model pembangunan seperti ini membuat negara bangsa ini semakin rentan karena sangat tergantung dan ditentukan oleh kekuatan kapitalis global. Begitu rentannya, sampai-sampai Presiden Amerika Serikat kena gejala flu atau masuk angin, dan perdana menteri negara Eropa mencret-mencret mengakibatkan ekonomi kita murus-murus dan terkena cacar. Ekonomi kita sangat rapuh. Karena itu tak usah panik, ribut dan bertengkar bila nilai rupiah kita gampang goyang dan tumbang.
Oleh sebab itu, kita merasa JKW-JK menawarkan gagasan baru yang revolusioner ketika menjanjikan salah satu butir Nawa Cita yaitu,
3. Kami akan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
Kita membayangkan Indonesia akan memasuki babak baru dalam sejarahnya. Desa-desa dan daerah pinggiran akan menjadi sebentuk jejaring kekuatan ekonomi baru yang kuat. Paling tidak jalan menuju suasana "ijo royo-royo", pertanian dan desa yang tumbuh makmur sebagai penyeimbang kota yang sudah melampaui titik jenuh pembangunan akan terjadi.
Seorang teman yang terlalu banyak membaca buku tentang revolusi komunis di Cina, antara lain melalui buku Naga Merah, sampai menilai JKW boleh jadi mendapat inspirasi dari gagasan Mao Tse Tung tentang desa mengepung kota. Saya merasa, teman itu agak lebay, karena konteks sosial, budaya, ekonomi dan politiknya sangat berbeda.
Bila ketiga butir utama ini dapat diujudkan secara bertahap oleh Pemerintahan JKW-JK, maka butir-butir berikutnya pun akan terpenuhi. Kita sepenuhnya sadar dan memahami, dibutuhkan proses dan waktu untuk mencapainya. Tidak bisa dengan cara instan seperti yang diinginkan sejumlah orang.
Kita berharap, tahun pertama Pemerintahan JKW-JK melakukan langkah-langkah strategis untuk mewujudkan Nawa Cita tersebut. Membangun landasan bagi terujudnya cita-cita mulia itu. Namun, ternyata kita harus kecewa. Bahkan ada yang kecewa berat.
JKW dalam berbagai kesempatan menjanjikan kabinet yang ramping dan akan diisi oleh kaum profesional. Pastilah keputusan ini merupakan keinginan awal untuk melaksanakan butir kedua dari Nawa Cita. Namun, kita semua tahu, susunan kabinet tidak seperti yang dijanjikan JKW. Sangat gemuk dan banyak orang yang menurut Rizal Ramli berkualitas kw-kwan. Artinya bukan orang nomor satu dan bermutu.
Inilah kali pertama JKW secara nyata terlihat publik terlibat melakukan tawar-menawar. Pengunduran pengumuman kabinet sampai berkali-kali menunjukkan betapa alot dan sulit proses tawar-menawar itu. Untuk mengurangi tekanan, JKW akhirnya menggunakan KPK dan PPATK.
Politik hakikatnya adalah transaksi, tawar-menawar dan sering juga "tipu menipu". JKW masuk dalam kondisi yang tak terelakkan ini. Presiden, dalam demokrasi yang menegaskan adanya pembagian kekuasaan, harus menghadapi kenyataan tidak mudah membuat keputusan. Perimbangan kekuatan politik yang nyata harus dipertimbangkan betul agar tetap bisa duduk pada kursi kuasa. JKW berada dalam pusaran pertarungan yang keras karena di parlemen kekuatan pendukungnya bukanlah pemilik suara mayoritas. Tawar-menawar menjadi suatu keniscayaan. Nawa Cita karena itu menjadi Nawa(r) cita.
Kondisi ini memperhadapkan JKW-JK di persimpangan jalan. Setiap kali mau melakukan tindakan apapun harus sangat hati-hati dan mencermati dengan seksama pertarungan kekuatan yang didorong oleh beragam kepentingan yang seringkali bertabrakan.
Meski pada kenyataannya kekuatan politik tidak menguntungkan Presiden JKW, tidak berarti ia tidak memiliki kekuatan untuk tetap mengambil keputusan yang bermaksud mewujudkan Nawa Cita. Artinya, kekuasaan dan kekuatan besar yang melekat dalam jabatan presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, memungkinkan presiden untuk tetap mengambil keputusan langsung tanpa memperhatikan apa pendapat parlemen.
Presiden JKW lakukan itu saat mengumumkan kenaikan harga BBM. Saat itu bahkan PDIP sebagai partai pendukung menunjukkan sikap yang berlawanan dengan Presiden JKW. Presiden JKW berani mengambil keputusan yang potensial mendapat perlawanan dari parlemen dan rakyat.
Kita bisa berdebat sampai tak berujung tentang subsidi BBM, apakah perlu dan bermanfaat? Saat Presiden JKW memutuskan menarik subsidi yang meyebabkan harga BBM naik, sangat terasa dampak buruknya bagi rakyat. Harga-harga bahan pokok langsung melejit. Angka kemiskinan meningkat. Secara nyata keputusan ini menjauh dari butir-butir Nawa Cita yang menekankan akan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Boleh jadi Presiden JKW telah menghitung dengan cermat dan berkeyakinan bahwa menarik subsidi yang bersifat konsumtif dan merubahnya menjadi produktif, dalam jangka panjang akan memberi kesejahteraan pada rakyat. Persoalannya adalah, dalam jangka pendek rakyat miskin bertambah menderita karena kebijakan ini. Mestinya Pemerintahan JKW-JK membuat kebijakan terukur untuk menyelamatkan rakyat yang merasakan dampak langsung kenaikan BBM. Sayangnya kebijakan yang bersifat menyelamatkan itu kurang mendapat perhatian. Kondisi yang dirasakan rakyat adalah, JKW menjauhi Nawa Cita.
Nawa Cita makin terasa berubah menjadi Nawa(r) Cita saat terjadi kehebohan terkait dengan pencalonan Kapolri, Jaksa Agung, dan Kepala BIN. Juga pelaksanaan lelang jabatan yang menunjukkan betapa dalamnya intervensi partai politik dalam penentuan keputusan soal jabatan strategis.
Para pemilih JKW mulai pesimis. Apakah dengan cara-cara seperti ini masih mungkin membangun pemerintahan yang terpercaya, bersih dan efektif?
Cermati pengangkatan dan pergantian Kabareskrim Polri. Kita tidak tahu apa alasan dan pertimbangan serta dengan mekanisme seperti apa Budi Waseso ditunjuk sebagai kabareskrim. Selama menjadi Kabareskrim, Budi Waseso mengambil sejumlah tindakan yang lebih banyak bikin gaduh dan heboh. Saat ia mulai membongkar kasus Pelindo II, tiba-tiba ia diganti. Saat akan pergantian, PDIP sangat keras menentang pergantian kabareskrim, dan mendorong agar kasus Pelindo II dibongkar habis.
Pastilah sikap keras PDIP ini ada kaitannya dengan sikap Direktur Pelindo II yang mengontak Menteri Perencanaan Pembangunan yang dikenal dekat dengan JK saat diperiksa polisi. Melalui pemberitaan sejumlah media diduga memang ada keterkaitan Direktur Pelindo II dengan JK. Tak mengherankan bila partai politik kemudian mendorong penyelidikan kasus Pelindo II di DPR.
Pokok soalnya adalah mengapa kabareskrim yang baru menjabat dalam waktu singkat dicopot? Saat tuntutan masyarakat yang antara lain muncul dalam bentuk petisi mendesak kabareskrim diganti, tak ada reaksi yang berarti dari Presiden JKW, meski beberapa kali himbauan dan perintahnya seperti diabaikan terutama terkait dengan kasus Ketua dan Wakil Ketua KPK. Tetapi kabareskrim langsung diganti saat hendak membongkar habis kasus Pelindo II. Agaknya ada tawar menawar di dalam internal kekuasaan.
Rasanya gaya tawar menawar dalam transaksi kuasa berdasar kepentingan merupakan keniscayaan dalam politik kita. Sejak dulu memang begitu. Namun, kali ini mungkin sangat berbeda. Belum pernah terjadi sebelumnya Presiden dan Wakil Presiden Indonesia adalah pedagang atau pengusaha. Baru kali ini. Jadi, sangat tidak mengherankan bila model transaksi atau tawar menawar menjadi sangat kental.
Para pengusaha, modus utama pekerjaannya adalah tawar-menawar dalam transaksi yang bertujuan mencari untung. Tidak sedikit di antara mereka yang menghalalkan segala cara untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Itulah sebabnya sangat penting memastikan berjalannya mekanisme kontrol agar tawar-menawar berlangsung secara benar, efektif dan sebesar-besarnya menguntungkan rakyat. Kita harus memastikan bahwa kepentingan rakyatlah yang harus didahulukan.
Mari kita telaah penyusunan kabinet. Bisa dipastikan bahwa tawar-menawar terjadi antara berbagai pihak yang merasa berjasa atas kemenangan dalam pilpres. Saat akhirnya kabinet terbentuk, kita melihat reaksi negatif dari berbagai pihak. Ada kader PDIP yang meributkan menteri yang mengurusi energi. Sementara itu para pengamat dan pelaku dunia usaha mempersoalkan sejumlah menteri yang dirasakan sangat tidak tepat pada posisinya. Penempatan Puan Maharani, putri Megawati, paling banyak diributkan. Ada pula nama yang ditengarai terpental sesaat menjelang pengumuman. Nama Darmin Nasution dan Luhut B. Panjaitan yang digadang-gadang akan masuk, malah hilang. Itu artinya proses penyusunan kabinet merupakan transaksi dan tawar-menawar yang alot.
Setelah berjalan, ternyata kinerja kabinet tidak efektif terutama dalam bidang ekonomi. Terjadi kejutan, menteri Susi yang pendidikannya paling rendah dan sangat dipersoalkan saat ditunjuk jadi menteri malah jadi menteri paling populer dan memiliki kinerja paling baik. Hal ini diketahui dari sejumlah survey.
Luhut yang tidak masuk kabinet, akhirnya diangkat menjadi kepala staf kepresidenan. JK langsung bereaksi mempersoalkan. Boleh jadi ia merasa keberadaan Luhut ancaman baginya.
Meski kritik terhadap menteri-menteri ekonomi kian kencang antara lain karena rupiah merosot terus, Presiden Jokowi tetap tidak melakukan perubahan kabinet. Saat akhirnya mengganti menteri, Presiden Jokowi memasukkan Darmin dan Luhut, dan mempertahankan Sofyan Djalil yang dekat dengan JK. Sementara itu Andi Wijayanto diganti Pramono. Sangat jelas ini merupakan hasil tawar-menawar yang boleh jadi menguntungkan Presiden Jokowi dan PDIP. Namun, kita belum tahu apakah menguntungkan bagi rakyat? Apakah mampu mencapai tujuan seperti yang dirumuskan dalam Nawa Cita?
Dari persoalan yang dimunculkan oleh pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri dan akibatnya terhadap pelemahan KPK, dan lambatnya pergantian menteri yang terbukti kurang efektif, sangat terlihat Presiden Jokowi belum bisa memberikan respon yang cepat, tepat dan efektif. Ini bisa dimaklumi karena alotnya proses tawar menawar antara berbagai kekuatan politik yang ada. Kita sama sekali tidak tahu apakah kekuatan politik yang ada, yang menjadi pendukung Presiden Jokowi memiliki keseriusan dan mau fokus untuk mewujudkan Nawa Cita?
Sulit bagi kita memastikan ada apa sebenarnya ketika Rizal Ramli yang baru saja dilantik menjadi Menteri Koordinator mempersoalkan sejumlah kebijakan yang membuat JK dan orang-orangnya di kabinet jadi marah sekali. Juga kita tidak tahu akan kemana arah kabinet ini saat Rizal Ramli secara terbuka menyerang Direktur Pelindo II saat bertemu dengan DPR yang menyelidiki kasus Pelindo II.
Pastilah ada proses tawar menawar lagi di dalam internal kekuasaan bila situasinya kisruh seperti ini. Presiden Jokowi, dalam acara Mata Najwa, masih merasa semua menteri berada dalam semangat visi presiden, meski mereka terlihat tidak harmonis. Ia menegaskan, bila tidak sesuai dengan visi presiden, selesai. Artinya pasti diganti.
Boleh jadi apa yang sekarang terjadi merupakan strategi Presiden Jokowi menjaga keseimbangan untuk membuat semua pendukungnya bergantung padanya. Maklumlah sejak mula ia dicitrakan sebagai petugas partai. Baik oleh lawan maupun ketua umum partai pendukungnya.
Kita seharusnya berharap, kekuatan politik yang menyatakan diri sebagai penyeimbang yaitu Koalisi Merah Putih menjadi pengkritisi yang tajam dan bermakna. Dengan demikian mekanisme kontrol berjalan dengan baik. Pemerintah tidak bisa berbuat semaunya. Tetapi kita harus kecewa. Mereka juga gampang jatuh dalam transaksi dan tawar menawar, sebagaimana yang baru saja kita saksikan dalam pembahasan RAPBN. Sikap keras penolakan yang kemudian berubah dalam hitungan jam menunjukkan, kekuatan tawar menawar untuk kepentingan partai tampaknya lebih kuat daripada membela kepentingan rakyat.
Boleh jadi gaya Nawa(r) Cita ini akan melahirkan Nawa Cita Citata.
INDONESIA HEBAT JIKA PRESIDENNYA EMPATIS, TEGAS DAN FOKUS.
Rabu, 04 November 2015
SETAHUN JKW-JK: NAWA(R) CITA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd