Di Kota Tua, pusat perdagangan, keramaian dan hiburan tertua di Jakarta banyak dijumpai vihara. Vihara itu berada di pusat perdagangan dan hiburan. Ada di sekitar Pancoran Glodok, dan Lokasari Mangga Besar. Bahkan vihara tertua terdapat di kawasan Kota Tua ini.
Banyaknya vihara di Kota Tua tidak mengherankan. Sebab sejak zaman kolonial Belanda, keturunan Tionghoa yang kebanyakan penganut Budha, hidup dan berdagang di wilayah ini. Tentu saja ini ada kaitannya dengan Sunda Kelapa sebagai pelabuhan terbesar dan teramai pada zamannya. Sehingga Kota Tua berkembang menjadi pusat perdagangan dan hiburan.
Meski Sunda Kelapa sudah tidak lagi menjadi pelabuhan besar, karena pelabuhan besar kini ada di Tanjung Priok, KotaTua tetaplah menjadi pusat perdagangan dan hiburan. Bahkan kini bertambah hebat, besar dan ramai.
Di Kota Tua semua hiburan tersedia. Apapun ada, refleksi kaki, pijat, pijat plus-plus, spa, karaoke, diskotik, klub, dan tari erotis. Banyak hotel di kawasan ini yang menyediakan semua hiburan yang berhubungan dengan aurat dan maksiat. Rasanya tak ada wilayah di Jakarta, bahkan di Indonesia yang seerotik dan semaksiat kota tua.
Ada yang menarik di tengah pusaran hiburan ini. Beberapa meter dekat Taman Hiburan Lokasari, berdiri vihara yang berukuran besar, enam atau tujuh lantai. Berjajar dengan sejumlah hotel. Tepat di depannya di seberang jalan, bila malam tiba ada warung makanan yang meyediakan monyet, ular cobra, kodok, dan sejumlah binatang yang tak biasa dimakan kebanyakan orang. Entah kenapa penjual itu berjualan tepat di depan vihara. Mungkin sepenuhnya ketidaksengajaan.
Kemenarikan bertambah karena di bagian atas vihara itu ada Sekolah Tinggi Agama Budha. Mengapa sangat menarik? Karena Sekolah Tinggi Agama Budha tidak sama dengan Sekolah Tinggi Ekonomi atau Informatika. Sekolah Tinggi Agama Budha mendidik calon bikhu dan bikhuni yang mengabdikan diri sepenuhnya bagi agama dan umat Budha dengan hidup melepaskan semua keduniawian sebagaimana diteladankan oleh Budha. Mereka hidup dalam kesederhanaan dan vegetarian.
Sudah sangat lama menjadi tradisi, pusat pendidikan bagi para bikhu dan bhikuni biasanya di pegunungan atau daerah sepi lain yang dekat dengan alam segar seperti pinggiran hutan. Tempat yang jauh dari keramaian dan suasananya sangat alami dipilih sebagai upaya untuk mengikuti teladan Budha.
Memilih tempat pendidikan bagi bikhu dan bikhuni dalam kawasan pusat biburan pastilah keputusan yang tidak biasa, dan agaknya merupakan keputusan yang sangat berani. Karena tempat itu berada tepat di tengah hutan beton. Dengan demikian vihara dan sekolah itu menjadi bagian hutan beton dan sangat dekat dengan semua kesenangan dan kemewahan duniawi.
Pastilah para calon rohaniawan itu menghadapi tantangan sangat berat. Sebab berhadapan langsung dengan segala sesuatu yang duniawi, yang justru mau dilampaui. Kawasan itu tidak pernah sepi selama dua puluh empat jam. Semakin malam, malah semakin ramai dan riuh oleh suara kendaraan dan musik.
Dapat dipastikan sangat berat bagi para pelajar itu berkonsentrasi dalam meditasi yang menjadi keharusan utama. Di tengah hutan meditasi menjadi syahdu dalam kedamaian kicau burung dan suara dedaunan. Di sini, di hutan beton perkotaan, pasti direcoki suara motor yang knalpotnya sudah dimodifikasi. Suara knalpot yang bising dan sangat memecahkan gendang telinga. Di hutan atau pegunungan, mereka bisa nikmati indahnya bulan dan bintang yang menghiasi malam. Di sini, malam dikacaukan oleh kilauan lampu warna-warni dari berbagai pusat hiburan, terutama klub dan diskotik.
Kala sore menjelang, tidak jauh dari vihara dan sekolah tinggi itu, muncul sejumlah penjual cd lagu dan film bajakan. Mereka memutar lagu dengan sangat keras menggunakan speaker aktif. Suaranya menggema ke mana-mana. Rasanya suara lagu-lagu itu sampai ke peristirahatan para bhiku dan bhikuni. Keriuhan kota besar yang pasti sangat mengganggu. Boleh jadi, semua keriuhan itu adalah tantangan yang harus diatasi dengan cara-cara khusus. Mungkin sejak awal, semua keriuhan ini dianggap sebagai semacam ujian yang mesti diatasi.
Sering terlihat bikhu atau bikhuni berjalan di Pusat Hiburan Lokasari, dengan kepala plontos dan baju yang khas. Barangkali mereka hendak membeli kebutuhan sehari-hari. Tak terhindarkan dalam perjalanan menuju pusat perbelanjaan, mereka bertemu dengan "siluman berpakaian seksi" yang banyak berkeliaran di tempat itu. Maklumlah para "siluman" itu adalah para ABG yang setiap hari menjajakan diri, siang malam di Pusat Hiburan Lokasari.
Pertemuan yang tak sengaja itu sedikit banyak pastilah bisa jadi bahan diskusi di antara mereka. Sebagaimana semua manusia, wajar jika muncul banyak pertanyaan dalam benak masing-masing mereka. Artinya jalan menjadi rohaniawan menjadi lebih sulit dibandingkan jika mereka dididik di daerah pegunungan atau tepian hutan yang jauh dari kehidupan masyarakat.
Dalam bilik-bilik yang disejuki oleh AC, direcoki suara kendaraan tak henti, dan suasana perkotaan yang ramai selama dua puluh empat jam, pastilah meniscayakan muncul dan berkembangnya strategi-startegi baru untuk lakukan meditasi dan kebiasaan lain yang lazim dilakukan oleh para rohaniawan dalam masa pendidikan. Tantangan untuk menjadi rohaniawan semakin tidak mudah.
Perubahan-perubahan masyarakat memang memaksa semua agama untuk secara kreatif mengembangkan kemampuan meresponnya dengan cara-cara baru yang tidak biasa. Tidak biasa karena belum dilakukan sebelumnya. Tentulah respon ini bisa memunculkan kontroversi.
Mendirikan pusat pendidikan rohani untuk mempersiapkan para rohaniawan di tengah pusat hiburan memang tidak biasa dan penuh resiko. Tetapi tampaknya tidak terelakkan. Tidak mudah mencari tempat di daerah pegunungan. Karena tanah di sana sudah dikuasai orang dan harganya sangat mahal. Apalagi belakangan ini nyaris semua gunung sering erupsi. Begitupun halnya dengan hutan. Hutan-hutan kita sejak Orde Baru telah dikuasai para kapitalis, dan sering mereka bakar agar bisa dimanfaatkan untuk menanam kelapa sawit yang secara ekonomis sangat menguntungkan.
Daerah perkotaan menjadi alternatif yang harus dipilih dengan segala resikonya. Pilihan ini menegaskan bahwa hidup itu dinamis. Karena itu sering kali memaksa banyak orang harus berani mengambil resiko yang tidak biasa. "Budha" di tengah pusat hiburan adalah pertanda bahwa tantangan bagi kehidupan rohani yang benar tidak semakin mudah.
Siapa pun yang mampu atasi dan lampaui resiko dan tantangan yang sukar, pastilah menjadi pemenang sejati. Berhadapan langsung dengan resiko dan tantangan yang sukar memang butuh keberanian besar dan motivasi tinggi. Tidak semua orang mampu untuk mengatasinya, kecuali orang-orang terpilih. Orang yang mampu menetapkan tujuan dan memiliki komitmen untuk mencapainya.
SUNGGUH, MENUMBUHMEKARKAN SPIRITUALITAS SEMAKIN SULIT DAN BERESIKO.
Kamis, 31 Desember 2015
"BUDHA" DI TENGAH PUSAT HIBURAN JAKARTA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd