Kamis, 31 Desember 2015

TAHUN BARU?

(Teriring doa bagi Pak Song dan Pak Agus, semakin sehat dan bermakna)

Banyak cara untuk menandai dan mengukur perjalanan waktu. Oleh sebab itu terdapat banyak sistem penanggalan di dunia ini sejak zaman kuno. Konsekuensinya setiap tahun terjadi beberapa kali tahun baru. Beberapa yang bisa disebutkan adalah tahun baru Masehi, Hijrah, Saka, dan Cina. Masing-masing dengan perhitungan sendiri dan angka tahun yang berbeda.

Banyaknya sistem penanggalan menunjukkan bahwa manusia merupakan satu-satunya makhluk yang memiliki kesadaran waktu. Manusia mampu membicarakan, merenungkan, dan memaknai kelampauan, dan merancang keakanan, bertolak dari kekiniannya. Itulah yang menyebabkan manusia disebut sebagai makhluk yang menyejarah. Artinya ia tidak melewati waktu sebagaimana pohon dan kucing melewati waktu. Manusia memberi makna keberadaannya dalam dan dengan waktu. Meski tidak semua manusia mampu lakukan itu.

Sebenarnya sistem penanggalan bukanlah cara manusia mengatur waktu. Sebab waktu tidak bisa diatur. Waktu berjalan, melintas dan berlalu begitu saja. Tak peduli manusia mau menandainya atau tidak. Sistem penanggalan adalah tindakan cerdas manusia untuk mengatur dirinya dalam lintasan waktu. Dengan sistem penanggalan manusia bisa mencatat tanggal berapa anaknya lahir, tanggal dan hari apa bencana tsunami memporakporandakan Aceh, tanggal dan tahun berapa hari kemerdekaan negara. Tahun berapa akan menikah, tanggal berapa hendak berlibur.

Sistem penanggalan sangat membantu manusia untuk mengenang, mengatur, dan merencanakan bagaimana ia mau memaknai waktu yang berarti memaknai hidup. Dengan demikian manusia memiliki peluang menjadikan waktu sebagai kesempatan untuk bertindak, berbuat kebaikan, dan mengejawantahkan cinta bagi kemanusiaan. Waktu bukan lagi menjadi arus besar yang menghanyutkannya dalam perjalanan tanpa arah. Waktu bukan pedang yang mencincang hidupnya, waktu bukan penjara yang memerangkapnya dalam monotoni dan kebosanan.

Waktu berkisar dari detik ke detik, dari saat ke saat. Dalam kisaran itu kita hidup. Agar tidak gamang, dan ada sedikit kepastian kita menandai kisaran itu dengan sistem penanggalan. Jadi, ketika kita menyebut besok tahun baru, sebenarnya itu hanya sebuah istilah yang kita ciptakan sebagai sebuah penanda. Jika sekarang ini kita berkali-kali melewati tahun baru dalam satu tahun, karena terdapat banyak sistem penanggalan, semuanya menegaskan bahwa kesadaran dan istilah itu sepenuhnya hanya bisa-bisanya manusia. Sejatinya, waktu terus mengalir, kita maknai sebagai tahun baru atau tidak.

Sebenarnya apa yang baru? Karena sepenggal waktu yang kita tandai dengan penaggalan sudah berlalu? Apakah kata baru yang kita lekatkan pada tahun merupakan ungkapan kita berharap akan ada sesuatu yang baru? Apakah sebenarnya makna kata baru?

Misalkan kita memiliki baju baru. Itu artinya baju kita bertambah. Pasti ada perberdaan antara baju baru itu dengan baju lama, meski sama-sama baju. Mungkin yang berbeda itu warna, gaya, atau mereknya.

Tahun baru? Apakah ada yang bertambah? Yang pasti jatah umur atau jatah hidup kita berkurang. Setiap kali sampai pada tahun baru, usia dan kesempatan hidup kita berkurang. Apakah pantas menyebut tahun baru, padahal kesempatan hidup kita malah berkurang?

Boleh jadi harta, uang, rumah, mobil kita bertambah pada tahun yang baru nanti. Tetapi setarakah semua penambahan itu dibandingkan kesempatan hidup yang semakin berkurang? Hakikinya tahun baru mendekatkan kita pada kematian.

Dalam kaitan inilah kita pantas merenungkan kebenaran ungkapan ini,

Demi waktu,
Sesungguhnya manusia merugi.
Kecuali orang-orang yang beriman dan berbuat kebaikan, dan saling menasihati untuk kebenaran, dan saling menasihati untuk kesabaran.
(Al Qur'an, 103:1-3).

Ribuan tafsir telah dibuat untuk memaknai ayat-ayat Al Qur'an ini. Dalam konteks tahun baru yang dari tahun ke tahun dibikin heboh dengan kembang api dan pesta, kita pantas bertanya. Apakah manusia tidak merasakan kerugian itu? Apakah perjalanan waktu yang telah dilaluinya, dilewati dengan mewujudkan kebenaran menjadi kebaikan? Apakah ia telah bersabar menghadapi semua ujian, tantangan dan cobaan hidup? Apakah sudah mengusahakan untuk saling menasehati dengan dan dalam kebenaran dan kesabaran? Seberapa kebaikan yang telah sempat dikerjakan?

Kalkulasi merugi ini tidak dilakukan setiap akhir tahun, menjelang tahun baru. Seharusnya minimal setiap hari. Karena jika sering dilakukan maka upaya untuk menjadi lebih baik dan bermakna sangat terbuka. Bila dilakukan menunggu akhir tahun, dalam rangka tahun baru pastilah tidak efektif dan kurang bermakna.

Sementara itu dalam Injil, Pengkhotbah 3:1-8 diuraikan,

3:1 Untuk segala sesuatu ada masanya,   untuk apapun di bawah langit ada waktunya; 3:2 Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut   yang ditanam; 3:3 ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan; ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun; 3:4 ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari; 3:5 ada waktu untuk membuang batu, ada waktu untuk mengumpulkan batu; ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk; 3:6 ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang; 3:7 ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit; ada waktu untuk berdiam diri,  ada waktu untuk berbicara; 3:8 ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai.

Injil tidak menguraikan tanggal, bulan dan tahun. Tetapi yang lebih hakiki dari sistem penanggalan, yang menjadi dasar sistem penanggalan tanggal, bulan dan tahun yaitu waktu. Hakikinya waktu tidak terikat dengan tanggal, bulan dan tahun. Sedangkan manusia mengikatkan diri dengan sistem penanggalan itu, dan sering lupa pada hakikatnya yaitu waktu yang terus berjalan dan berlalu. Melindas dan menghanyutkan manusia dalam kesibukan keseharian, yang seringkali membuatnya justru lupa pada dirinya sendiri. Pada tujuan hidup yang lebih bermakna.

Manusia memang diberi kebebasan untuk bertindak, berkegiatan dalam waktu. Injil menggambarkan beragam tindakan yang terjadi dalam waktu. Untuk setiap tindakan ada waktunya.

Namun, dalam kebebasan yang diberikan pada manusia, manusia harus cerdas dan cermat untuk memilah, memilih dan mengolah, tindakan dan kegiatan apa saja yang harus dilakukannya agar hidupnya sungguh bermakna bagi diri, sesama dan Tuhan. Sebab waktu yang tersedia bagi manusia untuk memaknai waktu dan hidup teramat sangat terbatas.

WAKTU BERLALU DAN KITA SEMAKIN DEKAT PADA KEMATIAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd