Sore yang ramai. Sekarang sudah waktunya liburan akhir tahun. Senayan City dipadati pengunjung. Cukup ramai untuk awal pekan. Kursi-kursi resto dipenuhi pengunjung. Mayoritas kumpulan ABG dengan celana dan rok yang amat pendek dan baju kaos ketat. Mereka adalah ABG kelas atas yang tampilannya mahal. Semua yang dikenakan, dari sepatu sampai asesori, tampak sangat mewah keluaran merek-merek terkenal, kecuali yang mengenakannya tak memiliki merek, karena ciptaan Tuhan, bukan barang pabrikan.
Semuanya menggunakan telepon genggan dari merek yang sama dengan jenis yang berbeda. Kebanyakan menggunakan Iphone S6, beberapa berjenis Rose Gold dan S6 plus yang berukuran besar. Harganya sangat mahal. Bisa untuk bayar kuliah minimal empat semester di parguruan tinggi negeri. Semua ABG itu menggunakan dua telepon genggam, ditambah pula gadget lain seperti tabs atau ipad.
Orang-orang yang berseliweran juga mengenakan pakaian bermerek terkenal. Pada umumnya para wanita menggunakan gaun yang seksi. Termasuk yang mengenakan jilbab. Kebanyakan penganut jilbobs. Mengenakan jikbab, tetapi pakaiannya ketat mendedet.
Inilah potret kelas menengah atas dan kelas atas Jakarta. Mal dengan desain mewah, berisi outlet dari merek-merek kelas dunia. Para pengunjung mengenakan pakaian dan segala macam asesori yang pasti tidak murah, berseliweran dari lantai ke lantai. Sebagian nongkrong santai di berbagai resto yang didesain terbuka. Sungguh tempat yang sangat nyaman bagi mereka yang banyak duit.
Kebanyakan pengunjung membawa tas plastik atau tas kertas berisi belanjaan yang berukuran sedang dan besar. Ada merek produk atau toko di bagian luar tas. Boleh jadi banyak pengunjung menikmati diskon besar menjelang natal dan tahun baru.
Di lobby utama lantai dasar dipenuhi segala sesuatu tentang Star Wars. Film yang sedang laku dan digemari banyak orang. Disediakan tempat berfoto dengan tokoh-tokoh dalam film itu, pesawat dan berbagai lokasi yang terdapat dalam film Star Wars. Namun yang paling menonjol adalah outlet penjualan segala sesuatu yang diberi lebel Star Wars. Mulai dari temoat minum, mainan, baju, sampai semua asesori Star Wars. Keseluruhannya adalah strategi jitu kapitalis untuk mengeduk duit orang kaya yang suka ke mal. Orang dibuat bangga dengan segala sesuatu tentang Star Wars. Rada absurd memang.
Tidak sedikit orang yang memggunakan earphone. Mereka berjalan atau duduk dan berbicara sendiri. Pada masa lalu otang seperti ini pastilah gila. Bicara dan tertawa sendiri. Teknologi membuatnya jadi sangat berbeda. Mereka bukan sedang bicara sendiri. Ada yang menimpali di kejauhan. Teknologi memang memudahkan dan membuat jarak jadi bukan masalah lagi. Lucunya banyak orang berkumpul di resto. Mereka bukannya mengobrol dengan sesama teman yang nongkrong. Masing-masing berbicara dengan teman lain di temoat lain menggunakan telepon genggam dan earphone. Sungguh, dunia yang aneh.
Aku duduk sendiri menikmati teh panas. Terasa seperti rusa tersesat di Bundaran HI. Ada perasaan kurang nyaman. Teman dari Lembaga Penegak Hukum yang janji mau ketemu belum juga muncul. Ada suara musik dan suara orang ramai berbincang, sungguh terasa sangat riuh. Suara anak-anak berteriak membuat suasana tambah riuh. Aku nikmati semua kondisi ini. Riuh, ramai, ribet.
Lama-lama terasa mengganggu juga. Aku putuskan untuk mengenakan earphone dan sengaja memilih mantra Budha Tibet. Aku fikir, mana tahu bisa membuat suasana menjadi berbeda. Mantra dilantunkan, perlahan terasa suasana yang sangat berbeda. Ada rasa tenang. Mantra terus bergema. Aku mulai memejamkan mata, suasana jadi benar-benar berbeda. Ada rasa tenang, justru di tengah keramaian. Aku jadi teringat satu syair dalam Dhammapada, salah satu Kitan Suci Budha.
Dalam Dhammapada atau Syair Kebenaran tertulis,
Ramaniyani arannani
yattha na ramati jano
vitaraga Ramissanti
na te kamagavesino
(Sungguh menyenangkan hutan-hutan,
yang tidak disukai orang kebanyakan.
Mereka yang terbebas dari nafsu akan senang,
karena tidak lagi memburu kenikmatan.)
Mengapa hutan? Hutan adalah keasingan yang mengerikan. Hutan bebas dari keriuhan yang bising. Yang ada hanyalah suara alam. Gemerisik air yang mengalir, suara angin yang meniup dedaunan. Nyanyian burung-burung, jerit monyet dan juga aum harimau. Tenang, teduh dan bisa tiba-tiba tak terduga, membunuh. Di hutan ada ketenangan dan kebuasan. Mal dan hutan sama-sama beresiko. Di mal duit bisa ludes untuk nikmati kesenangan yang ditawarkan. Di hutan nyawa bisa habis karena kengerian dan kebuasaan. Mengapa hutan?
Ini ada kaitannya dengan kehidupan Sidharta Gautama yang kemudian mendapat pencerahan menjadi Budha. Ia adalah pangeran dari sebuah kerajaan. Ia calon raja. Karena itu sejak bayi ia sudah bergelimang dengan kemewahan dan kesenangan. Boleh jadi melebihi kemewahan dan kesenangan yang kini dinikmati oleh para pengunjung mal ini.
Kerajaan adalah pusat kekuasaan, kemewahan, dan kesenangan. Sidahrta menikmati semua itu yang secara sengaja diperuntukkan baginya. Ia sama sekali tak bersentuhan dengan kekumuhan, kekurangan, dan derita. Dalam penghayatannya hidup adalah kenyamanan dan kesenangan, juga kemewahan .
Suatu kali ia berkesempatan keluar istana dan menyaksikan sisi hidup selain kenikmatan, kenyamanan dan kemewahan. Ia bertemu orang tua, orang sakit, dan orang mati. Hidup tidak statis dan membiarkan manusia berada dalam kemudaan dan kekuatan. Hidup menyeret manusia pada ketuaan. Ketuaan bermakna kerentaan, kerentanan, dan kerawanan. Semuanya adalah derita, kesengsaraan.
Hidup tak mengizinkan manusia untuk sehat terus, meski ia telah berusaha untuk menjaga dan merawat kesehatan. Tubuh dan jiwa manusia memang lemah, sensitif, dan gampang sakit. Sakit, meski hanya sekadar cantengan mengganggu seluruh kemanusiaan kita. Sakit adalah ketidaknyamanan, merupakan penderitaan.
Hidup tak mau memilih. Hidup pasti berakhir. Siapa pun pasti mati. Tak peduli muda atau tua, sehat atau sakit. Kematian sungguh merenggut manusia begitu saja, tanpa syarat sama sekali. Menghadapi kematian manusia sama sekali tak berdaya. Mati membuat manusia menjadi hanya sebutir debu dalam angin. Lemah, tak berdaya, bahkan bisa jadi tak bermakna.
Sidartha sungguh tersentak menyaksikan semua ini. Kesadarannya terkoyak. Ia benar-benar terganggu. Ia tidak dapat lagi menikmati semua kenikmatan, kenyaman, dan kemewahan duniawi yang selama ini menggelimanginya. Ia merasa bahwa semua kesenangan dan kemewahan itu adalah penjara yang membuat mata kesadaran tak mampu melihat hakikat di balik tembok penjara. Kesenangan dan kemewahan adalah racun yang diramu dalam kelezatan duniawi, seperti makanan penuh lemak yang nikmat tetapi membunuh secara perlahan melalui penggumpalan darah yang menyebabkan stroke.
Sidharta membuat keputusan revolusioner. Meninggalkan semua kesenangan, kenikmatan, dan kemewahan duniawi. Tentu saja membuang peluang menjadi raja. Ia tinggalkan anak dan istrinya. Pergi ke hutan. Tempat yang tenang sekaligus mengerikan. Ia dengan sengaja mengambil jarak dengan semua keduniawian.
Mengambil jarak dari semua keduniawian, pergi ke dalam hutan. Secara fisik ini berarti mencari tempat yang teduh tenang untuk merenungkan hidup dan kehidupan. Mencaritemukan hakikat di balik semua kenyamanan, kesenangan, kemewahan dan penderitaan. Sejatinya pergi ke hutan adalah kembali ke nurani yang paling dalam.
Di dalam hutan Sidartha Gautama memperoleh pencerahan tentang hakikat hidup yang sejati. Kenyamanan, kesenangan, dan kemewahan duniawi hanyalah tipu daya.
Kota metropolitan Jakarta hakikinya adalah hutan. Hutan beton yang penuh kemewahan. Mal, hotel berbintang, diskotik, klub malam, karaoke, pusat hiburan lain, dibangun di banyak tempat sehingga memadati kota, berjajar membentuk hutan beton. Hutan jenis ini tidak membuat manusia terjarak dengan semua yang duniawi, malah memerangkap dan menenggelamkannya. Tak usah heran, dalam ketenggelaman itu kota besar semakin membutuhkan hiburan dan narkoba.
Manusia semakin lekat erat dengan semua kesenangan duniawi. Kapitalis membuatnya semakin mengerikan karena secara sistematis mendorong dan menjerat manusia untuk semakin menikmati semua kesenangan itu. Kapitalis berhasil merubah keinginan menjadi kebutuhan melalui perekayasaan pesan dan pengkondisian.
Semuanya membekukan kesadaran manusia tentang hakikat hidup yang sejati. Semuanya membuat kesadaran manusia berdarah dan membeku, tegas para pendiri Mazhab Frankfurt.
Manusia terperangkap dalam siklus kesenangan yang menjerat. Hidup menjadi sekadar rutinitas bagai mesin. Senin sampai Jumat kerja keras, Sabtu-Minggu adalah waktu luang, saatnya hiburan yang juga keras. Work hard, play hard, cetus David Guetta.
Manusia moderen memang menghadapi tantangan yang sangat keras. Kesenangan secara sengaja dijadikan komoditi. Kesenangan dibuat sangat bervariasi. Kesenangan yang membuat semua bagian tubuh tenggelam dalam kelimpahmewahan duniawi tanpa batas.
Lihatlah beragam makanan pabrikan diciptakan. Teknologi memanjakan mata dan telinga, serta memicu imaji semakin liar. Kesenangan kebertubuhan juga semakin bervariasi. Inilah perangkap dan resiko hutan beton. Tak ada binatang buas, yang ada adalah kapitalisme rakus, lebih buas dari raja hutan alami.
Di dalam hutan beton, manusia semakin tak berdaya. Kesadarannya makin gulita, digelimangi kesenangan yang semakin mengepung dan menjeratnya. Kesenangan melekat dalam jiwa manusia. Semakin tak ada kekuatan untuk menarik jarak.
KESENANGAN DUNIAWI ADALAH RACUN YANG MENGOTORI KEDADARAN MANUSIA MODEREN.
Minggu, 27 Desember 2015
MENIKMATI MANTRA BUDHA TIBET DI KERAMAIAN SENAYAN CITY
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd