Rabu, 06 Januari 2016

BERBUAT BAIK PADA YANG JAHAT

(Sebentuk doa bagi Ronny Setiawan, Ketua BEM UNJ 2015-2016)

Seyogianya berbuat baik itu gampang. Lebih gampang dari membuang upil. Membuang duri, paku atau beling dari jalanan adalah perbuatan baik yang bisa dilakukan siapa saja, dimana saja, dan kapan saja. Memberikan seulas senyuman pada siapa pun, adalah kebaikan seringan awan. Bisa dilakukan tanpa biaya sama sekali.

Semua agama, ajaran moral, filsafat hidup, dan beragam tradisi menganjurkan dan mendorong agar manusia berbuat baik pada siapa saja. Sejatinya berbuat baik bisa dilakukan kepada siapa saja. Tidak dibatasi oleh suku, agama, warna kulit, warna bibir, warna rambut,warna gigi, dan warna kuku.

Namun, dalam hidup keseharian berbuat baik tidaklah segampang yang seharusnya. Terdapat banyak sekali kendala, halangan, dan hambatan sehingga berbuat baik menjadi sulit dilakukan, bahkan kadang menjadi langka.

Beragam emosi negatif bisa dan biasa menjadi penghalang untuk berbuat baik. Mulai dari rasa malas, tidak termotivasi, tidak suka, sampai yang paling merusak yaitu iri, dengki dan kebencian.

Bila ada rasa tak suka pada seseorang, kebanyakan kita enggan senyum padanya. Meskipun tahu bahwa memberikan seulas senyum adalah perbuatan baik. Boleh jadi ada perasaan jika senyum pada orang yang tidak disukai merupakan isyarat bahwa orang tersebut lebih hebat. Rasanya kita menjadi lemah dan kalah bila tersenyum pada orang yang tidak disukai. Karena itu kayaknya lebih baik menghindar dengan membuang muka.

Apalagi dalam hidup keseharian ada orang yang melihat kebaikan orang lain sebagai tanda kelemahan dan kerendahan diri. Menghadapi situasi ini tak mengherankan bila bagi sejumlah orang, berbuat baik dirasakan sebagai tindakan yang sebaiknya dihindari atau tidak dilakukan.

Keadaan akan semakin buruk jika di dalam benak tertanam rasa iri, dengki dan kebencian. Kebencian membuat sebagian besar kita berfikir sepenuhnya negatif. Kita seperti terisolasi dalam gua gelita tanpa cahaya yang menghilangkan kemampuan untuk melihat sisi baik orang lain. Akibatnya sangat susah bahkan tak mungkin berbuat baik pada orang.

Kebencian sungguh membutakan matahati. Menggelimangi kita dengan prasangka buruk tentang siapa dan apapun. Karena itu, sebagian besar orang yang terlibat dalam perangkap kebencian biasanya sudah tak lagi mampu untuk saling berbuat kebaikan. Sebab kebencian adalah api yang membakar tungku. Siapa pun yang terlibat hanyut dalam kebencian, keinginan terbesarnya adalah membalas kebencian dengan kebencian. Untuk apa berbuat baik kepada orang yang benci pada kita? Apa untungnya?

Menghadapi siklus kebencian ini, sebaiknya kita mengingat apa yang tertulis dalam Kitab Suci Budha yang menegaskan bahwa,

Sesungguhnya, dengan kebencian,
kebencian tak pernah reda di dunia ini.
Dengan kasih, kebencian reda.
Inilah hukum abadi.
(Dhammapada,5)

Kasih memutus rantai dan siklus kebencian. Jika kebencian reda, berbuat baik sangat mungkin untuk dilakukan. Bahkan berbuat baik untuk orang yang dibenci. Sebab kasih bisa meluluhhancurkan kebencian dan menggantinya dengan kelembutan kemanusiaan yang penuh maaf, penerimaan dan kepedulian.

Memang tidaklah mudah berbuat baik pada orang yang kita benci, orang yang menjahati kita. Pastilah lebih mudah berbuat baik untuk orang yang baik pada kita. Berbuat baik pada orang yang baik merupakan keharusan. Namun, ketinggian dan kemuliaan kita sebagai manusia akan terejawantah bila mampu berbuat baik, justru pada orang yang jahat. Injil menjelaskan,

Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka  dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak  Allah Yang Mahatinggi,  sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat. (Lukas 6:35).

Memang sangat sulit berbuat baik pada orang yang membenci, menjahati dan memusuhi kita. Betapa tidak. Mereka telah menyakiti dan mencederai hati kita. Memfitnah dan berusaha menghancurkan kita. Mereka sudah sepantasnya mendapat balasan setimpal atas kejahatan yang telah dilakukannya. Balasan setimpal pastilah memenuhi rasa keadilan. Dalam kaitan ini patut kita baca dan hayati dengan cermat apa yang dipaparkan Al Qur'an berikut ini,

“Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik (terhadap orang yang berbuat jahat kepadanya) maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zhalim.” [QS Asy Syura: 40]

Dalam Islam ada tiga pilihan tindakan terhadap orang yang menjahati kita. Pilihan tindakan yang satu lebih baik dan lebih tinggi dibanding tindakan yang lainnya. Pada tingkat yang paling rendah tindakan yang dibenarkan adalah balasan yang serupa atau setimpal.

Memang bila dijahati atau disakiti sangat manusiawi jika kita ingin membalas. Mungkin dengan cara membalas itu akan mengurangi rasa sakit yang kita rasakan. Namun pertanyaannya adalah apakah kita bisa membalas dengan serupa atau setimpal?

Jika dijahati, kebanyakan kita ingin membalas lebih untuk memuaskan keinginan membalas. Keinginan kuat membalas apalagi membalas lebih inilah yang memunculkan dendam kesumat. Rasa dendam pasti menenggelamkan kita dalam arus kemarahan tak bertepi. Ujungnya terjadilah siklus balas membalas yang tak berkesudahan. Kondisi inilah yang biasanya memunculkan konflik akut yang berkepanjangan.

Karena itu agar tidak jatuh dalam siklus balas membalas dan membebaskan fikiran dari dendam, yang terbaik adalah memberi maaf. Sudah pasti tidak mudah memaafkan orang yang menjahati kita. Sebab entah berapa sedikit rasa sakit hati memang tak gampang dibersihkan. Namun, memaafkan lebih baik, karena membersihkan hati dan fikiran dari belenggu dendam yang bisa tak bertepi. Memaafkan membebaskan kita dari perangkap kedengkian. Memberi rasa lega karena mampu melampaui ego yang memang selalu mengarah ke dalam dan ingin terus dipuasi dengan membalas lebih.

Memaafkan lebih baik. Tetapi berbuat baik pada orang yang menjahati kita merupakan tindakan terpuji dan mulia. Mengapa? Mampu berbuat baik pada orang yang menjahati kita merupakan indikasi bahwa kita telah mampu melampaui ego, perangkap dendam dan kebencian serta menjadi manusia yang matang karena mampu mengarah keluar yang ditampakkan dengan kemampuan peduli dan berbagi.

Berbuat baik kepada orang jahat dan orang yang menjahati kita menegaskan bahwa kita sudah terbebas dari semua emosi negatif. Lepas dari belenggu nafsu-nafsu rendah. Kita bukan saja melampaui, tetapi melejit meninggi, meninggalkan semua lumpur hitam kemanusiaan yang membenamkan manusia dalam keinginan kuat untuk kuasa dan menghancurkan orang lain.

Kemampuan berbuat baik pada orang yang menjahati kita dan orang jahat merupakan tindakan yang hanya dapat dilakukan oleh manusia-manusia berhati mulia, bernalar cerdas, dan berempati kuat pada manusia dan kemanusiaan. Manusia yang terjarak dari keinginan untuk menghancurkan orang lain. Manusia yang sepenuhnya menyadari dan menghayati bahwa hidup merupakan kesempatan untuk saling memuliakan, memekarkan kemanusiaan menuju puncak kemuliaan.

Berbuat baik pada orang yang menjahati kita dan orang jahat mengangkat kita ke derajat matahari yang memberikan cahaya pada samodra, padang rumput, rimba raya, dan kolam racun. Meninggikan kita pada posisi tinggi rembulan yang menerangi rumah ibadah dan tempat maksiat,

BERBUAT BAIK PADA ORANG YANG MENJAHATI KITA DAN ORANG JAHAT ADALAH POHON YANG TERUS BERBUAH PADA SEMUA MUSIM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd