Minggu, 03 Januari 2016

RENUNGAN SUPIR TAKSI

Hari ini Maulid Nabi Muhammad SAW. Besok natalan, lahirnya Juru Selamat. Jalanan Jakarta meningkat kemacetannya. Maklum kerena libur  berpanjang-panjang. Sepertinya semua orang keluar rumah. Kemana pun pergi kemacetan tak terelakkan. Dulu Ibu Tien Suharto, istri Presiden Suharto, bilang kemacetan adalah tanda kemakmuran. Mungkin ada benarnya. Meski di negara-negara yang sangat makmur seperti Swedia, tak ada kemacetan.

Taksi yang kutumpangi bergerak sangat lambat. Lebih banyak berhenti. Di pinggir jalan ada baliho besar berisi pengumuman peringatan Maulid Nabi. Ada sejumlah foto ustaz dan habib. Balihonya sangat besar.

Sang supir taksi yang tadinya asyik bercerita tentang parahnya kemacetan yang lebih dahsyat dibanding kemacetan mudik Idul Fitri, tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. Lihat tu Pak, pengumuman Maulid pake foto segala. Itu orang-orang gak ngerti hakikat. Saya sering kena macet karena ada peringatan Maulid. Katanya cinta Nabi, tapi nutup jalan seenaknya dan ganggu orang banyak. Mana di hari kerja lagi.

Taksi saya pernah dirusak. Waktu itu ada habib mau datang ke Maulidan. Mobilnya menentang arus. Di depan mobilnya ada puluhan motor yang dikendarai orang berseragam hitam. Ngakunya jamaah majlis Rosulullah, tapi kelakuannya nol. Udah menentang arus, mobil-mobil orang yang arahnya bener malah digebukin, mana pake maki-maki lagi. Saya doakan mereka masuk neraka semua. Cinta Rosul koq kayak gitu.

Mereka gak ngerti hakikat. Kalo cinta Rosul mestinya mereka meneladani Rosul. Mana ada ajaran Rosul kayak gitu. Maki-maki orang seenaknya dan melanggar peraturan. Yang kayak gini yang merusak Islam. Kesannya Islam itu brutal dan gak tau aturan. Kita orang Islam aja sebel.

Kalo bener cinta Rosul gak cukup cuman mauludan. Teladani Rosul. Bagaimana Rosul hidup dari bangun tidur sampe tidur lagi. Rosul itu sangat baek. Ama orang Jahudi aja Rosul baek. Ini ama sodara sendiri aja suka memaki. Saya dulu sering dateng ke Mauludan atau pengajian. Lama-lama saya muak. Isinya cuma memecah belah ummat. Seenaknya menuduh orang kafir. Ini karena mereka gak ngerti hakekat. Berantem untuk yang gak penting dan merusak silaturahmi, persaudaraan. Makanya Islam susah maju. Umatnya pada bodoh, senangnya berantem, ribut. Shalat taraweh aja diributin. Gara-gara niat sholat aja berantem. Kapan dameinya.

Aku menahan diri, tidak mengomentari apapun yang dikatakannya dan terus mengajukan pertanyaan. Pembicaraan mengasyikkan karena sang supir orang Patura, bahasanya ngapak-ngapak.

Sang supir melanjutkan, kebanyakan orang Islam emang gak belajar hakekat. Terperangkap ama syariat. Syariatnya juga belon tentu bener. Coba kalo mau sholat, kita disuruh cuci tangan. Syariatnya ya cuci tangan, tangan dibersihka secara fisik. Tapi hakekatnya yang penting. Bersihkan tanganmu sebelum menghadap dan meminta pada Allah. Jangan gunakan tanganmu untuk mencuri, korupsi, menyakiti orang. Ini malah shalat tetapi mencurinya kenceng, karupsinya hayo.

Menteri agama masuk penjara karena korupsi, itu karena gak ngertI hakekat. Uang untuk cetak Qur'an juga diembat. Gak kira-kira tuh. Orang Islam banyak yang malu-maluin. Ngomongnya pake ayat Qur'an tapi korupsinya jago. Susah memang kalo gak ngerti hakekat.

Di tempat saya tinggal banyak orang yang rajin shalat ke masjid. Ikut pengajian  mingguan. Tapi kalo ada tetangga yang sakit pada gak mau tahu. Kita yang jarang ke masjid dibilang kafir, bakal masuk neraka. Udah kayak Tuhan aja bisa nentuin orang masuk neraka.

Mestinya mereka mengkaji hakekat. Jangan cuman baca Yassin abis itu makan-makan, pulang deh. Pahala mah pasti dapet, tapi tetep aja gak paham hakekat. Makanya biar rajin ngaji, kelakuannya payah.

Itu kan ada tertulis di Qur'an, bagimu agamamu, bagiku agamaku. Itu gak hanya untuk orang beda agama. Berlaku juga bagi kita umat Islam. Itu artinya kita harus saling menghormati. Jangan merasa paling tahu, paling bener dan seenaknya menyalahkan orang.

Di perempatan jalan, jauh dari baliho pertama, terdapat baliho yang lebih besar. Juga pengumuman mauludan. Lebih banyak foto yang terpasang. Rupanya beberapa dari orang yang terpampang fotonya si sopir tahu. Ia berkomentar lagi. Tu orang katanya pembela Islam, kerjanya cuma memaki. Semua orang dimaki. Lagunya lebih dari polisi, merazia orang suka-sukanya. Mungkin dia fikir Indonesia kayak gurun pasir Arab ya. Siapa yang kuat bisa berbuat seenaknya. Sama sekali gak menghargai hukum dan peraturan. Gak jelas, dimana membela Islamnya. Yang ada bikin malu Islam. Islam seperti hukum rimba jadinya. Susah, gak ngeri hakekat.

Supir taksi ini berusia tigapuluhan. Ia pernah nyantren di Cirebon sekitar lima tahunan. Ia pernah menjadi supir truk, bus, angkot dan kini menjadi supir taksi. Pekerjaannya sebagai supir membuat ia terus menerus berada di jalan dan berjumpa, berbincang, dan bergaul dengan beragam manusia. Tampaknya ia aktif mengamati lingkungan dan ngobrol dengan banyak orang. Bahasanya lugas apa adanya. Penilaiannya bisa dianggap sederhana. Tetapi rasanya tidak salah.

Apa yang dia omongkan sering aku dengar dari abang ojek, pengemudi bajaj atau orang-orang biasa lainnya. Tampaknya ada keprihatinan mendalam tentang penampilan Islam dalam keseharian yang ditunjukkan para penganutnya. Ada keheranan mengapa para rohaniawan sering gampang membuat penilaian negatif terhadap orang.

Orang-orang sederhana ini melihat bahwa agama itu intinya adalah perilaku yang baik. Apalah artinya omongan yang hebat, peringatan hari-hari besar yang meriah, bila ajaran Islam tidak hidup dalam keseharian. Agama memang bukan sekadar konsep, tetapi perilaku yang terukur.

Mungkin sekarang memang zamannya agama jadi "komoditi" yang diomongkan dan "dijual" di berbagai  pertemuan dan televisi. Semakin hari, semakin banyak ustaz terkenal yang bergaya selebriti. Ada macam-macam pelatihan yang katanya bisa merubah orang dengan cara-cara instan. Kondisinya mirip di Amerika Serikat tahun 60 sampai dengan 70an. Saat kemakmuran mulai meningkat dan orang mulai merasa ada kegersangan jiwa. Tidak sedikit orang dan organisasi "menjual" agama di televisi dan berbagai pelatihan spiritual. Banyak yang kemudian terbukti sebagai upaya penipuan untuk mengeruk keuntungan mengatasnamakan agama. Para pelaku atau rohaniawannya berbicara tentang berbagai kebaikan dan tujuan-tujuan mulia, mengumpulkan uang yang katanya untuk berbagai keperluan kebaikan. Ternyata, mereka hidup foya-foya menggunakan uang umat yang dikumpulkan. Di sini mulai terungkap, sejumlah ustaz yang memiliki banyak istri dan memperlakukan para istri itu jauh dari yang mereka omongkan di mimbar saat berceramah tentang agama.

AGAMA ADALAH PERILAKU KESEHARIAN, BUKAN SEKADAR OMONGAN INDAH DI MIMBAR.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd