Senin, 11 Januari 2016

SEKEPING PUZZLE PENDIDIKAN KITA

Selesai shalat Subuh aku berangkat menuju Kemristekdikti di Senayan. Ada rapat pagi dengan petinggi Kemristekdikti. Maklum, Senin merupakan hari macet luar biasa menuju Jakarta. Sedikit terlambat bisa tiga jam baru sampai ke Senayan dari Bekasi. Hati agak bergetar juga karena begitu masuk jalan tol sudah macet panjang. Setiap Senin aku berangkat pagi menuju Rawamangun untuk mengajar. Tetapi tidak melalui jalan tol dan tidak macet. Jadi khawatir saat merasakan kemacetan parah saat masih subuh. Rupanya antrian truk berjalan lambat. Jalan mulai lancar setelah sejumlah besar truk berbelok ke arah tol lingkar luar. Beberapa menit sebelum jam enam aku tiba di Senayan.

Lama sudah tak kemari sejak berkantor di Cipete. Dulu aku sangat sering kemari karena kerja paruh waktu di Dikdasmen, Balitbang, yPaudni dan sejumlah unit lain. Kuduga akan mudah mencari tempat parkir karena masih kosong. Dugaanku keliru. Semua tempat parkir yang kosong itu sudah diberi label. Jadi sangat jelas siapa yang boleh menggunakannya. Orang biasa sepertiku harus berkeliling dulu baru dapatkan tempat parkir.

Aku menuju masjid untuk lakukan ibadah kecil pagi hari. Seperti biasa, pada bagian teras luar masjid di lantai atas dan bawah banyak orang masih tertidur lelap. Mereka mengenakan batik, safari atau baju formal lain. Ada beberapa tumpuk orang. Mereka tidur di ubin, di bagian kepalanya ada tas besar. Agak di ujung ada tiga wanita paruh baya yang juga masih tertidur.

Aku menuju toilet di bagian bawah untuk buang air kecil dan berudhu. Aku sangat kaget. Banyak sekali orang mengantri. Kekagetan meningkat karena toilet itu gelap dan sangat kotor. Lebih kotor dari toilet di terminal bus. Seingatku dulu, toilet ini bersih, rapih dan wangi.

Aku manfaatkan waktu mengantri itu untuk berbincang dengan beberapa orang yang ngantri. Seperti kuduga sejak awal, mereka adalah para guru dan pejabat pendidikan dari daerah yang sedang berurusan di Senayan, kantor pusat pendidikan Republik Indonesia.

Lelaki tinggi besar yang kuajak berbincang datang dari Manggarai Nuasa Tenggara Timur, dia katakan sudah dua hari  numpang tidur di masjid. Seorang lagi yang mengaku dari Jambi menjelaskan beberapa hari lalu yang numpang tidur di pelataran masjid lebih banyak.

Melihat para guru dan pejabat pendidikan dari daerah yang tidur bergelimpangan dan bertumpuk-tumpuk di pelataran masjid, aku jadi teringat anak jalanan dan para gelandangan yang tidur nyenyak di emperan pertokoan Jatinegara atau di Kota Tua. Betapa tragis, para guru, orang yang mestinya sangat dihormati harus tidur bagai gelandangan di emperan masjid untuk mengurus kenaikan pangkat atau sertifikasi. Jika melihat mereka tidur di ubin di tempat yang terbuka, bagai tumpukan sampah jalanan, rasanya mereka tidak lagi pantas menyandang gelar Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, tetapi lebih tepat disebut Pahlawan Tanpa Tanda-tanda.

Lama aku berbincang dengan para guru yang mengantri di toilet. Macam-macam hal yang mereka keluhkan. Mengapa mereka memilih tidur bagai gelandangan di emperan masjid. Karena gratis dan bisa jalan kaki ke kantor yang mereka tuju. Uang mereka tidak cukup bila harus menginap di losmen atau penginapan murah lain yang jaraknya sangat jauh dari kantor Kemdikbud yang sangat mentereng ini.

Aku shalat dhuha dan berzikir dalam rasa penasaran. Aku terus bertanya mengapa toilet di masjid ini begitu gelap dan kotor? Apakah karena jauh dari kantor Pak Menteri dan para pejabat tinggi lain dan boleh jadi tidak sempat dikunjungi? Selesai ibadah pagi, aku berkeliling. Pertama ke toilet lantai dasar Gedung E. Luar biasa kotor dan sangat berantakan. Ada air yang terus mengalir dari selang yang terpasang di kran. Banyak botol plastik ukuran besar tak berisi berserakan di beberapa tempat. Lantainya sangat kotor. WCnya lebih kotor lagi, bau tidak sedapnya menyebar. Pintu WCnya rusak.

Aku berjalan menuju Gedung A, tempat Pak Menteri ngantor. Bagian belakang Gedung A yang berhadapan dengan Gedung E bersih dan rapi, karena ada tiga Bank Pemerintah beroperasi di situ. Sedangkan jalan di sebelah kiri Gedung A, ubinnya masih kotor. Bagian depan Gedung A sudah sangat rapih. Pepohonan, lantai, tangga, bahkan toilet di bagian bawah sudah sangat rapih. Toiletnya bahkan wangi.

Pastilah Pak Menteri yang terhormat dan para pejabat tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak berurusan dengan kebersihan dan kerapihan WC, lantai, tangga dan taman. Namun, bagaimana kantor ini dikelola seakan menggambarkan secara kebetulan pendidikan kita.

Urusan yang menyangkut kepentingan orang banyak boleh dan biasa diabaikan. Toilet masjid itu pasti digunakan lebih banyak orang tinimbang toilet yang dekat dengan kantor Pak Menteri. Tetapi toilet masjid itu kotor, gelap dan kumuh.

Ada lembaga pendidikan kita pada semua jenjang mendapatkan apapun yang dibutuhkannya. Tetapi tidak sedikit yang hampir runtuh, reot, dan kapan saja bisa runtuh. Anak-anak kita yang berasal dari keluarga miskin justru mendapat fasilitas yang tidak layak. Merasakan kemiskinan di rumah dan kereyotan di sekolah.

Jangankan di Papua atau Mentawai, di sudut-sudut Jakarta pun masih banyak sekolah yang tidak layak. Sementara gedung para pejabat pendidikan mewah dan mentereng.

Masih banyak anak-anak kita menantang maut menuju sekolah. Mengarungi sungai deras dengan berjalan kaki atau jembatan bobrok yang dapat berantakan karena terjangan banjir.

Apa yang tersaji di lingkungan kantor menteri pendidikan di Senayan sungguh merupakan cermin tak sengaja dari pendidikan kita. Di bagian depan, dekat dengan kantor menteri, semuanya bagus, mentereng dan terawat. Semakin jauh dari situ, yang menonjol adalah ketidakteraturan dan kekumuhan.

Sementara itu, para guru harus menggelandang untuk meningkatkan karir kepangkatannya. Apakah memang harus seperti itu jika berurusan dengan pusat kekuasaan di Jakarta?

REVOLUSI MENTAL MEMANG HARUS MULAI DARI PUSAT PENDIDIKAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd