Rabu, 16 Maret 2016

GERHANA MATAHARI TOTAL, NYEPI DAN KEINDONESIAAN

Dulu saat Orde Baru berkuasa, tepatnya 1983, terjadi gerhana matahari total. Pemerintah secara resmi melarang orang keluar rumah untuk menyaksikan keindahannya karena bisa membahayakan. Ditegaskan oleh Pemerintah bahwa melihat gerhana matahari total bisa membutakan mata. Tidak ada penjelasan rinci, yang ada hanyalah larangan.

Saat itu cara-cara otoriter berbaur campur dengan beragam mitos yang telah lama berkembang dalam masyarakat membuat gejala alam yang  langka ini terasa seperti teror yang mengerikan. Orang-orang bukan saja tidak boleh keluar rumah, juga harus tetap berada di dalam rumah dengan pintu dan jendela tertutup.

TVRI yang merupakan satu-satunya stasiun televisi saat itu terus menyiarkan bahaya gerhana matahari total pada manusia. Entah sengaja atau tidak, berbagai mitos yang berisi tentang bahaya gerhana matahari total pada manusia beredar luas.

Susah untuk mengetahui apa motif di balik upaya sistematis menggiring masyarakat untuk takut dan bersembunyi menghadapi gejala alam yang unik, langka dan pantas dinikmati, serta harus diteliti. Barangkali inilah salah satu cara sebuah rezim otoriter menunjukkan kekuasaan dan kemampuannya mengendalikan masyarakat secara absolut. Tragisnya ada ilmuwan yang ikut memberi penjelasan sesuai dengan keinginan Pemerintah. Dimana pun di dunia ini, dalam segala zaman, penguasa otoriter memang memiliki dan memelihara para ilmuwan dan agamawan yang mendukung dan membenarkan tindakannya.

Ada seorang teman yang sangat menikmati kekuasaan selama Orde Baru sebagai pejabat mengemukakan pembelaannya. Bahwa Orde Baru melakukan itu semata-mata untuk mencegah jangan sampai ada masayarakat yang menjadi korban. Mungkin teman itu benar. Tetapi pertanyaannya adalah, mengapa melakukannya dengan cara-cara yang lebih terasa sebagai teror yang menakutkan? Mengapa tidak dibuka dialog atau diskusi agar masyarakat tahu secara lebih rinci apa bahayanya dan bagaimana menghindari atau mencegahnya?

2016, gerhana matahari total kembali terjadi. Kini di banyak tempat yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku Utara. Sementara itu tidak sedikit tempat mengalami gerhana matahari sebagian.

Berbeda dengan rezim Orde Baru yang otoriter, Pemerintah menyambut peristiwa ini dengan cara yang sangat bersebalikan. Menteri Pariwisata bekerjasama dengan Pemerintah Daerah secara sistematis mempersiapkan berbagai acara seperti pestival dan pesta rakyat untuk menyambutnya. Promosi wisata dilakukan habis-habisan sampai keluar negeri. Ditargetkan peristiwa langka ini akan menambah devisa negara dalam jumlah yang bermakna. Masyarakat dihimbau untuk melihat secara langsung peristiwa yang terjadi lagi sekitar tigaratusan tahun pada titik yang sama.

Pemerintah Daerah yang beruntung karena merupakan tempat terjadinya gerhana matahari total sungguh-sungguh mempersiapkan diri agar peristiwa ini benar-benar bisa dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya. Masyarakat juga diberi tahu apa yang harus dilakukan agar tetap bisa menikmati gerhana matahari total dengan aman. Ditunjukkan di berbagai stasiun televisi bagaimana membuat alat, kaca mata dan teropong murah, agar bisa menikmati gerhana matahari dengan aman dan nyaman. Sedangkan beragam mitos tentang gerhana matahari total dimunculkan sebagai sekadar sisipan yang tidak penting.

Sungguh gerhana matahari total kali ini disambut dengan antusias dan sangat heboh. Siaran langsung semua stasiun televisi dinikmati jutaan orang yang tidak dapat menyaksikan secara langsung. Ribuan orang memadati Planetarium di Taman Ismail Marsuki Jakarta dan Boscha di Lembang.

Pada dasarnya gerhana matahari total yang terjadi pada 1983 dan 2016 adalah peristiwa alam yang sama, yang bersifat objektif dan pasti. Artinya kejadian itu merupakan bagian dari perjalanan matahari, bulan, dan bumi yang pasti terjadi karena hukum-hukum alam yang mendasarinya bekerja apa adanya, sesuai dengan mekanismenya. Jadi, kejadian itu tidak terkait dengan sesuatu di luar hukum alam itu. Misalnya akan terjadi bencana atau runtuhnya kekuasaan.

Karena itulah saat orang-orang Arab Jahiliyah mengaitkan wafatnya putra Rasulullah Saw dengan gerhana matahari, Rasulullah Saw menegaskan bahwa gerhana matahari itu adalah kejadian yang menunjukkan kebesaran Allah dan tidak terkait dengan wafatnya Ibrahim putra Beliau.

Bila orang moderen menyebut gerhana matahari merupakan bagian dari bekerjanya hukum alam, seorang Muslim menyebutnya sebagai bagian dari Sunnatullah, ketentuan yang telah ditetapkan Allah.

Bagaimana peristiwa alam yang sama, yang bersifat objektif dan pasti seperti gerhana matahari total disikapi dengan cara yang berbeda di Indonesia?

Sebagian ilmuwan meyakini bahwa fakta atau peristiwa yang terjadi atau terpapar dalam realitas tidak pernah bisa dipisahkan dari nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat dimana peristiwa itu terjadi. Nilai-nilai itu akan menentukan bagaimana peristiwa itu dimaknai.

Bagaimana individu dan masyarakat memberi makna bagi peristiwa atau fakta sangat tergantung pada penghayatan nilai yang sungguh menjadi pedoman hidup sehari-hari. Meskipun fakta atau peristiwanya sama, seperti gerhana matahari total, tetapi pemaknaan atau tafsir terhadap peristiwa itu bisa sangat berbeda. Perbedaan pemaknaan atau tafsir atas fakta atau peristiwa itu memang dipengaruhi  nilai yang diyakini oleh individu atau masyarakat.

Masyarakat tradisional yang menghayati pandangan hidup mitis meyakini bahwa manusia merupakan bagian tak terpisahkan dari alam dan didominasi oleh alam. Bila kita perhatikan dengan saksama patung kayu tradisional di banyak bagian dunia, dari Batak, melewati Papua, melintasi Hawaii sampai di wilayah yang dulu dikuasai bangsa Maya, akan terlihat gambaran yang sama yaitu manusia, hewan, tumbuhan, benda-benda langit seperti bulan dan matahari ada dalam kesatuan yang tidak terpisahkan.

Karena itu tidak usah heran, di banyak tempat ada hewan yang tidak boleh diganggu dan dianggap keramat karena diyakini sebagai nenek moyang manusia yang ada di situ. Begitupun halnya dengan pohon yang tidak boleh ditebang karena diyakini sebagai tempat persemayaman roh nenek moyang. Jadi bukan hanya Charles Darwin yang percaya bahwa nenek moyang manusia adalah binatang. Ketakterpisahan manusia dan alam adalah inti penghayatan masyarakat tradisonal yang mitis.

Ketakterpisahan manusia dan alam itu bisa digambarkan dengan cara alam adalah lingkaran besar, dan manusia adalah lingkaran kecil yang berada dalam lingkaran besar. Alam adalah jagad gede dan manusia adalah jagad cilik, dalam istilah Jawa. Jagad gede memengaruhi jagad cilik, jagad cilik bisa berupaya untuk memengaruhi jagad gede.

Alam mendominasi manusia, alam menentukan. Ritual seperti Persembahan pada Dewi Sri sebelum menanam padi, Larung atau Upacara Persembahan Laut yang dilakukan nelayan, melakukan Ruwatan untuk menolak bala dan kesialan merupakan upaya manusia untuk memengaruhi alam agar menunjukkan welas asih, dengan demikian manusia mendapatkan semacam berkah dari alam.

Semua kejadian alam seperti gerhana matahari total, atau erupsi gunung diyakini bukan sebagai peristiwa objektif yang tidak berkaitan dengan perilaku dan kondisi manusia. Semua peristiwa alam yang istimewa itu diyakini berkaitan langsung dengan manusia, dan memberi tanda akan terjadinya sesuatu, bahkan sering dihayati sebagai hukuman atas tindakan manusia yang melanggar aturan.

Ritual persembahan yang mengorbankan binatang bahkan manusia pada banyak budaya seperti yang ditunjukkan suku Maya, merupakan usaha agar alam yang dominan dan menentukan, menunjukkan rasa ibanya kepada manusia. Tak mengherankan bila musim panas berkepanjangan di wilayah suku Maya dan banyak tempat lain di dunia, upacara persembahan korban akan semakin sering dilakukan.

Tidak tertutup kemungkinan sikap Orde Baru terhadap gerhana matahari total 1983 didasarkan pada penghayatan mitis ini. Penghayatan mitis itu jangan-jangan dihayati oleh struktur paling puncak kekuasaan. Bagi penghayat keyakinan mitis, letusan gunung berapi dan gerhana matahari total dikaitkan dengan kemungkinan terjadinya gejolak di pusat-pusat kekuasaan. Karena itu harus ada pengendalian, terutama terhadap masyarakat.

Di tengah masyarakat tertentu berkembang cerita, tentu saja saya tidak percaya, bahwa menghilangnya Presiden Jokowi saat gerhana matahari total, dan tiba-tiba keesokan hari muncul fotonya sendirian di istana Bogor menyaksikan gerhana matahari total, mungkin ada kaitannya dengan pandangan mitis yang masih berkembang dalam masyarakat.

Masyarakat moderen menghayati nilai yang berbeda dari masyarakat tradisonal. Salah satu pemicu lahirnya modernitas adalah terbitnya kesadaran bahwa individu merupakan kemandirian yang keberadaannya menjadi tegas karena berani berbeda dari masyarakat. Walaupun ia bagian dari masyarakat, tetapi ia bagian yang mendiri dan bebas menentukan.

Hal yang sama terjadi dalam kaitannya dengan penghayatan terhadap alam. Manusia moderen melihat alam sebagai sebuah lingkaran besar, dan manusia merupakan lingkaran kecil. Namun, berbeda dari masyarakat tradisonal yang merupakan bagian dari alam dan berada dalam lingkaran besar itu. Masyarakat moderen menempatkan dirinya di luar lingkaran besar dan berhadap-hadapan dengan lingkaran besar tersebut. Manusia moderen tidak merasakan bahwa ia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari alam dan sepenuhnya didominasi oleh alam. Manusia moderen sengaja mengambil jarak dari alam.

Dengan bantuan ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah, manusia mempelajari, memahami, dan mengeksplorasi alam. Manusia mulai merumuskan hukum-hukum alam seperti yang dilakukan Isaac Newton. Newton menegaskan alam dapat dimengerti dan diprediksi menggunakan matematika. Para ilmuwan moderen meyakini bahwa alam harus dikaji, dipahami secara sungguh-sungguh dan fokus, menggunakan nalar dan pengalaman inderawi. Dengan demikian tidak ada lagi celah bagi penghayatan mitis terhadap alam.

Dalam penghayatan nilai dan cara fikir seperti itulah bisa dipahami mengapa setiap kali ada gerhana matahari total para ilmuwan bersibuk diri melakukan penelitian. Tidak bersibuk diri memasang petasan atau memukul apa saja agar raksasa atau naga jahat yang hendak memakan matahari segera pergi, sebagaimana yang dilakukan masyarakat tradisional.

Dari sekian banyak penelitian saat gerhana matahari total, pastilah yang sangat terkenal adalah penelitian Arthur Eddington saat gerhana matahari total pada 29 Mei 1919 yang membuktikan bahwa perhitungan yang dilakukan Einstein menggunakan teori Relativitas Umum tentang pembelokan cahaya benar adanya. Begitulah manusia moderen memaknai gerhana matahari total.

Mungkin, kegairahan masyarakat menyambut dan menyaksikan secara langsung gerhana matahari total 2016 sudah lebih diwarnai oleh penghayatan nilai modernitas tentang alam dan gejala alam. Gerhana matahari total dihayati sebagai gejala alam yang objektif dan pasti sebagai bagian dari berlakunya hukum alam.

Karena itu di media sosial adanya kelompok masyarakat yang mengaitkan gerhana matahari total dengan bencana, runtuhnya kekuasaan, bahkan hari kiamat, benar-benar dilecehkan dan dihinakan dengan cara-cara yang sungguh membuat sakit hati. Semua kejadian ini menunjukkan telah terjadi pergeseran nilai dalam masyarakat berkat pendidikan dan ilmu pengetahuan.

Sebenarnya tidak sedikit ilmuwan yang melakukan penelitian saat gerhana matahari total dengan fokus pengaruhnya terhadap gravitasi dan magnet di bumi. Apa yang mendasari penelitian ini tidak berbeda dengan keyakinan kuno tentang pengaruh gerhana matahari total terhadap kemungkinan munculnya bencana di bumi. Bedanya adalah cara kerja untuk memahaminya.

Dalam banyak kebudayaan kuno diyakini bahwa benda-benda langit itu memiliki kekuatan. Salah satu kekuatan yang paling besar adalah matahari. Dengan mengandalkan kekuatan berfikir, mereka berpendapat bila sejumlah benda langit, terutama matahari, pada saat bersamaan berada dalam satu garis lurus yaitu gerhana, maka akan terakumulasi sejumlah kekuatan luar biasa yang bisa saja menimbulkan bencana pada bumi.

Sebenarnya para ilmuwan moderen pun memiliki pikiran yang sama. Bedanya ilmuwan moderen tidak hanya bersandar pada kekuatan nalar menggunakan matematika. Juga menggunakan panca indra yang dibantu peralatan canggih untuk membuktikan itu. Pembuktian teori dan perhitungan Einstein tentang pembelokan cahaya sebenarnya masuk dalam kategori itu. Saat terjadi penumpukan kekuatan sangat besar ternyata memang terjadi pengaruh dalam bentuk pembelokan cahaya. Perhitungan Einstein ternyata lebih tepat akurat dibandingkan perhitungan Newton.

Tidak berhenti di situ, para ilmuwan juga melakukan penelitian pengaruh gerhana matahari total terhadap magnet bumi, peluruhan es di kutub, kenaikan air laut, dan terhadap patahan-patahan di dasar laut. Gerhana matahari total sungguh-sungguh direspon dengan nalar dan pengalaman inderawi atau empiris. Bukan hanya dengan spekulasi dan kekuatan nalar.

Sebagai bangsa, sebagian besar kita sudah menggunakan cara pandang moderen berkat pendidikan formal yang memang berorientasi pada model pendidikan Barat yang moderen. Namun, kita tidak pernah sepenuhnya menghayati keberadaan dan gejala alam dengan cara pandang moderen yang mengesampingkan sisi spiritual dari gejala alam. Sebagian besar kita bisa menerima penjelasan dan sikap modernitas terhadap gejala alam seperti gerhana matahari total. Namun, kita juga menghayati kejadian itu sebagai tanda kebesaran Tuhan.

Shalat gerhana di seantero tanah air, dan teriakan spontan yang membesarakan nama Tuhan yang dilakukan banyak orang saat gerhana matahari total adalah bukti nyata, kita tidak terperangkap dalam cara pandang mitis, bisa menerima pandangan moderen. Tetapi tetap yakin bahwa gerhana matahari total adalah tanda kebesaran Tuhan.

Secara sederhana rasanya tak berlebihan jika ditegaskan bahwa itulah salah satu tanda keindonesiaan kita. Moderen dan spiritual. Bukan moderen dan sekular.

Modernitas tak boleh memerosokkan kita dalam sekularitas yang membawa pada kehancuran sebagaimana Barat menunjukkannya pada dua perang dunia. Modernitas ternyata menjadi bencana dan absurditas. Einstein galau, sedih dan terganggu oleh fakta ini.

Dalam konteks inilah gerhana matahari total tahun ini menjadi sangat spesial. Sebab terjadi tepat pada saat saudara-saudara kita merayakan Nyepi. Nyepi adalah keharusan untuk menarik jarak dari dunia yang lebih sering memerangkap kita dalam rutinitas tak bertepi dan acapkali membuat kita kehilangan diri dan orientasi hidup.

Dunia dengan segala kesibukan dan tuntutannya telah memerangkap kita menjadi automaton.  Lebih mirip mesin daripada manusia. Nyepi memberi kesempatan jeda. Jeda dari daya tarik dunia dan keriuhannya. Nyepi mengharuskan orang melakukan tapa brata. Kembali ke sejatian diri, dalam keheningan, dalam sebuah kondisi tanpa. Tanpa lampu, tanpa suara, tanpa dialog, tanpa makanan, tanpa keriuhan.

Tanpa lampu, pastilah gelap persis saat kegelapan tiba-tiba menyelimuti bumi saat gerhana matahari total. Dalam kegelapan itu ada kesempatan untuk mencari apakah masih ada cahaya terang dalam nurani sendiri? Tanpa suara, agar ada waktu untuk mendengarkan suara hati sendiri. Apakah masih jernih atau telah dikotori oleh macam-macam kepentingan? Tanpa dialog, supaya ada waktu untuk berdialog dengan jujur pada diri sendiri. Saat yang sangat tepat untuk bertanya dan mempertanyakan siapakah aku? Apakah aku manusia yang berguna bagi sesama atau hanya sampah yang mengotori kemanusiaan? Tanpa makanan, agar ada kesempatan untuk memberi makan pada jiwa yang lapar akan kebenaran. Agar tidak tunduk pada tuntutan perut dan bawah perut yang membelokkan aku dari tujuan-tujuan mulia. Tanpa keriuhan, hanya ada diam dalam keheningan, agar hati ini bisa fokus mendengarkan suara Kebenaran.

Mereka yang menghayati Nyepi sebagai upaya untuk kembali pada kodrat kemanusiaan yang suci, akan mengalami pencerahan, dipenuhi cahaya kebenaran. Sama persis dengan saat bulan beranjak dan matahari muncul dengan sinarnya yang cerlang cemerlang.
GERHANA MATAHARI TOTAL BUKAN HANYA HUKUM ALAM YANG OBJEKTIF DAN PASTI, MELAMPAUI ITU MERUPAKAN TANDA KEBESARAN TUHAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd