Sabtu, 21 Mei 2016

GOLONGAN INGKAR?

Sebagian besar kita pasti belum lupa bagaimana kemarahan rakyat terhadap Setya Novanto kala kasus Papa Minta Saham terbongkar. Bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang pernah menjadi Ketua Umum Golkar ikut marah dan bersikap sangat keras. JK lah yang mendorong agar kasus ini tidak saja diselesaikan secara politik, juga dituntaskan secara hukum.

Kejaksaan Agung dan Polisi kemudian mengambil langkah-langkah untuk mengusut kasus ini. Kita tak pernah tahu apa yang terjadi di kedua lembaga penengak hukum itu. Polisi dengan sangat cepat mengambil kesimpulan Setya Novanto tidak bermasalah. Sementara itu harapan muncul di Kejaksaan Agung karena ngotot menghadirkan semua yang diduga terlibat, termasuk Setya Novanto ke Gedung Bundar. Kini, setelah Setya Novanto jadi Ketua Umum Golkar, tampaknya kasus itu akan pudar terlempar dari Gedung Bundar.

Di DPR terjadi keseruan dan kehebohan. Koalisi Merah Putih berusaha keras agar kasus yang melilit Setya Novanto jangan sampai disidangkan di Mahkamah Kehormatan Dewan, apalagi sampai disidangkan secara terbuka. Fadli Zon sejak awal mempertanyakan kedudukan hukum si pengadu, sebagai upaya untuk menjegal agar kasus ini tidak dibuka oleh Mahkamah Kehormatan Dewan. Koalisi Merah Putih sangat solid membela Setya Novanto yang kala itu adalah Ketua DPR.

Pada sidang terbuka Mahkamah Kehormatan Dewan terjadi sirkus sekaligus dagelan politik yang dipertontonkan Koalisi Merah Putih membela Setya Novanto. Bukan hanya akal sehat yang dijungkirbalikkan, bahkan etika dan moral dikacaubalaukan. Sedangkan di luar sidang masyarakat sangat marah yang ditunjukkan dengan demonstrasi yang meluas di seluruh tanah air dan kecaman sangat keras di media sosial.

Setya Novanto sungguh menjadi musuh publik. Macam-macam simbol yang dibuat untuk menggambarkan betapa jahat dan tak bermoralnya Setya Novanto. Sirkus dan dagelan politik pada sidang Mahkamah Kehormatan Dewan akhirnya memutuskan Setya Novanto dihukum ringan. Setya Novanto mengundurkan diri sebagai Ketua DPR pada saat sidang akan berakhir.

Meski tampak tidak puas dan masih marah, publik agak merasa lega karena Setya Novanto terlempar dari jabatan Ketua DPR dengan cara yang memalukan karena dinyatakan bersalah, meski hukumannya ringan.

Namun, Golkar segera mengangkatnya jadi Ketua Fraksi Partai Golkar menggantikan Ade Komaruddin yang dianggkat menjadi Ketua DPR. Berbagai tanggapan negatif muncul. Pengangkatan itu bukan saja dinyatakan tidak pantas, juga mengabaikan aspirasi dan perasaan keadilan masyarakat. Tetapi Golkar tampak sama sekali tidak terganggu dengan kecaman dan protes yang muncul. Tidak mengherankan, bukankah mereka termasuk golongan ingkar? Sesuai namanya.

Perilaku yang membuat mereka bisa dikategorikan golongan ingkar juga sangat terlihat dalam perpecahan yang meluluhlantakkan Golkar. Berbagai kesepakatan antara dua kubu yang bertikai selalu tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Kedua kubu saling serang, yang satu menuduh yang lain sebagai pihak yang tidak konsisten.

Keikutsertaan Pemerintah untuk menyatukan kembali Golkar tampaknya berjalan dengan baik. Kondisi ini tidak mengherankan karena di dalam Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, ada pejabat tinggi yang pernah menjadi petinggi Golkar yaitu Jusuf Kalla dan Luhut Binsar Panjaitan.

Akhirnya Golkar berhasil menyelenggarakan Munaslub. Pertarungan untuk menjadi Ketua Umum Golkar mengemuka. Dari luar terlihat sangat seru. Ada delapan calon. Ada masalah terkait sumbangan calon ketua yang sempat beredar menjadi wacana heboh di masyarakat dengan bilangan fantasitis yaitu 20 milyar.

Reaksi keras muncul dari mana-mana, termasuk dari KPK. Akhirnya calon ketua harus menyumbang satu milyar. Tetapi ada dua calon yang menolak. Pada saat akhir menjelang pengumuman, calon ketua yang menolak membayar boleh ikut bertarung, karena sumbangan dari wajib diubah menjadi sukarela.

Mengemukanya soal mahar ini menunjukkan bahwa Golkar memang lekat dengan permainan uang. Itulah sebabnya banyak kadernya yang masuk penjara tersangkut kasus korupsi. Baik kader di legislatif maupun eksekutif. Golkar juara bertahan dari tahun ke tahun sebagai juara korupsi, tak bisa dikalahkan oleh partai lain.

Terkait dengan calon ketua umum, masyarakat sangat mempersoalkan masuknya nama Setya Novanto. Mengapa orang bermasalah seperti itu bisa masuk sebagai calon ketua umum. Bahkan digadang-gadang akan memenangkan pemilihan. Di dalam Golkar terdengar juga sayup-sayup sampai keberatan terhadap majunya Setya Novanto.

Pertarungan untuk menjadi ketua umum Golkar semakin seru karena pejabat tinggi Pemerintah Jokowi yang pernah menjadi petinggi Golkar memihak pada calon yang berbeda. JK tampaknya condong ke Ade Komarudin yang ditonjolkan sebagai tokoh yang tidak bermasalah. Sedangkan Luhut Binsar Panjaitan menunjukkan kedekatan pada Setya Novanto. Ini tidak mengherankan karena dalam kasus Papa Minta Saham yang melibatkan dan menyudutkan Setya Novanto, nama Luhut paling banyak disebut-sebut.

Ada ketegangan di Munaslub soal cara memilih ketua umum. Pemilihan terbuka atau tertutup. Menariknya JK sampai ikut berkomentar. Begitupun saat orang mempersoalkan rangkap jabatan bila Ade Komaruddin menang. JK juga menanggapi.

Akhirnya setelah pemilihan berlangsung, Setya Novanto menang. Di media massa dan media sosial muncul tanggapan yang intinya menyesalkan bahkan menghujat mengapa kader Golkar lebih memilih Setya Novanto. Sebenarnya terpilihnya Setya Novanto menunjukkan jati diri Golkar.

Golkar sejak Orde Baru memang partai bermasalah, dan sering ingkar. Pribadi Setya Novanto yang selalu bermasalah menjadi sejajar dengan jati diri Golkar. Setya Novanto adalah calon ketua umum dengan kekayaan yang paling banyak. Inipun sejajar dengan karakter Golkar. Bukti paling nyata adalah mahar yang harus disetor untuk menjadi calon ketua umum.

Begitu terpilih, Setya Novanto membuat pernyataan akan membela Jokowi dan mendukung pencalonan Jokowi menjadi presiden pada pilpres 2019. Penyataan ini secara tegas manunjukkan jati diri dan  orientasi Golkar yang asli. Boleh jadi akan memunculkan banyak masalah di masa depan. Mengapa?

Jokowi selama ini cenderung mengedepankan dan membangun politik kerakyatan, sedangkan jati diri Golkar berorientasi pada politik kekuasaan. Kedua orientasi ini bukan saja berbeda, tetapi bertentangan.

Kita pasti masih ingat saat menjelang pilpres kala Jokowi sudah dipastikan maju sebagai calon presiden oleh PDIP. Golkar termasuk partai pertama yang menyatakan dukungan. Terjadi serangkaian pertemuan antara Jokowi dan Aburizal Bakrie. Bahkan ada pertemuan di pasar tradisional. Tempat yang mungkin tidak pernah dikunjungi Aburizal Bakrie. Tentu saja pertemuan di pasar tradisional itu merupakan lambang dari orientasi politik Jokowi, yaitu politik kerakyatan.

Jokowi tetap pada pendiriannya jika mendukung harus tanpa syarat. Tidak ada pembicaraan tentang komposisi kabinet. Golkar ternyata ngotot dengan syarat, yaitu penempatan kadernya dalam kabinet.

Cara dan pendirian Jokowi ini memang tidak lazim dalam politik. Tetapi Jokowi tetap ngotot harus tanpa syarat. Karena ia tidak mau terjebak dalam politik transaksional. Belum apa-apa koq ngomongin kabinet. Jika hendak berbuat untuk rakyat jangan meributkan tempat di kabinet. Sekarang ini adalah fase mendapatkan dukungan rakyat untuk memenangkan pemilihan dengan tujuan menggunakan kekuasaan bagi kepentingan rakyat. Bila yang lebih dulu dibicarakan komposisi kabinet, dimana kesungguhan dan ketulusan untuk berbuat bagi kesejahteraan rakyat?

Rupanya Golkar tidak bisa menerima cara ini. Segera saja Golkar mendukung Prabowo. Setelah resmi mendukung Prabowo, merebak wacana menteri senior yang akan ditempati Abirizal Bakrie. Tampak sangat jelas, tegas, dan transparan bahwa Golkar memang penganut, pejuang dan konsisten dengan politik kekuasaan. Berpolitik, menggunakan partai politik hanya untuk memperoleh kekuasaan.

Jika kini Golkar mendukung Jokowi di bawah komando Setya Novanto, poli-tikus sangat bermasalah, kita akan menjadi saksi akan seperti apa jadinya. Dimana pun di dunia ini politikus dan poli-tikus sejatinya tak pernah bisa bersatu.

POLITIK KITA MEMANG PENUH PERTENTANGAN DAN PENGINGKARAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd