Kamis, 02 Juni 2016

NEUROSAINS DAN PENDIDIKAN (5)

(Catatan kaki untuk Prof. H. A. R. Tilaar, M. Sc., Ed.)

Indonesia diramaikan banyak tokoh. Tokoh-tokoh itu memiliki perhatian dan menonjol dalam bidang tertentu, namun juga berjasa dalam bidang-bidang yang lain. Kenyataan ini sejajar dengan fakta bahwa manusia hakikinya adalah makhluk multidimensi. Dewasa ini Gardner memperkenalkan istilah kecerdasan majemuk untuk menegaskan keberagaman kecerdasan yang dimiliki manusia.

Thomas Arsmstrong dalam The Power Of Neurodiversity: Unleashing The Advantages Of Your Differently Wired Brain (2010) menegaskan bahwa manusia memiliki potensi sangat besar untuk mengembangkan pelangi kecerdasan (The Rainbow of Intelligences). Kecerdasan yang sangat beragam. Pengembangan pelangi kecerdasan itu lebih ditentukan oleh upaya-upaya yang sistematis melalui berbagai cara, salah satunya melalui pendidikan formal.

Sukarno misalnya, ia adalah tokoh politik terkemuka selama perjuangan kemerdekaan dan pada awal kemerdekaan.  Tetapi kita semua tahu ia juga seorang arsitek, ideolog, penulis dan orator luar biasa. Tulisan-tulisan Sukarno menunjukkan tingkat kecerdasan yang tinggi, serta pengetahuan yang luas dan mendalam.

Dalam Indonesia Menggugat misalnya, Sukarno berhasil mengangkat realitas penindasan yang dilakukan penjajah Belanda sekaligus tuntutan sebuah negara merdeka yang mandiri. Tulisan itu sekaligus menunjukkan Sukarno adalah pejuang yang sangat cerdas, berkomitmen dan visioner. Begitupun M. Hatta. Ia politikus dan ahli ekonomi sekaligus. Tulisan-tulisannya tentang koperasi sungguh sangat inspiratif.

Kita bisa membuat beragam kategori terkait dengan tokoh-tokoh Indonesia paling terkemuka. Meskipun kategori itu tidak bisa dirumuskan secara sangat ketat, seperti mengatakan bahwa Sukarno hanya tokoh politik. Dengan cara pengkategorian ini kita bisa mencatat tokoh-tokoh terkemuka Indonesia yaitu tokoh perjuangan kebangkitan nasional dan pergerakan kemerdekaan seperti  Soetomo, Cokroaminoto,  Wahidin Soedirohoesodo, Samanhoedi, Cipto Mangunkusumo, Hasyim Ashari, Ahmad Dahlan, Semaoen, Muhammad Husni Thamrin, Sukarno, Hatta, Syahrir,  Tan Malaka, Amir Sjarifuddin, M. Yamin,  Wahid Hasyim, J. Leimena, Kartini, M.W. Maramis, Dewi Sartika dan banyak tokoh lain.

Dalam bidang sastra dan budaya ada sejumlah nama seperti Marah Rusli, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA),  Armijn Pane, Sutan Takdir Alisyahbana, Achdiat Karta Mihardja, Amir Hamzah, Trisno Sumardjo,  H.B. Jassin, Idrus, Mochtar Lubis,Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, dan Iwan Simatupang.

Seni rupa Indonesia diramaikan antara lain oleh Raden Saleh, Affandi, Basuki Abdullah, Hendra Gunawan, Dullah, Otto Djaya, Soedjojono, Soenaryo, I Nyoman Gunarsa, Cokot, I Nyoman Nuarta, dan Heng Ngantung.

Nama-nama yang disebut di atas hanyalah sebagian saja dari banyak tokoh yang telah memberi sumbangan sangat berharga bagi negara bangsa ini. Nama-nama ini bisa ditambahkan dengan nama-nama Pahlawan Nasional yang melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda sebelum era kebangkitan nasional seperti Tjut Nya Dien, Teuku Umar, Panglima Polim, Teuku Cik Ditiro, Imam Bonjol, Sisingamangaraja XII, Sultan Badaruddin, Pangeran Diponegoro, Pangeran Jayakarta, Sultan Agung, Sultan Hasanuddin, Pangeran Antasari, dan Pattimura.

Penyebutan banyak nama ini terkait dengan implikasi filosofis dari uraian panjang dalam Neurosains dan Pendidikan (4). Ditegaskan dalam tulisan tersebut bahwa beragam temuan penelitian dalam neurosains bisa diolah untuk merumuskan Pendidikan Indonesia Akar Indonesia.

Bukan merupakan tindakan yang berlebihan bila kita mengembangkan model Pendidikan Indonesia Akar Indonesia. Pastilah model ini tidak menutup mata dan mengabaikan apa pun yang terbaik dari mana pun. Namun, menjadikan sejarah, budaya, tradisi, konteks sosial, dan karakter kita sebagai negara bangsa menjadi akar dan sumber untuk merumuskan Pendidikan Indonesia. Tentu saja semua yang merupakan akar keindonesiaan itu harus dikaji dengan semangat kritis. Jadi ada proses memilah, memilih, dan mengolah.

Pendidikan Indonesia Akar Indonesia bukanlah upaya untuk merumuskan gagasan pendidikan yang berakar pada bumi, budaya, dan tradisi Indonesia dan menolak semua yang datang dari luar. Tetapi mencaritemukan bagaimana para tokoh yang telah disebutkan di atas tumbuh kembang dalam konteks budaya Indonesia sehingga mencapai prestasi sangat tinggi yang membuat negara bangsa ini berdiri, merdeka dan bertahan.

Pencaritemuan ini dimungkinkan sebab dalam Neurosain dan Pendidikan (4) telah diurai bagaimana lingkungan fisik, dan sosiokultural memengaruhi otak, kemudian bagaimana pikiran yang diolah di dalam otak memengaruhi secara bermakna otak, perilaku manusia dan manusia dalam keutuhannya.

Artinya ada kala lingkungan fisik dan sosiokultural memengaruhi dan ikut memberi corak pada otak, dan ada saat bagaimana pikiran memengaruhi otak serta melampauinya. Maknanya, pada kala manusia tumbuh mekar terjadi interaksi dialektis antara otak dan pikiran. Dialektika itu memiliki kaitan langsung dengan konteks sosial budaya dimana manusia itu tumbuh mekar. Warna lokal, pastilah memberi corak yang sangat bermakna.

Banyak hal menarik yang bisa dijadikan bahan kajian untuk merumuskan Pendidikan Indonesia Akar Indonesia jika kita menalaah tumbuh mekar tokoh-tokoh itu dan pendidikan yang mereka jalanani. Beberapa kemenarikan itu adalah, pada umumnya dalam usia yang sangat muda, pada kisaran dua puluh sampai tiga puluh tahun, mereka telah menjadi tokoh yang relatif jadi.

Artinya mereka sudah diperhitungkan oleh lingkungannya, bahkan oleh penjajah Belanda. Bukan saja karena pikiran-pikirannya yang sangat maju, visioner, bahkan revolusioner. Sikap, perilaku dan karakternya pun telah menunjukkan kematangan.

Cokroaminoto sudah sangat berperan dalam pergerakan pada usia 30 tahun. Sementara Sukarno yang pernah menjadi murid dan tinggal di rumah Cokroaminoto sudah sangat berperan dan diperhitungkan pada usia 25. Pada umumnya para tokoh perjuangan itu telah berkiprah dan diperhitungkan  pada saat usianya dua puluh sampai tiga puluhan.

Barangkali konteks sosial pada waktu itu yaitu berada dalam tekanan dan penderitaan karena penjajahan mendorong mereka untuk berpikir dan bekerja keras melakukan perlawanan. Apalagi penjajah bersikap sangat keras pada orang Indonesia yang melakukan perlawanan dalam bentuk apapun.

Meskipun perdebatan tentang pengaruh hereditas dan lingkungan, atau natur dan nurtur masih berlangsung hingga kini. Tampaknya tidak dapat dibantah bahwa pengaruh lingkungan atau konteks sosial memang sangat menentukan.

Diane A. Papalia dan Ruth Duskin Fieldman menjelaskan pada buku Menyelami Perkembangan Manusia (2015: 11-16) bahwa manusia adalah makhluk sosial. Akibatnya dalam perkembangannya terdapat konteks perkembangan yang terdiri dari keluarga, status sosial ekonomi, dan lingkungan sekitar, budaya dan ras/etnis, serta konteks historis.

Dalam kaitannya dengan konteks historis, apa yang dialami para tokoh itu sangat khas dan rasanya tidak akan terulang kembali yaitu hidup, tumbuh mekar pada zaman penjajahan. Pastilah mereka mengalami beragam bentuk penghinaan, penindasan, ketidakadilan, kesewanang-wenangan yang pasti dapat membangkitkan semangat perlawanan dan gairah untuk berjuang dalam kebersamaan. Dapat dipastikan bahwa konteks historis itu memberikan sumbangan sangat besar bagi tumbuh kembang para tokoh itu.

Hannah S. Locke and Todd S. Braver dalam Motivational Influence on Cognitive Control: A Cognitive Neuroscience Perspective yang terdapat dalam buku Self Control in Society, Mind, and Brain ( Ran R. Hassin, Kevin N. Ochsner, Yacoov Trove eds., 2010) menegaskan bahwa kondidi atau konteks sosial yang spesifik atau khusus memang potensial untuk membentuk kepribadian seseorang menjadi khusus pula.

Sebagai suatu contoh lain yang menunjukkan bagaimana konteks sosial sangat berpengaruh terhadap kepribadian adalah bagaimana sikap dan kepribadian manusia Eropa saat Nazi berkuasa. Mereka berada dalam ketakutan yang sangat, kekurangan makanan, dan merasa hidup dalam ketidakpastian. Begitu takutnya, sampai-sampai saat Jerman bersatu, rasa takut itu muncul kembali, padahal peristiwanya sudah berlalu puluhan tahun. Berikut ini laporan Deutche Welle.

20 tahun setelah reunifikasi Jerman, banyak negara tetangga Jerman yang tidak lagi memperhatikan perbedaan antara Jerman Timur dan Jerman Barat. Jerman dipandang sebagai jangkar stabilitas di Eropa.
Mantan Kanselir Helmut Kohl harus menghadapi sikap skeptis dari mitra-mitra Eropa Baratnya ketika meinginginkan untuk mewujudkan rencana penyatuan Jerman secepatnya. Tidak saja Inggris, tapi juga Perancis dan Belanda mempertanyakan, apakah Jerman yang lebih besar akan tetap damai dan akan bergabung dalam Perhimpunan Eropa dan NATO?
Untuk menepis kekhawatiran rekan-rekannya, kala itu Helmut Kohl menyatakan, "Jerman yang bersatu tidak akan kembali ke Eropa masa lalu. Rivalitas dan nasionalisme lama tidak boleh hidup kembali."
Tahun-tahun setelah penyatuannya kembali, Jerman berusaha keras untuk mengakhiri perpecahan di seluruh Eropa. Diterimanya negara-negara bekas Blok Timur dan negara-negara Balkan ke dalam Uni Eropa serta NATO, adalah tujuan terpenting politik luar negeri Jerman. Negara tetangga yang mulanya merasa skeptis seperti Perancis, akhirnya yakin, tidak ada lagi yang merasa takut terhadap Jerman, demikian Alfred Grosser, pakar politik dan penulis di Paris.
Sementara itu, setelah pengakuan garis Oder-Neiße sebagai garis batas Jerman di Timur, pada tahun 1990-an hubungan dengan negara tetangga terbesar Polandia di Timur juga lebih lunak. Duta Besar Polandia di Jerman kala itu Janusz Reiter, sekarang menarik neraca, "Jerman yang besar kini bukan lagi alasan bagi tetangga-tetangganya untuk merasa takut."
Tapi rasa curiga terhadap Jerman masih dimiliki banyak warga Polandia, demikian pendapat penulis Polandia Andrzej Stasiuk. Warga Polandia senang bekerja di Jerman, meski demikian bukan negara pilihan untuk tempat berlibur.
Di Ceko kecurigaan terhadap Jerman baru teratasi akhir tahun 1990-an, setelah pemerintahan kedua negara dalam sebuah pernyataan bersama membahas secara terbuka luka-luka di masa lalu, dampak perang, pengejaran dan pengusiran.

Dibutuhkan waktu dua puluh tahun setelah penyatuan, Jerman diterima oleh masyarakat Eropa. Itupun masih ada negara-negara yang warganya ketakutan. Inilah contoh nyata bahwa konteks sosial yang khusus, sangat potensial membentuk kepribadian manusia yang khas atau khusus pula.

Jika para tokoh terkemuka Indonesia tumbuh mekar dalam konteks sosial dan historis yang khusus dan membuat mereka menjadi pribadi-pribadi yang hebat, apa yang dapat kita lakukan pada masa kini?

Negara melalui Pemerintah memiliki kewajiban untuk mengusahakan kondisi makro keindonesiaan dan kondisi mikro yaitu dunia pendidikan menjadi kondisi yang kondusif bagi tumbuh mekarnya generasi muda yang sesuai dengan rumusan Undang-undang Dasar dan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional.

Setidaknya Pemerintah harus menunjukkan kesungguhan untuk melindungi generasi muda dari serbuan narkoba, pornografi, radikalisme dan penyimpangan perilaku seperti LGBT. Tentu saja tidak cukup bila pemerintah bersibuk diri dengan membuat lebih banyak peraturan, namun pelaksanaanya jauh dari harapan.

Konteks sosial yang diramaikan oleh perilaku koruptif yang dilakukan oleh para pejabat juga harus diperangi dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian generasi muda memiliki keyakinan bahwa ia hidup dan tumbuh mekar di negara yang membanggakannya.

Pemerintah tidak membiarkan media massa terutama televisi menayangkan tontonan sampah. Dalam hal ini Pemerintah perlu bertindak tegas. Jangan membiarkan generasi muda dirasuki dan dirusaki oleh berbagai tontonan yang hanya menyesaki otak dengan sampah.

Bila kita telaah dengan cermat, generasi Cokroamonoto dan Sukarno menjadi orang-orang terkemuka karena tumbuhnya rasa bangga, rasa cinta, dan rasa memiliki Indonesia. Untuk mewujudkan itu mereka rela melakukan apapun yang terbaik.

Pertanyaan penting sekarang ini adalah, apakah kita, terutama Pemerintah mampu menanamkan rasa bangga, rasa cinta, rasa memiliki Indonesia terutama pada generasi muda? Pada masa lalu rasa bangga, rasa cinta dan rasa memiliki Indonesia telah menjadi daya dorong Kebangkitan Nasional, dan Proklamasi Kemerdekaan. Pendidikan Indonesia Akar Indonesia pertama-tama harus mampu membangkitkan rasa bangga, rasa cinta, dan rasa memiliki Indonesia!

Dengan rasa bangga, rasa cinta, dan rasa memiliki Indonesia, generasi muda termotivasi untuk berkreasi, berprestasi dalam segala bidang bagi kejayaan Indonesia. Dengan demikian indonesia sebagai negara bangsa bukan saja akan terus bertahan, tetapi maju dan terkemuka.

Tidak ada salahnya kita belajar dari Orde Baru. Rezim ini tampaknya menyadari betul bahwa remuknya Indonesia saat Orde Lama berkuasa antara lain karena pertarungan dan pertentangan ideologi yang sangat keras. Saat itu di Konstituante bertarung secara terbuka untuk menetapkan ideologi negara antara kaum agama, nasionalis dan komunis. Sukarno membuat dekrit dan membubarkan Konstituante agar pertentangan tidak berkelanjutan dan Indonesia kembali pada ideologi Pancasila.

Tampaknya pada tingkat masyarakat pertarungan dan pertentangan itu tidak berhenti dengan pembubaran Konstituante. Berbagai kekuatan politik terus melakukan manuver untuk mendapatkan kekuasaan dan memaksakan ideologinya. Inilah masa paling kelam dalam politik Indonesia. Para pejuang kemerdekaan yang tadinya bersatu padu untuk memerdekakan Indonesia, kini saling bertarung dan terjadi saling serang sampai saling bunuh. Baik menggunakan hukum atau serangan langsung. Pemberontakan pun merajalela dimana-mana. Ada Muso, Kartosoewirjo, Daud Beureueh, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Pemberontakan Rakyat Semesta (Permesta), Pemberontakan Republik Maluku Selatan ( RMS), dan Pemberontakan PKI yang menjatuhkan Pemerintahan Sukarno.

Atas dasar kenyataan sangat pahit itu, Orde Baru merancang pendidikan dan pengajaran cinta tanah air dan kesetiaan pada ideologi Pancasila. Dirancang dan dilaksanakan mata Pelajaran Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, pada tingkat mahasiswa ada mata kuliah Kewiraan yang sebagian besar pengajarnya adalah pensiunan TNI atau TNI aktif.

Di antara semua itu tentulah penataran P4 yang paling dahsyat dan populer. Harus diikuti warga negara saat masuk SD, SMP, SMA, PT, dan menjadi pegawai negeri. Sementara itu masyarakat umum juga diwajibakan mengikutinya. Namun, rasanya pendidikan ideologis yang penyelenggaraannya mirip indoktrinasi di negara-negara komunis itu kelihatannya tidak berhasil.

Anak muda memplesetkan P4 menjadi Pergi Pagi-pagi Pulang Petang-petang Pala Pusing-pusing. Padahal sejatinya P4 itu adalah Pedoman Pengamalan dan Penghayatan Pancasila.

Tampaknya Orde Baru memaksakan kehendak lebih jauh dengan mewajibkan Pancasila sebagai satu-satunya azas atau azas tunggal. Tragedi pembantaian kelompok Islam di Lampung dan yang lebih mengerikan di Tanjung Priok tidak dapat dilepaskan dari konsekuensi terburuk pemaksaan kehendak itu. Ujungnya rezim Orde Baru, sebagaimana rezim Orde Lama, hancur berantakan dengan tragis.

Artinya, pendidikan untuk membangkitkan rasa cinta, rasa bangga, rasa memiliki Indonesia dan kesetiaan pada ideologi Pancasila memang penting dan merupakan keniscayaan. Namun, cara-cara, metodologi dan substansinya janganlah untuk kepentingan memertahankan kekuasaan, pemaksaan tafsir tunggal, dan memaksa orang patuh dengan ancaman. Ketika dialog dilarang, perbedaan pendapat diharamkan, dan suara berbeda dihancurkan, maka rezim apapun dengan kekuatan apapun tak bisa bertahan.

Pendidikan yang bermaksud untuk melahirkan rasa cinta, rasa bangga, dan rasa memiliki Indonesia harus dibangun pada landasan memertahankan dan mengembangkan, serta memajukan Indonesia. Bukan sebagai alat untuk terus berkuasa sebagaimana yang dilakukan oleh Orde Baru. Kepentingan negara bangsa harus berada di atas kepentingan lain.

Terkait dengan tumbuh kembang para tokoh yang menjadi fokus utama kajian ini, perlu juga memerhatikan keluarga para tokoh itu. Pentingnya mencermati keluarga karena di dalam keluargalah manusia pertama sekali tumbuh kembang. Begitupun halnya dengan pendidikannya. Keluarga dan pendidikan merupakan wahana sangat penting bagi tumbuh mekar manusia.

Mei-Ling Hopgood dalam How Eskimos Keep Their Babies Warm: Parenting wisdom from around the world (2012) menyatakan bahwa tidak ada budaya yang bisa menyatakan bahwa model pengasuhannya merupakan yang terbaik. Setiap orang tua dalam semua kebudayaan mengiginkan dan mengusahakan pengasuhan terbaik bagi anak-anaknya. Merupakan fakta yang tidak terbantahkan bahwa model pengasuhan memberi pengaruh sangat besar bagi tumbuh kembang anak.

Cokroaminoto berasal dari keluarga terpandang. Kakeknya R.M. Adipati Tjokronegoro adalah Bupati Ponorogo dan ayahnya Raden Mas Tjokro Amiseno merupakan Wedana Kleco. Itulah sebabnya ia bisa bersekolah di OSVIA yang mempersiapkan anak-anak muda menjadi pegawai pemerintah. Ia pernah merasakan jadi pegawai pemerintah dan akhirnya keluar karena protes terhadap keharusan sembah jongkok. Intinya ia menolak praktik-praktik feodalisme, meski keluarganya masuk kelompok itu.

Muhammad Husni Thamrin adalah tokoh Betawi yang kemudian menjadi tokoh nasional. Ia blasteran. Ayahnya Belanda, bernama Tabri Thamrin dan wedana saat Johan Cornelis van der Wijck menjadi Gubenur Jendera, dan ibunya Betawi. Karena ayahnya meninggal saat masih kecil, Mohammad Thamrin dibesarkan oleh keluarga ibunya. Ia lulusan Gymnasium Koning Willem III School dan pernah bekerja di perusahaan Belanda. Ia pernah menjadi Wakil Walikota Batavia dan anggota Volksraad. Sebelumnya ia pernah menjadi anggota Gemeenteraad.

Ayah Sukarno adalah Raden Soekemi Sosrodihardjo seorang guru, ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Dari nama kedua orang tuanya sangat jelas bahwa Sukarno berasal dari keluarga terpandang. Sukarno menjalani pendidikan Belanda sejak sekolah dasar sampai mencapai gelar insinyur. Ia pernah tinggal di rumah Cokroaminoto bersama Semaoen, Muso, dan Alimin. Saat itu Cokroaminoto adalah tokoh utama pergerakan melawan penjajah Belanda.

Soedirman menjadi jenderal pada usia 31. Ia anak pasangan Karsid Kartawiuraji dan Siyem. Ia kemudian dibesarkan pamannya Raden Cokrosunaryo. Ia sekolah di Taman Siswa dan Sekolah Guru Muhammadiyah. Meski tidak tamat, ia sempat menjadi guru di lingkungan Muhammadiyah. Selama sekolah ia sangat aktif mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Sewaktu mengajar ia aktif mengikuti kegiatan kepanduan Hizbul Wathan.

Achmad Dahlan adalah putra pasangan K.H. Abu Bakar ulama yang menjadi khatib Masjid Besar Kesultanan Jogjakarta. Ibunya adalah puteri H. Ibrahim, penghulu Kesultanan Jogjakarta. Dahlan merupakan keturunan kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang dari Wali Sembilan yang merupakan penyebar Islam di Jawa. Dahlan dua kali belajar ke Mekkah. Periode pertama saat berusia 15 tahun. Ia banyak belajar  pemikiran-pemikiran pembaru Islam yang sangat berpengaruh yaitu Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ibnu Taymiyah, dan Al Afghani. Ia belajar selama lima tahun. Kemudian kembali lagi mukim dua tahun di Mekkah belajar pada Syeh Ahmad Khatib yang merupakan guru KH Hasyim Asy'ari yang mendirikan Nahdlatul Ulama.

Hasyim Asy'ari adalah putra Kyai Ashari dan Halimah. Kyai Ashari merupakan pemimpin pesantren, dan ibu Hasyim Asy'ari merupakan keturunan Sultan Pajang yang dikenal sebagai Jaka Tingkir. Asy'ari pada usia 13 sudah membantu ayahnya mengajar. Ia kemudian meninggalkan pesantren ayahnya untuk menimba dan memperdalam ilmu di banyak pesantren yaitu Pesantren Nggedang, Wonokoyo, Langitan, Trenggilis, dan Kademangan, serta Siwalan. Ia menunaikan haji ke Mekkah. Kemudian datang lagi ke Mekkah, menetap selama tujuh tahun dan belajar pada sejumlah ulama ternama yaitu Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Mahfud At Tarmisi, Syaikh Soleh Bafadal. Syaikh Rahmaullah, Sayyid Husein Al Habsyi, Sayyid Abbas Maliki, dan Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf. Asy'ari memang pembelajar yang luar biasa.

Ki Hadjar Dewantara merupakan keturunan bangsawan. Ia cucu Pakualam III, dan anak GPH Soerjaningrat. Karena itu nama aslinya adalah Raden Soewardi Soerjaningrat. Karena putra bangsawan ia mendapat kesempatan menjalani pendidikan di sekolah dasar khusus untuk anak Belanda dan bangsawan yaitu ELS. Ia sempat masuk STOVIA perguruan tinggi kedokteran zaman Belanda tetapi tidak selesai karena sakit. Ia kemudian memilih menjadi jurnalis di sejumlah surat kabar ternama di antaranya De Expres, Oetoesan Hindia, dan Tjahaja Timur. Tulisannya yang tajam mengecam penjajah Belanda dan aktivitas politiknya membuat ia diasingkan. Selama masa pengasingan di Belanda ia mengikuti pendidikan hingga meraih ijazah bergengsi dalam pendidikan. Pulang ke tanah air ia mendirikan pendidikan kebangsaan Taman Siswa. Ia dikenal dengan prinsip pendidikannya yaitu,

Ing ngarso sung tulodo (di depan memberi contoh).
Ing madyo mangun karso, (di tengah memberi semangat).
Tut Wuri Handayani, (di belakang memberi dorongan).

Prinsip ini merupakan rumusan yang berakar pada budaya Indonesia yang dipraktikkan sejak dulu, dan secara sangat tepat dirumuskan oleh Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara.

Muhammad Hatta telah yatim pada usia tujuh bulan, ayahnya Muhammad Djamil yang merupakn keturunan ulama meninggal. Ibunya Siti Saleha berasal dari keluarga pedagang. Ia menjalani pendidikan di sekolah swasta, kemudian pindah ke ELS dan lanjut ke MULO. Sebagaimana tradisi di kampung halamannya, Hatta tidak hanya menempuh sekolah formal, ia juga belajar agama pada ulama terkenal Muhammad Jamil Jambek, Abdullah Ahmad, juga sejumlah ulama lain. Ia aktif di Jong Sumatranen Bond. Hatta kuliah di Handels Hogeschool Belanda. Saat inilah ia semakin aktif berpolitik.

Sutan Syahrir adalah Perdana Menteri Indonesia pertama saat berusia 36 tahun. Ayahnya Mohammad Rasyad dan ibunya Putri Siti Rabiah. Ia sekolah dasar di ELS, dan MULO terbaik di Medan, serta AMS di Bandung yang merupakan sekolah menengah atas favorit dan termahal di Hindia Belanda. Ia melanjutkan studi di fakultas hukum Universitas Amsterdam. Syahrir dikenal sebagai politisi cerdas, humanis, dan demokratis.

Agus Salim adalah Menteri Muda Luar Negeri pertama dan Menteri Luar Negeri ketiga. Ia dikenal sebagai politikus yang brilian. Ia anak dari pasangan Soetan Salim dan Siti Zainab. Soetan Salim adalah Jaksa Kepala di Pengadilan Tinggi Riau. Agus Salim menjalani sekolah dasar di ELS ( Europeesche Lagere School). Sekolah ini merupakan sekolah dasar khusus untuk generasi muda Eropa, lalu meneruskan pendidikan ke HBS ( Hoogere Burgerschool) di Batavia. Agus Salim merupakan lulusan terbaik pada tingkat Hindia Belanda. Itu artinya ia mengatasi banyak anak Eropa. Ia sempat menjadi pembantu notaris di Indragiri, kemudian bekerja di Jeddah pada Konsulat Belanda. Ia menyempatkan diri belajar pada ulama terkenal yang merupakan pamannya Syeh Ahmad Khatib. Ia tertarik pada jurnalistik dan menjadi redaktur dan ketua redaksi Harian Neratja. Selanjutnya ia menjadi salah satu pimpinan Sarekat Islam.

Mohammad Natsir pernah jadi menteri dan perdana menteri. Ia putra Mohammad Idris dan Khadijah. Ia belajar di Sekolah Rakyat Maninjau sampai kelas dua. Selanjutnya di HIS (Hollandsch Inlandsche School) Adabiyah di Padang, hanya beberapa bulan. Kemudian pindah ke Solok, belajar di HIS siang hari, dan Madrasah Diniyah pada malam hari. Tiga tahun kemudian pindah lagi ke HIS Padang. Lalu lanjut ke MULO ( Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), lulus dan pindah ke Bandung untuk mengikuti pendidikan di AMS ( Algemeene Middlebare School). Ia pernah menjadi Ketua Jong Islamieten Bond Bandung. Kemudian berguru pada Ahmad Hassan pendiri Persatuan Islam, Cokroaminoto, dan Agus Salim. Ia pernah menjadi guru. Sampai zaman Orde Baru, Natsir tetap konsisten dengan keislaman, keindonesiaan, dan kekritisan. Apapun dilakukannya untuk kebaikan negara bangsa ini. Natsir adalah teladan terbaik politisi Indonesia.

Dalam usia 14, Semaoen sudah menjadi aktivis Sarekat Islam. Setahun kemudian ia bertemu Sneevliet tokoh sosial demokrat Belanda, dan masuk Indische Sociaal-Democatische Vereeniging yang merupakan organisasi sosial. Ia juga menjadi aktivis persatuan buruh kereta api. Ayahnya adalah tukang batu di jawatan kereta api. Namun Semaoen bisa bersekolah di Tweede Klass (khusus untuk pribumi kelas dua). Ia juga belajar bahasa Bekanda. Ia kemudian bekerja sebagai pegawai kecil di Staatsspoor Surabaya. Ia pindah ke Semarang menjadi propagandis persatuan buruh kereta api. Dalam waktu singkat Semaoen menjadi tokoh penting di kedua organisasi itu. Ia menjadi redaktur sejumlah harian. Tulisan-tulisannya tajam dan cerdas menyerang berbagai kebijakan penjajah. Ia juga anggota Dewan Pimpinan Sarekat Islam, dan Ketua Sarekat Islam Semarang. Kemudian berasama Alimin dan Darsono mendirikan Partai Komunis Indonesia karena berhasil memimpin sejumlah pemogokan. Meskipun pada mulanya Partai Komunis merupakan bagian dari Sarekat Islam, namun karena banyaknya perbedaan, akhirnya keduanya berpisah. Semaun kemudian pergi ke Moskow dan Tan Malaka menggantikannya sebagai ketua Partai Komunis Indonesia. Setahun di Moskow ia kembali jadi Ketua Partai Komunis Indonesia, namun tidak diterima di Sarekat Islam. Semaun gagal memimpin demonstrasi besar dan dibuang ke Belanda. Ia kemudian ke Uni Sovyet dan bermukim selama 30 tahun. Sempat belajar di Universitas Tashkent, aktif pada komite komunis internasional, menjadi warga negara Sovyet dan pengajar Bahasa Indonesia serta penyiar radio Moskow dalam Bahasa Indonesia. Kemudian diberi jabatan pimpinan Badan Perancang Negara Tajikistan oleh Stalin. Pada 1953 pulang ke Indonesia dan sempat mengajar di Universitas Pajajaran Bandung untuk mata kuliah ekonomi.

Amir Syarifuddin adalah putra pasangan Djamin Baginda Soripada Harahap dan Basunu Siregar, yang merupakan keluarga Mandailing atau Batak Selatan beragama Islam. Ayahnya keturunan pemangku adat dan seorang jaksa. Amir besar di Medan. Sekolah dasar ELS tamat 1921 dan 1926 ke Leiden Belanda melanjutkan pendidikan, hanya setahun. Di Belanda ia mukim di rumah guru Kristen Calvinis Dirk Smink. Ia kembali ke Indonesia dan dibaptis sebagai seorang Kristen. Amir adalah Perdana Menteri Indonesia kedua. Ia dieksekusi mati karena dituduh terlibat pemberontakan komunis 1948 yang dipimpin Muso. Amir dianggap tokoh paling kontroversial. Pada mulanya Islam, menjadi Kristen, lalu muncul sebagai tokoh dan pimpinan komunis dan meninggal sambil memeluk Injil.

Tan Malaka adalah tokoh pergerakan yang paling kontroversial dan misterius. Bukan saja peran dan sumbangsihnya dalam proses pencapaian kemerdekaan yang diperdebatkan. Bahkan kematian dan makamnya masih menjadi kontroversi. Ia merupakan putra pasangan Rasad Caniago dan Sinah Sinabur. Belajar di Kweekschool Bukit Tinggi dan Rijks Kweekschool di Haarlem, Belanda. Seperti Sukarno dan Sudirman, ia pernah menjadi guru di daerah perkebunan Deli Serdang yang dekat dengan Medan. Ia merupakan pejuang yang gigih menentang penjajah dan menolak strategi kooperatif yang dilakukakan Sukarno  terhadap Jepang, dan Syahrir saat menjadi Perdana Menteri dengan Belanda. Berbeda dari para pejuang lain, Tan Malaka melakukan banyak perjalanan di Asia dan Eropa untuk melawan penjajahan selama 30 tahun. Ia sering disejajarkan dengan Ho Chi Minh dari Vietnam dan Jose Rizal asal Filipina. Bukunya Madilog, meski terus menerus dilarang masih dibaca banyak orang sampai kini.

S.M. Kartosoewirjo adalah anak mantri yang mengatur para pedagang candu bernama Kartosoewirjo. Ia sekolah di ISTK ( Inlandsche School Tweede Klasse), lalu meneruskan ke ELS. Ia juga belajar agama dari tokoh Islam asal Muhammadiyah Notodiharjo. Selesai di ELS dia kuliah di NIAS (Nederlands Indische Artsen School) yaitu perguruan tinggi kedokteran. Ia masuk Sarekat Islam dan belajar pada Cokroaminoto dan diangkat menjadi sekretaris pribadi. Ia akhirnya dikeluarkan dari NIAS karena aktivitas politiknya.

Sebagian besar tokoh itu memang memiliki keluarga yang memungkinkan mereka menikmati sekolah moderen yang didirikan dan dikelola penjajah Belanda. Kebanyakan merupakan sekolah khusus untuk putra-putri Eropa dan pribumi kelas satu yaitu para pejabat dan keturunan raja. Artinya tidak setiap putra-putri pribumi bisa menikmati pendidikan moderen yang bagus.

Rasanya tidak sedikit putra-putri Indonesia yang bisa menikmati pendidikan tersebut kala itu. Namun, tidak semua mereka berani mengambil resiko untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah karena pendidikan yang telah mengubah dirinya. 

Kita bisa menduga bahwa para tokoh itu sampai mengambil keputusan untuk menjadi bagian penting dari perlawanan terhadap penjajah dengan resiko dibuang bahkan dibunuh, merupakan hasil dari sejumlah interaksi. Interaksi di dalam keluarga, dalam pendidikan dan teman sebaya. Sebuah interaksi dialektis yang membuat mereka matang sebelum waktunya.

Christoper D. Frith and Daniel M. Wolpert eds. Dalam The Neuroscience of Social Interaction: Decoding, imitating, and influencing the action of others (2004) menegaskan sebagai makhluk sosial otak manusia memang memiliki potensi besar untuk melakukan interaksi sosial. Potensi itu akan mewujud jika manusia membangun interaksi dengan sesamanya, dan akan semakin dipertajam jika ia mampu melakukan interaksi dengan banyak orang yang berasal dari beragam budaya dan latar belakang.

Bila kita cermati dengan seksama perjalanan hidup para tokoh itu terjadi interaksi antara mereka yang seangkatan dan yang berbeda angkatan. Para tokoh kebangkitan nasional adalah orang yang saling kenal dan bahu-membahu dalam semangat kebersamaan untuk melakukan upaya-upaya membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya melawan penjajahan.

Cokroaminoto merupakan kawan seiring seperjuangan dengan para pendiri Budi Utomo. Ia juga guru bagi Semaoen, Alimin, Muso, Sukarno, Tan Malaka, M. Natsir, dan Kartosoewirjo yang merupakan angkatan di bawahnya.

Tokoh-tokoh ini kita ketahui memiliki anutan ideologi yang berbeda. Semaoen yang pernah menjadi salah seorang pimpinan Sarekat Islam akhirnya menjadi ketua pertama partai komunis Indonesia. Ia mendirikan Partai Komunis Indonesia bersama Alimin dan Darsono. Muso dan Tan Malaka juga penganut ideologi komunis. Sukarno adalah seorang nasionalis. M. Natsir dan Kartosoewirjo dikenal sebagai tokoh Islam. Muso dan Kartosoewirjo akhirnya berhadapan dengan Sukarno karena Muso dan Kartosoewirjo menjadi pemberontak.

Tampaknya keyakinan Sukarno untuk memasyarakatkan dan membangun politik Indonesia dengan semangat Nasakom yaitu Nasionalis, Agama, dan Komunis boleh jadi berakar pada pengalaman masa mudanya saat tinggal di rumah Cokroaminoto bersama teman-teman yang berbeda ideologi, namun tetap bisa berjuang bersama.

Apa yang dialami para tokoh ini dapat dijadikan sumber inspirasi bahwa dalam pendidikan dan pengajaran terutama dan yang utama adalah menananamkan nilai-nilai, bukan lewat pengajaran verbal, namun melalui praktik nyata dan keteladanan. Nilai-nilai yang terpancar adalah pentingnya kebersamaan, saling menghargai, dan kemampuan untuk berjuang bersama bagi kepentingan negara bangsa, melampaui kepentingan pribadi dan kelompok. Pendidikan nilai ini lebih penting dan utama daripada pembelajaran terkait dengan kemampuan-kemampuan teknis untuk sekadar bertahan hidup dalam masyarakat.

Salah satu kedahsyatan para tokoh itu adalah kemampuan mereka melampaui apa yang mereka dapatkan dalam pendidikan formal. Kemampuan mengejawantahkan ke dalam realitas keseharian pengetahuan dan kemampuan-kemampuan yang mereka pelajari.

Mungkin semangat untuk menanamkan nilai-nilai mulia itulah yang kurang mendapatkan perhatian dalam banyak keluarga, masyarakat dan pendidikan formal kita dewasa ini. Pendidikitan kita kini dalam praktiknya terlalu asyik dengan pengetahuan dan keterampilan teknis. Meskipun secara konseptual pentingnya penanam nilai agar menjadi bagian dari kepribadian para siswa telah disusun dan direncanakan dengan sangat baik. Salah satunya melalui pendidikan karakter.

Sangat penting menekankan pentingnya pendidikan bagi seluruh bangsa dari berbagai lapisan. Dari kisah hidup para tokoh terbukti pentingnya pendidikan. Tanpa pendidikan yang mereka jalanani, rasanya tidak ada Indonesia merdeka. Pendidikan terbukti mampu merubah, membentuk, memicu dan memacu para tokoh itu untuk melakukan transformasi total terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, pendidikan menjadikan mereka manusia-manusia yang visioner, fokus, berani, kreatif, dan rela berkorban.

Menjadi tanggung jawab Pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan bermutu bagi semuan anak bangsa tanpa terkecuali. Sebagian besar tokoh itu dapat menikmati pendidikan bermutu yang dibangun dan dikelola penjajah. Namun saat itu akses pendidikan hanya dapat dinikmati oleh segelintir manusia Indonesia yang berasal dari keluarga terpandang. Kekecualian memang ada tetapi tidak banyak. Salah satu yang dapat disebut adalah Semaoen.

Dalam Indonesia merdeka diskriminasi seperti yang dilakukan penjajah tidak boleh terjadi. Pendidikan Indonesia Akar Indonesia harus memberi kesempatan dan akses yang sama kepada seluruh bangsa Indonesia, tanpa terkecuali. Merupakan kejahatan bila anak-anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan bermutu karena berasal dari keluarga tak mampu.

Jika dilihat dari riwayat singkat para tokoh tampaknya Semaoen dan Sudirman berasal dari keluarga yang berbeda dengan kebanyakan tokoh lain. Namun, berkat kesungguhan akhirnya mereka mendapat kesempatan untuk menikmati pendidikan. Pastilah pendidikan itu didapatkan dengan sangat susah payah.

Oleh karena itu Pendidikan Indonesia Akar Indonesia harus mengusahakan secara maksimal pendidikan bermutu sebagai upaya untuk meningkatkan mutu manusia Indonesia. Tidak peduli apapun latar belakang sosio ekonominya.

Kita tidak boleh menyalahkan asal-usul pembelajar bila ia tidak berhasil. Apalagi dengan mengaitkan ketidakberhasilan itu dengan latar keluarga si pembelajar. Sejak dulu hingga kini, para pembelajar yang berasal dari keluarga-keluarga miskin yang kurang gizi dan kurang waktu untuk belajar karena harus membantu orang tua mencari nafkah, jika diberi kesempatan bisa memeroleh hasil gemilang.

Jangan pernah menyalahkan asal-usul si pembelajar. Apalagi sampai menggunakan gen sebagai penyebab kegagalan. Seringkali para pendidik yang tidak bijak akan mengatakan jika yang masuk sampah, yang keluar sampah. Orang yang berkata seperti itu sama sekali tidak pantas untuk menjadi pendidik.

Karena hakikinya pendidikan adalah upaya terencana yang terstruktur, tersistem, dan terukur untuk mengubah pembelajar menjadi kebih baik dalam sikap, sifat, perilaku dan keterampilan. Penelitian-penelitian mutakhir tentang gen semakin memperkuat temuan bahwa gen bisa diubah dan berubah. Bukan penentu dominan seperti yang selama ini diyakini.

Oliver James dalam Not In Your Genes: The Real Reason Children Are Like Their Parents (2016) menegaskan bahwa gen memberi corak secara terbatas, pengasuhan, cinta, kehangatan, pembelajaran lebih banyak mencoraki manusia. Lebih lanjut disampaikan (2016:4) bahwa,

The latest research cannot find genetic codes that significantly influence the tranmission of psychological characteristic from parents to child ( dribbling is in large part matter of psychology). Whether it be specific genes, groups of genes, or large numbers of variants, they have not been shown to play any important role in explaining our intelligence, personality or mental health.

Tampaknya gen lebih banyak berpengaruh pada aspek-aspek fisik dan penyakit-penyakit tertentu. Kecerdasan, kepribadian, bahkan kesehatan mental lebih banyak ditentukan oleh pengasuhan, pendidikan, dan lingkungan sosiokultural.

Oleh karena itu sebagai konsekuensinya adalah bagaimana menciptakan pola-pola asuh yang bermakna dalam keluarga, merancang dan mempraktikkan pendidikan yang memberi kesempatan bagi pembelajar untuk mengolah potensi dan kemungkinan-kemungkinannya untuk tumbuh kembang menjadi manusia unggul.

Juga sangat penting untuk mengarahkan perkembangan masyarakat ke arah yang mendukung tumbuh kembang manusia menjadi manusia yang dapat memberikan sumbangan terbaik seperti yang telah diteladankan oleh para tokoh yang disebutkan di atas.

Kazuo Murakami dalam The Divine Massage Of DNA (2007) menegaskan bahwa sikap dan lingkungan bisa mengubah gen. Pengalamannya pindah dari Jepang ke Amerika Serikat telah membuatnya berubah. Ini terjadi karena tradisi dan lingkungan universitas yang sangat berbeda antara di Jepang dan Amerika Serikat.

Kazuo Murakami dalam Switch: Mengaktifkan Saklar Positif Gen untuk Mengubah Hidup Anda (2016) menegaskan kembali apa yang telah diungkapkannya dalam buku sebelumnya bahwa yang menyalakan saklar gen adalah "lingkungan" yang bervariasi. Ia menambahkan keadaan lingkungan hati dapat mengubah perilaku gen.

Tambahan dari Murakami yaitu selain lingkungan yang bervariasi, sikap dan lingkungan hati pun dan mengubah perilaku gen. Bila kita telaah lebih rinci tampaknya sikap berani dan konsisten para tokoh yang riwayat hidupnya telah disajikan, benar-benar telah mengubah mereka menjadi manusia yang berbeda dari manusia kebanyakan pada zamannya.

Semua mereka pernah mengalami perlakuan negatif dari penjajah. Namun, mereka bersikap positif menghadapinya. Tidak menyerah, tetapi memanfaatkan perlakuan negatif seperti pemenjaraan dan pembuangan sebagai kesempatan untuk menambah pengetahuan, keterampilan, dan jaringan memperluas barisan perlawanan.

Kebanyakan mereka memanfaatkan pembuangan ke Belanda untuk menambah pengetahuan dan membangun organisasi gerakan untuk mendapatkan dukungan internasioal. Pembuangan ke berbagai tempat juga kelihatannya membuat mereka mengalami hidup dan tumbuh dalam lingkungan yang bervariasi.

Bila pembuangan itu di dalam negeri, mereka memanfaatkannya untuk lebih memahami budaya lokal dan membangun jaringan. Jika ke luar negeri, mereka terus belajar dan mencari dukungan internasional bagi kemerdekaan Indonesia, serta mengalami secara langsung bagaimana budaya dan demokrasi di negara itu.

Intinya adalah bagaimana sikap dan lingkunganyang bervariasi telah mendorong para toko itu tumbuh mekar menjadi manusia-manusia yang membanggakan karena memberikan sumbangan yang nyata dan bermakna bagi keindonesiaan. Karena itu menjadi kewajiban terutama bagi Pemerintah untuk mengusahakan pentingnya menanamkan sikap-sikap positif dan lingkungan yang bervariasi terutama dalam pengelolaan masyarakat dan pendidikan, sesuai dengan perkembangan kekinian Insonesia.

Terkait dengan lingkungan hati bisa disebutkan motivasi terutama motivasi internal sebagai daya dorong untuk maju dan berubah. Lingkungan hati ini memiliki hubungan dengan segala sesuatu yang bersifat keyakinan dan emosi. Lingkungan hati yang lebih menentukan dari motivasi adalah keyakinan, niat, semangat, harapan, dan kesungguhan untuk mencapai cita-cita. Sementara itu yang terkait dengan emosi antara lain adalah rasa nyaman, kegembiraan mengejar cita-cita, dan kemampuan untuk fokus pada tujuan-tujuan jangka panjang.

Keseluruhannya jika dikelola dengan sangat baik akan menjadi pemicu dan pemacu bagi setiap individu untuk terus menerus meningkatkan kemampuan diri dan kesungguhan mencapai cita-cita. Para tokoh yang disebutkan di atas telah tunjukkan bagaimana lingkungan hati tersebut berhasil menjadikan mereka manusia yang mampu memberikan sumbangan sangat luar biasa bagi pencapaian kemerdekaan negara bangsa ini.

Kondisi historis yang dijalani para tokoh itu memang sangat berbeda dengan yang kita alami sekarang. Namun, tantangan yang kita hadapi boleh jadi lebih kompleks dibandingkan masa lalu. Dalam arti tertentu kita juga "masih dijajah". Terutama secara ekonomis dan teknologis.

Oleh karena itu Pendidikan Indonesia Akar Indonesia harus mampu menemurumuskan cara-cara yang membuat anak bangsa memiliki sikap dan suasana hati yang memungkinkan mereka mampu melakukan tindakan sebagaimana yang telah dibuktikan oleh para tokoh itu. Bahkan melampauinya. Tentu saja dengan pengungkapan dan tindakan yang tidak sama, karena konteks sosial dan kondisi historisnya tidak sama.

Cara-cara yang menjadikan anak-anak bangsa ini menjadi manusia yang mandiri, merdeka, dan berani mengambil keputusan-keputusan yang mendahulukan kepentingan negara bangsa di atas kepentingan pribadi dan kelompok. Berani berkorban untuk kejayaan Indonesia.

Maknanya pendidikan merupakan upaya sistematis untuk memanusiakan manusia, sebagai makhluk multidimensi yang mengejawantahkan nilai-nilai terbaik kemanusiaan untuk memajukan manusia dalam kebersamaan sebagai komunitas negara bangsa. Pendidikan Indonesia Akar Indonesia tidak boleh menyederhanakan pendidikan hanya sebagai upaya memberikan kepada anak-anak bangsa keterampilan teknis praktis untuk kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan jangka pendek.

Pendidikan merupakan wahana yang paling tepat dan efektif untuk melakukan upaya merubah manusia ke arah yang lebih baik, bukan saja secara teknis pragmatis, juga secara substansial menyangkut sikap, sifat dan perilakunya, yang kini dipopulerkan dengan istilah pendidikan karaktert.

Siddharta Mukherjee dalam The Gene An Intimate History (2016) melakukan kajian sejarah tentang gen sejak 1865 saat Gregor Mendel melakukan penelitian tentang hereditas sampai dengan 2010-2015 kala metode baru tentang "edit" dan perubahan gen manusia telah dilakukan.

Mukherjee semakin menegaskan bahwa perubahan dan pengeditan gen manusia memang dimungkinkan. Dalam sejarah Indonesia hal itu telah dibuktikan. Bagaimana para tokoh itu mampu melampaui semua keterbatasan, hambatan dan tantangan menjadi pemicu untuk tumbuh mekar menjadi manusia yang memiliki kualitas di atas rata-rata. Mampu menjadi manusia pencipta sejarah. Tak terbantahkan bahwa pendidikan yang dijalani memberikan kontribusi sangat bermakna yang menjadikan mereka manusia pencipta sejarah.

Ada yang sangat menarik dari kehidupan para tokoh itu. Semua mereka, meskipun menjalani pendidikan formal. Namun, tidak berkutat hanya dengan buku, pelajaran dan segala sesuatu tentang sekolah. Semua mereka menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas yang memungkinkan untuk, menggunakan istilah yang kini populer, mengasah kecerdasan sosial dan emosional. Mereka aktif berorganisasi, mengikuti berbagai kegiatan yang memungkinkan mereka bergaul, berinteraksi dan belajar dari banyak orang dengan beragam latar belakang.

Artinya mereka tumbuh mekar dalam lingkungan yang kaya dan mengalami langsung beragam aktivitas yang menumbuhkembangkan kesadaran kebangsaan. Itulah sebabnya sejak usia remaja mereka sudah terlibat dalam beragam bentuk perlawanan terhadap penjajah. Pengalaman langsung berhadapan dengan beragam masalah yang sungguh-sungguh dirasakan masyarakat jajahan sebagai akibat kekejaman penjajah. Semua ini, yaitu lingkungan yang kaya dan pengalaman langsung, benar-benar menjadikan mereka pribadi-pribadi yang matang.

Kathy Hirsh-Pasek, Roberta Michnick Golincof, Diane Meyer dalam Einstein Never Used Flash Cards (2004) menegaskan lingkungan yang kaya dan pengalaman langsung sangat membantu memperkaya otak.

David Eagleman dalam The Brain: The Story Of You (2015) menegaskan bahwa pengalaman langsung sangat memicu bertambahnya jejaring sinapsis di dalam otak yang meningkatkan kecerdasan, pemahaman dan penghayatan terhadap berbagai masalah. Karena itu mendorong untuk selalu mencari solusi atas masalah.

Dengan demikian Pendidikan Indonesia Akar Indonesia harus mengusahakan lingkungan yang kaya dan pengalaman langsung dalam praktik pendidikan. Lingkungan yang kaya tidak selalu bermakna sekolah yang bagus dengan fasilitas yang lengkap dan mahal.

Lingkungan yang kaya bisa dihadirkan dengan membawa para pembelajar dalam kehidupan nyata sesuai dengan pemahaman dan kompetensi yang sedang ditumbuhkembangkan. Tidak juga berarti harus pergi ke tempat tertentu dengan biaya mahal. Manfaatkan lingkungan sosial yang sangat dekat dengan mereka. Dekat dengan sekolah atau tempat tinggal.

Saya mengajar Mata Kuliah Manajemen Konflik. Tujuannya adalah memahami bagaimana konflik terjadi, apa penyebab, pemicu, dan tahapannya. Juga dicari tahu bagaimana solusi konflik itu diusahakan, langkah-langkah yang harus ditempuh dan hasil akhir penyelesaiannya.
Bila mahasiswa hanya diberi sejumlah konsep untuk memahami konflik pastilah mereka merugi karena hanya akan memahami konflik sebatas konsep intelektual.

Karena itu mereka diwajibkan, dalam kelompok yang terdiri dari tiga sampai empat orang, mendatangi tempat-tempat dan sekolah-sekolah yang pernah mengalami konflik seperti Johar Baru, Berlan, Tanjung Priok, Kampung Pulo dan banyak tempat lain. Para mahasiswa bertemu langsung dengan pihak-pihak yang pernah terlibat konflik, mendapatkan keterangan yang saling bertentangan, bahkan kadang suasana emosi yang masih negatif.

Cara ini memberi banyak keuntungan pada semua mahasiswa. Mereka bisa memahami konflik dari dalam. Dari orang-orang yang mengalami konflik itu. Pemahaman dari dalam dan mendalam memungkinkan tumbuhnya empati, memahami dan menghayati dari sudut orang yang mengalami. Cara ini sungguh telah mengasah kecerdasan sosial para mahasiswa. Bukan hanya pengetahuan dan pemahaman yang didapatkan. Pun kesadaran tentang pentingnya mengusahakan hidup damai dalam keberagaman, dan kompleksitas masyarakat dengan semua problematikanya.

Dalam Mata Kuliah Metode Penelitian, mahasiswa dalam kelompok kecil diwajibkan melakukan observasi dan wawancara ke sekolah-sekolah dan individu atau komunitas tertentu seperti anak jalanan, manusia gerobak, pedagang asongan, pemulung, dan beragam komunitas lain untuk mencaritemukan masalah-masalah yang layak untuk diteliti. Sebenarnya untuk merumuskan masalah penelitian bisa dilakukan di dalam kelas dengan berdiskusi dan membaca buku dan hasil-hasil penelitian yang telah dipublikiasikan.

Namun cara ini ditempuh agar mahasiswa mendapatkan pengalaman langsung dan memahami beragam lingkungan sosial dalam masyarakat. Dengan demikian, sebagai mahasiswa Pendidikan Ilmu Sosial, mereka sungguh memahami secara mendalam berbagai problema pendidikan yang terjadi di sekolah dan masalah-masalah yang sungguh dihadapi masyarakat.

Apa yang saya lakukan adalah sebuah upaya kecil untuk memberi kesempatan bagi para mahasiswa untuk mengembangkan secara sekaligus berbagai bagian dalam otaknya. Pada gilirannya otak mereka semakin diperkaya sehingga mereka tumbuh sebagai manusia multidimensi.

Cara kecil ini merupakan upaya sengaja yang dilakukan karena didasarkan pada kesadaran bahwa para pendidik memang harus mengusahakan secara sistematis beragam aktivitas yang memperkaya otak. Bukankah para tokoh yang memerdekakan negara bangsa ini dari penjajahan telah memberikan ketaladanan dengan hidup mereka, bagaimana mereka melakukan beragam upaya untuk memeperhadapkan dirinya dalam pengalaman langsung dengan "nyemplung" ke dalam berbagai masalah yang sungguh dirasakan oleh masyarakatnya.

Dalam kaitan itu, Gordon M. Shepherd dalam Creating Modern Neuroscience: The Revolutionary 1950s (2010) menguraikan bahwa telah terjadi revolusi dalam neurosains berkat kecanggihan teknologi dan sejumlah penelitian yang makin terfokus, spesifik dan rinci. Akibatnya banyak pendapat lama tentang otak berubah. Otak ternyata sangat adaptif dan elastis. Bukan benda yang statis. Upaya-upaya sistematis untuk membuat otak semakin kaya sangat dimungkinkan.

Jadi, melakukan berbagai upaya dan cara untuk membuat otak semakin kaya merupakan kewajiban dalam pendidikan dan pembelajaran. Jangan pernah mengerdilkan proses pembelajaran dan pendidikan hanya sebagai upaya untuk menjawab tes-tes skolastik yang sekadar bersifat kognitif intelektual. Cara ini bertentangan dengan keteladanan yang telah ditunjukkan oleh para tokoh yang sering kita sebut sebagai Bapak-bapak pendiri negara bangsa ini.

Bapak-bapak pendiri negara bangsa tersebut benar-benar secara sengaja memerkaya dirinya dengan aktif mengikuti berbagai aktivitas sebagai upaya untuk mengalami. Mengalami mengelola organisasi, mengalami belajar dengan banyak orang, mengalami melakukan perlawanan terhadap penjajah dengan segala resikonya. Beragam pengalam itulah yang telah membentuk kepribadian yang tangguh, tahan banting, konsisten dalam beragam kesulitan.

Rita Carter dalam Multiplicity: The New Science of Personality, Identity, and The Self (2008) menegaskan bahwa banyak faktor yang menetukan pembentukan kepribadian, yang utama adalah otak dan pengalaman. Ia kemudian membuat lingkaran kepribadian (2008:134) untuk memetakan beragam jenis kepribadian.

Ada gambar

Kepribadian adalah sintesis dari sejumlah sifat dan sikap yang tidak muncul secara otomatis. Tetapi tumbuh mekar melalui menjalani dan menghayati sejumlah pengalaman dalam hidup nyata. Gambar di atas menunjukkan sejumlah sifat yang menjadi dasar terbentuknya kepribadian. Beberapa contoh penggunaannya (2008:194 dan 196) ditampilkan berikut ini.

Ada gambar

Kepribadian yang dimiliki seorang profesional dan seorang Bos sangat berbeda. Karena unsur pembangun, tantangan, dan kebiasaan-kebiasaan keduanya memang berbeda.

Berdasarkan cara penjelasan di atas, kita bisa lebih memahami mengapa Bapak-bapak pendiri negara bangsa ini memiliki kepribadian yang menunjukkan bahwa mereka adalah manusia-manusia utama yang unggul dan mencapai prestasi puncak. Mereka secara sadar memilih tujuan yang jelas yaitu Indonesia merdeka, dan memilih pengalaman-pengalaman yang penuh tantangan sehingga tumbuh mekar dan terbentuklah kepribadian yang memungkinkan mereka menjalani hidup tidak seperti kebanyakan orang yang mencari kenyaman untuk diri sendiri, keluarga sendiri dan kelompok sendiri.

Kemampuan memilih tujuan-tujuan mulia yang mereka teladankan, pilihan-pilihan yang meniscayakan pengorbanan, sungguh telah membentuk mereka menjadi yang terbaik. Scott De Marchi and James T. Hamilton dalam You Are What You Choose: The Habits Of Mind That Really Determine How We Make Decisions (2009) menegaskan bahwa pilihan mengarahkan kita pada tujuan-tujuan yang telah ditetapkan, dan membawa konsekuensi yang tidak sederhana. Sebab secara langsung menentukan tindakan-tindakan apa yang harus dilakukan untuk mencapai atau mewujudkan pilihan itu. Apapun yang menjadi resiko atas pilihan itu, biasanya diterima dan dimaknai secara positif. Karena itulah, kita akan menjadi apa yang kita pilih.

Sebagai contoh cermati sikap Cokroamonoto yang sejak mula memilih tidak mau bekerjasama dengan penjajah. Ia menolak saat ditawari menjadi anggota Volksraad oleh Pemerintah Hindia Belanda pad 1927. Pastilah penolakan ini membawa akibat yang tidak menyenangkan baginya. Sebab ia dianggap sebagai pembangkang. Namun, penolakannya sangat dihargai oleh para aktivis perjuangan, membangkitkan semangat mereka dan Cokroaminoto semakin dipercaya sebagai pemimpin. Pemimpin yang layak diteladani. Pilihan Cokroaminoto menentukan posisinya yang kemudian menjadi tokoh yang paling inspiratif, dan diteladani. Itulah sebabnya tidak sedikit Bapak-bapak pendiri negara bangsa ini menjadi muridnya. Menjadi muridnya dalam usia sangat muda, Cokroaminoto juga masih terbilang muda.

Sangat menarik memerhatikan gejala ini. Bapak-bapak pendiri negara bangsa ini sudah mulai membuat pilihan-pilihan sulit dan menetukan dalam usia muda. Melakukan aktivitas perlawanan dan menjalani banyak pengalaman yang sangat bermakna pada usia muda.

Howard Gardner dalam Changing Minds: Seni Mengubah Pikiran Kita dan Orang Lain (2004) menjelaskan bahwa pembentukan dan perubahan-perubahan biasanya terjadi saat manusia masih berusia muda. Saat pilihan-pilihan masih sangat terbuka. Perubahan-perubahan itu akan sangat menentukan arah dan tujuan pada waktu selanjutnya.

Beranjak dari sejarah yang dijalani oleh para tokoh bangsa yang telah dijelaskan di atas, Pendidikan Indonesia Akar Indonesia harus memberi kesempatan pada generasi muda bangsa ini kesempatan-kesempatan yang memperhadapkan mereka pada pilihan-pilihan yang akan menentukan bukan saja sejarah dan masa depan pribadi, juga sejarah dan masa depan negara bangsa ini.

Maknanya, dalam praktik dan proses pendidikan serta pembelajaran, mereka diberi kesempatan seluas-luasnya untuk terbiasa sekaligus berpikir kritis dan kreatif, dan didorong selalu melakukan proses memilah, memilih dan mengolah. Artinya, merekalah yang aktif mencaritemukan berbagai masalah dan solusi.

Sebagai konsekuensinya metode-metode pembelajaran tradisional dan klasik yang menempatkan guru sebagai satu-satunya otoritas dan sumber di kelas sudah harus dilarang. Guru yang bertahan dengan metode itu harus disegarkan atau diminta memilih profesi lain.

Sisi lain dari kehidupan para tokoh itu adalah perbedaan dan keberagaman. Mereka menempuh pendidikan yang sangat berbeda. Ada yang dididik di pesantren yang biasa disebut pendidikan tradisional karena bukan saja berbeda dengan pendidikan moderen yang dikembangkan oleh penjajah. Juga merupakan bentuk perlawanan terhadap penjajah dalam bentuk pendidikan. Mereka yang dididik dalam tradisi pesantren kemudian melanjutkan pendidikannya ke Mekkah dan Madinah.

Ada pula yang mengalami pendidikan dalam lembaga pendidikan Islam moderen yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah. Beberapa menjalani pendidikan dalam lembaga yang berbasis nasionalis yaitu Taman Siswa.

Kebanyakan tokoh itu merasakan pendidikan Barat yang moderen. Terdapat perbedaan dan keberagaman. Ada yang dididik pada lembaga yang diperuntukkan bagi anak-anak Eropa dan anak kelas atas pribumi. Ada yang menikmati pendidikan pada sekolah moderen yang diperuntukkan bagi pribumi kelas dua atau rakyat kebanyakan.

Jenis dan tingkat pendidikannya juga sangat beragam. Ada yang hanya pendidikan dasar, ada pula yang sampai tingkat menengah. Dalam jumlah yang lebih sedikit sampai ke pendidikan tinggi. Ada yang menikmati pendidikan Barat di Indonesia saja seperti Sukarno. Ada pula yang sampai ke Belanda seperti Hatta. M. Natsir menikmati sekaligus pendidikan Barat dan pendidikan Islam sebagaimana yang dialami generasi muda di Tanah Minang.

Perbedaan dan keberagaman yang lain adalah akar budaya dari para tokoh. Sebagian besar berasal dari Jawa. Ada yang Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sebagian dari Sumatra, paling banyak Sumatra Barat. Para tokoh itu sebenarnya berasal dari seluruh Indonesia dengan beragam latar belakang budaya. Hanya sebagian kecil saja yang dicantumkan di atas sebagai contoh.

Pastilah perbedaan dan keberagaman itu memberi corak terhadap kepribadian para tokoh. Bahwa mereka yang berasal dari akar budaya yang berbeda dan sangat beragam, demikian juga pendidikannya yang beragam, dapat bersatu untuk dan demi keindonesiaan merupakan anugerah yang luar biasa bagi negara bangsa ini. Maknanya sejak awal, hakikinya Indonesia adalah keberagaman atau kebhinekaan yang dirajut menjadi kesatuan, BHINNEKA TUNGGAL IKA.

Perbedaan dan keberagaman itu harus terus dipupuk, dimekarkan dan diberi makna. Sebab keberagaman itu adalah akar asli dan kuat dari keindonesiaan. Pendidikan Indonesia Akar Indonesia harus didasarkan pada hakikat keindonesiaan yang beragam itu. Penyeragaman adalah musuh besar yang harus dilawan. Justru keberagaman itulah yang membentuk kita sebagai manusia Indonesia, dulu, kini, dan nanti.
Erin Meyer dalam The Culture Map: Decoding How People Think, Lead, And Get Things Done Across Cultures (2015) menegaskan bahwa setiap individu itu berbeda, tetapi ada corak budaya dalam dirinya. Budaya membentuk perilaku dan memberi pengaruh pada persepsi, kognisi, dan tindakan setiap individu.

Meyer (2015:15-16) membuat skala untuk memetakan dan mengukur perbedaan antarbudaya. Skala tersebut adalah:

. Communicating: low-context vs. high-context
. Evaluating: direct negative feedback vs. indirect negative feedback
. Persuading: principles-first vs. aplication first
. Leading: egalitarian vs. hierarchical
. Deciding: consensual vs. top-down
. Trusting: task-based vs. relationship-based
. Disagreeing: confrontational vs. avoid confrontation
. Scheduling: linear-time vs. flexible-time.

Berdasarkan skala ini bisa dipetakan perbedaan manusia yang berasal dari budaya yang berbeda. Perbedaan itu ditampilkan dalam spektrum. Sebagai contoh ditampilkan perbedaan dalam skala scheduling di bawah ini (2015:23)

Germany           UK                    France                 India
<-------------------------------------------------------------------------------------->
Linear-time.                                                                    Flexible-time

Penjelasan dan skala dari Meyer menekankan pentingnya mengakui bahwa memang terjadi perbedaan karena pengaruh budaya. Bukan sekadar perbedaan cara berpakaian dan kuliner. Lebih dalam dari itu perbedaan persepsi, kognisi dan tindakan. Sebagai negara bangsa perbedaan itu kita bingkai dalam ideologi negara Pancasila.

Pendidikan Indonesia Akar Indonesia harus menjadi pelopor bagi kelangsungan keberagaman Indonesia. Tidak boleh ada upaya penyeragaman. Penyeragaman, apalagi dengan paksaan, pasti akan berujung anomali dan tragedi.

Sebagai bangsa kita menerima Pancasila adalah ideologi yang merajut kita untuk hidup damai dalam keberagaman dan perbedaan. Saat Orde Baru yang dikomadani Suharto dan didukung sangat kuat oleh militer memaksakan Pancasila sebagai satu-satunya asas berpolitik dan bermasyarakat. Terjadilah tragedi yang menyebabkan sejumlah anak bangsa dihabisi dengan kejam antara lain di Tanjung Priok. Mengapa sampai terjadi tragedi. Karena penyeragaman secara hakiki bertentangan dengan kodrat keindonesiaan.

Pendidikan memiliki sifat lebih terbuka tinimbang ideologi. Karena itu dalam jagat pendidikan, keberagaman harus dijadikan akar dan terus dikembangmekarkan. Jangankan lembaga pendidikan, pabrik mobil saja saat membangun pabriknya di berbagai negara, sangat memerhatikan budaya setempat dalam pengelolaan sumber daya manusianya.

Orang-orang yang merasa dirinya pakar pendidikan dan getol menyerukan agar kita mengadopsi dan mengadaptasi model-model pendidikan dari negara-negara yang mutu pendidikannya terbaik di dunia seperti Finlandia, Jepang, dan Korea Selatan. Adalah orang yang sama sekali tidak memahami hakikat pendidikan. Seruan mereka bukan saja aneh, juga sangat berbahaya.

Dimana pun di dunia ini, sistem dan model pendidikan yang dibangun di sebuah negara pasti berakar pada budaya dan ideloginya. Kita bisa belajar secara kritis dengan tahapan memilah, memilih dan mengolah hanya pada dimensi-dimensi teknis. Itupun dengan keharusan untuk disesuaikan dengan budaya kita.

Jie-Qi Chen, Seana Moran, Howard Gardner eds. dalam Multiple Intelligences Around The World (2009) menegaskan, bahwa penerapan Multiple Intelligences (MI) yang dirumuskan Gardner tidak bisa seragam penerapannya di semua tempat. Faktor budayalah yang membuat penerapan itu berbeda. Bahkan di Cina yang sangat luas, penerapan MI muncul dalam beragam bentuk. Ini menunjukkan betapa penting dan menentukan kebudayaan sebuah bangsa.

Pendidikan sejatinya adalah bagian penting dari pembudayaan yaitu memertahankan yang terbaik yang terdapat di dalam kebudayaan dan terus mengembangkannya sesuai dengan tantangan dan tuntutan zaman. Pendidikan harus berakar pada budaya.

Apa yang dilakukan sejauh ini untuk merumuskan Pendidikan Indonesia Akar Indonesia barulah langkah awal. Ada banyak cara untuk menggalinya, antara lain dengan melakukan kajian mendalam terhadap praktik-praktik pendidikan yang telah berjalan lebih panjang dari umur kemerdekaan kita. Sejumlah sumber yang bisa dimanfaatkan adalah tradisi pesantren, Taman Siswa, Pendidikan Kayu Tanam di Ranah Minang, Pendidikan Muhamadiyah, Pendidikan yang terkait dengan Agama Hindu, Budha, dan Kristen. Juga bagaimana tokoh-tokoh selain tokoh politik tumbuh kembang.

PENDIDIKAN BERMAKNA BILA BERAKAR PADA BUDAYA YANG TERBUKTI DAPAT BERTAHAN DALAM LINTASAN SEJARAH, DAN MEMBIMBING KITA MENUJU MASA DEPAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd