Senin, 16 Mei 2016

NEUROSAINS DAN PENDIDIKAN (4)

Tidak ada manusia yang sama persis. Selalu saja ada perbedaan, sekecil apa pun perbedaan itu. Setiap manusia adalah unik. Inilah fakta tak terbantahkan tentang manusia. Semua manusia, dimana pun dan kapan pun.

Dalam tahun-tahun yang panjang, bersama para relawan yang bekerja pada Yayasan Nanda Dian Nusantara, kami melakukan kerja sosial di banyak daerah yang tergolong kumuh seperti Kebun Sayur Mangga Dua, Pasar Ikan dan Luar Batang, Pasar Ikan Muara Angke, Pasar Burung Jatinegara, Pasar Induk Kramat Jati, Perempatan Tomang, Perempatan By Pass-Pemuda-Pramuka, Perempatan By Pass-Utan Kayu, Stasiun Kereta Api Tanjung Priuk, Bongkaran Tanah Abang, dan Terminal Bus Grogol, serta beberapa lokasi Di Bogor. Kami membantu anak pasar dan anak jalanan.

Pastilah ada kesamaan di antara anak-anak itu dan keluarganya. Mereka semua miskin, tidak tinggal di rumah yang permanen, pekerjaan orang tuanya tidak tetap, ayah-ibu dan saudara-saudaranya berpendidikan rendah. Semua anak itu tanpa terkecuali pernah mengalami kekerasan yang dilakukan justru oleh orang tuanya dan orang-orang dekat lain seperti kakaknya. Kekerasan yang lengkap, mulai dari kekerasan verbal sampai fisik, dan psikis.

Anak-anak itu juga menjadi korban kekerasan oleh orang dewasa lain saat  mencari uang sebagai pengamen, pengemis, pemulung dan tukang parkir liar. Kekerasan bisa dan biasa dilakukan oleh petugas keamanan, kondektur angkutan umum, dan saingan sesama pengamen dan pemulung yang lebih dewasa.

Meski terdapat sejumlah kesamaan, namun keberbedaan lebih banyak dan menonjol. Secara umum jika ditinjau dari tingkat keliaran dan keberanian, anak jalanan Persimpangan Tomang menduduki peringkat pertama, Persimpangan By Pass-Pramuka pada peringkat dua, dan anak Pasar Burung Jatinegara yang paling bawah. Sedangkan bila dinilai berdasarkan kemampuan bekerja sama, maka peringkat pertama adalah anak Pasar Induk Kramat Jati, anak Pasar Burung Jatinegara pada peringkat kedua, dan anak Stasiun Kereta Api Tanjung Priuk yang paling bawah.

Apakah anak jalanan Persimpangan Tomang yang berbeda dibandingkan anak dari wilayah lain, memiliki sikap, sifat, dan perilaku yang seragam? Ternyata tidak. Anak-anak jalanan  Persimpangan Tomang yang berasal dari sejumlah daerah di Sumatera yang benar-benar sudah tidak berkomunikasi dengan keluarga, memiliki sikap dan karakter yang sangat berbeda dibandingkan teman-temannya yang tinggal di daerah kumuh sekitar Tomang yang masih berinteraksi dengan keluarga.

Di Perempatan Tomang, setiap anak menunjukkan keberbedaan dibandingkan teman-temannya. Meskipun bila berkumpul dengan anak-anak dari wilayah lain dalam acara Pesantren Ramadhan sangat terlihat ciri-ciri khas anak Tomang dibandingkan anak Muara Angke, dan anak-anak dari tempat lain.

Sebagai sebuah komunitas mereka terlihat memiliki kesamaan dibandingkan komunitas lain. Namun, dalam komunitas itu setiap anak tetap saja berbeda satu sama lain dan unik.

Bila berkumpul bersama anak-anak itu dalam waktu agak lama seperti Pesantren Ramadhan yang berlangsung 7-10 hari segera terlihat keunikan setiap anak. Ada anak yang sangat senang menggoda teman-temannya bahkan yang sudah tidur. Ada pula yang menghabiskan waktu membersihkan halaman yang digunakan untuk shalat Tarawih dan berbagai kegiatan. Ada yang asyik membaca Al Qur'an.

Anak-anak dari Pasar Induk Kramat Jati biasanya tidak bisa tidur pada malam hari. Karena di Pasar Induk Kramat Jati mereka bekerja mengutip sayur dan buah dari jam sembilan malam sampai pukul empat pagi, baru tidur setelah itu sampai siang. Karena itu mereka diberikan kegiatan menonton film-film keagamaan, membaca Al Qur'an, dan bergantian bercerita tentang diri dan pengalamannya. Sungguh setiap anak menunjukkan keberbedaannya dari anak yang lain. Mereka berlomba menunjukkan siapa dirinya yang berbeda itu.

Anak-anak pasar dan jalanan adalah anak-anak marginal perkotaan yang meski miskin dan kurang terdidik, namun selalu gembira, penuh semangat, optimis, sangat jarang mengeluh dan tidak gampang menyerah. Selalu bergembira, suka menolong teman, suka berbagi, dan setia kawan.

Bila dicermati dengan teliti akan terlihat perbedaan yang ditunjukkan anak-anak berasal dari banyak sebab. Anak-anak yang berasal dari luar Jakarta yaitu dari Palembang, Lampung, Banten, Tangerang, dan Pantura menunjukkan corak daerah yang terlihat dari cara bicara dan sejumlah perilaku. Anak-anak asal Sumatera terlihat lebih mandiri dan berani. Sementara anak-anak dari Pantura lebih menunjukkan kebersamaan dan kemampuan sosialisasi yang baik.

Setelah hidup bersama untuk waktu yang lama di jalan, terlihat sejumlah sikap dan perilaku hasil interaksi dan pergaulan di jalan. Ada sejumlah kesamaan sikap dan sifat. Kesamaan itu paling menonjol berupa keberanian, solidaritas, kekompakan, dan ucapan-ucapan yang cenderung kasar meskipun sedang bercanda. Kehidupan jalanan dan pasar memberi bekas sangat kuat pada diri setiap anak.

Apa yang dipaparkan tentang anak jalanan dan anak pasar, pastilah terjadi pada setiap anak dimana pun, apapun latar sosial ekonominya. Anak-anak itu tumbuh kembang, terus berubah dan berbeda dari yang lain.

Ada sejumlah pertanyaan yang sejak dahulu kala dikemukakan tentang tumbuh kembang manusia, perubahan dan perbedaannya. Apa yang membuat manusia berubah? Apa saja yang membuat manusia berbeda dari yang lain? Bukankah manusia merupakan keturunan dari sumber yang sama yaitu Adam dan Hawa, mengapa bisa menjadi sangat berbeda satu sama lain? Apa penyebabnya, bagaimana cara dan prosesnya sehingga menjadi sangat berbeda? Apakah perbedaan itu sampai pada molekul pembangun tubuh meskipun masih tampak sejumlah kesamaan? Proses apa yang pernah terjadi dan dilalui, sehingga setiap manusia yang berasal dari satu sumber itu memiliki kode gen yang berbeda? Bahkan anak kembar siam pun menunjukkan keberbedaan?

Ini pertanyaan klasik. Telah muncul sejak zaman kuno. Bila kita tengok dari bahan-bahan tertulis yang masih bisa dibaca sampai kini, paling tidak persoalan ini bisa ditelusuri sejak zaman Plato. Murid Socrates ini percaya bahwa manusia memiliki ide-ide bawaan dalam pikirannya. Jika manusia melihat piring di dunia ini. Piring itu pernah dilihatnya di Dunia Ide. Itulah sebabnya Plato percaya hanya rasio, tempat ide-ide bawaan itu bersemayam, yang memungkinkan manusia memperoleh kebenaran dan kepastian. Panca indra tidak bisa dipercaya karena sering tidak akurat, bahkan menipu. Plato percaya bahwa tumbuh kembang manusia merupakan pemekaran dan pelanjutan bawaan yang memang terlekat erat dalam diri tiap manusia.

Aristoteles, murid utama Plato, menentang gagasan gurunya tentang ide bawaan. Aristoteles percaya bahwa kepastian dan kebenaran harus dicari pada fakta-fakta empiris, fakta-fakta yang bisa diindrai. Dengan cara memeriksa fakta-fakta dengan cermat, kebenaran harus dibangun tahap demi tahap. Apa yang kemudian disimpulkan oleh rasio atau pikiran, tidak lebih dan tidak kurang merupakan hasil pengamatan terhadap realitas yang berisi fakta-fakta yang menjadi bahan bagi rasio untuk membuat kesimpulan. Dalam cara pikir itu diyakini tumbuh kembang manusia merupakan hasil interaksi manusia dengan lingkungan dimana si manusia itu berada.

Perbedaan pandangan antara Plato dan Aristoteles digambarkan secara sangat jelas dalam lukisan Mazhab Athena yang dibuat oleh Raphael Sanzio. Lukisan itu menunjukkan filsuf zaman pencerahan yang berkumpul dengan filsuf Romawi danYunani Kuno. Pada pusat lukisan berdiri berdampingan dua filsuf besar yaitu Plato yang menunjuk ke atas, dan Aristoteles yang menunjuk ke bawah. Plato adalah tokoh "dunia atas" atau dunia ide, dan Aristoteles adalah tokoh "dunia bawah" atau dunia empiris.

Perbedaan pandangan kedua tokoh ini menyebabkan mereka menyelenggarakan pendidikan dengan cara atau metode yang tidak sama. Di Akademi Plato tempat Aristoteles belajar, para siswa dilatih matematika dan logika. Cara yang paling ditonjolkan adalah berdiskusi dan berdebat mengikuti dialektika Socrates, yaitu tanya jawab kritis. Pendekatan deduktif analitis model matematika menjadi cara yang dipraktikkan untuk mencari kepastian dan kebenaran. Diyakini di Akademi Plato ada aturan berbunyi yang tidak bisa matematika dilarang masuk.

Aristoteles mendirikan Lyceum Aristoteles. Cara yang digunakan Plato tidak menjadi pilihan utama. Aristoteles juga mengajarkan logika dan matematika. Tentu saja menggunakan buku yang ditulisnya yang sampai kini masih dibaca banyak orang. Tetapi pendekatan yang dominan adalah induktif, beranjak dari data dan kejadian. Ia memberi kesempatan pada para pembelajar untuk menyaksikan pembedahan mayat. Dengan demikian para pembelajar bisa melihat langsung bagian dalam tubuh manusia. Aristoteles terbiasa dengan pembedahan karena ayahnya seorang dokter.

Aristoteles meminta para pembelajar yang berasal dari berbagai tempat yang berbeda, ada yang berasal dari perkotaan, pedesaan, daerah pesisir, dataran tinggi untuk secara cermat mencatat apa saja yang terdapat di daerah masing-masing. Mulai dari jenis pohon, binatang, ciri orang, makanan, sejumlah sikap dan berbagai hal yang bisa diamati. Setelah itu para pembelajar memaparkan temuannya dalam diakusi terbuka.

Dengan cara itu Aristoteles mendorong para pembelajar menelaah lebih jauh apa yang menyebabkan perbedaan antara pohon di pantai dan dataran tinggi, juga perbeadan binatang, makanan dan manusia. Perbedaan yang terdapat pada manusia terlihat mulai dari fisik sampai perilaku dan kebiasaan. Inilah pembelajaran dengan pendekatan induktif yang mendorong pembelajar untuk mengalami dan menghayati.

Rupanya pertentangan guru-murid ini merupakan akar kontroversi tentang perubahan, perkembangan, dan perbedaan manusia yang sampai kini belum pernah bisa diselesaikan secara tuntas. Kaum rasionalis yang dengan setia mengikuti Plato memertahankan adanya ide bawaan pada manusia. Munculah pandangan nativisme yang meyakini bahwa perkembangan anak mengikuti bawaan yang melekat pada anak. Rousseau pendukung nativisme dikenal dengan konsep "noble savage" anak membawa dasar yang baik dan positif dalam dirinya, masyarakatlah yang merusaknya. Schopenhauer dan Pestalozzi merupakan pendukung nativisme. Dalam khazanah ilmu, psikologi kognitif mengikuti dan memertahankan pendapat tentang adanya ide bawaan dalam diri manusia.

Sedangkan kaum empiris mengikuti dan terus mengembangkan pemikiran Aristoteles. Locke salah seorang filsuf empiris terkenal dengan teori "tabula rasa", anak bagai kertas kosong, lingkungan yang menentukan perkembangannya. Psikologi behaviorisme melakukan sejumlah penelitian untuk membuktikan tidak ada ide bawaan. Manusia dibentuk dan dipengaruhi oleh lingkungan. Pengkondisian menjadi konsep penting.

William Stern tersohor sebagai tokoh yang memperkenalkan teori konvergensi, sebuah upaya yang mencoba mensintesiskan dua pandangan yang bertentangan itu. Pastilah tidak mudah dan agak sulit dipertahankan. Itulah sebabnya dua pandangan itu masih merupakan kontroversi sampai kini.

Persoalan merumit saat penelitian-penelitian genetika memastikan bahwa gen ternyata membawa dan meneruskan warisan dari orang tua yang ikut menentukan bukan saja dimensi fisik manusia, juga dimensi psikisnya. Karena itu tidak usah terkejut jika ada yang mengomentari bayi yang baru lahir dengan ungkapan, hidungnya seperti kakeknya. Gen memungkinkan itu. Menjadi problematis bila ungkapan itu berupa, matanya mirip tetangga sebelah. Walah.

Keyakinan bahwa gen tidak dapat berubah bertahan cukup lama. Namun, penelitian-penelitian mutakhir dalam genetika dan berbagai upaya yang dilakukan sebagai bagian dari perkembangan rekayasa genetika, kini diyakini bahwa gen bisa berubah. Tetapi seberapa besar perubahan itu terjadi, belum dapat dijelaskan dengan rinci dan tuntas.

Khusus untuk perkembangan kognitif anak ada dua tokoh yang paling populer yaitu J. Piaget dan Vygotsky. Keduanya secara tersurat menolak pendirian nativisme. Keduanya dikategorikan dalam aliran konstruktivisme. Aliran yang meyakini bahwa anak adalah makhluk aktif yang merekonstruksi pengetahuannya. Anak bukanlah gelas kosong yang bisa diisi penuh dengan air. Anak tidak pasif sebagaimana gelas kosong yang diisi air minum. Ada upaya si anak untuk merekonstruksi pengetahuan melalui serangkaian upaya sesuai dengan tingkat perkembangannya.

Konstruktivisme mengakui anak aktif membangun pemahaman. Namun, ada perbedaan antara Piaget dan Vytgotsky. Vygotsky menekankan pentingnya relasi dan interaksi anak dengan lingkungan sosial. Relasi dan interaksi itulah penentu perkembangan anak. Sedangkan Piaget tampaknya agak abai dengan dimensi sosial ini. Itulah sebabnya Piaget dan para penerusnya yakin bahwa perkembangan kognitif anak merupakan tahapan yang berlaku universal. Vytgotsky membuka kemungkinan yang lebih luas karena anak bisa tidak sampai atau melampaui tahapan-tahapan yang direkonstruksi Piaget. Penentunya adalah relasi dan interaksi sosial yang dialami anak.

Dalam neurosains topik yang diurai di atas juga memunculkan perdebatan. Apakah manusia memang memiliki bawaan yang melekat dalam sistem otaknya atau perkembangan otak dan kemanusiaannya  ditentukan oleh interaksi dengan lingkungan? Apakah perkembangan otak manusia mengikuti hukum-hukum yang berlaku universal atau ikut ditentukan oleh konteks sosial dan memiliki corak yang khas?

Michel Ferrari & Lijljana Vuletic (eds.) dalam buku Developmental Relations among Mind, Brain and Education (2010:332), menyatakan,

"stage of development are not universal, rather they are developed locally through experience, with the support of biological mechanisms and cultural practice."

Tidak universalnya tahapan perkembangan anak, tetapi lebih bersifat lokal melalui pengalaman tentu saja merupakan kenyataan yang bisa dengan sangat jelas ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Lihatlah perbedaan nyata antara anak-anak yang dibesarkan di perkotaan dan pedesaan, antara anak-anak yang dibesarkan di Sumatera dan Jawa. Mereka berbeda karena hidup dalam tradisi budaya yang berbeda.

Perbedaan itu tampak secara nyata pada bahasa, cara bicara, bahkan sampai pada selera makan. Meskipun kini ada penyeragaman selera karena banyak resto sejenis dengan makanan yang sama tersebar nyaris di seluruh negeri, namun tetap saja perbedaan selera itu tetap ada dan bertahan.

Karena itu sebagai akibatnya bukan hanya selera yang berbeda. Boleh jadi pencernaan kita juga berbeda. Hasil penelitian menunjukkan betapa berbedanya pencernaan orang Jepang dengan orang Amerika Serikat disebabkan kebiasaan memakan makanan yang berbeda, sehingga penyakit pencernaan paling dominan yang diderita orang Jepang tidak sama dengan orang Amerika Serikat. Jika pencernaan orang Padang dan orang Sunda diteliti, boleh jadi banyak perbedaannya.

David Disalvo dalam Brain Changer: How Harnessing Your Brain's Power To Adapt Can Change Your Live (2013) menegaskan bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki kemampuan membangun relasi dan organisasi sosial. Konsekuensinya, otak manusia tidak berkembang di ruang kosong, di dalam isolasi, tetapi merupakan hasil interaksi dengan lingkungan sosikultural.

Kuatnya pengaruh lingkungan sosiokultural pada mansuia memang sulit dibantah. Jejaknya tampak pada anak-anak pasar dan anak jalanan yang kami bina. Mereka berani, namun keberanian mereka tidak sama. Tampaknya lingkungan tempat mereka dibesarkan memberi corak sangat kental terhadap ungkapan keberaniannya.

Anak-anak Pasar Induk Kramat Jati, perempuan dan lelaki, berusia enam sampai dengan lima belas tahun setiap malam berkejaran mengikuti truk yang masuk ke Pasar Induk membawa buah atau sayur. Mereka berlari kencang untuk menggantung pada bagian belakang truk. Seringkali mereka dimarahi dan dimaki kernet truk atau satpam. Karena tindakan mereka sangat berisiko.

Mereka mengejar truk untuk mendapatkan buah atau sayur yang berjatuhan saat pintu belakang truk dibuka dan kala buah dan sayur diangkat. Mereka berebutan antara sesamanya. Keadaan akan makin mengerikan jika musim hujan. Sering terjadi mereka terjatuh sampai ada bagian tubuhnya yang cedera. Bahkan ada yang terpaksa dirawat di rumah sakit karena kepalanya terkena pintu truk yang dibuka. Pekerjaan itu membuat mereka berani dan kuat. Namun, tidak berani bila harus menghadapi anak-anak sebaya yang iseng mengganggu mereka. Berbeda dengan anak Persimpangan Tomang yang sebaya dengan mereka. Karena harus bersaing dengan banyak orang di jalan atau di bus saat mengamen, mereka berani menghadapi siapa pun yang mengganggu.

Sama beraninya, tetapi beda cara ungkapnya. Sebab anak-anak Pasar Induk Kramat Jati bersaing dengan sesama teman yang dikenal dan hidup bersama. Sedangkan anak Persimpangan Tomang harus bersaing dengan orang yang tidak dikenal. Lingkungan dan pengalaman yang berbeda, memunculkan sikap dan perilaku yang berbeda.

Keberbedaan itu bisa muncul dengan cara lain. Selama masa yang sangat panjang, sejak tahun delapan puluhan sampai sekarang saya berulang-ulang mengunjungi Baduy, Kampung Naga, Dieng dan Bromo. Sewaktu SMA dan kuliah mengikuti semangat petualangan. Sejak mengajar, membawa mahasiswa melakukan berbagai kegiatan. Di Baduy terlihat terjadi perubahan mendasar, terutama di kalangan anak-anak dan generasi mudanya. Sebagai akibat semakin berubahnya lingkungan sosial.

Pada tahun delapan puluhan hanya beberapa gelintir orang Baduy yang bermukim di kampung di luar perkampungan tradisional orang Baduy yang berada di dalam hutan. Kampung di luar hutan itu kemudian disebut sebagai Baduy Luar. Penduduk Baduy Luar berinteraksi dengan penduduk selain orang Baduy untuk berbagai keperluan. Semakin lama, penduduk Baduy Luar terus bertambah. Kini penduduk Baduy Luar menempati beberapa pemukiman. Sementara itu terdapat pula pemukiman atau perkampungan yang kami sebut sebagai Baduy Tengah. Karena terletak di antara Baduy Luar dan Baduy Dalam.

Ada yang menarik untuk diperhatikan yaitu perbedaan perilaku anak-anak dari ketiga kampung ini. Anak-anak dan remaja Baduy Luar bisa berbahasa Indonesia bercampur dengan bahasa Sunda. Mereka mengenakan baju kaos bertuliskan Barcelona, Arsenal atau bergambar para hero seperti Spiderman. Mereka biasa menonton televisi dan ikutan bermain games bersama anak-anak yang bukan orang Baduy. Para remaja Baduy Luar sudah terbiasa dengan telepon genggam.

Anak-anak dan remaja Baduy Tengah lebih sering berkumpul dengan anak-anak dan remaja Baduy Luar. Meski banyak kesamaan dengan anak-anak dan remaja Baduy Luar, mereka tidak seberani dan seterbuka anak-anak dan remaja Baduy Luar. Karena masyarakat Baduy Tengah lebih memegang dan melaksanakan tradisi masyarakat Baduy dibandingkan masyarakat Baduy Luar.

Berbeda dengan anak-anak dan remaja Baduy Luar dan Baduy Tengah, anak-anak dan remaja Baduy Dalam sangat berbeda. Mereka relatif hidup dengan nilai-nilai asli Baduy. Menghabiskan waktunya untuk bekerja dan bermain. Mereka adalah anak-anak dan remaja yang kuat dan pekerja keras. Sering terlihat mereka membawa sayuran, gula merah, bahkan durian dalam jumlah banyak untuk dijual ke perkampungan yang dekat dengan Baduy Dalam. Mereka hanya bisa berbahasa Sunda. Jika sedang berkumpul dengan anak-anak dan remaja Baduy Luar dan Baduy Tengah sangat tampak perbedaannya. Mulai dari perbedaan penampilan fisik sampai dengan pembedaan perilaku.

Semua anak-anak dan remaja Baduy oleh aturan tradisi yang dilaksanakan turun temurun tidak boleh bersekolah. Tradisi ini berlaku bagi semua anak-anak dan remaja Baduy tanpa terkecuali. Bukan berarti mereka tidak bisa cerdas karena tradisi itu. Namun, tradisi ini membuat anak-anak dan remaja Baduy mengalami sejumlah kesulitan saat berinteraksi dengan orang luar dan kehidupan di luar lingkungannya.

Anak-anak dan remaja Baduy telah banyak berubah akibat interaksi yang lebih intensif dengan orang luar. Apalagi jumlah penduduk Baduy Luar semakin banyak. Perubahan yang terjadi ini tidak direncanakan. Terjadi karena perpindahan penduduk dari dalam hutan ke pemukiman penduduk yang terletak di perkampungan. Perkampungan Baduy Luar sejak dulu bersifat terbuka. Tidak seperti perkampungan Baduy Dalam yang sejatinya tertutup dari kehadiran dan keberadaan orang luar. Namun, banyaknya orang luar yang berwisata ke Baduy Dalam memberikan pengaruh terhadap penduduk Baduy Dalam. Meskipun pengaruh itu tidak sedahsyat seperti yang dialami penduduk Baduy Luar.

Pengaruh itu pastilah terjadi sampai mengubah pola-pola di dalam otak dan sejumlah perilaku, sikap, sifat dan kebiasaan yang bisa diamati. Perubahan ini membuktikan bahwa otak manusia memang sangat dipengaruh oleh tradisi, budaya, dan lingkungan fisik dan sosial dimana manusia itu berada dan dibesarkan.

Meski anak-anak dan remaja Baduy, anak-anak jalanan dan pasar sama-sama dipengaruhi oleh lingkungan sosiokultural, tetapi mereka tumbuh kembang sebagai anak-anak yang sama sekali berbeda. Sebab lingkungan sosiokultural tempat mereka tumbuh kembang sangat berbeda. Dengan demikian kebiasaan, nilai-nilai, dan perilaku yang tertanam dalam benak mereka sama sekali berbeda.

Eric. B. Shiraev dan David. A. Levy dalam Psikologi Lintas Kultural: Pemikiran Kritis dan Terapan Modern (2012:130-131) menjelaskan hasil-hasil penelitian sebagai berikut, 

Anak dari keluarga kaya cenderung melihat koin lebih kecil dari ukuran sebenarnya, sedangkan anak keluarga miskin melihatnya tampak lebih besar dari sebenarnya. Peneliti berpendapat bahwa kebutuhan akan uang di kalangan anak miskin memengaruhi persepsi mereka terhadap koin. Orang yang tinggal di gurun tidak mengalami penurunan daya dengar seperti yang dialami oleh penduduk kota besar.

Ibnu Khaldun (1332-1406) yang diakui sebagai bapak sosiologi, historiografi, dan ekonomi, telah melakukan penelitian dan membuat sejumlah kesimpulan tentang perbedaan manusia karena pengaruh lingkungan tempat ia tinggal dan dibesarkan. Jadi temuan ini bukan sesuatu yang baru.

Shinobu Kitayama dan Dov Kohen ed. dalam Handbook of Cultural Psychology (2010) menegasakan bahwa pengaruh kultur sangat kuat dalam tumbuh kembang anak. Semua dimensi kemanusiaan anak yaitu persepsi, memori, kognisi, emosi, cita rasa, perilaku, kepribadian, kebiasaan, dan karakter dipengaruhi dan ikut dibentuk oleh lingkungan kultural dalam interaksi yang sangat rumit. Secara khusus neurosains sangat memerhatikan pengaruh ini.

Meskipun otak manusia secara fisik biologis tampak sama antara satu manusia dibandingkan manusia lainnya, namun jangan pernah berpikir bahwa otak manusia sungguh-sungguh sama persis. Bila diteliti dengan teknologi canggih pemindai otak akan sangat terlihat perbedaannya.

Perbedaan itu merupakan akibat dari banyak faktor yang telah ikut membentuk otak sejak bayi dalam kandungan. Sejumlah faktor yang bisa ikut menentukan adalah kesehatan fisik dan psikis saat ibu hamil, asupan nutrisi, dan apakah si ibu pernah mengalami penyakit, merokok, atau memiliki kebiasaan menikmati alkohol saat hamil.

Berdasarkan sejumlah penelitian terbukti bahwa ibu hamil yang mengalami stres berkepanjangan menyebabkan bayinya mengalami kerusakan otak permanen. Orang yang mengalami stres memproduksi lebih banyak hormon kortisol. Banyak sekali akibat karena meningkatnya hormon kortisol. Salah satu akibat adalah mengentalnya darah. Pengentalan darah membuat darah tidak lancar dan kemampuannya mengalirkan oksigen menjadi menurun. Akibatnya otak si ibu dan si bayi mengalami kekurangan pasok oksigen.

Kekurangan pasok oksigen memberi pengaruh sangat buruk bagi tumbuh kembang otak si bayi. Jika ibu hamil mengalami stres berkepanjangan bisa dipastikan otak si bayi akan rusak secara permanen. Dalam Who Switched Off My Brain? Controlling Toxic Thoughts and Emotions (2007), Caroline Leaf menguraikan secara rinci berbagai penelitian tentang tumbuh kembang otak anak dan bermacam ancaman yang bisa merusak otak secara permanen.

Fakta di atas semakin menegaskan bahwa otak manusia memang sangat dipengaruhi oleh lingkungan fisik dan kultural. Fakta ini sama sekali tak terbantahkan.

Otak juga dipengaruhi oleh teknologi. Kini kita menikmati era digital. Nyaris semua orang sudah terbiasa dengan telepon genggam dan gadget. Kita berkomunikasi, bermain, berkarya menggunakan teknologi digital. Sementara itu anak-anak dan remaja kita tenggelam dalam kenikmatan games yang menghabiskan banyak waktu. Ternyata kekerapan menggunakan dan menikmati teknologi digital bisa memberi pengaruh terhadap otak.

Susan Greenfield dalam Mind Change: How digital technologies are leaving their mark on our brains (2015:210) menjelaskan, video games dapat sangat merusak otak dan perilaku. Ia menjelaskan siklus bertahap yang dialami oleh penggila games. Ada sembilan tahap dalam siklus yang membuat para penggila games mengalami gangguan. Kesembilan taha itu adalah:

1. Intense stimulation of screen: fast responce
2. High arousal, high levels of dopamine release
3. Reward-seeking addictive behaviour
4. Dopamine released
5. Dopamine causes PFC (prefrontal cortex) hypo-function
6. Mindset of childhood, schizophrenia, obesity, gambler
7. Action have no consequences
8. Drive: sensation over cognition
9. Greater appeal of a screen environment?

Tahapan yang berupa siklus itu menunjukkan betapa games secara bertahap dan pasti merusak otak dan perilaku penggemarnya. Ketergantungan pada games tak ubahnya bagai kecanduan pada narkoba. Harus dipenuhi, jika tidak pelakunya akan mengalami sejumlah gangguan. Gangguan yang terus meningkat sampai tingkat yang membahayakan si gamers atau penggila games.

Tentu saja akan sangat berbeda jika games yang dimainkan dipilih dengan baik dan waktu bermainnya dijadwalkan dalam porsi waktu yang terukur. Dengan cara pemilihan games dan pengaturan waktu, pastilah games bisa sangat berguna. Karena sejumlah games bisa menumbuhkan empati. Terutama yang tergolong Role Playing Games (RPG). Salah satu contoh RPG adalah pemainnya memerankan dokter yang membantu orang kecelakaan. Ia harus mengambil tindakan cepat dan hati-hati, berusaha sekuat tenaga dengan pikiran fokus agar si korban dapat diselamatkan.

Apa yang kita konsumsi juga sangat memengaruhi otak.  Dalam Scientific American, Mind, Behavior, Brain Science, Insights, Volume 27, Number 2, March/April 2016 dengan topik The Best Diet for Your Brain: Optimal Eating to Stay Happy and Sharp, diuraikan bahwa menu tradisonal di Mediteranian, Okinawa, dan Skandinavia terbukti sangat menyehatkan, bukan saja bagi tubuh, terutama untuk otak. Menu Mediteranian terbukti dapat menurunkan stres sampai dengan tiga puluh persen. Pengaruh ini terjadi karena menu dimaksud mengandung omega tiga yang berasal dari ikan sarden, tuna, dan salmon, serta sayur dan buah yang mengandung antioksidan.

Karena itu bukanlah suatu kebetulan bila 3000 tahun sebelum Masehi peradaban terbentuk di daerah yang subur dan memiliki sungai yang besar yaitu di lembah Mesopotamia yang terletak di antara sungai Efrat dan Tigris, di Mesir yang terletak di tepian sepanjang Sungai Nil, dan di Sungai Indus, serta Sungai Kuning di Cina.

Mengapa peradaban muncul di daerah tepian sungai? Ini ada kaitannya dengan makanan yang dihasilkan sungai yaitu ikan. Ikan terbukti sangat membantu tumbuh kembang otak dan mampu meningkatkan kinerja otak. Sungai juga merupakan jalur transportasi utama, tempat orang berkumpul, bertemu, berkomunikasi dan berinteraksi. Interaksi memungkinkan orang-orang berkomunikasi bertukar kabar, informasi, dan gagasan. Pastilah situasi ini dapat memicu kinerja otak menjadi lebih baik. Tentu saja kedua hal di atas tidak bakal ditemukan di Sungai Ciliwung.

David Perlmutter dan Kristin Loberg dalam Grain Brain: The Surprising Truth About Wheat, Carbs, and Sugar, Your Brain's Silent Killers (2013), menegaskan bahwa beragam gangguan otak seperti sakit kepala kronis, depresi, epilepsy, dan penyakit otak lain bukan disebabkan oleh gen, tetapi apa yang dimakan. Disfungsi otak dimulai dengan makan roti setiap hari.

Jika diperhatikan dengan seksama lingkungan sekitar kita. Betapa banyak kini anak-anak yang autis, hyperaktif, mengalami kesulitan belajar, mengidap tumor otak dan gangguan otak lain. Bukankah peningkatan jumlah anak-anak yang mengalami gangguan yang berpusat di otak ini sejajar dengan semakin banyaknya anak-anak yang menikmati makanan pabrikan setiap hari? Makanan yang menggunakan pengawet dan beragam penyedap rasa yang merupakan olahan bahan kimia.

Tidak berlebihan bila Guy McKhann dan Marilyn Albert dalam Keep Your Brain Young (2010) dan Pangkalan Ide dalam buku Agar Otak Sehat: Bahan Pangan Pilihan untuk Menjaga Otak Tetap 'Awet Muda' dan Mencegah Stroke dan Demensia (2013) menganjurkan  menjaga makanan setiap hari agar otak tetap sehat dan segar. Kedua buku itu secara spesifik menjelaskan menu makanan sehat bagi otak dan makanan yang dapat merusak otak. Sejumlah makanan yang direkomendasikan bagi kesehatan otak adalah ikan, kacang mete, blueberry, pisang, avokad, bayam, wortel, almond, tomat, kurma, walnut atau kacang kenari, selada air, paprika, teh hijau, susu kedelai, jamur kuping, melon, jamur kuping, cokelat, susu dan telur. Tentu saja harus sangat memerhatikan porsi. Prinsip dasarnya adalah tidak boleh berlebihan.

Semakin terbukti bagaimana otak dipengaruhi oleh lingkungan sosiokultural. Bahkan secara biologis dan kimiawi, otak juga sangat ditentukan lingkungan sosiokultural terkait dengan kebiasaan mengonsumsi makanan.

Neil R. Carlson dalam Fisiologi Perilaku Jilid 1(2012:3) menegaskan, kita tahu bahwa kesadaran dapat berubah akibat perubahan pada struktur atau kimia otak.

Contoh paling nyata dan mudah dari penegasan Carlson bisa kita saksikan pada pecandu alkohol dan narkoba. Bagaimana perilaku mereka jika telah menenggak alkohol dalam jumlah berlebihan. Mereka memiliki kesadaran dan perilaku yang sangat berbeda dibandingkan sebelum meneggak alkohol.

Lingkungan sosiokultural bahkan bisa memengaruhi otak dengan cara yang sangat mengerikan melalui metode-metode tertentu seperti cuci otak. Dalam Scientific American Mind, Behavior, Brain Science, Insights, Volume 27, Number 3, May/June 2016 dengan topik The Mind Of A Terrorist: What psychology tells us about countering extremism, diuraikan bagaimana orang bisa menjadi teroris  sadis.

Jangan mengira bahwa para teroris itu adalah orang-orang yang psikopat, jahat, dan sadis pada mulanya. Mereka adalah orang-orang yang normal bahkan baik. Namun saat 'dibina' dalam kelompok khusus yang dengan canggih, sistematis dan terstruktur memerhatikan, mengistimewakan, dan meyakinkan dengan mengedepankan memori dan emosi serta mengebawahkan akal, jika akal digunakan pastilah yang dikedepankan akal instrumental yang lebih fokus menjelaskan persoalan-persoalan teknis praktis dan menghindari pembahasan kritis tentang substansi, mereka berubah menjadi manusia dengan keyakinan dan cara berfikir yang sama sekali berbeda.

'Cuci otak' yang dilakukan  saat pembinaan membuat mereka melihat, memersepsi dan memahami realitas dengan cara yang sama sekali berbeda, bahkan bertentangan dengan sebelumnya. Mereka diberi pemahaman dan keyakinan baru tentang sejumlah konsep-konsep kunci seperti jihad.

Akibatnya mereka mau dan mampu melakukan perbuatan sadis, kejam, dan tak bernurani membunuh manusia, bahkan dengan cara membunuh diri. Mereka mau lakukan tindakan sadis tersebut karena meyakininya  sebagai jalan kebenaran untuk memeroleh surga.

Ini bukti bahwa otak itu rentan. Bukan saja dalam pengertian bisa dan gampang sakit atau rusak karena pengaruh lingkungan, makanan atau virus. Juga dalam arti gampang dipengaruhi, direkayasa, dan dikendalikan.

Terutama pada manusia yang masih tumbuh kembang yaitu anak-anak dan remaja. Oleh karena itu, 'para pengantin' sebutan bagi para pelaku bom bunuh diri kebanyakan merupakan remaja, sebagian besar berpendidikan rendah, dan secara ekonomis masuk golongan tengah dan bawah.

Mengapa remaja sangat mudah dipengaruhi? Frances E. Jensen dan Amy Ellis Nutt dalam The Teenage Brain: A Neuroscientist's Survival Guide To Raising Adolescents And Young Adults (2015) menegaskan bahwa ciri utama otak remaja adalah gampang terpengaruh. Kondisi ini terkait, antara lain, dengan kenyataan bahwa remaja sedang mengalami perubahan yang sangat kompleks terkait pematangan bagian-bagian otak dan mulai berpengaruhnya hormon-hormon seksual. Karena itu remaja sangat rentang terhadap pengaruh lingkungan sosio kuktural, terutama teman-teman sebaya atau orang dewasa yang dengan sengaja memengaruhi mereka.

Dalam kehidupan sehari-hari kita saksikan betapa mudah para remaja
dipengaruhi atau mengikuti teman sebaya. Dalam kasus semakin banyaknya kalangan remaja menjadi pecandu narkoba dan semakin meningkatnya pergaulan bebas remaja, penyebabnya adalah dorongan teman sebaya.

Tengoklah kejadian mengerikan pemerkosaan dan pembunuhan yang dilakukan terhadap YY oleh empat belas lelaki. Pelakunya yang masih remaja sembilan orang dan dewasa lima orang. Pada mulanya keempat belas orang ini nongkrong dan menikmati minuman keras. Pastilah  keputusan untuk berkumpul merupakan kesepakatan yang dibuat atas dasar pertemanan sebagai anak sebaya.

Kemudian apa yang dilakukan bisa diduga merupakan kesepakatan yang dilakukan karena bentuk setia kawan yang menunjukkan sikap kebersamaan. Kebanyakan remaja merasa tidak nyaman bahkan takut jika tidak mengikuti suara mayoritas dalam kelompok teman sebaya karena takut diusir dan dikucilkan. Sebagai akibatnya mereka mau melakukan apa saja agar bisa tetap diterima dan berada dalam geng atau kelompok itu. Dapat dipastikan cara berpikir seperti itulah yang melandasi tindakan keempat belas pelaku pemerkosaan dan pembunuhan terhadap YY. Apalagi mereka semua sudah berada dalam pengaruh alkohol.

Keputusan dan tindakan mereka dapat dipastikan brutal dan melampaui batas. Sangat beralasan menghukum mereka seberat-beratnya karena ada unsur merencanakan dalam tindakan itu. Harus dicari siapa inisiator di antara keempat belas pelaku. Sebab semua tindakan yang dilakukan dalam konteks teman sebaya pasti ada inisiatornya.

Pengaruh teman sebaya pada remaja memang sangat kuat. Bisa dibayangkan betapa kuatnya pengaruh itu bila dengan sengaja, sistematis, dan terstruktur para remaja dibina untuk menjadi teroris. Fakta ini menegaskan betapa otak manusia, terutama yang sedang tumbuh kembang, mudah dipengaruhi dan direkayasa.

Richard Brodie dalam Virus Akal Budi: Ilmu Pengetahuan Baru tentang Meme (2014) menegaskan betapa kuatnya tekanan teman sepergaulan atau teman sebaya terhadap akal budi dan tindakan. Brodie percaya akal budi bekerja sebagai gabungan naluri dan pemrograman memetika. Pemograman memetika itu sangat banyak ragam dan jenisnya. Mulai dari berbagai aturan yang diajarkan sejak kecil, pengasuhan dan pendidikan, tradisi, iklan, siaran televisi, sampai beragam kejadian dan kebiasaan yang dialami dalam konteks sosial yang secara langsung atau tidak memengaruhi akal budi kita. Brodie menyebutnya virus akal budi. 

Uraian panjang di atas bisa disalahfahami, paling tidak bisa dituduh sebagai cara berfikir behaviorime yang percaya bahwa manusia sepenuhnya ditentukan oleh lingkungan fisik dan sosial budaya melalui model stimulus-respon yang secara canggih dibuktikan dengan eksperimen yang dilakukan oleh Pavlov dan para behavioris lain.

Paling tidak para pembuat iklan berhasil menggunkan cara ini dengan kecanggihan dan penghalusan yang luar biasa untuk memengaruhi orang agar membeli produk yang mereka iklankan. Tidak sedikit manusia, terutama para remaja yang merasa dirinya ketinggalam zaman atau tidak keren karena tidak menggunakan produk yang oleh iklan ditegaskan sebagai tanda kemajuan dan kekerenan penggunanya.

Harus ditegaskan bahwa pandangan behaviorisme salah tentang manusia, meski behaviorisme memiliki kegunaan terbatas dalam banyak bidang, terutama pendidikan dan marketing. Behaviorisme berkutat dengan pentingnya lingkungan sebagai penentu yang sangat berpengaruh bagi perkembangan otak dan perilaku manusia.

Begitu penting dan menentukannya lingkungan sampai-sampai mereka kurang memerhatikan otak dan pikiran itu sendiri. Kaum behavioris terlalu menekankan dimensi eksternal yaitu lingkungan dan kurang memerhatikan dimensi internal yaitu sifat kodrati otak dan kaitannya dengan pikiran.

Apalagi kaum behavioris terpeleset pada keyakinan determinis yang merendahkan manusia. Mereka yakin bahwa sepenuhnya manusia itu ditentukan oleh stimulus yang datang dari luar dirinya yaitu lingkungan fisik dan sosial budaya. Mereka seakan dibutakan pada kemampuan manusia untuk menentukan, alpa pada kebebasan yang dimiliki dan dirasakan manusia. Kebebasan yang membuat manusia bisa mengambil keputusan dan tindakan yang tidak sesuai dengan skema atau model stimulus-respon.

Mereka lupa bahwa manusia seringkali mampu mengatasi tekanan dan pengaruh lingkungan. Manusia adalah makhluk yang mampu melampaui pengaruh negatif lingkungan. Bahkan ketika manusia itu masih kanak-kanak. Berikut sebuah kisah.

Seorang anak lelaki berusia empat tahun delapan bulan tinggal di tempat akhir pembuangan sampah di gubuk reyot yang sempit. Ibunya seorang pemulung, kakak lelakinya juga. Ia memiliki adik tiri yang terkena folio.

Ayah tirinya adalah seorang preman yang suka mabuk dan berjudi. Ibu si anak terpaksa menikah dengan si bapak tiri karena diancam akan dibunuh. Tidak ada seorang pun yang berani membela si ibu karena preman itu sangat ditakuti. Si preman sering memaki dan memukul kedua anak tirinya, bahkan mengambil sepeda si anak tiri yang dibeli dengan susah payah oleh si anak yang menjadi pemulung. Si anak tiri yang lebih besar lari dari gubuk reyot itu sejak sepedanya dirampas si ayah tiri.

Di lingkungan pemukiman yang merupakan tempat pembuangan akhir sampah itu, kondisi fisiknya sangat jorok dan dipenuhi bau busuk. Kekerasan merupakan kebiasaan, anak-anak sangat terbiasa dengan makian dan ungkapan-ungkapan kotor. Sebagian anak bahkan terbiasa mencuri.

Si anak lelaki yang berumur empat tahun delapan bulan merupakan anak yang rajin dan sangat baik. Di pagi hari saat ibunya mulung, ia menjaga, memandikan, dan membuatkan susu untuk adik tirinya yang terkena folio. Sebenarnya ia mengalami kesulitan mengurusi adiknya, namun ia mengerjakannya dengan senang hati. Beberapa tetangga kadang membantunya.

Bila ibunya pulang mulung, ia segera mandi, sarapan dan bersekolah di TK Anak Sholeh yang khusus untuk anak seperti dia. Di sekolah ia terkenal sebagai anak yang baik, sabar, rajin dan pintar membuatkan mainan untuk teman-temannya. Bila sekolah berakhir, ia membantu para guru membereskan peralatan. Ia biasanya diajak makan siang oleh para guru.

Tidak pernah ia terdengar mengeluh atau memaki. Bila diisengi teman-temannya, ia memilih berkumpul bersama para guru. Ia sungguh seperti intan berkilau dalam lumpur hitam. Pengaruh buruk lingkungan fisik dan sosiokultural seakan tidak menjamahnya. Semua ini terjadi karena cinta, kasih sayang, kesabaran dan keteladanan ibunya. Ini bukti, manusia bisa lampaui lingkungannya.

Ada cerita lain yang juga terjadi di pemukiman kumuh, tempatnya di  Jakarta Pusat pada periode saat kami melakukan pemberdayaan pada akhir 1990 sampai dengan 2006. Di pemukiman ini kekerasan terhadap anak dan istri dirasakan sebagai kelaziman, padahal sejatinya adalah kezaliman. Anak-anak selalu dipukuli, ditampar, disundut rokok, tidak diberi makan dan berbagai kekerasan lain. Pelaku kekerasan pada umumnya adalah bapak si anak.

Berbagai akibat buruk seperti cedera, terluka, lari dari rumah pastilah terjadi. Karena kekerasan itu terjadi secara rutin, akibat buruk memengaruhi sifat dan perilaku anak-anak itu. Mereka terbiasa dengan kekerasan dan melakukan kekerasan pada teman sebaya atau pada anak yang lebih kecil. Terbentuklah siklus kekerasan. Sejumlah anak menjadi tidak percaya diri, ada pula yang semakin garang.

Setiap kali seorang anak dipukuli orang tuanya, para tetangga bukannya mengingatkan si orang tua dan menolong si anak, malah ramai-ramai menonton, seperti menonton topeng monyet. Mereka meyakini memukul anak adalah urusan rumah tangga masing-masing. Merupakan tindakan terlarang mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Begitulah keyakinan nyaris semua orang di situ.

Kekerasan yang bertubi-tubi benar-benar telah merusak anak-anak. Ada seorang remaja yang sejak kecil merasakan kekerasan dari bapakya, namun tampaknya ia mampu melampauinya dengan baik. Bapaknya bekerja sebagai satpam di sebuah pabrik. Ia sangat keras pada satu-satunya anak lelakinya.

Sebagai seorang bapak ia sangat menginginkan anaknya bisa tamat STM. Untuk memastikan anaknya tetap sekolah ia bekerja sangat keras. Di pemukiman itu sebagian besar anak sudah keluar dari sekolah sejak sekolah dasar. Sangat jarang yang melanjutkan ke SMP, nyaris tidak ada yang lebih tinggi dari SMP. Anak lelaki ini sudah STM. Satu-satunya anak di pemukiman kumuh ini yang pendidikannya setinggi itu.

Sejak kecil jika berbuat salah, ia pasti digebukin bapaknya. Bapaknya telah menghabiskan banyak rotan pemukul kasur untuk menghajar si anak. Si anak mengakui bahwa ia kadang memang  mengikuti kebiasaan buruk anak-anak di pemukiman itu seperti merokok dan berjudi. Ia bahkan pernah menenggak alkohol saat SD. Sebagai akibatnya ia sering dibantai bapaknya. Apalagi jika ketahuan tidak membuat pekerjaan rumah yang ditugaskan guru, ia pasti dibantai habis-habisan.

Kadang ia dipukuli oleh bapaknya tanpa sebab sama sekali. Ini terjadi karena bapaknya pulang pagi dalam keadaan mabok. Ia tahu bapaknya  suka mabok dan berjudi. Namun, ibunya sangat sayang padanya dan selalu meyakinkannya bahwa sikap bapaknya itu tak lain untuk kebaikannya, agar ia bisa tamat STM dan tidak jadi orang susah seperti bapaknya.

Petuah ibunya itu memperkuat tekadnya untuk menamatkan pendidikan di STM. Setiap kali bapaknya memukul, betapa pun sakitnya, ia selalu ingat petuah ibunya. Semua ini dilakukan bapaknya agar ia tamat STM. Akhirnya ia tamat STM. Benar bapaknya, ia mendapat pekerjaan yang bagus.

Setelah sukses, ia mengurusi bapak, ibu dan adik perempuannya dengan baik. Ia sangat lembut pada anak-anaknya. Siapa pun yang kini mengenalnya, pasti tidak percaya bahwa ia dibesarkan dengan cara yang mengerikan dengan kekerasan terus menerus. Ia berhasil melampaui seluruh perlakuan buruk bapaknya dan lingkungan.

Manusia memang bisa mengatasi pengaruh buruk lingkungan fisik dan sosiokultural yang melingkunginya. Manusia bisa melampaui apapun pengaruh buruk yang pernah dialaminya. Manusia dengan kemampuan di atas rata-rata selalu merasa, kejadian yang dialami adalah penting, tetapi yang lebih penting dan menentukan adalah bagaimana kita memaknai kejadian yang dialami.

Si anak hidup di pemukiman kumuh yang dipenuhi dengan kekerasan dan mengalami sendiri betapa menyakitkan dan menghinakan kekerasan itu. Namun berkat petuah ibunya yang empatis memaknai kekerasan yang dirasakannya sebagai cara bapaknya untuk memastikan hidupnya harus lebih baik daripada bapaknya. Ia mampu mengatasi pengaruh buruk kekerasan itu secara positif. Itulah manusia terpilih.

Cerita-cerita di atas menunjuktegaskan bahwa lingkungan fisik dan sosiokultural memang sangat memengaruhi otak, baik saat tumbuh kembang otak maupun kala kita hidup dalam kekinian menjalani keseharian. Tetapi jangan dikira, manusia pemilik otak tidak dapat mengatasi pengaruh itu dan mengendalikan otak.

Pengendalian otak dapat dilakukan oleh pikiran. Jika dianalogikan dengan sangat hati-hati otak dan pikiran seperti perangkat keras dan lunak dalam sistem komputer. Otak adalah perangkat keras dan pikiran adalah perangkat lunak. Meskipun analogi ini tidak selalu tepat, setidaknya dapat menggambarkan hubungan otak dan pikiran.

Pikiran yang diolah dan 'diproduksi' oleh otak dapat secara bermakna memengaruhi otak. James Borg dalam Kekuatan Pikiran: Ubah Pola Pikir Anda, Ubah Hidup Anda (2015) menegaskan bahwa tindakan  'berpikir' bisa mengubah otak. Sebab setiap pikiran menghasilkan aktivitas elektrokimia di dalam otak. Fakta ini merupakan keniscayaan karena tubuh manusia terdiri dari dua elemen yaitu sistem saraf (elektris) dan sistem endokrin (kimiawi).

Dalam kaitan ini sangat menarik untuk memerhatikan apa yang terjadi dalam dunia kedokteran. Pada 2009 tiga peneliti yaitu Elizabeth H. Blackburn, Carol W. Greider, dan Jack W. Szostak dianugerahi Nobel Kedokteran berkat penemuan yang tergolong luar biasa dengan judul penelitian “Bagaimana Kromosom Dilindungi oleh Telomer dan Enzim Telomerase”.

Mereka meneliti kromoson. Kromoson adalah zat pembangun tubuh manusia. Manusia tumbuh kembang dan terjaga berkat kemampuan kromoson membelah diri secara terus menerus. Namun kromoson bisa kehilangan kemampuan untuk membelah diri. Jika itu terjadi akan membawa pengaruh negatif pada manusia. Mengganggu pertumbuhannya dan menyebabkan penyakit. Mengapa kromoson kehilangan kemampuan untuk membelah diri.

Ketiga peneliti itu menemukan bahwa di ujung kromoson ada telomer yang menjaga kromoson tetap utuh dan mampu membelah diri. Bila telomer rusak maka rusaklah kromoson, dan kehilangan kemampuan untuk membelah diri.

Apa yang meyebabkan telomer rusak? Tentu banyak kemungkinannya. Namun perusak utamanya adalah stres. Stres merupakan gangguan psikis yang berpusat di otak yaitu dalam sistem limbik.  Temuan pemenang Hadiah Nobel ini membuktikan betapa kondisi pikiran bisa memberi pengaruh luar biasa terhadap tubuh dan organ manusia.

Penelitian-penelitian mutakhir bahkan bisa memastika bahwa penyebab utama banyak penyakit, khususnya yang sangat berbahaya seperti penyakit jantung dan stroke adalah pikiran. Caroline Leaf yang bukunya telah dikutip di atas menegaskan (2009:5)

Research shows that around 87% illnesses can be attributed to our thought life, and approximately 13% to diet, genetics and environment. Studies conclusively link more chronic diseases (also known as lifestyle diseases) to an epidemic to toxic emotions in our culture.

Kita jadi mengerti sekarang mengapa para penderita penyakit yng tergolong berbahaya seperti darah tinggi, gangguan jantung, dan diabetes akan lebih cepat memburuk kesehatannya bila mengalami gangguan pikiran seperti marah, kesal dan stres, dibandingkan memakan makanan yang disarankan untuk dihindari atau sebaiknya tidak dikonsumsi. Pemulihannya juga begitu. Bila mereka sakit karena makanan lebih mudah dipulihkan dibanding jika disebabkan beban pikiran.

Dalam kaitan dengan kebenaran penelitian di atas, ada pengalaman pribadi dengan ayah dan ayahnya ayah saya atau atok yang pernah ditulis dengan judul Manusia Itu Unik. Berikut sebagian dari tulisan tersebut,

Ayahku pernah menjadi tentara, tetapi tidak terlalu lama pada zaman revolusi. Ia lebih memilih menjadi orang sipil. Ia sangat malas berolah raga meski sangat mengilai nonton sepak bola. Sampai akhir hayat di kamarnya ada poster Barcelona, Arsenal, Manchester United dan Messi. Is menonton semua siarang langsung sepak bola, pun kompetisi dalam negeri. Akibatnya ia sangat sering begadang.

Ia perokok berat. Ia menghisap beragam rokok, dan juga melinting rokok sendiri dari bermacam-macam merek tembakau, serta doyan banget cerutu. Tabungan dan penghasilannya paling banyak digunakan membeli tembakau, cerutu dan macam-macam jenis kopi. Karena ia campuran Aceh-Pacitan, lahir dan besar di Aceh ia sangat tergantung pada kopi Aceh dan kopi Luwak. Ia meminum kopi tiga kali sehari dengan gelas besar. Kopinya sangat kental. Bila begadang nonton bola, pastilah jatah rokok dan kopinya bertambah-tambah.

Ia paling suka makan durian dan mangga. Buah lain ia makan sekadarnya. Bila menikmati durian benar-benar sangat banyak. Aku sampai ngap melihatnya menikmati durian.

Seperti kebanyakan orang Aceh, ia penggemar berat daging kambing. Sampai umur delapan puluh delapan, menjelang wafatnya ia masih minta sate dan kare kambing. Ia sama sekali tidak percaya bahwa daging kambing bisa mengakibatkan darah tinggi dan penyakit lainnya. Tegas ia katakan, jika daging kambing itu benar-benar memiliki efek yang buruk, pastilah sudah banyak orang Aceh, Madura, dan Arab yang mati karenanya. Buktinya tidak.

Abahku sangat pandai memasak. Namun, bila ia memasak gulai atau kare, sungguh santannya kental sekali. Lebih kental dari santan untuk kolak. Jika santannya kurang kental, ia enggan menikmatinya.

Ia memakan dengan lahap semua jeroan. Ia penggemar soto babat yang berisi paru-paru dan jeroan lain.  Bila memasak tauco harus ada terong, udang dan cumi. Bila makan di restoran padang pasti ia memakan gulai otak sapi dan rendang. Ia sama sekali tidak perduli dengan semua akibat buruk dari makanan-makanan yang mengandung kolesterol tinggi.

Gaya hidup abahku masuk kategori sangat buruk jika menggunakan pendapat dan teori para pakar kesehatan. Makanan dan minuman sama sekali tidak terjaga dan tidak pernah olahraga. Justru di sinilah keunikannya.

Ayahku sangat jarang sakit. Jika sakit paling-paling flu dan pusing-pusing. Ia aktif bekerja sebagai pengusaha kerajinan dari berbagai daerah sampai usia delapan puluh tiga. Ia berhenti karena kupaksa. Setelah itu ia berkebun.

Sampai wafatnya pada usia delapan puluh delapan tahun ia tidak pikun, tidak menderita penyakit berat seperti jantung, gangguan paru atau ginjal. Boleh jadi karena fakta itu ia terlihat sangat percaya diri dengan gaya hidupnya itu.

Saat pamanku, adik ibuku, yang hidupnya sangat teratur, rajin olah raga, tidak merokok dan menjaga makanan, wafat pada usia enam puluh, abahku di depan para pelayat berkomentar. Coba kalo dia merokok, mungkin umurnya lebih panjang. Boleh jadi maksudnya berseloroh atau bercanda. Tetapi bersamaan dengan itu, ia sedang membenarkan gaya hidupnya.

Sebenarnya ayah abahku yaitu atokku lebih dahsyat lagi. Sampai wafat ia tidak pernah dirawat di rumah sakit. Tidak pernah sakit yang tergolong berat. Pada usia sekitar sembilan puluh lima tahun ia kena katarak. Dokter tidak berani memgambil tindakan. Ia wafat saat usianya melampaui seratus tahun, tidak mengalami sakit sama sekali. Atokku tidak pikun. Jika bertemu ia sangat semangat berbincang tentang Maradona. Ia wafat setelah shalat subuh, masih di sajadah.

Ia perokok berat, senang kambing dan jeroan, tidak pernah olah raga dan penggila udang gala atau lobster dan durian. Ia penyirih atau makan sirih, setiap hari menguyah kunyit dan jahe mentah. Mandi jam empat pagi dan pukul empat sore apapun keadaannya. Ia sama sekali tidak percaya pada obat buatan pabrik. Ia seratus persen herbalis.

Bila dikaitkan dengan hasil penelitian tentang 87% penyebab penyakit adalah kondisi pikiran, boleh jadi ayahku tetap sehat dan berumur relatif panjang karena kondisi pikirannya. Ia sangat rajin beribadah, seingatku selama aku masih kecil ia nyaris tak pernah memarahiku apalagi membentak. Bila aku melakukan kesalahan ia mengajakku jalan-jalan kadang berjalan kaki atau naik sepeda. Ia menagajakku berbincang tentang kejadian yang berisi kesalahanku. Tidak pernah ia secara langsung menyalahkanku dan melarang ini itu.

Teman-teman SMA dan kuliahku sering berkumpul dengannya. Apalagi jika banyak tugas. Banyak di antara teman kuliahku se kampus, bukan sejurusan mengerjakan tugas di tempat ayahku, yaitu sebuah toko di Pasar Seni Jaya Ancol. Ayahku memasak untuk mereka. Semua temanku sangat suka dengan kopi buatannya. Sungguh ia sangat terbuka, suka menolong, penggembira, tak pernah ku dengar dia mengeluh. Aku sama sekali tidak pernah tahu bagaimana tampilan bila ayahku marah.

Walaupun kebiasaan makan, merokok, dan istirahatnya tergolong sangat tidak bagus bila dilihat dari gaya hidup sehat, namun kondisi pikiran dan emosinya yang positif, antara lain terlihat dari semangatnya untuk peduli dan berbagi, selalu gembira dan nyaris tak pernah bisa dikendalikan rasa marah merupakan penyebab ayahku sehat, gembira dan menjalani hidup dengan bahagia dan penuh makna. Ia secara rutin melakukan perjalanan ke banyak tempat seperti Aceh, Medan, Bandung dan Surabaya untuk bertemu dengan teman-teman lama terutama saat masih tentara.

Kondisi kesehatan ayahku mulai menurun. Penyebabnya adalah kondisi-kondisi pikiran dan emosi negatif. Teman-teman seangkatannya satu-satu wafat. Ia merasa semakin sendirian, karena ibuku telah mendahulinya juga. Kejadian yang sangat menghancurkannya adalah Tsunami Aceh. Seluruh keluarga intinya menjadi korban. Hanya beberapa yang ditemukan mayatnya. Sejak itu ayahku seperti pohon besar yang akarnya digerogoti tikus. Ia mulai menunjukkan tanda-tanda tidak lagi sesegar, segembira dan sesehat dulu. Akhirnya pada usia delapan puluh delapan tahun ia berpulang, pada hari dan tanggal yang sama dengan Olga berpulang. Cerita ayahku adalah bukti kecil betapa kondisi-kondisi pikiran dan emosi sangat memengaruhi kemanusian secara keseluruhan, tentu saja tubuh termasuk di dalamnya.

Tampaknya apa yang dialami ayah dan atokku sesuai dengan apa yang ditemukan dan dijelaskan oleh Shigeo Haruyama yang menjelaskan dalam bukunya The Miracle of Endorphin: Sehat Mudah dengan Hormon Kebahagiaan (2011) bahwa pikiran kitalah yang menentukan kita sehat atau sakit. Hormon kebahagiaan mencegah penyakit. Hormon kebahagiaan memiliki efek bagaikan tuas yang meningkatkan energi.
Hormon kebahagiaan pastilah berhubungan langsung dengan otak. Bukan sekadar proses biologis yang sepenuhnya bersifat mekanis dan hanya terjadi di dalam organ-organ tubuh yang terpisah dari aktivitas otak.

Earl Henslin dalam bukunya Inilah Otak Anda Ketika Bahagia:Sebuah Program Revolusioner untuk Menyelarasakan Suasana Hati, Memulihkan Kesehatan Otak dan Memelihara Pertumbuhan Rohani (2009) menguraikan, harus diusahakan sejumlah aktivitas yang meningkatkan sukacita Anda ke otak Anda yaitu memperkaya dunia luar yang bermakna menciptakan lingkungan yang gembira dan merangsang otak, memperkaya dunia batin yaitu memberi makan pikiran/pikiran dan jiwa dengan pikiran-pikiran yang baik, dan memperkaya kimia kimia-pikiran, berupa makanan dan menggerakkan otot-otot. Bila hal itu terpenuhi otak merasa bahagia dam mampu memicu kesehatan tubuh dan rohani. Kenyamanan, kebahagiaan, optimisme, dan kebermaknaan hidup akan sangat dirasakan. Kita akan memiliki dorongan untuk selalu membantu siapa pun dalam semangat kebersamaan. Semuanya akan berujung pada kepenuhan dan kebermaknaan rohani.

Maknanya pikiran yang tercerahkan memang mampu menyehatkan dan membahagiakan. Pikiran dan otak memang tak mungkin dipisahkan. Namun pikiran bisa melampui otak yang bersifat fisik biologis dan kimiawi. Sedangkan pikiran lebih bersifat psikis.

Adi W. Gunawan dalam The Miracle Of Mind Body Medicine: How To Use Your Mind For Better Health (2012:201-21) menguraikan bahwa tubuh fisik hanyalah manifestasi dari pikiran yang bekerja jauh lebih halus dan seringkali tidak disadari. Lebih lengkap Adi W. Gunawan menguraikan,

Penelitian yang dilakukan secara mendalam mengenai hubungan pikiran, emosi, dan tubuh menemukan bahwa:

. Pikiran dan tubuh saling terhubung dan saling memengaruhi. Bagaimana kita merasa secara emosi dapat menentukan bagaimana kita merasa secara fisik.

. Emosi tertentu mengakibatkan pelepasan hormon tertentu di tubuh fisik yang dapat memicu terjadinya berbagai macam penyakit fisik.

. Para peneliti telah secara langsung dan ilmiah menghubungkan emosi dengan hipertensi, penyakit kardiovaskukar, dan penyakit yang berhubungan dengan sisten kekebalan tubuh. Penelitian juga menemukan korelasi yang signifikan antara emosi, dan infeksi, alergi, dan penyakit autoimun.

. Secara khusus, penelitian telah menghubungkan emosi seperti depresi dengan meningkatnya risiko kanker dan penyakit jantung.

Uraian di atas menegaskan bagaimana kekuatan pikiran dan emosi yang berpusat di otak memengaruhi tubuh, bahkan kemanusiaan kita. Pikiran positif mampu memengaruhi tubuh menjadi sehat segar, bahkan menjadi faktor penting untuk penyembuhan.

Tentu saja proses bagaimana pengaruh itu terjadi pastilah sangat kompleks melibatkan semua organ dengan fungsi masing-masing. Bila mengunakan bahasa teknis melibatkan dimensi bilogi, fisika, energi dan kimia dalam tubuh kita. Karena berbagai proses yang terjadi itu memang melibatkan energi listrik, hormon dan enzim, dan terjadi dalam semua organ secara sinergis.

Dalam Emotional Alchemy: How Your Mind Can Heal Your Heart (2003), Tara Bennet-Goleman menguraikan bagaimana tradisi meditasi dan tradisi-taradisi lain yang telah ribuan tahun dipraktikkan di Timur memberikan pengaruh sangat positif bagi tubuh, manusia dan kehidupan. Tradisi-tradisi itu memampukan manusia untuk melakukan pengelolaan terhadap pikiran dan emosinya dengan sangat terukur dan baik. Kemampuan mengelola pikiran dan emosi adalah akar bagi kehidupan yang sehat, bugar, dan bermakna. Bahkan kemampuan mengelola pikiran dan emosi bisa menularkan pencerahan positif pada lingkungan sekitar. Inilah bukti betapa pikiran dan emosi positif dapat memberikan pengaruh positif secara tidak terbatas.

Norman Doidge dalam The Brain's Way of Healing: Remarkable Discoveries and Recorveries From the Frontiers of Neuroplasticity (2016) menguraikan tradisi Timur telah sangat lama digunakan dan berkembang, sudah terbukti kemanfaatannya bagi jutaan manusia sejak dahuku kala. Namun di Barat, tradisi ini baru dikenal. Tetapi kini semakin populer dan banyak digunakan karena terbukti sangat bermakna dan efektif membantu manusia untuk mengelola pikiran dan emosi yang secara langsung memengaruhi kesehatan, kebugaran tubuh dan kebermaknaan hidup.

Sangat menarik, Norman Doidge mengaitkan tradisi Timur seperti yoga dan meditasi dengan plastisitas otak. Praktik-praktik tradisi Timur terbukti memiliki kemampuan untuk menjaga, menyegarkan, dan meningkatkan secara sistematis kinerja otak. Menyegarkan itu termasuk terus menerus membuat otak 'awet muda'. Dalam kaitan inilah tradisi Timur terkait sangat erat dengan plastisitas otak, yaitu kemampuan otak untuk terus berubah.

Sister Dang Nghiem dalam buku Mindfulness As Medicine (2015), dan Thic Nhat Hanh dalam buku Mindful Movements: Ten Exercises For Well Being (2008) menunjukkan bagaimana pemikiran yang terlatih dengan meditasi dan yoga memiliki kekuatan yang dapat memengaruhi tubuh dengan sangat bermakna. Pikiran yang terlatih bahkan dapat secara efektif menyembuhkan penyakit-penyakit yang spesifik. Jadi bukan saja menyehatsegarkan tubuh secara keseluruhan, juga menjaga kebugaran otak agar tetap sehat segar.

Penjelasan-penjelasan di atas sekaligus menggunakan istilah pikiran, emosi dan tubuh. Cara ungkap ini menunjukkan bahwa ketiganya merupakan keutuhan yang bisa dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Dulu emosi memang dianggap sebagai lawan dari rasio dan diyakini tidak berpusat di otak.

Penelitian-penelitian terbaru menegaskan bahwa emosi juga berpusat dan dikelola di dalam otak pada sistem limbik. Emosi secara simbolis disebut sebagai bahan bakar bagi pikiran. Tentu saja sebagai bahan bakar, emosi bisa ikut  memicu dan memacu serta menggerakkan pikiran, juga bisa membakarhanguskannya. Goleman yang terkenal dengan bukunya Kecerdasan Emosional bahkan menegaskan emosi bisa membajak pikiran.

Pikiran memang memegang peran penting dalam kehidupan manusia. Dengan dan melalui pikiran manusia membuat keputusan, memaknai hidup, kebebasan, dan keberadaannya. Pikiran yang tidak bisa sepenuhnya dipisahkan dari emosi ternyata sangat kuat memengaruhi tubuh dan manusia secara keseluruhan.

Pikiran dan emosi memengaruhi bahkan mengarahkan manusia sepanjang hidupnya. Pengaruh itu bisa positif atau negatif. Seringkali pengaruh itu langsung dirasakan oleh tubuh.

Semua manusia pernah mengalami kondisi saat pikiran dan emosi 'menghancurkannya', memberi pengaruh luar biasa pada tubuh. Kita sudah belajar dengan tekun, amat keras dan fokus untuk menghadapi ujian yang sangat penting bagi karir dan hidup. Pada pagi hari menjelang ujian si doi atau sang kekasih mengirim WA bahwa ia mengakhiri hubungan yang telah dibina sangat lama. Apakah kita memiliki kemampuan untuk berangkat ujian? Bila pun akhirnya ujian, apakah bisa berkonsentrasi? Rasanya seluruh tubuh lemas tak berdaya dan air mata tercurah deras bagai hujan november. Nangis Bombay kata ABG. Begitupun kala kita jatuh cinta.

Orang yang jatuh cinta biasanya dimabuk kepayang. Mabuk itu menunjukkan bahwa ia tidak sepenuhnya dapat kendalikan diri. Istilah jatuh cinta saja sudah menegaskan ketakberdayaan, lemahnya keseimbangan, dan tiadanya kemampuan untuk berpijak. Cinta memberikan pengaruh luar biasa pada manusia.

Apapun bisa dilakukan manusia yang sedang jatuh cinta. Bukan saja tubuhnya yang merasakan macam-macam sensasi dan kejutan karena cinta. Perilaku dan keseluruhan hidupnya bisa berubah sama sekali. Jatuh cinta adalah bukti paling nyata bagaimana pikiran dan emosi mengendalikan manusia dan tubuhnya secara sangat kuat dan 'berasa'.

Daniel G. Amen dalam Brain in Love (2007) menguraikan dengan panjang lebar bagaimana cinta 'menghanyutkan' manusia dan mampu mendorongnya untuk berubah secara sangat luar biasa. Energi cinta mampu membuat manusia bahkan melakukan hal-hal yang tidak terduga.

Emosi dan pikiran tentang cinta yang dihayati amat kuat memengaruhi manusia, tentu dengan kebertubuhannya, sehingga merasakan sensasi-sensasi luar biasa yang acapkali membuatnya merasa bahwa ia manusia yang sama sekali berbeda, menjadi manusia yang lain. Cinta mampu mendorong produksi sejumlah hormon di dalam tubuh yang merupakan respon langsung dan cepat otak atas emosi dan pikiran tentang cinta yang dirasakan. Secara spesifik dalam buku ini disebut sebagai kimia cinta. Kimia cinta bisa merangsang tubuh untuk merasakan sensasi yang sebelumnya kurang dirasakan dan disadari. Juga tentu saja bisa 'meledakkan'. Joel Levy dengan cara yang agak berbeda dan lebih singkat mengungkapkan hal yang sama dalam bukunya Why We Do the Things We Do (2015).

Kondisi-kondisi pikiran memang terbukti memberi pengaruh langsung pada tubuh dan kemanusiaan secara keseluruhan. Dalam konteks itulah bisa dipahami mengapa banyak rumah sakit melakukan perubahan mendasar dalam pelayanan, terutama untuk rawat inap.

Kamar-kamar rawat inap dirancang seperti kamar di rumah atau di hotel. Suasana rumah sakit sedapat mungkin semakin dihilangkan. Khusus untuk anak-anak, kamar rawat inap dirancang dan didekorasi sebagai kamar anak-anak yang penuh warna dan aneka mainan. Termasuk tersedianya film-film kartun dan games. Dengan demikian kondisi-kondisi pikiran dan emosi klien dibuat menjadi menyenangkan dan gembira. Terbukti cara baru ini sangat membantu kesembuhan.

Kesadaran untuk membuat rumah sakit yang menyenangkan bukanlah gagasan baru. Di Mesir pada tahun 1284 Raja Al Mansur Qalawun mendirikan rumah sakit yang sangat besar, indah dan lengkap diberi nama Al Mansuri. Rumah sakit itu dengan sengaja dirancang untuk memberi kenyamanan bagi oara kliennya yang berobat gratis bahkan mendapat semacam pesangon pengganti gaji atau bayaran lain karena tidak dapat bekerja selama mengalami sakit dan harus dirawat.

Jalan masuk ke rumah sakit sengaja didisain dengan sangat indah, tenang dan teduh, agar membuat para klien yang memasuki rumah sakit itu merasa nyaman, tenang tidak merasa takut dan tertekan. Sebelum dibawa ke ruang pemeriksaan para klien akan berhenti sebentar di tempat berdoa yang juga didisain sangat indah dan menyenangankan. Di tempat ini klien hendak diberi keyakinan bahwa Sang Maha Penyembuh adalah Allah, pengobatan adalah bagian dari usaha untuk manusia untuk sembuh, bukan penentu. Kamar-kamar dirancang dengan indah dan menyenangkan. Musik digunakan sebagai bagian dari cara untuk menyembuhkan.

Rumah sakit ini sudah melakukan pendekatan yang pada zaman moderen ini baru saja ditemukan dan dianggap cara paling baik dan mutakhir. Maknanya kondisi-kondisi pikiran termasuk keyakinan adalah penentu yang bisa memengaruhi tubuh dan kemanusiaan kita.

Jill Bolte Taylor seorang ahli neuroanatomi yang telah membantu banyak orang yang bermasalah dengan otak terutama stroke terkena serangan stroke. Dalam My Stroke of Insight: Serangan Stroke Tak Menyurutkan Langkah Jill Menemukan Kecantikan dan Elastisitas Otak untuk Pulih (2009), Jill menceritakan pengalamannya secara rinci untuk sembuh. Tentu saja ia diobati dengan cara-cara standar ilmu kedokteran sebagaimana klien yang lain.

Namun, yang sangat berperan bagi penyembuhannya adalah pikiran positif, semangat dan keyakinan untuk sembuh, terus menerus menumbuhkan emosi positif dan dukungan orang-orang yang mencintainya. Ia sembuh dan kembali normal, padahal serangan stroke yang dialaminya termasuk dalam tingkat yang sangat parah dan mematikan.

Kisah ini meneguhtegaskan bagaimana kekuatan pikiran, emosi dan semangat yang mampu mengatasi kendala-kendala fisik kebertubuhan. Jika dikaitkan dengan hubungan otakmdan pikiran semakin terbukti, meski pikiran itu berpusat dan diolah di dalam otak yang bersifat fisik,mbiologis dan kimiawi, pikiran mampu melampaui otak. Pikiran mampu mengatasi kefisikan otak.

Sejatinya keduanya berbeda, namun tidak dapat dipisahkan. Shigeo Haruyama (2011:30) dalam buku yang telah dikutip di atas menegaskan bahwa jiwa dan raga tak pernah putus berdialog. Otak dan pikiran tak pernah putus berinteraksi dan saling memengaruhi.

Pada masa lalu persoalan otak, pikiran dan tubuh dibahas secara filosofis mengandalkan kekuatan berpikir memanfaatkan logika, refleksi dan tentu saja spekulasi karena belum ada cara yang memungkinkan untuk melongok ke kedalaman otak secara empiris, menggunakan panca indra. Lahirlah berbagai teori yang saling bertentangan. Pastilah yang paling berhadap-hadapan adalah dualisme jiwa-raga, otak tubuh yang dipelopori oleh filsuf besar Rene Descartes dengan lawannya monisme yang antara lain dijelaskan dan dipertahankan oleh Spinoza.

Kemajuan terjadi ketika mulai dilakukan penelitian terhadap manusia yang mengalami gangguan otak. Biasanya yang diteliti adalah otak manusia yang sudah meninggal. Kemudian terjadi revolusi besar ketika ditemukan teknologi pemindai otak yang bisa digunakan untuk melihat dengan cermat dan rinci otak manusia yang masih hidup. Dilakukanlah serangkaian eksperimen untuk menguji berbagai aktivitas yang dilakukan manusia dan melihat apa yang terjadi di dalam otak.

Kini semakin dipahami dan diterima, otak yang merupakan bagian dari kebertubuhan dan bersifat fisik, biologis dan kimiawi serta pikiran dan emosi merupakan kesatuan yang bisa dibedakan, namun tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling memengaruhi.

Michael S. Sweeney dalam Brain Works: The Mind-Bending Sciene of How You See, What You Think, and Who Are You (2011) menegaskan keunikan otak manusia yang memiliki banyak fungsi dan mampu membangkitkan kesadaran. Dalam menjalankan fungsinya otak dapat dibedakan dari pikiran, namuntak pernah bisa dipisahkan. Keduanya terus berinterkasi.

Penjelasan panjang di atas dapat memberikan setidaknya dua implikasi bagi pendidikan yaitu implikasi teknis dan filosofis. Implikasi teknis berkaitan dengan bagaimana seharusnya praktik-praktik pendidikan, dan metode-metode pembelajaran dirancang sesuai dengan temuan-temuan mutakhir tentang otak. Sedangkan implikasi filosofis adalah bagaimana merumuskan Pendidikan Indonesia Akar Indonesia yang didasarkan pada tradisi dan budaya yang sejak dulu telah dipraktikkan dan ikut menentukan karakter, sikap, dan perilaku manusia Indonesia. Tentu saja di dalamnya termasuk keyakinan dan filasafat hidup yang secara nyata dihayati dalam kehidupan keseharian. Pastilah seluruh praktik dan penghayatan itu telah melahirkan manusia-manusia Indonesia yang meskipun memiliki sejumlah persamaan dengan manusia lain di seluruh dunia, namun tetap saja berbeda dan unik.

MANUSIA ADALAH KOMPLEKSITAS MULTIDIMENS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd