Rabu, 27 April 2016

DIENG KEMBALI

Kembali ke Dieng. Entah untuk yang keberapa kali. Pertama sekali pada 1980 sebagai siswa SMA. Dengan susah payah sampai ke Dieng untuk saksikan upacara pemotongan rambut gimbal. Sebuah acara ritual yang sangat kental menunjukkan pengaruh Hindu. Setelah itu sering kembali ke Dieng sebagai bagian dari petualangan anak remaja yang mencari identitas diri.

Sejak 1988 sampai kali ini, kembali ke Dieng membawa mahasiswa melakukan Kuliah Kerja Lapangan, berkali-kali. Sebenarnya bukan hanya Dieng. Ada tempat lain seperti Baduy, Kampung Naga, Bromo, Trunyan, Lombok, dan banyak tempat lain. Dieng, tampaknya menjadi salah satu tempat yang banyak dipilih mahasiswa. Mengapa Dieng?

Dieng sangat menarik sebagai subjek kajian. Dieng dipenuhi beragam candi yang sampai kini masih digunakan untuk upacara agama Hindu. Candi-candi Dieng masuk dalam kategori yang tertua di Indonesia. Dibangun abad ketujuh. Beragam legenda dan mitos masih hidup di tengah masyarakat terkait dengan kawah dan beragam fenomena alam di Dieng. Cerita-cerita yang bersumber dari kitab-kitab kuno. Dieng adalah pentas besar Ramayana. Candi dan kawah diberi nama dan cerita sejajar dengan Ramayana. Tentu bukan Ramayana India, tetapi Ramayana Jawa. Cerita dibuat dengan cara yang sangat menarik, seakan kisah Ramayana itu sungguh berlangsung di Dieng.

Semua cerita dan mitos itu menegaskan bahwa Dieng memiliki akar Hindu, meski kini yang melakukan upacara Hindu berasal dari luar Dieng. Namun sejumlah upacara seperti cukur rambut Gimbal atau Gembel masih sangat kental rempah Hindunya.

Tidak mengherankan di kebanyakan desa, wajah Islam yang mengemuka adalah Islam Jawa yang lebih dikenal sebagai Kejawen, kecuali di Desa Pakisan yang oleh penduduk desa lain sering disebut sebagai desa kaum Salafi. Di desa Pakisan banyak wanita bercadar, dan anak-anak perempuan menggunakan jilbab panjang.

Siapa pun yang datang ke Dieng dan hanya mendatangi tempat-tempat wisata, pasti merasakan dan berpendapat Dieng adalah kawasan sejuta candi dan sangat kental Hindunya. Meskipun Kehinduan kini hanya ditandai  oleh candi, mitos, nama-nama kawah, Islam Jawa, dan sejumlah ritual atau upacara.

Bila dilihat dari banyaknya dan rapatnya jarak masjid-masjid besar dan megah serta mushola, di berbagai desa Dieng, rasanya masyarakat Dieng bukan saja berpunya, juga religius. Namun, bila ada kesempatan untuk tinggal lebih lama mengikuti kegiatan keseharian penduduk, segera terlihat bahwa kebanyakan penduduk memang berpunya berkat kentang, namun masjid-masjid besar dan megah itu adalah ruang kosong yang sungguh mahal.

Di beberapa tempat, sekitar pukul tiga dini hari terdengar suara azan, katanya untuk membangunkan penduduk untuk shalat tahajut, lama setelah azan ini, terdengar azan subuh. Jangan berharap akan ada banyak orang berjamaah subuh di masjid. Mungkin karena dingin yang menyerikan tulang, kebanyakan orang memilih shalat di rumah (?).

Bila semangat untuk membangun masjid menjadi ukuran, masyarakat Dieng luar biasa dalam hal ini. Mereka bahkan enggan menerima sumbangan dari orang luar meski dibutuhkan tiga miliar rupiah untuk membangun masjid besar dan megah. Jika yang menjadi ukuran adalah meramaikan masjid, terutama saat shalat wajib, masjid-masjid besar dan megah di Dieng adalah saksi bisu, betapa ruang-ruang utama masjid adalah ruang-ruang kosong yang sepi. Karena itu terasa menjadi lebih dingin, sepi, dan nyeri.

Suasananya nyaris sama dengan ruang kosong candi-candi di Dieng. Pada bagian tengah candi-candi itu selalu ada ruang kosong. Ukurannya tak pernah luas, bahkan ada yang hanya bisa dimasuki dengan posisi duduk, tingginya tak memungkinkan kita berdiri. Biasanya ada pintu kecil di bagian depan untuk masuk. Saat pertama kali masuk akan terasa sangat gelap, karena cahaya hanya masuk dari pintu kecil itu. Dibutuhkan waktu bagi mata beradaptasi untuk bisa melihat bagian-bagian ruang kosong ini.

Ruang kosong di bagian tengah candi itu bukan hanya temaram. Juga lembab dan sangat dingin. Terasa sepi dan nyeri. Bila berada di situ sendirian, sangat terasa betapa menggetarkan kesendirian, betapa mengerikan kesepian. Sunyi memperhadapkan kita pada diri sendiri. Tak ada yang bisa diajak berbincang kecuali nurani sendiri.

Sungguh, dalam kenyerian dingin, sendiri dan gelap, Cahaya Kasih Tuhan adalah keniscayaan. Dieng bermakna tempat yang suci. Suci bisa bermakna, pikiranmu tak berisi apa pun kecuali kerinduan pada yang Illahi. Dieng adalah dataran tinggi, di ketinggian, kita bisa melihat lebih luas. Berdiri di ketinggian, sangat terasa bahwa kita hanyalah sebutir embun di semesta tak bertepi.

Boleh jadi kesadaran itulah yang memicu dan memacu orang-orang Hindu membangun candi di ketinggian Dieng, tempat yang sangat sulit dicapai, pun saat ini. Mereka ingin rasakan kehadiran yang Illahi. Di ketinggian, saat nyeri menghujam tulang dan hati menggigil dalam rindu pada Kekuatan yang Mengatur Semesta. Inilah saat yang tepat untuk melantunkan Mantra Gayatri,

OM BHUR BUWAH SWAH
TAT SAWITUR WARENYAM
BHARGO DEWASYA DHIMAHI
DHIYO YO NAH PRACODAYAT

(Ya Tuhan, Engkau penguasa alam nyata, alam gaib, alam maha gaib)
(Engkaulah satu-satunya yang patut hamba sembah)
(Engkaulah tujuan hamba dalam semadhi)
(Terangilah jiwa hamba agar hamba berada di jalan yang lurus menuju Engkau)

Manusia sejati memang hanya berkehendak untuk menuju Illahi, Pencipta dan Penguasa Semesta. Tak ada tujuan yang lebih tinggi dari itu.

Bayangkanlah saat Muhammad sepi sendiri di ketinggian bukit, di dalam gua, saat dingin gurun melinukan semua ruas tulang dan serasa menghujam persendian. Ketika tubuhnya terasa bagai dihimpit bongkahan batu besar berat. Tiba-tiba dingin, nyeri, dan rasa sakit menyatu. Ia mendengar suara,

“Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qolam (pena). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al ‘Alaq: 1-5).

Tampaknya di ketinggian, dalam kesepian, dalam balutan dingin dan kenyerian, sangat terasa betapa rentan dan tak berdaya manusia. Itulah saat paling tepat bagi Yang Maha Hangat datang menjamah dan menjawil kesadaran, bahwa manusia, siapa pun dia, butuh kehadiran Yang Maha Hangat dan Mengarahkan.

Namun, tak banyak manusia yang cukup kuat berada dan bertahan di ketinggian saat dingin dan sepi berubah menjadi nyeri di tulang dan sendi. Mungkin kondisi itulah yang menyebabkan ruang utama masjid besar dan megah di Dieng lebih sering kosong. Orang-orang mencari kehangatan di ruang-ruang terbuka saat menanam kentang yang harganya mahal.

Dieng tidak statis. Berada dalam dinamika perubahan terus menerus. Dari spiritualitas ke komoditas. Dulu kompleks candi-candi yang tersebar di Dieng adalah pusat kegiatan yang utama. Karena itu candi-candi dibuat dengan sangat indah. Pada masa itu pasti merupakan bagunan yang termegah.

Bahwa candi-candi itu bertahan sampai sekarang, itu pertanda candi itu dibuat dengan bahan-bahan terbaik. Sebab candi adalah tempat Yang Maha Menguasai dipuji. Sebagaimana rumah-rumah ibadah berfungsi pada masa kini. Kemegahan candi adalah pertanda bahwa pada masa itu spiritualitas berada di atas. Penentu yang mengendalikan dan mengarahkan zaman. Bukankah selain candi dan tempat-tempat yang berkaitan dengan spiritualitas, tidak kita temukan bekasnya? Itu adalah bukti bahwa pada masa itu spiritualitas adalah yang utama.

Namun sebagimana kita temukan di tempat-tempat lain di dunia ini. Simbol-simbol yang menunjukkan kekuatan spiritualitas itu semakin lama, semakin terpinggirkan. Karena manusia memilih yang lain. Biasanya sesuatu yang lebih dunia, yang dapat dinikmati kini dan di sini, bukan nanti dan di sana seperti yang banyak dijanjikan dalam lembaran-lembaran kitab suci.

Tengoklah Eropa yang peninggalan-peninggalan masa lalunya masih terjaga hingga kini. Pada Abad Pertengahan kala spiritualitas meraja, rumah ibadah adalah bangunan yang paling besar, megah dan mewah serta menempati wilayah yang luas. Semua yang berkelas dan bercita rasa tinggi ada di dalam gereja. Dalam tata kota hanya ada dua simbol yang menjadi pusat, istana raja dan gereja. Gereja pasti menempati posisi terbaik di dalam kota. Alun-alunnya saja merupakan pusat berbagai kegiatan dan tempat orang-orang berkumpul, bahkan hanya untuk mengobrol di sore hari.

Memasuki Abad Pencerahan, gereja mulai mendapat saingan. Bertumbuhan gedung-gedung megah, mewah, dan sangat besar yaitu universitas. Zaman Pencerahan menunjukkan awal pergeseran zaman. Orang-orang mulai tertarik pada rasio atau akal dan pencarian yang bersifat bebas dan terbuka. Mulai muncul sikap kritis terhadap otoritas spiritualitas yang diwakili oleh para agamawan dan gereja. Tempat berkumpul yang ramai perlahan pindah dari gereja ke universitas. Zaman Pencerahan ternyata hanyalah transisi bagi mencuatnya Zaman Moderen saat pusat kegiatan pindah lagi, dan bangunan-bangunan serta kawasan yang berkembang juga berubah. Dari universitas ke pusat-pusat ekonomi seperti perbankan, pusat perbelanjaan dan pabrik-pabrik besar, tempat orang dalam jumlah besar berkumpul. Gereja menjadi bagian dari kota tua yang dilestarikan untuk menghormati masa lalu. Universitas ada di antara kota tua dan kota baru yang ditandai oleh makin pentingnya pusat-pusat ekonomi. Agamawan semakin kurang mendapat tempat, sedangkan penguasa ekonomi, terutama para pemodal adalah pemegang kuasa. Pergilah ke Eropa, ada barapa banyak gereja baru yang dibangun? Sebagian besar gereja adalah peninggalan masa lalu saat spiritualitas ada di atas. Inilah fakta sejarah yang juga terjadi di Amerika Latin dan tempat-tempat lain.

Tampaknya, Dieng mengalami dinamika yang beda-beda tipis. Meski Dieng berada di ketinggian dan masih mengandalkan pertanian. Dieng berubah dan terus berubah. Entah kemana arahnya.

Penjajah Belanda menjadikan Dieng sebagai salah satu pusat penanaman tembakau. Ketinggian, kesuburan tanah dan hawa dingin sangat cocok untuk pengembangan tembakau terbaik. Penduduk Dieng tentulah hanya menjafi buruh. Tak mungkin bisa memiliki. Karena begitulah tata kelola di zaman penjajahan.

Selepas penjajahan, Dieng masih asyik dengan tembakau. Namun tembakau hanya bisa dipanen paling cepat setahun sekali dan membutuhkan pemeliharaan yang hati-hati. Sejak tahun tujuh puluhan, mendapatkan bibit kentang dari para petani kentang dataran tinggi Jawa Barat, Dieng mulai "mengentang". Pada awalnya memang tidak gampang penduduk berubah dari tembakau yang harganya tidak murah ke kentang. Namun, saat sejumlah petani kentang berhasil, kentang menjadi primadona baru.

Dieng seakan hanya mengenal kentang. Kemana pun mata memandang yang terlihat hanya kentang. Tak peduli berapa kemiringan tanah, kentang pasti ditanam di situ. Bahkan halaman rumah dipenuhi kentang. Hanya ada sedikit tanah tersedia buat yang lain terutama kembang kol. Padahal ada carica, pepaya yang hanya tumbuh di Dieng. Namun, kentang adalah pilihan utama. Karena kentang Dieng merupakan kentang terbaik dengan harga tinggi. Pohon-pohon besar yang akarnya berfungsi mengikat tanah dan menyerap air semakin sedikit.

Sementara itu paralon yang berfungsi mengalirkan air menjalar di semua tempat. Bahkan ada yang disambung mengikuti pola kabel listrik yaitu menggunakan besi dan berada sama tinggi dengan kabel listrik. Air sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan kentang, terutama pada musim kemarau.

Kentang menjadi pemicu dinamika perubahan di Dieng. Pada mulanya adalah peningkatan penghasilan bagi pemilik tanah yang bertani kentang. Perubahan ekonomi sangat terlihat dari dibangunnya rumah-rumah besar. Sebagai rasa syukur, masjid-masjid besar dan megah juga dibangun.

Rupanya penghasilan besar dari kentang membuat keluarga-keluarga petani kentang yang berpunya, kurang mendorong peningkatan aspirasi dan ketertarikan pada pendidikan. Justru para buruh tani yang tampak lebih serius dan fokus menyekolahkan anak-anaknya.

Para pemilik tanah dan juragan kentang lebih banyak mendorong anak-anaknya ikut mengelola pertanian kentang. Karena bisa langsung mendapatkan uang, sedangkan sekolah hanya menghabiskan duit. Bukankah anak-anak itu akhirnya menjadi petani kentang yang harganya mahal?

Kentang sungguh telah menjadi kiblat nyaris semua orang Dieng. Bila melihat tanah-tanah yang kemiringannya sangat berbahaya bagi manusia ditanami kentang, maka bisa ditegaskan makna kentang bagi orang Dieng. Jangan-jangan mimpi dan igauan tidur mereka juga berisi tentang kentang.

Kentang telah membuat banyak orang sekitar Dieng datang dan membangun rumah pada tanah-tanah yang tidak cocok untuk pemukiman. Penduduk Dieng terus bertambah. Kebanyakan mereka yang datang adalah buruh tani yang mengadu nasib di Dieng. Sementara itu para petani kaya sibuk membangun rumah bagus yang berfungsi sebagai "home stay".

Para penduduk tidak mengizinkan pembangunan hotel di Dieng, sedangkan wisatawan terus bertambah. Terutama pada awal Agustus saat diadakan upcara ritual pemotongan rambut gimbal. Itulah sebabnya semakin banyak rumah bagus yang berfungsi sebagai "home stay".

Bukan sesuatu yang mengherankan bila terjadi kesenjangan di antara penduduk Dieng. Terutama antara petani pemilik tanah dan buruh tani. Perbedaan itu sangat tampak pada rumah yang ditempati dan kendaraan yang dimiliki. Di Dieng, rumah bagus dan megah, pertokoan, dan resto semakin bertambah. Bahkan ada "water park" yang megah dengan perosotan yang tinggi sebagaimana banyak terdapat di Jabodetabek. Menjadi menarik karena air kolamnya berasal dari gunung dan panas. Tetapi gedung sekolah tidak banyak berubah sejak beberapa tahun lalu. Tidak kumuh, tetapi juga tidak terlalu bagus.

Kesenjangan tampak semakin nyata lewat berbagai bangunan itu. Seorang buruh tani berusia lima puluh tahun bertutur tentang pendapatannya dan penghasilan juragannya.

Tanah ini luasnya satu hektar, disewa juragan saya dua juta setahun. Juragan harus punya modal lima juta untuk beli bibit dan pupuk. Bayar saya dua juta untuk mencangkul tanah dan menanam kentang. Saya kerjakan dua minggu. Nanti juragan yang merawat kentang. Saat panen juragan bayar orang untuk mengambil kentang. Satu hektar ini bayarannya lima ratus ribu. Kentangnya bisa tiga setengah ton, satu kilo harganya tujuh ribu. Juragan banyak untung. Saya paling besar dapat tiga juta setengah sebulan. Juragan memiliki banyak tanah. Dia juga banyak menyewa tanah.

Buruh tani yang memiliki tiga anak wanita dan dua cucu ini menambahkan. Anak-anaknya tamat SD, masuk pesantren dan menikah. Sekarang membantu suaminya yang juga buruh tani. Buruh tani semakin lama semakin ramai. Mereka datang dari dataran rendah. Jika panen lagi banyak, ada tukang pikul yang membawa kentang dari ladang ke truk. Upahnya tergantung jarak dan tingkat kesulitan. Ladang-ladang di bawah, di ketinggian dan kemiringan bayarannya lebih mahal.

Sebagai penduduk asli dataran tinggi Dieng, buruh tani ini merasa sangat khawatir. Ia ambil tanah dengan tangannya dan membauinya. Ia memintaku melakukan hal yang sama. Sangat terasa bau kimia pada tanah itu. Ia menjelaskan bahwa tanah Dieng sangat subur. Sebenarnya tidak perlu pupuk. Tetapi para petani ingin penghasilan yang terus berlebih. Akhirnya menggunakan bahan-bahan kimia secara berlebihan.

Tanah Dieng sudah sangat rusak, tegasnya. Ia memperlihatkan sudah hampir dua puluh meter ia mencangkul, hanya ada dua cacing tanah yang ia ketemukan. Cacing tanah yang bisa menyuburkan tanah dan tanaman sudah langka di Dieng, katanya. Ia bekerja seharian ditemani pemutar musik kecil, lagunya Dangdut Pantura.

Seorang buruh tani yang berusia lebih muda yaitu tiga puluhan tahun memberi penjelasan tambahan tentang kebiasaan petani kentang menggunakan bahan kimia. Sebelum kentang ditanam direndam dulu dengan bahan kimia tertentu. Tanah diberi pupuk secara berkala. Ada lagi pembasmi hama. Tanah Dieng benar-benar dijejali bahan kimia secara berlebihan.

Ia meyakini banyak sekali jenis dan merek bahan kimia yang digunakan petani. Saat ke tempat sampah, aku temukan puluhan merek bahan kimia yang biasa digunakan petani. Kala mengamati pembuangan air, sangat terasa bau bahan kimia. Buruh tani yang baru memiliki dua anak balita ini menjelaskan sudah sangat susah mencari belalang dan burung di Dieng. Belalang mati karena tidak kuat dengan penggunaan bahan-bahan kimia. Karena belalang dan banyak binatang kecil mati, maka burung pun tak bisa bertahan hidup di Dieng. Kicau burung hanya dapat didengarkan di Telaga Warna dan di rumah orang yang memelihara burung, urainya. Ia sangat prihatin dengan kondisi Dieng saat ini. Petani kentang tidak bisa diatur, tegasnya. Ucapan yang sama juga diungkapkan buruh tani yang berusia lima puluh tahun.

Seorang petani kentang yang memiliki tanah luas memberi penjelasan yang berbeda soal penggunaan pupuk yang berlebihan. Kentang Dieng adalah kentang terbaik. Itulah sebabnya harganya mahal. Kita harus menjaga kualitas kentang agar tetap bisa laku. Sekarang ini banyak kentang dari luar negeri terutama Cina masuk ke Indonesia. Harganya lebih murah. Pupuk menyelamatkan petani karena bisa membantu menghasilkan kentang terbaik. Persaingan dengan petani kentang dari tempat lain sekarang ini juga sangat ketat. Kentang tidak akan bisa bagus dan besar jika tidak pakai pupuk, tegasnya. Petani sering rugi bila kentang kena hama, kemarau atau hujan terlalu panjang. Pupuk kimia sangat berguna bagi petani untuk menjaga kualitas dan penghasilan yang tinggi. Dia enggan memakai pupuk kandang karena tidak praktis dan bau busuknya sangat mengganggu.

Dia percaya tanah memang berubah karena penggunaan bahan kimia yang berlebihan. Namun ia juga yakin bahwa tanah akan tetap subur dan tidak rusak jika menggunakan pupuk atau baham kimia. Karena hujan dan panas matahari membuat tanah tetap terjaga dan selalu kembali seperti semula. Petani ini tampaknya sama sekali tidak perduli akibat jangka panjang penggunaan bahan kimia bagi Dieng. Baginya yang penting adalah kentang bermutu dan laku. Jangan sampai kentang rusak dan tidak laku. Bila kentang tidak laku, bisa bangkrut.

Seorang kakek berusia lebih dari tujuh puluh tahun yang pernah merasakan menjadi petani tembakau dan kentang sangat prihatin dengan kondisi Dieng. Ia tidak akan pernah melupakan longsor yang terjadi tahun 1955. Lebih dari tiga ratus orang tewas di Dukuh Legetan karena longsor.

Kakek tua ini sangat yakin manusialah yang menjadi penyebab rusaknya alam. Ia juga percaya bencana datang karena manusia tidak bersyukur dan melakukan maksiat.

Ia menjelaskan bahwa penduduk dukuh yang terkena longsor itu hidup makmur karena pertanian. Mereka berlomba-lomba memamerkan kekayaan dan suka berjudi serta melakukan maksiat, mabuk sambil menikmati tari Lengger yang bisa saweran dan tidak jarang dilanjutkan dengan perzinahan. Kakek tua itu sangat yakin kerusakan alam karena perilaku buruk manusia dan sikap tidak bersyukur serta kemaksiatan merupakan penyebab terjadinya longsor yang mengerikan itu. Ia yakin, Dieng sekarang sudah kembali seperti Dukuh Legetan yang dihancurkan longsor.

Seorang pendudduk asli Dieng yang pernah kuliah di Jogja dan kini memiliki usaha wisata menjelaskan bahwa Dieng merupakan langganan lonsor. Seingatnya longsor yang tergolong besar sering terjadi. Longsor kecil lebih sering terjadi. Setiap musim hujan pasti terjadi longsor, tegasnya.

Ia menjelaskan pada 2011 Desa Tieng terkena longsor. Setiap tahun desa itu terkena longsor. Seingatnya ada tiga orang tewas karena tergerus banjir lumpur. Desa itu luasnya sekitar dua ratus hektar. Sangat sulit meminta penduduk pindah, karena sebagian besar tanah adalah ladang kentang. Meskipun desa itu rawan longsor, penduduk tetap bertahan.

Kemudian pada 2014 saat musim hujan, ada lebih dari seratus titik yang terkena longsor. Banyak desa mengalami longsor yang parah. Paling akhir bulan Maret lalu juga terjadi longsor. Jalan menuju Dieng terkena longsor. Keluar masuk Dieng menjadi sulit dan terpaksa buka tutup. Begitu seriusnya sampai Gubernur Jawa Tengah turun tangan langsung untuk memastikan jalan yang terkena longsor segera diperbaiki karena jalan itu merupakan urat nadi kehidupan masyarakat Dieng.

Setiap kali hujan deras, kita selalu was-was. Longsor pasti terjadi, paparnya. Apalagi bila hujan turun terus menerus. Banyak lokasi di Dieng rawan longsor. Sekarang semakin banyak pemukiman di bangun di tempat yang tidak cocok untuk pemukiman. Penduduk Dieng kini semakin banyak, ujarnya.

Seorang lelaki yang berusia empat puluh tahun yang prihatin dan khawatir bercerita. Dulu ia juga seperti petani yang lain, menggunakan pupuk kimia dan bahan-bahan kimia lain untuk mendapatkan kentang terbaik dalam jumlah banyak. Ia mengurangi bahan-bahan kimia itu karena merasa terganggu. Pada mulanya tangan dan tubuhnya gatal, kemudian ia mulai merasa pernafasannya terganggu. Untuk memastikan kentang yang ditanam bermutu baik, ia sendiri yang memelihara kentang-kentang itu. Seperti kebanyakan petani, tidak semua pekerjaan diupahkan pada buruh tani. Saat kentang sudah ditanam oleh buruh tani, ia sendiri yang mengurusi kentang dibantu istrinya.

Akhirnya ia memutuskan mengurangi menggunakan bahan-bahan kimia dan tidak hanya bergantung pada kentang. Ia belajar mengolah carica. Ia menanam lebih banyak carita di tanahnya. Kini ia mengelola industri rumahan. Komoditi utamanya adalah manisan carica. Ia juga mengolah kentang dan jamur. Di Dieng dia memiliki dua toko oleh-oleh dengan andalan carica dan kentang olahan. Dia memasok carica ke banyak tempat. Ia jelaskan kini semakin banyak penduduk Dieng terlibat pada industri perumaham mengolah carica, kentang, dan jamur.

Meski memiliki rumah di Dieng, namun sejak dua tahun lalu ia membeli rumah di Kota Wonosobo. Anak dan istrinya tinggal di rumah baru itu. Ia pergi-pulang setiap hari. Ia membeli rumah baru karena khawatir dengan longsor yang semakin sering terjadi, juga agar anak-anaknya mendapatkan pendidikan terbaik. Di Dieng belum ada sekolah bagus, tuturnya.

Tampaknya kekhawatiran dan keprihatinan terhadap kondisi Dieng dirasakan oleh banyak penduduk dari berbagai tingkat usia. Ada kegembiraan karena penduduk Dieng semakin sejahtera. Baik karena pertanian kentang, maupun disebabkan oleh semakin banyaknya wisatawan berkunjung ke Dieng. Namun, kekhawatiran semakin meningkat karena pertanian kentang telah mengubah Dieng menjadi hamparan tanah terbuka dengan pohon-pohon besar yang semakin menghilang dan bahaya longsor yang terus mengancam.

Seorang putra asli Dieng yang baru saja jadi sarjana dan memiliki usaha jasa pariwisata memiliki pandangan yang agak ekstrim. Ia sangat kecewa dengan kondisi Dieng saat ini. Menurutnya kehancuran Dieng merupakan akibat langsung dari masuknya kapitalis kota yang berkolaborasi dengan petani-petani kaya di Dieng untuk mengeksploitasi Dieng hanya demi keuntungan. Ia percaya ada mafia kentang yang melibatkan petani kaya, kapitalis kota dan oknum pejabat. Mereka inilah yang mengatur distribusi pupuk dan menguasai hasil pertanian.

Ia menyebut sejumlah petani kaya yang menguasai tanah sangat luas di Dieng, dan menguasai bisnis kentang. Menariknya, semua petani kaya itu sibuk membangun rumah baru untuk " home stay" tetapi tidak mau lagi tinggal di Dieng. Agak ketus ia katakan bahwa petani-petani kaya itu takut tinggal di Dieng karena bisa terkena longsor yang setiap saat bisa terjadi. Mereka itu rampok, tegasnya. Mengeksploitasi Dieng dan tidak mau menerima akibat buruknya.

Ia sangat berharap pertanian milik petani-petani kaya itu terkena longsor habis. Ia percaya hanya bencana besar yang bisa menyadarkan masyarakat Dieng bahwa apa yang mereka kerjakan saat ini telah merusak dan menghancurkan Dieng. Longsor besar hanya menunggu waktu, pasti terjadi, tegasnya.

Dieng memang diambang bahaya. Eksploitasi besar-besaran yang telah berlangsung lama pastilah akan merusak dan menghancurkan tanah Dieng. Semakin berkurangnya pohon-pohon besar yang dihabisi untuk menyediakan lahan bagi kentang pasti membawa akibat yang buruk dimasa depan.

Mungkin anak muda itu benar. Sudah terbukti sejak dulu kala bagaimana bencana besar membangunkan kesadaran manusia tentang kesalahannya. Meski kesadaran itu biasanya datang terlambat dan membawa korban dalam jumlah besar.

Dieng adalah sebuah potret tentang kerakusan manusia untuk mendapatkan keuntungan besar, tetapi mengabaikan keselamatan. Kebanyakan manusia memang lebih memilih keuntungan dan kenikmatan langsung yang bisa dinikmati kini dan di sini. Siapa pun yang mengingatkan bahwa tindakan mereka itu salah, bukan saja diejek dan dikucilkan, bahkan dibunuh.

Dari kitab suci dan tulisan-tulisan kuno kita bisa membaca cerita yang sama. Bagaimana kerakusan manusia dan kecenderungannya pada kenikmatan duniawi jangka pendek membuatnya alpa akan keselamatan jangka panjang.

SUNGGUH,  MANUSIALAH  AKTOR UTAMA YANG MENYEBABKAN  KERUSAKAN DI BUMI INI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd