Kamis, 19 Mei 2016

SENYUMAN BUNDA TUTY ALAWIYAH

( Allah, surgalah baginya)

Foto wajah Bunda Tuti Alawiyah muncul di media sosial. Wajah itu tersenyum, terlihat sangat sumringah. Melihatnya hati terasa damai. Jika sedang tertidur, pastilah wajah itu menunjukkan beliau sedang bermimpi indah, sangat indah.

Sejumlah orang, entah dengan motivasi apa, mempersoalkan bahwa senyuman yang terlihat pada jenazah Bunda Tuti Alawiyah merupakan bentukan yang berasal dari tipe wajah beliau. Jadi tidak bermakna apapun. Sepenuhnya terkait dengan bentuk wajah, kontur dan tekstur kulit wajah.

Memang terkait dengan bentuk wajah dan ekspresinya, kita bisa menjelaskannya dengan banyak pendekatan menggunakan kajian biologi, fisika dan kimia, serta pendekatan lain. Karena wajah bersifat fisik-biologis dan terikat pada hukum-hukum fisik-biologis.

Sebagai seorang muslim tentu saya menghargai berbagai pendekatan sebagai upaya menjelaskan senyum yang sumringah itu. Tetapi saya sepenuhnya haqul yakin bahwa berbagai pendekatan yang materialistik dan duniawi itu tidak memiliki kemampuan untuk memahami hakikat senyuman itu, apa yang ada di baliknya. Karena saya yakin  senyuman ini sepenuhnya spiritual. Senyum yang terlihat itu sesungguhnya menunjuktegaskan sesuatu yang mendalam, yang hanya bisa dicerap oleh nurani, oleh mata iman.

Sebenarnya dalam psikologi pun pernah dikaji senyum tulus spontan yang merupakan cermin perasaan sesungguhnya yang dapat dibedakan dengan senyum rekayasa yang biasanya ditunjukkan pramuniaga super market dan pramugari. Senyum yang ditampilkan sebagai bagian dari aturan pekerjaan. Maknanya, senyuman tidak memadai dijelaskan hanya dengan pendekatan materi terkait dengan bentuk wajah dan kontur kulit wajah.

Apalagi bila senyum itu menghiasi wajah orang yang wafat, seperti yang ditunjukkan Bunda Tuty Alawiyah. Tidak usahlah mencari data statistik berapa banyak orang meninggal dengan wajah tersenyum. Cukup gunakan pengalaman kita masing-masing. Sepanjang hidup sampai hari ini, ada berapa orang yang pernah kita lihat tersenyum saat berpulang?

Saya mempunyai banyak pengalaman melihat dan memerhatikan wajah orang yang meninggal. Selama menjadi relawan di Meulaboh, saya melihat ratusan wajah korban tsunami yang wafat. Mulai dari wajah yang masih utuh sampai yang hancur berantakan karena terlalu lama terendam di laut. Wajah korban yang wafat tertimpa bangunan, dan wajah jenazah yang berserakan di banyak tempat. Nyaris semua wajah yang masih bisa diidentifikasi memunculkan rasa ngeri saat ditengok. Pastilah ekspresi wajah itu menggambarkan kengerian saat terakhir sebelum mereka wafat.

Saat kerusuhan di Sampit, sebagian wajah korban matanya terbuka lebar, terbelalak. Sangat tampak ekspresi ketakutan dan kepedihan. Korban-korban gempa di Yogya, Sukabumi, Padang, dan banyak tempat lain menunjukkan kesamaan.

Sebagai relawan yang mengurusi anak jalanan dan selalu berada di jalan atau tempat-tempat yang tergolong tidak aman atau daerah angker, sudah tiga kali saya melihat orang yang ditusuk perutnya sampai semua isi perutnya muncrat ke jalanan. Saya perhatikan betul, wajah mereka sungguh sangat mengerikan ekspresinya.

Semua itu menegaskan bahwa wajah jenazah bukan ditentukan oleh tipe wajah, kontur dan tekstur kulit wajah.  Bukan hanya mereka yang wafat karena bencana. Tidak sedikit orang yang wafat di rumah atau di rumah sakit, dalam keadaan normal, bukan bencana, tampilan wajahnya kadang membuat kita bertanya-tanya. Mengapa ekspresinya seperti itu?

Sakratul maut, saat Malaikat pencabut nyawa bertindak, ia tidak melakukannya seperti kita melepas celana atau kaus kaki. Mudah, simpel dan tak butuh banyak tenaga. Bagaimana tindakan sang Malaikat saat mencabut nyawa, sangat ditentukan oleh apa yang manusia lakukan sepanjang hidupnya.

Tidak mengherankan bila ekspresi wajah jenazah tidak sama. Keberbedaan itu sebagai akibat dari cara Sang Pencabut Nyawa mendatangi dan bertindak. Boleh jadi, dia datang bagai debt collector yang sangat berang karena cicilan hutang tak dibayar dua tahun lebih, atau bagai petugas KPK menggeledah rumah koruptor yang terkena operasi tangkap tangan. Bisa juga ia datang bagai kekasih yang memendam rindu dan dirasuki rasa kangen luar biasa. Bahkan mungkin bagai calon mantu yang hendak meminta izin pada calon mertua yang ingin menikahi anak perempuannya. Tak tertutup kemungkinan ia datang bagai istri tua yang menyerbu istri muda dengan membawa serta ketujuh anaknya.
Apa yang manusia lakukan sepanjang hidupnya diyakini menentukan bagaimana ia berpulang. Karena itulah ada istilah khusnul khotimah, berakhir dengan baik. Khusnul khotimah adalah cita-cita yang ingin dicapai orang-orang beriman.

Jadi, bagaimana seorang manusia menghadapi sakratul maut merupakan salah satu indikator bagaimna ia menjalani hidup. Jika ekspresi wajahnya tersenyum, itu tidak terkait dengan tipe wajah. Tetapi pertanda nyata bagaimana ia menjalani hidup.

Saya secara pribadi hakkul yakin, sangat percaya bahwa Bunda Tuty Alawiyah adalah manusia yang sangat baik. Manusia beriman yang benar-benar mau dan mampu mengejawantahkan keimanannya menjadi amal shaleh atau perbuatan baik setiap saat, sepanjang hidupnya.

Berasama sejumkah relawan yang mengurusi anak jalanan, anak pasar dan anak-anak daerah kumuh di DKI Jakarta, kami bertandang, bersilaturahmi bertemu beliau. Tidak seperti kebanyakan agamawan yang asyik dengan menjelaskan ayat Al Qu'an atau Hadis Nabi tentang kemiskinan, beliau mengemukakan sejumlah pertanyaan agar mendapatkan keterangan runci dari kami.

Beliau bertanya bukan karena tidak tahu. Sepanjang usianya digunakan untuk membantu dan memberdayakan kaum dhuafa atau orang-orang miskin. Karena itu beliau sudah sangat paham duduk sosalnya.  Beliau bertanya untuk mendapat informasi yang bersifat khusus.

Tidak sampai satu minggu, beliau bersama kami telah melakukan aksi nyata membantu keluarga-keluarga miskin di Luar Batang, keluarga buruh panggul dan nelayan kecil di Pasar Ikan. Beliau tidak datang untuk berceramah atau memberi tausiyah, tetapi menyambangi gubuk reot keluarga-keluarga tersebut. Memeluk dan mencium pipi para ibu, dan menggendong banyak bayi. Ia datang, hadir, menunjukkan perhatian dan empati.

Beliau  datang bukan sekadar untuk meresmikan program itu, tetapi secara berkala dan teratur menyambangi pemukiman kumuh itu dalam waktu yang panjang. Alhamdullillah, program yang sama bisa dikembangkan di tempat lain karena dukungan luar biasa dari beliau.

Beliau bukanlah tipe agamawan yang cuma omong di televisi dan berkeliling dari masjid ke masjid untuk bercermah dengan bayaran tinggi, menjadi model iklan, dan hanya terampil memberi tausiyah. Beliau adalah manusia beriman yang mewujudkan imannya dengan tindakan nyata, peduli dan berbagi khusus kepada orang-orang dhuafa.

Secara pribadi saya berkeyakinan, ekspresi senyum di akhir hidupnya adalah tanda bahwa Bunda Tuty Alawiyah sedang berbagi atau bersedekah saat menghadapi sakratul maut. Sebagaimana beliau lakukan sepanjang hayatnya. Bukankah senyuman itu adalah sedekah, perbuatan baik yang datang dari hati paling dalam.

SELAMAT JALAN BUNDA TUTY ALAWIYAH, SURGALAH BAGIMU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd