Sekarang ini makin banyak orang yang
hidup dari sampah. Sebagian mereka malah hidup dari dan dengan sampah. Mereka
adalah para pemulung, manusia gerobak, petugas kebersihan, dan para pengepul
yang menjadi juragan para pemulung.
Sudah pasti hidup dari dan dengan
sampah terpaksa dilakukan karena tidak ada pilihan. Mereka lakukan itu karena
terjerat rantai kemiskinan. Sejumlah pemulung di pembuangan akhir Bantar Gebang
ada yang sudah tiga generasi menjadi pemulung. Kemiskinan seperti memasung
mereka untuk terus hidup dari dan dengan sampah.
Tentu saja mereka tidak pernah makan
sekolahan, jadi dalam ukuran masyarakat normal mereka tergolong miskin dan
sekaligus bodoh. Tak heran bila ada yang menyebut mereka sampah masyarakat.
Sebenarnya jika ada pilihan lain,
pastilah mereka tidak mau menjalani hidup dari dan dengan sampah. Namun, sampai
saat ini jumlah mereka makin bertambah-tambah. Ini pertanda ada yang salah
dalam pengelolaan negara bangsa ini. Lihatlah di kota-kota besar kita.
Pemukiman kumuh cenderung terus bertambah. Penghuninya sudah pasti orang-orang
yang hidup dari dan dengan sampah.
Kemiskinan, kebodohan, dan sempitnya
kesempatan untuk merubah nasib memaksa mereka tetap berada di kubangan sampah.
Tentu saja, fakta masih banyaknya saudara sebangsa yang masih hidup dari dan
dengan sampah saat kita sudah merdeka 68 tahun sungguh sangat memprihatinkan,
bahkan mengerikan. Sebab dalam Indonesia merdeka, masih banyak yang dijajah
kemiskinan.
Namun, ada yang lebih memprihatinkan
dan lebih mengerikan dari fakta di atas. Tidak sedikit orang yang sangat kaya,
sangat terdidik, hidup dalam kelimpahmewahan, menjadi warga negara terpilih dan
terhormat, tetapi hidup dari dan dengan sampah. Di antara mereka ada yang
bergelar doktor (Dr.), Prof. Dr. H, Prof. Dr. KH, Prof. Dr. Ir. Ing., dan
serenceng gelar lain. Malah ada yang pernah kuliah di tanah suci, dan hafal
kitab suci. Mereka memiliki jabatan dan kedudukan penting yaitu guru besar
universitas ternama, bupati, walikota, gubernur, dirjen, pimpinan BUMN, wakil
rakyat, hakim, jaksa, pengacara, dan menteri, serta presiden partai
berlandaskan agama. Ada pula yang berpangkat jenderal dengan jabatan terhormat.
Mereka semua terlibat korupsi, suap-menyuap, gratifikasi, kongkalikong, dan
patgulipat yang pasti merugikan negara dan rakyat.
Jika kelompok yang pertama hidup dari
dan dengan sampah karena terpaksa, tak ada pilihan, sekedar bertahan hidup
disebabkan kemiskinan harta. Maka kelompok yang kedua hidup dari dan dengan
sampah justru karena ingin memiliki lebih banyak, disebabkan kemiskinan jiwa.
Karena itu kelompok kedua ini pantas diberi tambahan di belakang namanya dengan
bin rakus, bin kemaruk, bin congok.
Ada di antara mereka yang sebelumnya
kelihatan tawadhu, namun jabatan mengubahnya menjadi tawadu alias orang yang
berorientasi tahta, wanita, dunia. Bisa jadi mereka sebenarnya adalah para
dajjali. Manusia dengan perilaku dajjal atau dajjal-dajjal kecil. Manusia yang
tidak punya rasa malu, menghalalkan segala cara, menjual apa saja termasuk
harga diri dan kehormatannya.
Para dajjali, manusia miskin jiwa ini
justru bangga dengan rumahnya yang bergaya istana mewah, monil mewah, kehidupan
bergaya konglomerat. Padahal mereka tak lebih dari seonggok sampah yang
bertopeng jabatan terhormat. Beberapa di antara mereka bernasib sial dicokok
penegak hukum. Tetapi masih sangat banyak yang berkeliaran, berpetualang dengan
berbagai jabatan dalam masyarakat kita.
Mereka adalah orang-orang kaya,
terdidik, memegang jabatan terhormat, tetapi hakikinya miskin jiwa dan sampah
yang menjijikkan. Kenyataan ini menegaskan,
MISKIN
JIWA LEBIH BERBAHAYA DIBANDINGKAN MISKIN HARTA.
bagaimana agar mereka tak lagi hidup dari dan dgn sampah ? apa yang harus pemerintah lakukan ? jika setiap taunnya bukan berkurang tetapi malah bertambah. saya suka tulisan bapa :)
BalasHapus