Jumat, 23 Agustus 2013

ORANG YANG HIDUP DARI DAN DENGAN SAMPAH

Sekarang ini makin banyak orang yang hidup dari sampah. Sebagian mereka malah hidup dari dan dengan sampah. Mereka adalah para pemulung, manusia gerobak, petugas kebersihan, dan para pengepul yang menjadi juragan para pemulung.

Sudah pasti hidup dari dan dengan sampah terpaksa dilakukan karena tidak ada pilihan. Mereka lakukan itu karena terjerat rantai kemiskinan. Sejumlah pemulung di pembuangan akhir Bantar Gebang ada yang sudah tiga generasi menjadi pemulung. Kemiskinan seperti memasung mereka untuk terus hidup dari dan dengan sampah.

Tentu saja mereka tidak pernah makan sekolahan, jadi dalam ukuran masyarakat normal mereka tergolong miskin dan sekaligus bodoh. Tak heran bila ada yang menyebut mereka sampah masyarakat.

Sebenarnya jika ada pilihan lain, pastilah mereka tidak mau menjalani hidup dari dan dengan sampah. Namun, sampai saat ini jumlah mereka makin bertambah-tambah. Ini pertanda ada yang salah dalam pengelolaan negara bangsa ini. Lihatlah di kota-kota besar kita. Pemukiman kumuh cenderung terus bertambah. Penghuninya sudah pasti orang-orang yang hidup dari dan dengan sampah.

Kemiskinan, kebodohan, dan sempitnya kesempatan untuk merubah nasib memaksa mereka tetap berada di kubangan sampah. Tentu saja, fakta masih banyaknya saudara sebangsa yang masih hidup dari dan dengan sampah saat kita sudah merdeka 68 tahun sungguh sangat memprihatinkan, bahkan mengerikan. Sebab dalam Indonesia merdeka, masih banyak yang dijajah kemiskinan.

Namun, ada yang lebih memprihatinkan dan lebih mengerikan dari fakta di atas. Tidak sedikit orang yang sangat kaya, sangat terdidik, hidup dalam kelimpahmewahan, menjadi warga negara terpilih dan terhormat, tetapi hidup dari dan dengan sampah. Di antara mereka ada yang bergelar doktor (Dr.), Prof. Dr. H, Prof. Dr. KH, Prof. Dr. Ir. Ing., dan serenceng gelar lain. Malah ada yang pernah kuliah di tanah suci, dan hafal kitab suci. Mereka memiliki jabatan dan kedudukan penting yaitu guru besar universitas ternama, bupati, walikota, gubernur, dirjen, pimpinan BUMN, wakil rakyat, hakim, jaksa, pengacara, dan menteri, serta presiden partai berlandaskan agama. Ada pula yang berpangkat jenderal dengan jabatan terhormat. Mereka semua terlibat korupsi, suap-menyuap, gratifikasi, kongkalikong, dan patgulipat yang pasti merugikan negara dan rakyat.

Jika kelompok yang pertama hidup dari dan dengan sampah karena terpaksa, tak ada pilihan, sekedar bertahan hidup disebabkan kemiskinan harta. Maka kelompok yang kedua hidup dari dan dengan sampah justru karena ingin memiliki lebih banyak, disebabkan kemiskinan jiwa. Karena itu kelompok kedua ini pantas diberi tambahan di belakang namanya dengan bin rakus, bin kemaruk, bin congok.

Ada di antara mereka yang sebelumnya kelihatan tawadhu, namun jabatan mengubahnya menjadi tawadu alias orang yang berorientasi tahta, wanita, dunia. Bisa jadi mereka sebenarnya adalah para dajjali. Manusia dengan perilaku dajjal atau dajjal-dajjal kecil. Manusia yang tidak punya rasa malu, menghalalkan segala cara, menjual apa saja termasuk harga diri dan kehormatannya.

Para dajjali, manusia miskin jiwa ini justru bangga dengan rumahnya yang bergaya istana mewah, monil mewah, kehidupan bergaya konglomerat. Padahal mereka tak lebih dari seonggok sampah yang bertopeng jabatan terhormat. Beberapa di antara mereka bernasib sial dicokok penegak hukum. Tetapi masih sangat banyak yang berkeliaran, berpetualang dengan berbagai jabatan dalam masyarakat kita.

Mereka adalah orang-orang kaya, terdidik, memegang jabatan terhormat, tetapi hakikinya miskin jiwa dan sampah yang menjijikkan. Kenyataan ini menegaskan,

MISKIN JIWA LEBIH BERBAHAYA DIBANDINGKAN MISKIN HARTA.

1 komentar:

  1. bagaimana agar mereka tak lagi hidup dari dan dgn sampah ? apa yang harus pemerintah lakukan ? jika setiap taunnya bukan berkurang tetapi malah bertambah. saya suka tulisan bapa :)

    BalasHapus

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd