Puasa Ramadhan adalah ibadah yang
sangat istimewa. Allah sengaja membuatnya sangat istimewa karena puasa Ramadhan
sejatinya adalah urusan setiap pribadi dengan Allah secara langsung. Mengapa
begitu istimewa? Sebab tak ada yang tahu apakah seseorang itu melaksanakan
puasa Ramdahan selain orang itu sendiri dan Allah. Itulah istimewanya.
Puasa Ramadhan sungguh menempatkan
manusia di persimpangan kebebasannya. Ia sungguh-sungguh diuji. Apa yang akan
menjadi pilihannya? Apakah secara sadar dan ikhlas memilih berpuasa, atau
diam-diam di tempat yang tidak ada seorang pun dapat melihatnya, ia menikmati
apapun yang dapat membatalkan puasa. Hakikinya, puasa Ramadhan membangun
kesadaran yang intens tentang keberadaan Allah yang secara terus menerus
memperhatikan kita. Inilah sebenarnya puncak keberhasilan puasa Ramadhan yaitu
menyadari dan menghayati secara intens bahwa Allah begitu dekat, bahkan lebih
lekat dan dekat dibandingkan urat leher tempat saluran nafas dan darah. Inilah hakikat
taqwa yang sesungguhnya.
Itulah sebabnya puasa memiliki
potensi mentaqwakan manusia. Taqwa
bermakna kesadaran intens akan kehadiran Allah dalam seluruh bidup kita. Jika
kesadaran itu tertanam, adakah waktu, kesempatan, dan celah untuk berbuat kesalahan
dan kejahatan? Namun tentu saja, puasa Ramadhan tidak otomatis membuat manusia
bertaqwa. Karena puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus. Puasa Ramadhan
lebih dari itu. Puasa itu menahan diri dari segala yang membatalkannya.
Apa makna menahan diri? Menahan diri
mengisyaratkan pemahaman yang mendalam terhadap diri sendiri. Memahami
plus-minus diri sendiri. Ini bukan persoalan mudah dan sederhana. Lihatlah
orang lain, lihatlah sekeliling kita. Kemudian dengan mata yang sama untuk
melihat semua itu, lalu lihatlah diri sendiri. Apa bisa? Pasti tidak bisa dan
tidak akan pernah bisa. Secara fisik kita butuh cermin untuk melihat diri
sendiri. Secara psikologis, kita bisa melakukan refleksi, renungan mendalam
tentang siapakah aku?
Pemahaman mendalam tentang diri paling baik
dilakukan secara spiritual. Karena kita tidak sekedar merenungkan dan
mempersoalkan hal-hal yang bersifat teknis fungsional seperti apakah studiku
berhasil, apakah pekerjaan yang kujalani cocok untukku, apakah aku orang yang
berhasil karena telah memiliki segala yang dibutuhkan, dan sejumlah pertanyaan
teknis sejenis. Renungan spiritual lebih dari itu. Renungan spiritual
mempersoalkan hal-hal yang lebih prinsip-substansial terkait keberadaanku
dihadapan Allah. Sejumlah contoh pertanyaan prinsip-substansial adalah: apakah
umurku sungguh digunakan untuk berbuat kebaikan, apakah keluargaku menikmati
rezeki yang halal, apakah aku lebih banyak berbuat baik pada sesama atau
sebaliknya, apakah seluruh amal shalehku kulakukan dengan ikhlas atau sekedar
sebagai cara untuk mendapatkan pujian dan nama baik, apakah masih ada sebutir
kedengkian dalam hatiku, sungguhkah kebaikan yang kulakukan selama ini
semata-mata untuk mencari ridha Alllah, dan sejumlah besar pertanyaan sejenis.
Renungan spiritual memang dapat
dilakukan kapan dan di mana pun. Namun, akan menjadi sangat spesial bila
dilakukan selama bulan Ramadhan. Sebab hakikinya Ramadhan adalah saat untuk
jeda atau i'tikaf. Saat yang tepat untuk sejenak keluar dari rutinitas dan
kebiasaan yang sudah menulang sumsum. Ramadhan adalah saat yang tepat untuk
melakukan aktivitas 'tutup buku tahunan', saat untuk memeriksa secara teliti
dan rinci semua yang pernah dilakukan selama setahun, menghitung amal baik dan
buruk yang pernah dikerjakan. Inilah saat untuk menyiangi dan menelanjangi diri
sendiri. Inilah saat yang tepat untuk dengan jujur mengatakan inilah aku,
seorang hamba Allah yang........... Setiap orang harus mengisi titik-titik itu
sesuai dengan realitas dirinya.
Atas dasar pemahaman dan penghayatan
diri yang jujur dan mendalam itulah kita melakukan aktivitas dan proses menahan
diri. Menahan diri sejatinya adalah kemampuan mengambil dan menjaga jarak
dengan apapun yang membatalkan dan mengurangi makna puasa. Sudah pasti ini
bukan perkara mudah. Lazimnya setelah menjalani puasa beberapa hari, kita
sangat mampu menahan diri dari makan dan minum. Artinya rasa lapardan haus
menjadi tidak lagi mengganggu. Tetapi tentu tidak mudah untuk menahan diri dari
menghujat orang, berprasangka buruk pada orang, menilai orang secara negatif,
dan sejumlah aktivitas sejenis. Bila proses pemahaman diri secara mendalam
berhasil, biasanya kita menjadi lebih awas dan hati-hati, mampu menahan diri
karena menyadari betapa diriku sendiri tidak lebih baik dari orang lain.
Proses perjalanan ke dalam diri melalui
refleksi spiritual dan kemampuan untuk menahan diri merupakan aktivitas dan
proses yang berjalin berkelindan dan berkesinambungan. Itulah sebabnya
keberhasilan kita melaksanakan ibadah puasa Ramadhan, kebermaknaannya tidak
hanya dinilai pada waktu puasa itu dilaksanakan, justru pada waktu kita
menjalani hidup sepanjang tahun sampai, insya Allah, bertemu Ramadhan kembali.
Biasanya godaan untuk tidak dapat menahan diri bukan pada saat Ramadhan, tetapi
justru dalam sebelas bulan setelah Ramadhan berlalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd