Selasa, 06 Agustus 2013

RAMADHAN: PERJALANAN KE DALAM DIRI



Puasa Ramadhan adalah ibadah yang sangat istimewa. Allah sengaja membuatnya sangat istimewa karena puasa Ramadhan sejatinya adalah urusan setiap pribadi dengan Allah secara langsung. Mengapa begitu istimewa? Sebab tak ada yang tahu apakah seseorang itu melaksanakan puasa Ramdahan selain orang itu sendiri dan Allah. Itulah istimewanya.

Puasa Ramadhan sungguh menempatkan manusia di persimpangan kebebasannya. Ia sungguh-sungguh diuji. Apa yang akan menjadi pilihannya? Apakah secara sadar dan ikhlas memilih berpuasa, atau diam-diam di tempat yang tidak ada seorang pun dapat melihatnya, ia menikmati apapun yang dapat membatalkan puasa. Hakikinya, puasa Ramadhan membangun kesadaran yang intens tentang keberadaan Allah yang secara terus menerus memperhatikan kita. Inilah sebenarnya puncak keberhasilan puasa Ramadhan yaitu menyadari dan menghayati secara intens bahwa Allah begitu dekat, bahkan lebih lekat dan dekat dibandingkan urat leher tempat saluran nafas dan darah. Inilah hakikat taqwa yang sesungguhnya.

Itulah sebabnya puasa memiliki potensi  mentaqwakan manusia. Taqwa bermakna kesadaran intens akan kehadiran Allah dalam seluruh bidup kita. Jika kesadaran itu tertanam, adakah waktu, kesempatan, dan celah untuk berbuat kesalahan dan kejahatan? Namun tentu saja, puasa Ramadhan tidak otomatis membuat manusia bertaqwa. Karena puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus. Puasa Ramadhan lebih dari itu. Puasa itu menahan diri dari segala yang membatalkannya.

Apa makna menahan diri? Menahan diri mengisyaratkan pemahaman yang mendalam terhadap diri sendiri. Memahami plus-minus diri sendiri. Ini bukan persoalan mudah dan sederhana. Lihatlah orang lain, lihatlah sekeliling kita. Kemudian dengan mata yang sama untuk melihat semua itu, lalu lihatlah diri sendiri. Apa bisa? Pasti tidak bisa dan tidak akan pernah bisa. Secara fisik kita butuh cermin untuk melihat diri sendiri. Secara psikologis, kita bisa melakukan refleksi, renungan mendalam tentang siapakah aku?

 Pemahaman mendalam tentang diri paling baik dilakukan secara spiritual. Karena kita tidak sekedar merenungkan dan mempersoalkan hal-hal yang bersifat teknis fungsional seperti apakah studiku berhasil, apakah pekerjaan yang kujalani cocok untukku, apakah aku orang yang berhasil karena telah memiliki segala yang dibutuhkan, dan sejumlah pertanyaan teknis sejenis. Renungan spiritual lebih dari itu. Renungan spiritual mempersoalkan hal-hal yang lebih prinsip-substansial terkait keberadaanku dihadapan Allah. Sejumlah contoh pertanyaan prinsip-substansial adalah: apakah umurku sungguh digunakan untuk berbuat kebaikan, apakah keluargaku menikmati rezeki yang halal, apakah aku lebih banyak berbuat baik pada sesama atau sebaliknya, apakah seluruh amal shalehku kulakukan dengan ikhlas atau sekedar sebagai cara untuk mendapatkan pujian dan nama baik, apakah masih ada sebutir kedengkian dalam hatiku, sungguhkah kebaikan yang kulakukan selama ini semata-mata untuk mencari ridha Alllah, dan sejumlah besar pertanyaan sejenis.

Renungan spiritual memang dapat dilakukan kapan dan di mana pun. Namun, akan menjadi sangat spesial bila dilakukan selama bulan Ramadhan. Sebab hakikinya Ramadhan adalah saat untuk jeda atau i'tikaf. Saat yang tepat untuk sejenak keluar dari rutinitas dan kebiasaan yang sudah menulang sumsum. Ramadhan adalah saat yang tepat untuk melakukan aktivitas 'tutup buku tahunan', saat untuk memeriksa secara teliti dan rinci semua yang pernah dilakukan selama setahun, menghitung amal baik dan buruk yang pernah dikerjakan. Inilah saat untuk menyiangi dan menelanjangi diri sendiri. Inilah saat yang tepat untuk dengan jujur mengatakan inilah aku, seorang hamba Allah yang........... Setiap orang harus mengisi titik-titik itu sesuai dengan realitas dirinya.

Atas dasar pemahaman dan penghayatan diri yang jujur dan mendalam itulah kita melakukan aktivitas dan proses menahan diri. Menahan diri sejatinya adalah kemampuan mengambil dan menjaga jarak dengan apapun yang membatalkan dan mengurangi makna puasa. Sudah pasti ini bukan perkara mudah. Lazimnya setelah menjalani puasa beberapa hari, kita sangat mampu menahan diri dari makan dan minum. Artinya rasa lapardan haus menjadi tidak lagi mengganggu. Tetapi tentu tidak mudah untuk menahan diri dari menghujat orang, berprasangka buruk pada orang, menilai orang secara negatif, dan sejumlah aktivitas sejenis. Bila proses pemahaman diri secara mendalam berhasil, biasanya kita menjadi lebih awas dan hati-hati, mampu menahan diri karena menyadari betapa diriku sendiri tidak lebih baik dari orang lain.

Proses perjalanan ke dalam diri melalui refleksi spiritual dan kemampuan untuk menahan diri merupakan aktivitas dan proses yang berjalin berkelindan dan berkesinambungan. Itulah sebabnya keberhasilan kita melaksanakan ibadah puasa Ramadhan, kebermaknaannya tidak hanya dinilai pada waktu puasa itu dilaksanakan, justru pada waktu kita menjalani hidup sepanjang tahun sampai, insya Allah, bertemu Ramadhan kembali. Biasanya godaan untuk tidak dapat menahan diri bukan pada saat Ramadhan, tetapi justru dalam sebelas bulan setelah Ramadhan berlalu.

RAMADHAN ADALAH SAAT UNTUK MELAKUKAN PERJALANAN KE DALAM DIRI, DEMI PERBAIKAN DIRI SECARA BERKELANJUTAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd