Sabtu, 07 Desember 2013

ADA YANG RINDU SUHARTO

Apa buah reformasi? Apakah rakyat bertambah makmur? Apakah hidup semakin mudah? Bagaimana keadaan pendidikan dan kesehatan rakyat? Apakah kita makin demokratis? Apakah keamanan semakin baik? Mengapa korupsi semakin merajalela dan akut? Mengapa rakyat menjadi cepat marah, mengamuk dan membakar apa saja? Sementara aparat juga semakin anarkis? Lantas bagaimana pemerintah?
Pemerintah koalisi yang dipimpin SBY- Budiono telah berhasil meneror rakyat melaui ketidakpastian dan kelemahan hampir dalam segala bidang. Lihatlah, dalam tahun-tahun yang panjang rakyat diteror dengan ketidakpastian harga BBM. Pemerintah terus-manerus mewacanakan beragam opsi tanpa keberanian membuat keputusan. Ini sungguh pemerintah banci yang peragu. Sementara keputusan belum pernah diambil harga-harga bahan pokok sudah melejit, melambung tinggi. Saat akhirnya harga BBM naik, harga bahan pokok betul-betul melejit selangit.
Seorang teman yang lahir dan besar di Bantul percaya, sikap pemerintah yang penuh keraguan ini berakar pada pribadi SBY yang tercermin dari namamnya. Teman itu bilang, Indonesia itu hebat saat dipimpin oleh presiden yang namanya singkat dan maknanya jelas yaitu Sukarno dan Suharto. Sedangkan SBY itu nama yang tidak begitu jelas maknanya karena terlalu panjang. Perhatikan dengan cermat, katanya. Susilo itu kan nama lelaki yang mengandung nama wanita yaitu Susi. Jadi bisa diplesetkan menjadi Susi....lo. Sementara Yudhoyono itu bagus karena ada yudhonya, tapi jadi agak tidak jelas karena sekaligus mengandung yo dan no. Ya dan tidak. Tentu saja ini cuma permainan kata. Tetapi sejumlah orang percaya, namamu adalah jalan dan tujuan hidupmu. Saya, tidak percaya itu. Meskipun menghargai pemaknaan kata itu.
Terlepas apakah makna nama itu memberi pengaruh atau tidak, faktanya bagi kebanyakan rakyat hidup di zaman reformasi ini ternyata terasa lebih sulit. Harga-harga bukan saja naik, namun lebih sering berganti harga. Jengkol saja bisa menembus tujuh puluh lima ribu rupiah sekilo. Luar biasa. Berharga banget tu jengkol. Sementara itu keamanan lebih mirip film koboi Amerika. Polisi tewas di tembak di mana-mana. Kantor polisi di bakar massa. Ada wanita cantik diseret pakai motor sampai mati. Mutilasi sering terjadi. Perampok brani menguras habis toko emas pada siang bolong di tengah keramaian pasar. Tempat ibadah dibakar dan dihancurkan. Penganut mazhab tertentu dihabisi oleh yang lain. Tentara menyerbu penjara dan menembaki preman. Sungguh reformasi tampaknya hanya menyenangkan bagi para politisi yang bisa berbuat apa saja. Sedangkan rakyat semakin tertekan menderita oleh ketidakpastian dan menguapnya rasa aman.
Para tukang ojek, supir bajaj, supir taksi, supir truk, pengasong, pedagang kecil, pemulung, mbok jamu,pegawai kecil mulai berbicara tentang Suharto dengan cara yang positif. Mereka bilang zaman Suharto harga-harga terkendali, cari uang gampang, dan aman. Uang sedikit, tetapi cukup untuk belanja keluarga. Sekolah murah, ada puskemas murah, posyandu, kegiatan PKK yang sangat membantu anak dan keluarga. Program KB berjalan dengan baik. Harga beras sangat terkendali.
Orang kecil memang lebih tertarik berfikir yang kecil-kecil dan konkrit. Mereka sama sekali tak tertarik bicara tentang reformasi hukum dan keberadaan MK sebagai tanda negeri ini makin demokratis. Yang mereka tahu, pilkada lebih sering menimbulkan huru-hara. Terlalu banyak pemilu dan duit dihambur-hamburkan untuk bikin spanduk dan foto wajah-wajah orang yang tak mereka kenal. Banyak di antara mereka malah males dateng ke TPS karena bingung dengan banyaknya partai politik ditambah daftar caleg yang serenceng. Demokrasi bagi mereka cuma bikin pusing saja. Yang didengar hanya janji-janji, tapi hidup makin tak pasti dan sulit.
Mereka mulai rindu Suharto, kangen pada orde baru. Dulu Suharto sering tampil di televisi, Suharto tidak pernah mengeluh. Dia selalu tampil dengan senyum dan wajah ceria. Sedangkan presiden yang sekarang sering mengeluh, curhat di televisi. Mosok, presiden ngeluh dan curhat melulu.
Kerinduan pada Suharto pastilah sangat mengganggu para aktivis perubahan yang merasa telah bekerja keras menumbangkan rezim Suharto. Mereka akan marah dan teriak, apa kita bisa melupakan sisi lain Suharto! Suharto itu menyengsarakan rakyat!
Rakyat kecil pastilah tahu sisi lain Suharto. Emang mereka buta apa? Tetapi dalam penghayatan mereka, sekarang hidup lebih susah dan lebih sengsara. Reformasi itu kan cuma menyenangkan orang-orang gede aja. Wong cilik kayak kami, ya makin payah hidupnya.
Kita bisa berdiskusi bahkan berdebat soal Suharto dan reformasi dengan sudut pandang yang berbeda. Namun, juga harus menjadi pertanyaan besar mengapa kebanyakan orang kecil merasa hidup lebih susah sekarang ini. Kita tentu tak lupa, bagaimana reformasi pernah diplesetkan menjadi repotnasi.
BANGSA INI MEMBUTUHKAN KEJUJURAN UNTUK MENYATAKAN YANG SESUNGGUHNYA, BAHWA REFORMASI MEMANG BELUM MEWUJUDKAN JANJI-JANJINYA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd