Mati itu pasti. Ia bisa datang melalui penyakit atau tidak. Bisa merenggut kehidupan di rumah sakit atau di rumah makan. Dengan atau tanpa kehadiran dokter. Mati tak pernah memilih. Ia datang pada orang yang tepat, pada waktu yang tepatakurat. Tetapi kematian menjadi problematis, sebab kita tak pernah tahu kapan dan dengan cara apa manusia mati. Itulah sebabnya orang bisa berandai-andai, berspekulasi tentang cara bagaimana kematian itu nyamper.
Dalam pengandaian dan spekulasi itu orang-orang mulai memberi peluang pada berbagai kemungkinan. Seandainya saja dokter lebih cepat bertindak, mungkin kematian bisa dihindari. Jika saja ia memilih naik kereta api seperti biasa dan tidak naik motor, mungkin tabrakan yang menyebabkan kematian ini tidak terjadi. Bila saja ia tinggal di rumah dan tidak ikut tamasya ke pantai, mungkin ia masih bersama kita di sini, tidak dimakamkan dalam usia yang sangat muda. Ya..... menghadapi kematian seringkali orang berfikir dalam andai-andai. Sebenarnya ini wajar, karena kematian itu sangat menyakitkan bagi yang ditinggalkan. Orang perlu mencari cara untuk menghibur diri.
Persoalannya bisa panjang saat kematian itu terjadi di rumah sakit yang melibatkan dokter dalam wilayah pelayanan publik. Keluarga klien atau pasien bisa melaporkan kejadian yang menimpa keluarganya ke penegak hukum. Ini dilakukan karena rasa tidak percaya pada penanganan internal kedokteran melalui sidang komite etik yang dilakukan oleh para dokter dari lingkungan sendiri.
Rasa tidak percaya itu juga sesuatu yang wajar. Sebab banyak dugaan malpraktik yang dilakukan oleh para dokter diputuskan tidak bersalah oleh komite etik para dokter. Pastilah rasa kehilangan anggota keluarga yang sangat menyakitkan itu semakin membuncah. Membawa kasusnya ke pengadilan adalah cara yang paling baik dan masuk akal. Mengapa? Bisa saja kan keluarga pasien mengambil tindakan sendiri menggunakan hukum Musa, nyawa ganti nyawa. Tindakan yang sama sekali tidak kita harapkan. Karena itu ikut sertanya pengadilan dalam kasus malpraktik sebenarnya merupakan cara yang paling rasional dan terukur.
Persoalan menjadi dilemmatis dan pelik saat para dokter berkeyakinan, keputusan pengadilan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung adalah kriminalisasi dokter. Kemudian mereka bereaksi dengan melakukan mogok nasional. Tak ada salahnya dokter mogok,karena itu hak mereka. Namun, ada masyarakat yang kemudian bereaksi keras karena pelayanan terhadap pasien terganggu. Apalagi berita sore di berbagai televisi menayangkan akibat buruk dari mogok tersebut terhadap pelayanan publik. Langsung saja di jejaring sosial muncul kontroversi, pro-kontra dan berbagai hujatan.
Tampaknya ini saat yang tepat untuk jeda. Menghentikan semua hujatan dan perkataan buruk oleh berbagai pihak. Negara bangsa ini perlu mengembangkan cara-cara yang empatis untuk menyelesaikan masalah pelik, konflik yang menceracau dan mengoyakmoyak emosi.
Sudah terlalu lama setiap pihak yang berbeda pendapat dan bertikai berdiri tegak kaku pada posisinya sendiri, tak sedikit pun mau beringsut. Karena sangat yakin pada kebenarannya sendiri. Itulah yang menjadi penyebab munculnya pertikaian cicak-budaya, koin prita dan sejumlah pertikaian dan konflik lain seperti Syiah Sampang, gereja Yasmin, dan Ahmadiyah.
Saatnya untuk mengembangkan pendekatan empatis. Para dokter sudah bertindak sangat patut berempati kepada sesama dokter. Tetapi mereka juga harus berempati pada pasien dan keluarganya. Para dokter mencoba menghayati jika mereka berada pada posisi pasien dan keluarganya menghadapi kematian. Kita semua juga harus berempati pada para dokter. Para dokter membutuhkan kepastian hukum dan perlindungan dalam bekerja menolong pasien. Kita harus bisa menghayati betapa sering para dokter dipaksa membuat keputusan dalam waktu sangat singkat di bawah tekanan menyangkut keselamat pasien. Tentu ini bukan situasi dan pekerjaan yang mudah. Tidak semua orang dapat bekerja dalam tekanan yang luar biasa ini. Kita semua juga harus berempati pada hakim yang membuat keputusan. Mereka harus memenuhi tuntukan keadilan dan kepastian hukum yang tidak selalu mudah untuk diujudkan. Pendekatan empatis mengharuskan kita keluar dari perspektif sendiri dan menghayati posisi orang lain di luar diri dan komunitas kita. Saatnya meningkatkan sensitivitas radar jiwa.
Kita semua harus benar-benar belajar dan mengambil hikmah dari peristiwa yang luar biasa ini. Waktunya nurani bertutur dalam keheningan, keteduhan dan kejujuran. Semua kita diikat oleh satu tujuan yaitu menghormati manusia, terutama dalam situasi batas. Situasi yang memperhadapkan kita semua pada piliha-pilihan sulit dan resiko yang mengerikan.
Mungkin mudah membedakan siang dan malam, tapi bagaimana tanggapan kita terhadap senja? Apakah senja itu siang, malam atau sore. Inilah situasi batas yang penuh ketidakpastian. Hidup memang bukan matematika dan statitistik yang serba pasti, terukur dan akurat. Dalam serba keterbatasan, situasi batas yang sulit ini, rasanya yang paling baik adalah menahan diri. Saatnya nurani bicara, dengan empatis.
NEGARA BANGSA INI MEMANG HARUS MENGEMBANGKAN PENDEKATAN EMPATIS UNTUK MENGATASI BERBAGAI KONFLIK DALAM MASYARAKAT. SEMOGA.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd