Minggu, 16 Desember 2012

BELUM SELESAI, SPONGE BOB!



Sponge Bob ingin menunjukkan perhatian pada semua yang ada di dekatnya. Tapi entah kenapa hari ini menjadi hari yang tak menyenangkan baginya. Ia memeluk peliharaannya Garry untuk menunjukkan perhatian dan kasih sayang, tapi Garry kesal karena Sponge Bob memeluknya terlalu kencang. Sponge Bob ingin menyapa dan mengucapkan selamat pada Patrick. Namun, Sponge Bob malah menabraknya sampai kue ulang tahun ibunya tumpahruah ke tubuh Patrick. Sandy, Squidward, dan tuan Krab juga sangat marah pada Sponge Bob. Sebabnya sama saja, ingin menunjukkan perhatian tapi berakhir dengan menabrak orang.

Sponge Bob sangat sedih. Tak seorang pun yang baik padanya dan mau menerimanya. Dalam kesedihan mendalam, galau, kacau dan marah ia berlari sekencang-kencangnya. Tiba-tiba ia merasa melayang dalam kegelapan. Ia merasakan benturan sangat keras di kepala. Ia pingsan. Ketika sadar, ia mendapatkan benjolan di kepala. Ia tidak tahu sedang berada di mana, bahkan ia tidak tahu siapa namanya, siapa dirinya.

Oh.....sungguh sangat sulit menjadi diri sendiri, mengenali secara mendalam siapakah aku, mengetahui tempatku dalam dunia, di antara sesama. Rasanya sulit menentukan, sekarang aku berada di mana, apakah dalam perjalanan mencari makna diri, dan adakah kata selesai dalam pencarian ini?

Tidak mudah menjadi manusia, apalagi yang manusiawi. Itulah sebabnya sejumlah filsuf menyebut manusia adalah problem, sementara dilsuf lain menegaskan manusia merupakan misteri. Tidak mengherankan bila Socrates mengeritik para pendahulunya yaitu para filsuf praSocrates seperti Thalles, Phytagoras, dan Demokritos. Mereka ini mengembangkan wacana yang kurang bermakna, karena sibuk mencari hakikat alam semesta. Socrates dengan kritis bertanya, apakah membicarakan hakikat alam semesta dapat membuat manusia bahagia?

Para pemikir seharusnya melakukan usaha maksimal untuk memahami manusia dan mengusahakan kebahagiaannya. Karena itulah Socrates terkenal dengan seruannya, KENALILAH DIRIMU!

Memahami manusia seharusnya memang beranjak dari mengenali diri sendiri, melalui sejumlah pertanyaan: siapakah aku, dari mana aku berasal, apa makna keberadaanku, apa tujuan penciptaanku, apa tujuan hidupku, apa makna keberadaan ku bagi orang lain, apa makna orang lain bagi keberadaan ku, apakah manusia memiliki kebebasan, dan sejumlah pertanyaan lainnya. Namun, tetap saja selalu menggema pertanyaan mendasar, apakah manusia pernah selesai, selesai dengan dirinya, selesai dengan kemanusiannya?

Tak seoran pun pernah selesai dengan dirinya. Sebab, manusia memang tak pernah selesai, tuntas, purna dan definitif. Bahkan, seorang purnawirawan pun, tak pernah purna sebagai manusia. Ia hanya purna dalam jabatan atau pekerjaan. Ini keniscayaan, keniscayaan manusia. Manusia adalah makhluk yang menjadi, terus menerus berproses, tak pernah brenti, tak kenal henti, pun setelah mati.

Namun, keniscayaan ini tak bisa dijadikan alasan untuk mengabaikan orang lain, tenggelam ke dalam palung ego, terjerat dalam narsisme. Justru manusia harus selalu bersama orang lain, memaknakan diri bagi orang lain agar berada dalam orbit kemanusian menuju pencerahan, menyambangi peningkatan diri sebagai manusia. Meskipun pada akhirnya ia hanya akan sampai pada batas hampir tuntas, mendekati kesempurnaan, nyaris selesai...

Kita pasti belum lupa saat bersekolah. Setiap kali ulangan, guru selalu berkata, selesai tidak selesai kumpulkan. Atau pada ketika upacara bendera, komandan uapacara pasti melaporkan pada pimpinan upacara bahwa upacara telah selesai, saat upaca berakhir. Kata selesai tampaknya berlaku dan hanya cocok digunakan untuk aktivitas manusia yang memang memiliki titik awal dan akhir. Pada manusia yang merupakan makhluk multidimensi dan penuh misteri, kata selesai mestilah difahami dalam arti proses yang sedan berlangsung, dan tak mengenal titik akhir, sebab pada hakikatnya manusia tak pernah purna, tak pernah selesai......

Karena itu, aneh rasanya jika ada persyaratan orang harus selesai dulu dengan dirinya, barulah dapat memimpin dan bekerja bagi orang lain. Justru bersama dan melalui kebersamaan dengan orang lain, membermaknakan diri dalam kebersamaan, manusia dapat menuju ke arah selesai. Sekedar menuju ke arah selesai, tapi pasti tak pernah selesai. Menuju ke arah selesai, bukan selesai.

Bila manusia hanya asyik dengan diri sendiri, tenggelam dalam tujuan pencapaian ketuntasan dan kesempurnaan diri, pada hakikatnya ia sedang menggali kubur bagi diri sendiri, menjadi manusia yang mandek. Menjadi titik atau tanda seru. Padahal sejatinya manusia adalah koma dan tanda tanya.

Manusia adalah pencari, petualang sejati, sang nomaden, sang bohemi yang tak pernah brenti mencari. Tak ada istilah brenti atau selesai bagi manusia. Jika belatung saja tak pernah brenti mencari, terus bergerak mencari, apalagi manusia. Bedanya, belatung mencari hanya bagi diri sendiri, sedangkan manusia mencari dalam kebersamaan, bersama-sama orang lain, tidak sekedar bagi dirinya sendiri. Manusia tak pernah menjadi tujuan bagi dirinya sendiri, manusia adalah halte, terminal, sebuah noktah dalam garis lurus tak terbatas, sebuah momen dalam kontinuuuum.....

Tak ada salahnya bila manusia memulai pencarian itu dari dirinya sendiri, masuk kekedalaman ceruk, lubuk dan palung diri sendiri, hati sendiri. KENALILAH DIRIMU, kata Socrates. Namun, ini bukan perjalanan dan petualangan yang mudah. Sidarta Gautama membutuhkan waktu yang panjang dan cobaan yang sangat berat untuk sampai pada pencerahan, menjadi BUDHA.

Pencerahan artinya masuk ke dalam kekosongan. Manusia sejati adalah manusia yang rela melepaslucuti egonya, sebab mereka yang masih terbelenggu, terikatjerat, tenggelam, terjerumus, terperosok ke dalam ego adalah serendah-rendahnya manusia. Ini perjalanan yang menarik. Berangkat dari diri sendiri untuk kemudian melampauinnya, mengatasinya, terbang tinggi, bertransendensi, dalam kesadaran melepas ego, kemudian bersatu, bersetubuh dengan alam semesta. Saat aku, kamu, kita, dan kami melebur campur, sirna ke dalam OM, kekosongan sejati, keheningan senyap sepi. Pada tataran ini bahagia dan sedih, anugrah dan bencana, untung dan buntung, atas dan bawah adalah satu dan sama.

Sidharta Gautama sang Budha tidak menemukan kesadaran ini dalam tapasamadi di dalam gua gelapgulita. Tapi dalam rangkaian aktivitas yang berkelanjutan antara tapa dan perjalanan menemui banyak orang di banyak tempat untuk mengamati, berbincang, merenung, berjalan, menguji fikiran, berada bersama orang lain, solitaritas-solidaritas sekaligus.

Budha menyebutnya jalan tengah. Mengapa jalan tengah? Saat Sidharta Gautama menempuh jalan ekstrim, bertapa dan memisahkan diri secara total dari kehidupan masyarakat, dan asyik dengan diri sendiri, yang ditemudapatkannya adalah jalan buntu, kegelapan, kesia-sian hampa. Namun, ketika ia mengawinkan tapasamadi dengan terus bersama dalam kebersamaan, dia sampai dan mengalami pencerahan, menjadi Budha.

Pasca pencerahan Budha tidak terbuai dalam tidur tanpa mimpi, dalam kenyaman pribadi mendalam tapameditasi, dalam nikmat transendensi. Sang Budha keluar, nyampering keramaian, memaknai hidup dengan dan melalui membermaknakan orang lain. Ada berarti ada bersama orang lain. Budha menularkan pencerahan, mendorong orang lain untuk mengalami pencerahan, cerah bersama, bersama berbagi kebaikan, berbagi kebenaran.

Budha meneladankan, beranjak dari diri sendiri menuju kebersamaan, menyatu dalam kemanusiaan dan kesemestaan. Hanya dalam kebersamaan, manusia dapat merasakan kepenuhannya sebagai manusia. Penuh tak berarti selesai.

Pencarian menuju pencerahan bukanlah monopoli Sidharta Gautama.

Muhammad merasa resah melihat perkembangan masyarakatnya. Keresahan itu belum tentu dirasakan setiap atau semua orang. Keluhuran hati Muhammad, sensitivitas moralnya, membuat ia tidak dapat menerima keadaan khaos yang terus merebak dan meluluhlantakkan masyarakatnya. Khaos ini yang kemudian dikenal sebagai kejahiliyahan. Bukan sekedar kejahilan. Kejahilan yang merusak, memporakporandakan masyarakat.

Ia merasa, masalah yang berkecamuk dalam masyarakatnya adalah masalahnya juga. Karena, bagaimanapun keadaannya, ia adalah bagian dari masyarakat itu. Namun, tidak seperti orang lain, ia tidak tenggelam dalam masalah masyarakatnya itu. Ia tidak menjadi bagian dari masalah. Tapi ia menyadari masalahnya.

Muhammnad tidak memilih untuk ikut arus. Ia juga taksudi hidup bersama arus. Sementara itu, ia juga merasa belum mampu menentang arus. Ia memutuskan dan memilih untuk menarik jarak dari arus. Kembali ke dalam palung hatinya. Ia merenung dalam keheningan sepi Gua Hira. Tapi, ia tidak memisahkan diri secara total dari masyarakatnya. Ia tetap berinteraksi dengan sesama, untuk merasakan dan menghayati denyut nadi masyarakat dan masalahnya.

Dalam keheningan senyap Gua Hira, ia mendapat pencerahan, perintah agar membaca, membaca dengan nama Tuhan yang menciptakan manusia.

Muhammad diberi kesadaran akan keberadaannya sebagai makhluk yang terbuka, yang harus terus menerus dibentuk dengan dan melalui membaca. Membaca diri sendiri, masyarakat dan alam semesta. Dan kesadaran bahwa manusia tak lebih hanya sekedar makhluk yang diciptakan.

Apa maknanya?

Sebagai ciptaan secara hakiki manusia bukanlah pemilik dan penguasa diri dan hidupnya, juga masa depannya. Terkait dengan diri, terutama tubuhnya, manusia mesti menjaga dan bertanggung jawab atas tubuhnya itu. Tapi tubuhnya bukanlah miliknya. Karena itu manusia dilarang menyakiti, merusak dan membunuh diri sendiri.

Tentu saja manusia dapat menggunakan kebebasan dan inisiatif serta kreativitasnya untuk menentukan hidup dan masa depannya. Namun, Tuhanlah penentu terakhir, pemegang hak penuh atas dirinya.

Dengan keyakinan ini Muhammad mengambil inisiatif untuk melakukan perubahan sosial secara mendasar. Merevolusi cara berfikir dan berperilaku. Dibutuhkan waktu puluhan tahun untuk melakukan perubahan itu. Sementara bersibuk dengan kerja keras melakukan perubahan sosial, Muhammad mengalami peristiwa yang sangat pribadi, istri dan putranya berpulang. Ia sangat sedih. Ini manusiawi. Namun, ia tidak berhenti bekerja bagi perubahan sosial-masyarakat, bekerja bagi orang lain.

Meski digayuti masalah pribadi, kesedihan yang mendalam, dan itu berarti belum selesai dengan diri sendiri, ia tidak mundur seingsut pun dari problem sosial yang hendak ia atasi. Ia tetap bersemangat dan fokus pada tugas mulianya, merubah manusia dan masyarakat.

Muhammad, yang terpilih dan terkasih, manusia yang disucikan Tuhan, membutuhkan waktu puluhan tahun untuk melakukan perubahan sosial. Sementara itu, ia mesti mengatasi gayutan persoalan pribadi. Maknanya, orang bisa saja tidak selesai dengan dirinya, dirinya pun masih digayuti oleh masalah. Namun, ia tetap berbuat untuk orang lain, bagi sesama.

Upaya untuk melakukan perubahan, terutama bila menyangkut manusia dan komunitas manusia, bukanlah pekerjaan yang mudah. Sungguh sulit dan membutuhkan waktu yang panjang, perjuangan, kesabaran, dan pengorbanan. Karena itu, aneh sekali dan sangat lucu, sekarang ini sedang menjadi mode beragam upaya untuk mengubah, meningkatkan, dan membermaknakan manusia dengan cara-cara yang instan. Melalui seminar, lokakarya, pelatihan yang berlangsung dalam waktu sangat sebentar, bahkan ada yang cuma beberapa jam. Dengan cara mendengarkan paparan dari orang yang diperkenalkan sebagai orang yang sangat hebat. Ada pula yang menggunakan musik serta gambar tiga dimensi.

Aneh memang, manusia mau diubah secara instan. Padahal mau memproduksi kentut saja butuh proses yang kompleks dan waktu yang tidak singkat. Cara-cara instan ini mereduksi dan menghina, merendahkan dan melecehkan manusia dan kemanusiaan. Karena menganggap manusia sebagai tanah liat atau lilin yang seenaknya bisa dibentuk.

Bagaimana bisa orang mengenal dan menghayati keberadaan dirinya, bila hanya disuruh mendengarkan petuah luhur tentang kehidupan, dan tak dibiarkan mengalami dan menghayati kehidupan dan kemanusiaannya secara otentik dalam realitas kehidupan yang sesungguhnya.

Percayalah, MANUSIA TAK PERNAH SELESAI DENGAN DIRINYA, TAPI BISA BERANJAK DARI DIRINYA UNTUK MENJADI MANUSIA YANG LEBIH BAIK, BAGI DIRI SENDIRI, BAGI SESAMA.

2 komentar:

  1. "Sebagai ciptaan secara hakiki manusia bukanlah pemilik dan penguasa diri dan hidupnya, juga masa depannya. Terkait dengan diri, terutama tubuhnya, manusia mesti menjaga dan bertanggung jawab atas tubuhnya itu. Tapi tubuhnya bukanlah miliknya. Karena itu manusia dilarang menyakiti, merusak dan membunuh diri sendiri." Menurut saya kata-kata yang bapak katakan tersebut benar adanya tetapi faktanya banyak manusia yang sengaja merusak tubuhnya dengan mabuk-mabukan dengan menganggap jika dirinya masih muda. Sangat sulit untuk memberikan pengetahuan atau pandangan kepada manusia untuk tidak merusak tubuhnya karena sesuatu yang merusak tubuh justru enak seperti menyantap makanan yang berkolesterol tinggi dll. Mungkin manusia akan sadar pentingnya menjaga diri jika sebuah penyakit telah hinggap di tubuhnya.

    ( TEGUH AJI PUTRA / P.IPS B 2013 )

    BalasHapus
  2. "Memahami manusia seharusnya memang beranjak dari mengenali diri sendiri, melalui sejumlah pertanyaan: siapakah aku, dari mana aku berasal, apa makna keberadaanku, apa tujuan penciptaanku, apa tujuan hidupku, apa makna keberadaan ku bagi orang lain, apa makna orang lain bagi keberadaan ku, apakah manusia memiliki kebebasan, dan sejumlah pertanyaan lainnya". saya sangat suka dengan kalimat tersebut karena saya menjadi memahami bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan bukan tanpa alasan tapi manusia diciptakan agar berguna bagi orang lain dan berperan bagi lingkungannya.

    BalasHapus

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd