Sponge
Bob prihatin pada tuan Krab yang mengalami nyeri pinggang. Tuan Krab bilang,
nyeri ini terjadi karena kasurnya terlalu keras. Sponge Bob mengambil inisiatif
mengumpulkan uang untuk membelikan kasur baru bagi tuan Krab. Squidward tidak
mau ikutan. Ia merasa tidak pantas uang yang dikumpulkannya dengan susah payah
dan kerja keras diberikan pada orang yang lebih mampu. Patrick ternyata
bersedia membantu Sponge Bob.
Akhirnya
kasur baru dapat diletakkan di kamar tuan Krab. Tuan Krab tampak dapat
menikmati kasur baru itu. Namun, di luar dugaan Sponge Bob dan kawan-kawannya,
Tuan Krab sangat marah dan sedih. Ternyata, kasur lamanya yang keras dan
menyebabkan nyeri pinggang itu berisi semua uangnya. Kasur itu telah dibuang
Sponge Bob dan Squidward ke tempat sampah.
Bagi
tuan Krab, sang kapitalis yang sangat materialis, uangnya pastilah lebih
penting dibandingkan sekedar kasur empuk yang nyaman untuk tidur. Tuan Krab
sangat marah, sebab baginya uangnya pastilah lebih berharga dari perhatian dan
empati yang ditunjukkan Sponge Bob.
Kepedulian Sponge Bob baginya sama sekali tak berharga. Akhirnya Sponge
Bob dan Squidward bekerja keras untuk menemukan kasur keras itu kembali.
*****
Merasa
bersalah karena menyebabkan Nyonya Puff masuk penjara, Sponge Bob berusaha
keras mengeluarkan Nyonya Puff dari penjara. Ia membayangkan betapa sedih dan
tersiksanya Nyonya Puff di dalam penjara, tak ada teman dan tak ada yang
dikerjakan. Pastilah Nyonya Puff lebih senang dan bergembira bila dapat
menghirup udara bebas kembali di luar penjara, hidup normal sebagai guru
mengemudi.
Beragam
cara diusahakan Sponge Bob dibantu Patrick untuk dapat masuk ke penjara agar
bisa menolong Nyonya Puff. Namun, gagal, dan gagal lagi. Pada akhirnya Sponge
dapat masuk ke penjara. Tetapi ia sangat keget, sebab bagi Nyonya Puff hidup di
penjara lebih menyenangkan dan membahagiakan. Karena terbebas dari Sponge Bob.
Ternyata terhindar dan tidak bertemu dengan Sponge Bob adalah kebahagiaan
tertinggi Nyonya Puff, bukan hidup di alam bebas di luar penjara.
Tak
ada salahnya punya maksud baik. Tapi jangan pernah mengira, baik menurut kita,
pasti baik pula bagi orang lain. Rasanya kita bisa bersepakat bahwa manusia
menginginkan, merindukan, dan mengharapkan, bahkan membutuhkan kebaikan. Namun,
apa itu kebaikan, apa isi, dan makna kebaikan tidaklah selalu sama dan
sebangun, baik dalam persepsi individu apalagi komunitas.
Karena
itu maksud baik tidak selalu membawa hasil yang baik. Maksud baik juga tidak
selalu mudah difahami. Sebab, tidak mudah mencapai kata sepakat apa itu hakikat
kebaikan. Semua manusia sepakat bahwa anak harus menghormati orang tua,
terutama ibu. Tapi bagaimana bentuk kebaikan terhadap orang tua? Dalam beragam
budaya bentuk kebaikan itu diujudkan dengan cara yang tidak selalu sama. Ada
sisi universal dan kontekstual kebaikan. Prinsip dasarnya universal, ujud konkritnya
bisa jadi kontekstual. Koneskuensinya, kita harus sangat berhati-hati berurusan
dengan kebaikan dan maksud baik.
Bila
pidato Suharto di awal orde baru ditelisik kembali, dan Garis-garis Besar
Haluan Negara (GBHN) yang menjadi pedoman pelaksanaan pembanguan dianalisis
dengan seksama dan hati-hati, akan terlihat bahwa keseluruhannya merupakan
rangkaian dan kumpulan maksud baik dari penguasa untuk rakyatnya. Kita semua
tahu sepertia maksud baik itu berujung. Bangkrut dan hampir karamnya kapal besar
yang bernama Indonesia.
Penguasa,
pada tingkat apa pun, seringkali mati rasa. Mereka suka ngotot dengan maksud
baik yang dirumuskannya sendiri, meskipun kurang cocok dengan rakyat yang telah
memberinya amanah kekuasaan. Bila ada
rakyat yang mengingatkannya bahwa maksud baiknya tidak bersesuain dengan
realitas rakyat, atau maksud baiknya telah ditunggangi berbagai kepentingan
yang tidak ada kaitan, bahkan bertentangan dengan maksud baik itu sendiri, sang
penguasa kerap marah. Selalu, dalam kemarahan itu sang penguasa menggunakan
aparat, yang mendapat gaji dari pajak rakyat, dimanfaatkan untuk menindas
rakyat. Bahkan, tidak jarang mereka menggunakan bedil, yang dibeli dari duit
pajak rakyat, untuk membantai rakyat.
Dalam
hal maksud baik rasanya siklus sejarah berulang. Dulu, rakyat percaya pada
maksud baik partai penguasa. Mereka meneriakkan slogan, katakan tidak pada
korupsi. Sekarang mulai terkuak bahwa teriakan itu tidak diakhiri dengan titik,
tapi koma. Karena itu rasanya slogan itu kini jadi berbunyi, katakan tidak pada
korupsi, bila sedikit. Katakan tidak pada korupsi, jika sendirian.
Dalam
konteks inilah Jokowi menjadi fenomena yang menarik. Ia mencoba menggali maksud
baik dari sumbernya, yaitu rakyat. Program pertamanya menjadi Gubernur DKI
adalah berkeliling bermuka-muka dengan rakyat. Sebab, bertemu muka langsung
dengan rakyat membuka peluang untuk bertemu hati. Artinya, maksud baik yang
akan diurumuskan Jokowi akan bertolak dari pengetahuan eksperensial yang
dilandasi empati.
Jokowi
tidak menyusun rencana maksud baiknya dengan mengumpulkan para ahli dari
berbagai bidang, para konsultan kebijakan publik dengan beragam latar belakang,
ahli-ahli dari perguruan tinggi yang seringkali karena berada di tempat tinggi
jadi lupa bumi, di hotel mewah yang sejuk berpendingin dengan makan mewah yang
tak pernah mampir, bahkan dalam mimpi rakyat miskin Jakarta yang tidur di bawah
jembatan, dan di bawah pohon dalam gerobak. Jokowi juga tidak mau mendengarkan
laporan bawahannya yang sudah sangat ahli dalam patgulipat dan kongkalikong
dengan para cukong.
Terima kasih pa Nusa. Sesuatu yg membuka hati dan rasa, tulisan ini. Tidak ada komentar lain, selain: saluut....... Kebebasan........
BalasHapus