Jumat, 19 April 2013

PERTARUNGAN BUDAYA DI BALI



Bali sering dianggap singkatan BAnyak LIbur. Tak salah memang, sebab di Bali digunakan banyak penanggalan yaitu Saka, Wuku, penaggalan nasional dan internasional. Konsekuensinya jumlah libur jadi banyak. Bisa dibayangkan bila orang-orang yang datang ke Bali hanya memiliki satu tujuan yaitu berlibur. Pasti meriah, ramai, dan penuh warna.

Itulah sebabnya kehidupan di Bali sangat dinamis. Orang-orang bergerak ke segala penjuru. Tak ada tempat kunjungan wisata yang sepi. Orang-orang dari berbagai belahan dunia berseliweran, berpapasan dengan orang Bali yang juga sibuk melakukan ibadah, meletakkan sesaji di berbagai titik dan pura. Konvoy kendaraan para turis berpapasan dengan parade orang Bali menuju pura. Ini pemandangan sehari-hari. Semuanya berjalan berbarengan dalam harmoni, tidak saling mengganggu.

Parawisata telah menjadi ruh kehidupan Bali. Para pemangku adat yang menjadi penentu arah kehidupan di Bali sadar, para wisatawan tidak hanya membawa duit ke Bali. Mereka juga membawa kebiasaan, gaya, cara berfikir, harapan dan tuntutan yang bukan saja bisa memengaruhi Bali , bahkan menggerus nilai-nilai asli Bali. Karena itu Bali mengembangkan parawisata Budaya.

Basis parawisata budaya adalah Bali harus mempertahankan keberlangsungan budayanya sebagai modal dasar. Itu berarti  keyakinan, nilai, cara berfikir, dan berperilaku yang merupakan roh masyarakat Bali harus terus dipraktikkan dalam kehidupan nyata pada segala aspeknya. Dengan demikian budaya itu dapat dijadikan basis parawisata.

Paling tidak ada dua alasan mengapa masyarakat Bali mampu mempertahankan keberlangsungan budaya. Pertama, alasan kesejarahan. Masyarakat Bali, baik Bali asli yang bermukim di sekitar Danau Batur, maupun Bali pendatang yang berasal dari Kerajaan Majapahit, terbukti sejak dahulu memiliki daya tahan luar biasa terhadap berbagai 'serbuan' dari berbagai arah. Mereka juga pernah menjadi kerajaan besar dengan wilayah kekuasaan sampai ke Nusa Tenggara.

Kedua, masyarakat dan budaya Bali selalu bersifat terbuka karena memiliki kemampuan memilah, memilih, dan mengolah. Karena itu, meski mendapat banyak pengaruh, Bali mampu mengembangkan jati diri yang membedakannya dari masyarakat dan budaya yang memengaruhinya. Itulah alasan mengapa Hindu Bali itu unik. Itu pula alasan mengapa Bali beda betul dengan Jawa. Bali ya Bali!

Fakta ini menunjukkan Bali berhasil mengarungi pertarungan dialektis dalam interaksi dengan budaya apapun yang memengaruhinya. Inilah pemicu dan pemacu lahirnya lukisan Bali, patung Bali, arsitektur Bali yang berakar Bali. Tentu ini energi kreatif yang luar biasa. Bali melahirkan kacang Bali, tari Bali, kopi Bali, salak Bali, gagak Bali, bebek Bali, tas Bali, dan Bali-Bali yang lain. Semuanya menunjuknampakkan corak Bali yang kental, penuh warna, indah mempesona.

Namun, kini keadaannya sangat berbeda. Globalisasi yang dipicu oleh kapitalisme membuat pertarungan itu menjadi berbuncah-buncah tak karu-karuan. Pertarung itu makin mengerikan karena dicoraki oleh perkembangan teknologi informasi yang membuat dunia makin sempit dan saling bergantungan.

Meskipun kapitalisme telah mengalami metamorfosa, namun rohnya tetaplah sama yaitu kekuasaan dan keuntungan yang diujudkan melalui ekspansi dan intervensi. Di Bali kini semakin banyak resto yang sesuai dengan selera dan negara asal para wisatawan. Sejumlah hotel, resto, dan pusat perbelanjaan dibangun dengan gaya arsitektur Bali, sepenuhnya Bali. Tetapi tidak sedikit yang menjadikan corak Bali hanya sebagai hiasan atau asesori pelengkap.

Di Bali para kapitalis global bisa dikendalikan dalam hal tinggi hotel atau bangunan lain yang mereka dirikan. Tetapi apa bisa dikendalikan mereka membangun apa, di mana, dan untuk keperluan apa? Perhatikan pembangunan Bali setelah reformasi, apa makin terkendali? Apa yang paling banyak dibangun dan siapa pemiliknya? Perhatikan apa yang paling banyak dilakukan para wisatawan manca negara sekarang ini di Bali? Kerajinan apa yang paling banyak dibeli? Para ABG kini memilih Jogger dan Tattoo sebagai simbol kelekatan mereka dengan Bali. Lantas, apa dorongan terkuat orang datang ke Bali, dan apa kesan terdalam setelah mereka pulang dari Bali. Semoga masih keindahan dan keaslian Bali, tari Kecak, dan kuliner Bali.

Tidak mudah memang menyimpulkan siapa pemenang dan pecundang dalam pertarungan ini. Daya hidup dan kecanggihan respon Bali sebagai budaya dan masyarakat tampak tidak pernah surut dan kalah. Tetapi merupakan fakta yang juga sulit ditolak bahwa Bali sudah sangat berbeda, sudah amat berubah.

Pertarungan yang bersifat dialektis ini masih terus berlangsung. Semua kemungkinan bisa terjadi. Dalam kerangka seperti inilah sebenarnya kebudayaan terus dikembangkan dan diperbarui. Bisa saja di masa depan orang Bali memberi sesaji secara digital dalam kekhusuan nurani. Sesuatu yang mungkin tidak pernah terfikir oleh pakar teknologi digital terkemuka Steve Jobs.

Sejumlah kebudayaan bertahan dan berkembang menjadi peradaban setelah melampaui puluhan abad melalui proses dialektis, tetapi tidak sedikit sekarang hanya tinggal nama. BUDAYA BALI SEDANG BERADA DALAM PUSARAN PERTARUNGAN YANG DAHSYAT, SEMOGA MASYARAKAT BALI YANG TETAP MENENTUKAN ARAH DAN PEMENANGNYA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd