Bali sering dianggap singkatan BAnyak
LIbur. Tak salah memang, sebab di Bali digunakan banyak penanggalan yaitu Saka,
Wuku, penaggalan nasional dan internasional. Konsekuensinya jumlah libur jadi
banyak. Bisa dibayangkan bila orang-orang yang datang ke Bali hanya memiliki
satu tujuan yaitu berlibur. Pasti meriah, ramai, dan penuh warna.
Itulah sebabnya kehidupan di Bali
sangat dinamis. Orang-orang bergerak ke segala penjuru. Tak ada tempat
kunjungan wisata yang sepi. Orang-orang dari berbagai belahan dunia
berseliweran, berpapasan dengan orang Bali yang juga sibuk melakukan ibadah,
meletakkan sesaji di berbagai titik dan pura. Konvoy kendaraan para turis
berpapasan dengan parade orang Bali menuju pura. Ini pemandangan sehari-hari.
Semuanya berjalan berbarengan dalam harmoni, tidak saling mengganggu.
Parawisata telah menjadi ruh kehidupan
Bali. Para pemangku adat yang menjadi penentu arah kehidupan di Bali sadar,
para wisatawan tidak hanya membawa duit ke Bali. Mereka juga membawa kebiasaan,
gaya, cara berfikir, harapan dan tuntutan yang bukan saja bisa memengaruhi Bali
, bahkan menggerus nilai-nilai asli Bali. Karena itu Bali mengembangkan
parawisata Budaya.
Basis parawisata budaya adalah Bali
harus mempertahankan keberlangsungan budayanya sebagai modal dasar. Itu
berarti keyakinan, nilai, cara berfikir,
dan berperilaku yang merupakan roh masyarakat Bali harus terus dipraktikkan
dalam kehidupan nyata pada segala aspeknya. Dengan demikian budaya itu dapat
dijadikan basis parawisata.
Paling tidak ada dua alasan mengapa
masyarakat Bali mampu mempertahankan keberlangsungan budaya. Pertama, alasan
kesejarahan. Masyarakat Bali, baik Bali asli yang bermukim di sekitar Danau
Batur, maupun Bali pendatang yang berasal dari Kerajaan Majapahit, terbukti
sejak dahulu memiliki daya tahan luar biasa terhadap berbagai 'serbuan' dari
berbagai arah. Mereka juga pernah menjadi kerajaan besar dengan wilayah
kekuasaan sampai ke Nusa Tenggara.
Kedua, masyarakat dan budaya Bali
selalu bersifat terbuka karena memiliki kemampuan memilah, memilih, dan
mengolah. Karena itu, meski mendapat banyak pengaruh, Bali mampu mengembangkan
jati diri yang membedakannya dari masyarakat dan budaya yang memengaruhinya.
Itulah alasan mengapa Hindu Bali itu unik. Itu pula alasan mengapa Bali beda
betul dengan Jawa. Bali ya Bali!
Fakta ini menunjukkan Bali berhasil
mengarungi pertarungan dialektis dalam interaksi dengan budaya apapun yang
memengaruhinya. Inilah pemicu dan pemacu lahirnya lukisan Bali, patung Bali,
arsitektur Bali yang berakar Bali. Tentu ini energi kreatif yang luar biasa.
Bali melahirkan kacang Bali, tari Bali, kopi Bali, salak Bali, gagak Bali,
bebek Bali, tas Bali, dan Bali-Bali yang lain. Semuanya menunjuknampakkan corak
Bali yang kental, penuh warna, indah mempesona.
Namun, kini keadaannya sangat berbeda.
Globalisasi yang dipicu oleh kapitalisme membuat pertarungan itu menjadi
berbuncah-buncah tak karu-karuan. Pertarung itu makin mengerikan karena
dicoraki oleh perkembangan teknologi informasi yang membuat dunia makin sempit
dan saling bergantungan.
Meskipun kapitalisme telah mengalami
metamorfosa, namun rohnya tetaplah sama yaitu kekuasaan dan keuntungan yang
diujudkan melalui ekspansi dan intervensi. Di Bali kini semakin banyak resto
yang sesuai dengan selera dan negara asal para wisatawan. Sejumlah hotel,
resto, dan pusat perbelanjaan dibangun dengan gaya arsitektur Bali, sepenuhnya
Bali. Tetapi tidak sedikit yang menjadikan corak Bali hanya sebagai hiasan atau
asesori pelengkap.
Di Bali para kapitalis global bisa
dikendalikan dalam hal tinggi hotel atau bangunan lain yang mereka dirikan.
Tetapi apa bisa dikendalikan mereka membangun apa, di mana, dan untuk keperluan
apa? Perhatikan pembangunan Bali setelah reformasi, apa makin terkendali? Apa
yang paling banyak dibangun dan siapa pemiliknya? Perhatikan apa yang paling
banyak dilakukan para wisatawan manca negara sekarang ini di Bali? Kerajinan
apa yang paling banyak dibeli? Para ABG kini memilih Jogger dan Tattoo sebagai
simbol kelekatan mereka dengan Bali. Lantas, apa dorongan terkuat orang datang
ke Bali, dan apa kesan terdalam setelah mereka pulang dari Bali. Semoga masih
keindahan dan keaslian Bali, tari Kecak, dan kuliner Bali.
Tidak mudah memang menyimpulkan siapa
pemenang dan pecundang dalam pertarungan ini. Daya hidup dan kecanggihan respon
Bali sebagai budaya dan masyarakat tampak tidak pernah surut dan kalah. Tetapi
merupakan fakta yang juga sulit ditolak bahwa Bali sudah sangat berbeda, sudah
amat berubah.
Pertarungan yang bersifat dialektis ini
masih terus berlangsung. Semua kemungkinan bisa terjadi. Dalam kerangka seperti
inilah sebenarnya kebudayaan terus dikembangkan dan diperbarui. Bisa saja di
masa depan orang Bali memberi sesaji secara digital dalam kekhusuan nurani.
Sesuatu yang mungkin tidak pernah terfikir oleh pakar teknologi digital
terkemuka Steve Jobs.
Sejumlah kebudayaan bertahan dan
berkembang menjadi peradaban setelah melampaui puluhan abad melalui proses
dialektis, tetapi tidak sedikit sekarang hanya tinggal nama. BUDAYA BALI SEDANG
BERADA DALAM PUSARAN PERTARUNGAN YANG DAHSYAT, SEMOGA MASYARAKAT BALI YANG
TETAP MENENTUKAN ARAH DAN PEMENANGNYA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd