Ini tentang manusia. Tentang kita semua. Sebut saja namanya Dikdik. Ia berjalan keliling kompleks menjajakan kerupuk. Dia juga bisa mijet. Saat membeli kerupuk, aku meminta ia untuk memijatku. " Bisa mijet saya nanti malam", pintaku. Ia menjawab, " Jangan malem, pak". "Emang kenapa?" tanyaku. Ia segera menimpali, "Malem kan gelap, pak ". Aku ketawa ngakak. Jawabannya sama sekali tidak salah. Aku tertawa, karena Dikdik merupakan penyandang tunanetra. Bukankah bagi para tunanetra siang dan malam itu sama gelapnya?
Besok pagi Dikdik lewat lagi menjajakan kerupuk seperti hari-hari sebelumnya. Aku menyapanya. Ia langsung merespon, " Kemarin hujannya deres banget ya. Di sini banjir juga, pak?" " Samalah, banjir sampe tengah malem", jawabku. Dikdik langsung melanjutkan, " Untung sekarang udah terang ya. Moga gak hujan kayak kemarin lagi, ngeri." Aku bertanya padanya untuk mengetahui apa dasar omongannya, " Koq tahu sekarang sudah terang?" Dengan santai ia menimpali, " Jalan dari rumah saya keringetan. Pagi-pagi udah panas banget rasanya, pak."
Meski buta, Dikdik punya cara untuk mengetahui lingkungan sekitarnya dengan cara khas yang dikembangkan sejak kecil. Tampaknya semua manusia seperti itu. Beberapa waktu lalu sejumlah penyandang tunanetra yang tergabung dalam PERTUNI dan ITMI (Ikatan Tunanetra Muslim Indonesi) sering menginap di rumahku selepas mengadakan acara pelatihan dakwah bagi tunanetra dan pelatihan membaca Al Quran dengan huruf Braile. Menginap di rumahku mereka rasakan sebagai liburan.
Saat tiba pertama kali, mahasiswaku yang menjadi pendamping membantu salah seorang dari mereka untuk melakukan orientasi ruang dengan cara berkeliling di rumahku yang mungil (Tipe 21 dengan ukuran 5mx13m). Semua bagian rumah ditelusuri. Kemudian mereka menginap di lantai dua. Tunanetra yang melakukan orientasi ruang menjelaskan peta rumahku pada teman-temannya. Selama menginap mereka naik turun tangga, melakukan berbagai aktivitas di rumahku dan tidak pernah berbenturan dengan barang apapun.
Mereka sangat mandiri dan tidak mau dilayani. Pagi hari mereka membuat kopi sendiri. Semua dikerjakan dengan cermat tanpa bantuanku atau istriku. Mereka senang bermain halma dan catur. Menariknya, tidak ada satupun mahasiswaku yang normal bisa menang melawan mereka. Menjadi sangat menarik jika sesama mereka bermain catur, dan ada temannya yang juga buta memindahkan buah catur untuk bercanda. Mereka yang sedang main tahu dan bisa mengembalikan buah catur itu ke tempatnya semula. Mereka bermain catur menggunakan perabaan. Tampaknya para tunanetra memiliki ingatan yang sangat kuat dan memiliki kemampuan tingkat tinggi untuk membuat berbagai pola dan peta di otaknya. Semua ini merupakan hasil latihan bertahun-tahun sejak mereka kecil sebagai cara untuk mengatasi keterbatasan karena tidak dapat melihat.
Suatu kali mereka berbincang seru tentang wanita. Terdengar perdebatan seru tentang wanita cantik. Siapa yang lebih cantik di antara tiga wanita yang mereka temui saat mengikuti sebuah acara. Aku penasaran dan ikut nimbrung. Aku tanyakan bagaimana mereka tahu wanita itu cantik atau tidak. Jawabannya sungguh mengejutkannku. Mereka mengetahui dari warna suaranya. Bisa dibayangkan betapa tajam pendengaran dan perasaan mereka.
Realitas para penyandang tunanetra ini menegaskan bahwa semua manusia, tanpa kecuali, pasti memiliki plus minus. Kita harus hidup dengan kenyataan itu, suka atau tidak. Rasanya, kurang bagus bila menggunakan minus atau kekurangan sebagai alasan untuk minta dikasihani atau meminta kekhususan secar berlebihan. Karena setiap kekurangan atau kecacatan selalu diimbangi dengan kelebihan yang setara.
Roger W. Sperry pemenang hadiah Nobel kedokteran melakukan penelitian tentang penderita epilepsi pada tahun 1950an. Penelitiannya yang mendalam inilah yang menjadikannya orang pertama yang mengungkap keberbedaan belahan otak kiri dan kanan. Ternyata bila ada bagian otak tertentu yang rusak dan tidak berfungsi, ada bagian otak lain yang berkembang menggantikan fungsi dan peran bagian yang rusak itu. Tentu saja dengan melatihnya. Inilah penjelasan mengapa penyandang tunanetra bisa mengembangkan kemampuan meraba dan sensitifitas perasaan serta pemetaan mental lebih tajam dibandingkan orang yang matanya berfungsi dengan baik. Ini terjadi karena ada bagian atau lobus otaknya yang berkembang menggantikan bagian otak yang mengendalikan mata yang tidak berfungsi.
Howard Gardner yang merumuskan kecerdasan jamak menemukan hal yang sama. Perumusan kecerdasan jamak itu bermula dari pekerjaan Gardner membantu dan meneliti sejumlah orang yang mengalami gangguan pada otak. Secara empiris ia menemukan orang dengan gangguan otak pada tempat atau lobus tertentu tidak bisa melakukan sejumlah aktivitas, tetapi dapat melakukan aktivitas yang lain. Setiap gangguan pada tempat yang berbeda memberi akibat yang berbeda pula. Temuan ini menegaskan, setiap bagian otak tertentu memiliki fungsi yang berbeda. Atasa dasar temuan inilah Gadner merumuskan kecerdasan jamak.
Sebagai bukti atas temuan Gardner dan para peneliti otak lain tentang fungsi berbagai bagaian otak yang berbeda dan bisa saling menggantikan, perhatikanlah orang yang terserang stroke. Dampak bagi setiap orang yang terkena stroke tidak selalu sama. Ada yang masih dapat berbicara tetapi tidak bisa jalan, terdapat pula yang bisa berbicara tetapi tidak mengerti apa yang orang lain katakan padanya. Perbedaan ini sangat tergantung bagian mana dari otak mereka yang terluka akibat stroke, dan seberapa parah.
Thomas Armstrong melanjutkan penelitian Gardner untuk melihat berbagai kemungkinan pengembangan beragam kecerdasan dan keterampilan dengan lebih tajam meneliti berbagai bagian otak manusia. Ia memperkenalkan istilah pelangi kecerdasan sebagai bentuk dari apa yang disebutnya sebagai The Power of Neurodiversity. Armstrong menunjukkan betapa pengembangan berbagai kecerdasan itu relatif tidak terbatas.
Kemampuan otak untuk terus berkembang, menjadi lebih tajam dan sensitif dikenal dengan istilah plastisitas otak. Sharon Begley menegaskan bahwa penelitian mutakhir tentang otak membuktikan plastisitas otak tidak bethenti saat kita memasuki usia dewasa. Plastisitas otak tetap berfungsi sepanjang usia. Tentu saja otak anak dan remaja lebih plastis daripada otak kakek berusia tujuh puluh tahun. Tetapi sang kakek otaknya tidak stagnan, masih tetap dapat berkembang asal dia tidak berhenti untuk terus belajar dan beraktivitas, serta berkarya. Filsuf B. Russel dan Sutan Takdir Alisyahbana menghasilkan buku yang bagus saat berusia di atas delapan puluh tahun. Jadi, usia bukan hambatan untuk terus menghasilkan tulisan dan karya yang bermutu.
Terkait dengan kemampuan otak menggantikan bagian yang rusak secara dramatik telah dibuktikan oleh Jill Bolte Taylor, Ph. D. Ia seorang ahli neuroanatomi yang mendapat serangan stroke yang hampir merenggut nyawanya. Stroke membuat ia sama sekali tidak lagi dapat berfungsi sebagai manusia normal. Namun, bekat kesabaran dan latihan yang dilakukan dengan sangat keras dan disiplin, ia bisa kembali hidup normal. Berdasarkan penelitian dapat dibuktikan, bagian-bagian otaknya yang rusak berat akibat stroke dapat digantikan oleh bagian otak yang lain, sehingga berbagai fungsi tubuhnya, termasuk fungsi berfikirnya bisa kembali normal.
Fakta tentang kehebatan dan keajaiban otak manusia ini menunjuktegaskan bahwa tidak elok bila terus berkeluh kesah tentang berbagai kekurangan kita. Sebab tenyata bila mau bekerja keras dan berdisiplin, berbagai kelemaham atau minus kita sebagai manusia bisa diatasi. Otak kita bisa terus dilatih untuk mencapai keunggulan sebagai manusia. Oleh sebab itu,
JANGAN JADIKAN KEKURANGAN KITA SEBAGAI ALASAN BAGI KEGAGALAN DAN KETIDAKMAMPUAN UNTUK MEMBERIKAN YANG TERBAIK.
Assalamu'alaikum, Bagaimana menurut pa Nusa Putra konsep manusia postmodern dalam melihat manusia dan segala permasalahan kehidupannya? Terimakasih
BalasHapusNama : Dwi Putri Yulianti
BalasHapusKelas : P.IPS B 2014
Saya setuju dengan tulisan bapak diatas bahwa kekurangan yang kita miliki jangan dijadikan alasan kegagagalan kita. Kebanyakan dari kita yang fisiknya sudah sempurna atau lengkap selalu saja mengeluh dengan kondisi yang dimilikinya. Padahal diluar sana masih banyak orang yang kekurangan fisiknya tetapi mereka selalu bersyukur dengan kekurangannya itu. Plus minus diri kita harus bisa dikembangan dan dimanfaatkan sebisa mungkin. Bila tidak bisa dikembangan dengan baik kita tidak bisa mengetahui kemampuan kita sudah berada dititikmana. Jika sudah berusaha dan hasilnya tidak memuaskan janganlah menyerah karena kegagalan bukanlah akhir dari keberhasilan. Maka dari itu, kita harus bisa mensyukuri apa yang kita punya dan berusahalah untuk mencapai apa kita cita-citakan. JANGAN JADIKAN KEKURANGAN KITA SEBAGAI ALASAN BAGI KEGAGALAN DAN KETIDAKMAMPUAN UNTUK MEMBERIKAN YANG TERBAIK.