Bencana datang bertubi-tubi. Erupsi Sinabung, banjir yang sangat meluas, tanah longsor, angin puting beliung dan gempa bumi. Kita tak pernah tahu, bencana apalagi yang bakal mengejutkan kita. Bencana pastilah menimbulkan korban, kesedihan, dan kesusahan yang panjang. Lebih panjang dari durasi bencana itu sendiri. Banjir satu atau dua hari, merenggut sejumlah nyawa, menyisakan lumpur, sampah, bau busuk, dan sejumlah penyakit. Longsor yang hanya beberapa menit, menyebabkan kematian,kerusakan rumah dan fasilitas lain. Angin puting beliung yang sekadar melintas, memporakporandakan ratusan rumah. Bahkan, gempa bumi cuma beberapa detik kerap kali meninggalkan korban wafat yang sangat banyak dan kehancuran yang dahsyat.
Tiap kali bencana nyamper, nurani kita dijawil, kadang malah seperti dijewer. Alangkah rentan hidup kita. Betapa kita saling membutuhkan, saling tergantung satu sama lain. Dan yang paling menohok hati adalah fakta tentang kematian. Manusia, tanpa kecuali, bisa dijemput kematian kapan dan di manapun. Bermuka-muka dengan bencana, kita sungguh dihadapkan pada keterbatasan, kelemahan, dan ketakberdayaan manusia.
Bencana acap kali membangkitkan kesadaran kita tentang makna kebersamaan dan saling tolong. Bencana biasanya mampu melucuti ego, melahirkan empati dan rasa sosial untuk berbagi. Bencana sungguh dengan cara yang menghentakmenghujam mengingatkan kita, siapa pun bisa jadi korban. Mereka yang tinggal jauh dari sungai, di tempat yang tinggi bisa bebas dari banjir, tetapi siapa yang menjamin mereka bebas dari ancaman gempa bumi. Mereka yang kini mengungsi karena Erupsi di Sinabung memang bebas dari banjir, karena mereka berada di kaki gunung, di dataran tinggi. Namun, mereka kini dibanjiri debu yang dimuntahkan dari perut gunung.
Bencana sungguh melekat dalam kehidupan kita. Siapapun di manapun, bisa menjadi korban bencana. Atas dasar itu sewajarnya kita berpartisipasi, membantu dengan apapun yang kita bisa, bagi korban bencana sebagai ungkapan empati, dengan ketulusan.
Betapa moyaknya nurani kita, di tengah bencana ini muncullah iklan berbagai produk di media elektronik dan media massa yang justru memanfaatkan bencana untuk menonjolkan keunggulan produknya. Memang mereka telah memberikan sumbangan pada korban bencana. Tetapi apakah pantas, atas dasar sumbangan itu mereka memanfaatkan bencana untuk iklan bagi produk? Ini sungguh menangguk di air keruh banjir.
Barangkali para produsen berbagai produk yang memanfaatkan bencana untuk iklan, para kapitalis yang kiblatnya cuma keuntungan, telah mengembangkan matematika minus etika. Karena merasa sudah mengeluarkan dana bagi sumbangan untuk para korban, maka harus ada imbal balik dan keuntungan dari pengeluaran itu. Dengan demikian memanfaatkan bencana untuk iklan menjadi wajar, mungkin malah seharusnya. Sungguh implementasi prinsip ekonomi kapitalis tak bermoral! Dengan pengeluaran sedikit, dapet untung sebesar-besarnya. Apa nurani mereka tak merasa bersalah mempertontonkan dan memanfaatkan penderitaan orang untuk keuntungan sendiri. Apa yang ada dalam benak mereka saat melihat wajah-wajah sedih dan letih korban bencana dalam iklan yang mereka buat? Kapitalis memang kalis, dan sadis!
Selama Ramadhan kemarin, para kapitalis bengis ini telah memanfaatkan semua kesempatan utama yaitu saat berbuka dan sahur untuk memasarkan produknya dengan cara mengeksploitasi segala yang berbau agama, bahkan agamawan dan agamawatinya sekaligus? Kini, saat bangsa ini dibekap bencana, mereka melakukan hal yang sama. Entah apa isi kepala dan dada para kapitalis itu. Apakah tak ada celah dalam sistem fikir dan nurani mereka selain meningkatnya penjualan yang berujung keuntungan?
Rupanya bukan hanya kapitalis yang kalis dan sadis. Sejumlah politisi beda-beda tipis dengan mereka. Memanfaatkan bencana sebagai sarana kampanye untuk mengangkat citra. Tak adakah cara lain yang lebih santun, logis, etis, dan manusiawi? Mengapa tiba-tiba jadi peduli saat musim pemilihan seperti sekarang ini? Selama ini kemana saja?
Di Metro TV ditunjukkan bagaimana politisi PKS yang berkerudung memanfaatkan bantuan bagi korban bencana dari Kementrian Kesehatan dengan cara menempelkan striker berisi wajahnya, no urut dan partainya pada kemasan bantuan itu. Pastilah bukan dia seorang yang lakukan cara yang sangat tidak pantas ini. Di mana rasa malu?
Memanfaatkan bencana, kesedihan dan penderitaan orang sebagai wahana untuk menunjukkan kepedulian yang disesaki rasa pamrih agar dipilih, apa tidak risih? Bagi mereka yang muslim apalagi partainya mendasarkan diri pada agama Islam, apa lupa petuah Nabi yang menegaskan, bila tangan kanan memberi, tangan kiri jangan sampai tahu? Ini malah disengajakan agar semua orang tahu. Apakah telah putus urat malu?
Semua orang tahu, rasanya tak ada peraturan legal yang dilanggar. Tetapi sebagai orang yang akan mewakili rakyat, bagaimana kita memastikan bahwa mereka akan amanah, bila menghalalkan segala cara, merobek nurani dan menginjak-nginjak moralitas untuk menjadi anggota legislatif? Tak salah bila sebagian orang percaya bahwa politik itu kotor belumut, menghalalkan segala cara.
Kita memang harus menunjukkan kemarahan dan kemuakan kita pada pelanggaran nurani ini. Mari kita boikot produk yang menjadikan bencana sebagai iklan. Dan tidak memilih politisi yang menjadikan bencana sebagai sarana kampanye, karena
BENCANA TIDAK BOLEH DIJADIKAN AJANG MENCARI KEUNTUNGAN, DAN PENCITRAAN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd