Sabtu, 11 Januari 2014

MANUSIA GEROBAK

Orang susah, susah ditaklukkan.

Kini banyak pinggiran kali di Jakarta tidak lagi dipenuhi gubuk-gubuk kumuh. Nampak asri dengan berbagai pohon kembang dan kursi besi yang kokoh penuh ukiran. Di beberapa tempat, pinggiran kali telah berubah menjadi taman tempat anak-anak bermain. Bersih dan indah.

Kolong jembatan jalan layang yang dulu disesaki gubuk peti, kini juga tampak asri dengan pohon-pohon berdiri indah dalam pot-pot ukuran besar. Sementara itu tanah-tanah kosong di perempatan jalan juga sudah dihiasi pohon bunga aneka warna.

Kemanakah para penghuni yang dulu mendiami gubuk-gubuk reot yang kumuh itu? Mereka tidak tinggal di rumah susun yang disediakan oleh Pemda DKI Jakarta, karena mereka tidak memiliki KTP DKI Jakarta. Mereka adalah orang-orang miskin, mungkin lebih tepat disebut orang-orang yang dimiskinkan, yang datang dari banyak tempat yang jaraknya dekat atau jauh dari Jakarta. Orang-orang miskin pedesaan yang bekerja sebagai buruh tani, kerja serabutan atau orang-orang pinggiran yang tidak berpendidikan atau berpendidikan rendah, dan tidak memiliki keterampilan.

Kini mereka memilih menjadi manusia gerobak. Dengan gerobak mereka berkeliling sebagai pemulung. Ada yang berkeliling sendiri, ada yang membawa anak, ada pula yang membawa anak dan istri. Beberapa di antara mereka ada yang telah memiliki dua gerobak, sehingga suami dan istri sama-sama berkeling dengan gerobaknya menempuh rute yang berbeda. Hampir semua mereka mulung berkeliling membawa anak yang masih balita.

Mereka disebut manusia gerobak, bukan karena mulung berkeliling menggunakan gerobak. Tetapi karena menjadikan gerobak sebagai tempat tinggal. Keputusan untuk menggunakan gerobak sebagai tempat tinggal, merupakan strategi cerdas dan kreatif untuk bertahan hidup di kota metropolitan Jakarta yang sangat kejam terhadap orang miskin.

Hampir semua manusia gerobak pernah tinggal di daerah kumuh, dan mengalami penggusuran berkali-kali. Sementara itu, tanah "liar" yang bisa dan biasa digunakan untuk mendirikan gubuk-gubuk kumuh semakin sulit ditemukan kerena telah dijadikan taman atau dibangun apartemen dan mal. Kolong jembatan layang juga sudah berada di bawah pengawasan sangat ketat Satpol PP. Tempat pembuangan sampah telah pula disesakpadati pemulung yang jumlahnya sangat banyak.

Pilihan gerobak sebagai tempat tinggal merupakan pilihan cerdas dan kreatif. Gerobak jadi multifungsi, modal dan alat kerja sekaligus tempat tinggal. Gerobak dapat terus bergerak, sehingga tidak perlu satu titik permanen unrtuk menetap. Tentulah cara ini dapat membebaskan mereka dari penggusuran dan kejaran Satpol PP. Mereka dapat memilih untuk beristirahat dan bermalam di mana saja. Biasanya mereka memilih tempat yang dekat dengan kali untuk keperluan mandi, cuci, dan kakus. Memang akan muncul masalah jika musim hujan. Tetapi banyak di antara mereka telah menemukan tempat yang aman bila hujan.

Di dalam gerobak, mereka anak beranak menghayati dan menikmati hidup, dalam kegembiraan dan penuh rasa syukur. Kebanyakan mereka mengirimkan anaknya ke kampung bila telah sampai usia sekolah. Mereka tidak mau anak-anak bernasib sama dengan mereka.

Memang, ada orang menjadi miskin karena malas atau kurang beruntung. Namun, jika melihat gairah hidup manusia gerobak, pola kerja, keuletan dan disiplinnya, sangat terasa bahwa mereka adalah korban. Bukan orang miskin, tetapi orang-orang yang dimiskinkan. Struktur sosial budaya menjerat mereka. Program pembangunan tidak berfihak pada mereka. Sistem tatakelola kota tidak memberi celah bagi mereka, karena tidak tercatat dalam administrasi kependudukan.

Orang miskin diperlakukan seperti seonggok manusia yang bisa dibuang ke mana saja, layaknya seonggok sampah. Semua jaminan sosial untuk orang miskin, tak akan pernah menyentuh kelompok miskin seperti manusia gerobak. Manusia gerobak diperlakukan seakan mereka bukan anak cucu Adam. Manusia gerobak sungguh menjadi pengelana jalanan seperti suku-suku nomaden di padang pasir.

Tetapi, manusia gerobak dan kebanyakan orang miskin bukanlah orang yang gampang menyerah dan mudah ditaklukkan. Mereka memiliki daya tahan luar biasa, kelenturan jiwa yang tak mudah patah apalagi retak. Mereka tidak terdidik, tetapi jangan pernah berfikir bahwa mereka bodoh. Tekanan dan ancaman yang bertubi-tubi mereka alami, justru membangkitkan kreatifitas untuk melahirkan solusi tak terfikirkan oleh siapa pun. Menjadi manusia gerobak adalah sebuah contoh. Mereka bukan orang yang suka mengeluh, apalagi mengalah. Mereka miskin harta benda, tetapi kerap kali jiwanya kaya. Pekerjaan dan kegembiraan hidup membuat mereka tidak pernah dibekap penyakit jantung, ginjal, diabetes dan asam urat. Manusia gerobak memang miskin, tetapi ulet dan tegar,

KEMISKINAN TIDAK PERNAH MAMPU MENGHANCURKAN JIWA-JIWA ULET DAN TEGAR.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd