Siapa yang bisa menahan laju waktu? Bahkan Tuhan bersumpah, demi waktu. Waktu berlalu bagai aliran sungai, terus maju, tak pernah kembali. Bahkan tak pernah berhenti. Melindas apa saja, tanpa kecuali. Meninggalkan kerut pada wajah. Mengantarkan kita pada ketuaan atau kematian.
Waktu menggerogoti kita seperti karat pada besi. Tak terasa, tapi pasti. Membawa kita pada mati. Membusukkan kita dari manusia menjadi hanya seonggok tulang.
Waktu, tanpa ampun menggilir kita, satu per satu bersua maut. Dan kita tak diberi hak memilih, kapan, di mana, dengan cara apa. Tragisnya, kita menyambutnya dengan pesta kembang api, suara terompet yang memekakkan telinga, dan joget dangdut.
Mungkin Sigmund Freud benar saat berbicara tentang naluri kematian (thanatos) dan naluri kehidupan (eros). Secara naluriah kita tahu bahwa akhirnya kita pasti mati. Filsuf Jerman Heidegger bilang hidup untuk mati. Tapi kita juga miliki naluri kehidupan, yang mendorong kita untuk terus menjaga dan memelihara kehidupan. Keduanya selalu berinteraksi bahkan bertingkai pangkai pada tataran bawah sadar kita. Bila naluri kematian yang dominan, kita secara naluriah didorong melakukan penghancuran, sebaliknya bila naluri kehidupan yang dominan.
Ketegangan kedua naluri itu bisa saja memunculkan sikap yang paradoks. Dalam kesadaran yang remang, timbul tenggelam karena dihantam rutinitas kehidupan, kadang muncul ingatan bahwa kematian akan nyamper. Tetapi alam bawah sadar kita mencoba melawan kesadaran itu dengan cara yang tak terduga. Kematian, aku bisa mengabaikanmu. Kematian, apa peduliku padamu. Lihat aku bisa ngeledek kamu. Ini aku sambut kamu dengan brani, dengan kegembiraan pesta kembang api.
Boleh jadi pesta kembang api adalah ungkapan rasa syukur karena kita bisa melampaui penanggalan, melewati 31 Desember dan menyambagi 1 Januari. Ya....kita tetap hidup, menarik nafas di tahun baru. Ingatlah, yang kita lampaui itu cuma penanggalan, bukan waktu. Waktu tetaplah mencengkram kita dengan kuat dan terus saja meluluhlantakkan kita mili demi mili. Waktu terus saja menyedot kita seperti ular menelan tikus.
Pertanyaannya, apakah cara bersyukur seperti itu pantas?
Tahun berganti, makna terdalamnya adalah, jarak kita semakin dekat dengan maut. Jatah hidup kita genap berkurang setahun lagi. Rasanya, lebih pantas bertanya, apakah kelampauanku merupakan upaya pemaknaan hidup yang berharga bagi keakananku di seberang kematian? Apakah waktu yang tersisa masih cukup untuk menabung kebajikan? Warisan apa yang akan kutinggalkan bagi kehidupan, bagi sesama?
Pergantian tahun hanyalah sebuah momen dalam tradisi panjang manusia untuk menunjukkan perhatian pada perlintasan waktu yang tak terelakkan. Hakikinya, dirayakan atau tidak, waktu terus saja membunuh kita detik demi detik. Karena itu,
MARI SYUKURI HIDUP DENGAN BERBUAT BAIK SEPANJANG WAKTU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd