Senin, 10 Februari 2014

SEKARANG SAYA PERCAYA, SYURGA ITU ADA

Pagi ini tergolong cerah. Pukul sepuluh lewat, suhu tiga derajat celcius. Beberapa teman dan aku berjalan pagi. Kami sengaja jalan kaki mengelilingi Lund. Kami ingin melihat perumahan penduduk, dan apa saja yang agak jauh dari hotel . Kami asyik berjalan. Secara tak sengaja aku melihat ke belakang. Ada dua pengendara sepeda berjalan bersama sepedanya. Mereka tidak naik sepeda. Kami heran. Kami minggir dan mempersilahkan mereka mendahului. Mereka  mengucapkan terima kasih dan mempersilahkan kami tetap jalan.

Kami baru menyadari bahwa jalan-jalan di Lund dibagi menjadi tiga lajur. Lajur kendaraan bermotor, sepeda dan pejalan kaki. Lajur sepeda dan pejalan kaki berdekatan dan dipisah oleh jarak dan pagar dengan lajur kendaraan bermotor. Ini untuk menjamin keselamatan pejalan kaki dan pesepeda. Semuanya tertata rapi. Ada sejumlah pohon yang ditanam dengan teratur.

Kini aku mahfum mengapa jembatan penghubung Denmark-Swedia harus ada bagian di bawah laut dan pulau buatan, yang tentu saja memakan dana yang sangat besar. Mereka sangat menghargai manusia. Penghargaan itu harus ditunjukkan secara nyata dengan peraturan, kebijakan publik, penataan ruang, dan pembiasaan yang menjamin keselamatan dan kemuliaan manusia. Meskipun untuk itu mereka harus mengeluarkan dana yang besar, dan putar otak untuk mencaritemukan solusi dan inovasi. Mereka juga tidak mau mengganggu kenyamanan orang yang menggunakan pesawat udara dan kapal laut yang telah sangat lama menggunakan jalur yang akan dilintasi oleh jembatan ini. Bentuk penghargaan terhadap manusia, karya manusia yang telah lebih dulu diciptakan dan digunakan dengan solusi menang-menang. Sungguh penghargaan terhadap manusia yang sangat nyata. Jalur khusus sepeda dan pejalan kaki yang pasti membutuhkan dana besar untuk membuat dan memeliharanya, pastilah bagian dari penghargaan itu.

Kita juga sangat menghargai manusia. Dalam Pancasila ada sila Kemanusian yang Adil dan Beradab. Tetapi penumpang kereta api berjubel di atap kereta, jalan-jalan penuh lubang, jembatan penyeberangan banyak yang membahayakan para penyeberang, angkutan umum sering kecelakaan karena tidak layak jalan namun tetap bisa mengangkut penumpang, bangunan publik seperti sekolah dibangun tidak sesuai spesifikasi karena dikorupsi dan runtuh, padahal baru saja dibangun. Kita adalah bangsa yang sangat cerdas membuat berbagai rumusan, merangkai kata yang berisi penghargaan terhadap manusia, namun kurang bersemangat mewujudkan kata-kata itu dalam kehidupan nyata. Penyair besar Rendra bilang perjuangan adalah mewujudkan kata-kata.

Kami tiba di ujun jalan, minggir dan membiarkan mereka lewat seraya meminta maaf. Mereka menanggapi dengan ramah, dan bertanya kami berasal dari mana. Saat kami jawab, Indonesia, tampak mereka tidak faham. Temanku bilang, Bali. Mereka langsung faham dan bilang, saya sangat ingin pergi ke Bali. Apa boleh buat lagi, Bali dikenal dan Indonesia tidak.

Di dekat hotel ada kawasan yang mirip alun-alun. Kawasan ini dikelilingi pertokoan, super market, resto, kafe, bioskop, pemukiman, dan apartemen. Pagi, siang, sore, dan malam tempat ini ramai. Apalagi sangat dekat dengan terminal utama Lund. Pada hari dan waktu yang telah ditentukan, alun-alun ini dipenuhi pedagang kaki lima. Macam-macam dagangan yang digelar. Ada buah tropis seperti pisang dan pepaya yang harganya selangit. Ada pohon bunga kecil-kecil, ikan asap, bahkan seorang wanita menjual tidak lebih lima barang yang katanya dari Thailand. Orang yang berjualan juga macam-macam, ada dari Turki, Iraq, lelaki tua dari Rusia yang menjual peralatan rumah tangga mini, seperti strika mini. Kebanyakan memang kaum imigran. Kesempatan berjualan tidak lebih dari tiga jam. Saat waktu jualan berakhir, alun-alun itu kosong dan bersih. Semua yang berjualan bertanggung jawab terhadap kebersihan. Seakan sebelumnya tidak ada kegiatan apapun di situ. Kala sore banyak orang membawa anak balita, atau hewan peliharaan nongkrong di alun-alun itu, dan pada malam hari menjadi tempat parkir mobil mereka yang bermukim di sekitar situ, terutama yang tinggal di apartemen.

Alun-alun itu sungguh sangat tertata, bersih dan nyaman. Siang dan sore ada sejumlah pengamen. Terdapat satu grup yang terdiri dari empat orang tua yang memainkan lagu-lagu jazz klasik dari Luis Amstrong, dan Nat King Cole serta penyanyi jazz lain. Ada wanita paruh baya memainkan gitar dan membawakan lagu country, ia sering membawakan lagu John Denver. Pengamen jalanan yang rapi dengan kemampuan bermain musik dan bernyayi yang sangat bagus. Banyak orang menikmati alunan musik dan suara mereka sambil berdiri dan duduk di sekitar para pengamen itu.

Suatu kali beberapa dari kami sengaja naik bus mengelilingi Lund. Di terminal semua orang mengantri dan naik bus dengan tertib. Kebanyakan mereka menggunakan kartu langganan yang hanya ditempelkan ke sebuah alat di pintu masuk. Bus berhenti di setiap halte. Ada pengumuman di setiap halte jam berapa saja bus berhenti di situ. Kami tiba tepat waktu seperti yang tertera di pengumuman halte. Beberapa orang turun, dan sejumlah orang naik. Tidak semua orang naik karena mereka lihat di dalam sudah agak penuh. Tidak ada kondektur yang mengatur. Bus tidak pernah berjalan kencang. Tak ada orang yang berebutan. Tampaknya pak sopir sudah kenal dengan sejumlah penumpang. Mereka saling sapa saat naik dan turun, tetapi tidak berbicara ketika supir sedang menjalankan bus.

Kami berbelanja ke banyak tempat. Ke cafe atau resto, dan supermarket. Semua orang dengan tertib mengantri. Tak ada seorang pun yang mencoba untuk menerobos atau memotong antrian. Sejumlah orang tampak membaca buku selagi mengantri. Mereka sangat terbiasa dengan cara ini. Semuanya sabar. Beberapa orang berbincang sambil menunggu antrian.

Bila kita berdiri di pinggir jalan hendak menyeberang, mereka yang berkendara dengan motor atau mobil berhenti dan memberi kode dengan tangannya agar kita menyeberang. Suatu kali kami bertanya pada seorang pria. Rupanya dia datang dari Upsalla dan tidak tahu tempat yang kami tanya. Dia mohon maaf agar diberi waktu. Ia kemudian mendatangi seseorang, setelah berbincang, ia membawa orang itu pada kami. Ia menjelaskan bahwa orang itu penduduk Lund dan bisa membantu. Kemudian dia mohon maaf karena tidak dapat membantu lagi dan mohon pamit.

Malam sangat dingin, mungkin minus dua belas derajat celcius. Seorang peserta paling tua sejak sore berjalan sendirian. Entah kenapa ia tidak mau ditemani. Sampai malam kami mulai khawatir dan mulai mencarinya. Kami mulai melakukan kontak dengan para tutor untuk mencari. Mereka menelepon beragam tempat termasuk rumah sakit. Pak tua itu tak juga ditemukan. Beberapa saat berhenti mobil tepat di depan pintu hotel. Turun lelaki patuh baya, kemudian ia menunggu, tak berapa lama pak tua nongol. Rupanya sewaktu jalan sesak nafasnya kumat, ia ditolong lelaki itu sampai pulih di rumahnya. Rupanya pak tua juga lupa nama hotel. Ia bisa diantar ke hotel karena bilang hotelnya dekat Kathedral. Orang itu memohon maaf dan pamit. Memohon maaf karena ia tidak lagi dapat membantu.

Dua orang teman berjalan terlalu jauh. Mereka bingung mau pulang. Rasanya hari masih sore koq gelap bangets ya, fikir mereka. Rupanya suhu turun drastis menjelang sore. Kondisi ini memang agak berbahaya. Mereka bertanya pada seorang pria yang sedang bersepada. Pria itu turun dari sepedanya dan mengantar dua teman itu sampai ke pintu hotel. Ia mohon maaf dan pamit.

Beberapa peristiwa ini membantah pernyataan teman-temanku yang mukim di Eropa yang bilang bahwa orang Skandinavia itu dingin bagai Kutub Utara dan kaku seperti es. Mereka sangat ramah dan hangat. Juga membantah berbagai informasi yang kudapat dari para guruku dulu yang menjelaskan bahwa orang Barat itu egois, individualis dan tidak peduli dengan orang lain. Aku percaya di manapun di dunia ada orang egois, individualis, juga ada orang yang peduli dan senang berbagi. Sikap ini tidak ada kaitannya dengan Barat atau Timur, namun terkait dengan pola pengasuhan dan pendidikan, serta budaya yang berkembang dalam setiap masyarakat.

Kami berlibur dengan bus ke arah lautan luas. Ternyata kami memasuki wilayah yang bisa disebut perkampungan. Melewati daerah yang mirip betul dengan perkampungan kecil di tanah air. Rumah agak jarang dan kecil-kecil. Kebanyakan terbuat dari kayu. Kami minta singgah di gereja mungil yang juga terbuat dari kayu. Semuanya nampak indah karena dihiasi salju. Sepanjang jalan yang sangat panjang, sungguh kami tidak pernah melihat tumpukan atau serekan sampah. Ke mana pun kita pergi semuanya tertata dan bersih. Bukan hanya di pusat kota Lund saja yang tertata dan bersih. Kami singgah di desa nelayan. Rumah mereka kecil tetapi peralatan elektronik dan komunikasinya lengkap. Ada telepon umum yang terletak tersendiri di pinggir jalan. Rapih dan berfungsi, seorang teman mencoba menelpon ke hotel. Ada jembatan kayu yang indah dan terpelihara di atas sungai yang airnya beku. Kami berfoto di situ. Akhirnya sampai juga ke pantai.

Pantai yang bersih, pasir putih membentang. Banyak batuan aneka warna di pinggiran pantai yang dekat ke laut. Kami tentu tak melihat air laut bergelombang sebagaimana biasanya. Sebab air laut dibekukan dingin. Batu kecil yang dilemparkan ke laut, meluncur di atas laut beku yang licin. Sejumlah burung terbang rendah dan singgah di atas laut beku, berkejaran dan terbang lagi. Kami berlarian di pantai. Mencari lokasi yang bagus untuk berfoto. Yang sangat menarik adalah, pantai dan laut beku itu sama sekali bersih, tak ada sampah. Tentu tak ada guguran daun karena sebagian pepohononan sudah tak berdaun. Saat ditanya pada pemandu, dia bilang ada petugas yang secara rutin  membersihkan. Namun, yang lebih penting adalah warga memang tidak punya kebiasaan buang sampah sembarangan. Disiplin warga itulah yang menyebabkan pagar-pagar kayu yang dipasang di tempat tertentu tetap rapih dan terjaga.

Sewaktu pulang kami melewati kebun apel yang pohonnya telah dipangkas dan dengan sangat rapih dibungkusi dengan plastik. Sangat mengherankan, kebun seluas ini semua pohonnya dibungkus plastik agar tidak busuk karena salju. Sejauh mata memandang hanya pohon apel yang dibungkusi plastik. Tampak sangat unik. Ada pula bungkusan besar yang sangat rapih. Isinya rumput untuk makanan kuda. Bisa dibayangkan persiapan menghadapi musim salju.

Aku berfikir, manusia yang memiliki empat musim memang harus memiliki etos kerja, semangat, ketekunan, kreativitas, inovasi, dan kerja keras luar biasa. Menghadapi musim salju ini mereka harus menyediakan makanan yang lengkap karena tidak ada tanah yang bisa ditanami, tidak ada laut yang bisa diambil ikannya. Harus pula menyediakan pemanas, dengan kayu atau listrik, makanan bagi hewan peliharaan, memastikan pohon tetap bisa hidup, dan menciptakan berbagai kegiatan, karena banyak pekerjaan yang tidak dapat dilakukan.

Bila orang dan bangsa yang mengalami empat musim lebih maju, kreatif, dan inovatif, tidaklah mengherankan. Alam memaksa mereka untuk melakukan itu semua agar dapat bertahan hidup. Jadi orang miskin pun di sini tidak semudah di tanah air. Orang miskin di tanah air bisa tidur di pinggir jalan atau di bawah jembatan dengan pembungkus badan seadanya. Di sini tentulah tidak bisa, bisa mati kedinginan dan beku. Tantangan itu pasti telah membentuk susunan dan jaringan neuron yang berbeda di otak mereka dengan otak kita yang hidup di dua musim. Bisa jadi mengapa prestasi apa pun di dunia ini, sejauh ini selalu didapatkan dan dimenangkan oleh mereka yang berasal dari negara empat musim. Tidak peduli bangsa itu di Eropa, Amerika atau Asia. Alam sungguh membentuk dan mengasuh manusia dengan cara yang khas. Di tanah air, kita kan tidak usah repot memikirkan pemanas di kala musim hujan, sebab dinginnya masih bisa diatasi dengan menggunakan selimut. Lebih afdol bila selimutnya bisa kentut. Di negara empat musim, musim salju tidak bisa dihadapi dengan cara begitu. Bisa mati beku kayak salmon dalam kulkas. Inilah anugerah alam, anugerah kesulitan dan ketidaknyamanan.

Dalam konteks di tanah air coba kita perhatikan perbedaan etos kerja, kreativitas, dan inovasi antara masyarakat Bali yang tanahnya tidak sesubur dan seluas Jawa Barat, dengan masyarakat Sunda. Mungkin jadi agak sulit memahami masyarakat Banten ya? Coba hitung jumlah orang Batak Toba atau Batak Utara, Batak Selatan atau Tapanuli dan Batak Karo di panggung nasional dalam berbagai bidang, mana yang lebih banyak? Tingkat kesuburan tiga daerah itu sangat berbeda. Yang paling tidak subur adalah Batak Utara. Tentu ada faktor lain yang menentukan, namun faktor alam ini tampaknya bisa sangat berpengaruh. Aku juga bertanya, apakah ada pengaruh letak Skandinavia di dekat Kutub Utara dengan tingkat kemakmuran mereka yang sangat tinggi, bukan saja dibandingkan bangsa Eropa lain, bahkan dengan bangsa lain di dunia. Aku sungguh berharap, kepergianku dengan kelompokku ke Hamburg akan memberi pengalaman baru sehingga bisa membuat perbandingan yang lebih baik.

Bila diperhatikan dengan seksama berbagai pelajaran dari masa lalu memang ada pengaruh lingkungan terhadap perilaku. Dulu di Lyceum atau sekolah Aristoteles, para muridnya ditugaskan untuk mencatat tumbuhan, binatang, kebiasaan, makanan, dan banyak hal dari tempat mereka lahir dan besar saat para muridnya mudik. Ketika kembali ke Lyceum para murid diminta melaporkan temuannya, memang ditemukan banyak sekali perbedaan karena muridnya berasal dari daerah yang berbeda, pantai dan gunung, kota dan desa. Ini dilakukan karena Aristoteles percaya bahwa pengetahuan dan kebenaran harus didapatkan melaui pengalaman indrawi atau yang biasa disebut cara kerja empiris. Pendirian ini bersebalikan dengan pendirian gurunya yaitu Plato yang percaya pengetahuan sejati hanya bisa didapatkan melalui ide atau rasio. Ibnu Khaldun dalam buku monumentalnya Muqaddimah secara  ilmiah berdasarkan pengamatan empiris menjelaskan dengan argumentasi dan bukti yang lengkap bahwa lingkungan tempat kita hidup memang memengaruhi sikap, perilaku, etos kerja bahkan selera makan kita. Tentu saja ini topik yang akan bisa diperdalam pada lain waktu.

Karena Hotel kami dekat dengan Kathedral Lund, kami sering singgah dan menelusuri seluruh bagiannya sampai ke bagian bawah tanah, tempat banyak kuburan tokoh-tokoh gereja yang  penting dimakamkan. Banyak sekali hal menarik terkait kathedral ini. Ada jam astronomis yang sangat menarik perhatian pengunjung dan berbagai hiasan atau benda-benda dari zaman dahulu kala. Kathedral ini dikunjungi lebih dari lima ratus ribu orang setiap tahun. Tentulah yang paling banyak para turis, bukan orang beribadah. Namun ada sesuatu yang sangat unik dan menarik dari kathedral ini. Keunikan ini sangat mencerminkan sikap dasar orang Swedia atau juga bangsa-bangsa Skandinavia.

Kathedral ini pertama sekali dibangun oleh orang Katolik. Negara-negara Skandinavia yang dahulunya bersatu telah mengalami perang ratusan tahun. Lund ini dahulunya adalah daerah Denmark. Lund ini terkenal sebagai tempat terjadinya pertempuran antara Denmark dan Swedia. Akhirnya perang berakhir. Ada yang berubah. Bila dulu kebanyakan mereka beragama Katolik, sekarang Protestan. Kathedral Lund kini merupakan pusat ibadah penganut Protestan. Namun semua atribut yang menunjukkan kekhatolikan sama sekali tidak diganggu. Karena itu ada patung Bunda Maria di kathedral ini. Bunda Maria menempati posisi yang sangat penting dalam tradisi Katolik. Agak berbeda dengan tradisi Protestan. Kathedral ini juga terbuka dan biasa juga digunakan oleh penganut Katolik. Ini sungguh unik dan teladan yang bagus. Tak perlu ribut-ribut karena beda keyakinan. Apalagi sampai rebutan tempa ibadah.

Temanku yang bilang Lund ini seperti kota Drakula mengalami pencerahan yang sangat luar biasa. Setelah seminggu di Lund dan mengalami semua hal yang kuuraikan di atas membuat pengakuan. Dia bilang, saya dari dulu percaya pada Allah Bapa, Roh Kudus dan Yesus. Tak ada keraguan sedikit pun. Tetapi saya agak kurang yakin akan keberadaan syurga. Apa  syurga itu memang ada? Apa syurga itu memang perlu? Sekarang, setelah seminggu di sini, saya yakin syurga itu ada. Di sini semuanya sangat teratur, tertata, damai dan sangat menyenangkan, kayak di syurga. Bener, sekarang saya percaya syurga itu ada.

KEYAKINAN AKAN SEMAKIN KUAT BILA BISA DIUJUDKAN SECARA NYATA DALAM KEHIDUPAN KESEHARIAN, WAKTU DEMI WAKTU, TIDAK HANYA BERUPA TATANAN GRAMATIKA VERBAL DALAM TULISAN DAN UCAPAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd