Minggu, 27 April 2014

ARLOJI PALSU

Ayu Ting-ting sekarang punya saingan. Bukan main-main, saingannya jenderal berbintang empat. Dulu Ayu Ting-ting terkenal gara-gara Alamat Palsu. Kini sang jenderal jadi buah bibir akibat arloji palsu. Hebat ya, orang bisa terkenal atau jadi buah bibir karena kepalsuan.

Jenderal Moeldoko jadi pusat pemberitaan di media massa Singapura karena menggunakan arloji seharga 1,1 milyar rupiah. Arloji yang katanya hanya dijual 45 biji di Asia. Sudah pasti arloji dengan harga segitu bukan tergolong barang mewah, tetapi super mewah.

Media massa Singapura tampaknya memang pintar mengangkat topik ini jadi berita. Beragam tafsir bisa muncul. Orang banyak akan bertanya-tanya, ketika banyak rakyat masih mengalami kesulitan ekonomi, ada pejabat yang menggunakan barang super mewah, apakah ini layak dan etis? Koq bisa ya, bermewah-mewah di tengah penderitaan rakyat?

Pertanyaan lain bisa muncul. Dari mana sang jenderal mendapatkan uang untuk membeli arloji mahal itu? Apakah ada seseorang atau sekelompok orang yang memberikannya pada beliau? Bila menggunakan uang sendiri, banyak betul duit sang jenderal itu? Jika diberikan oleh orang, apa kepentingan orang tersebut? Bukankah bisa digolongkan sebagai gratifikasi?

Tampaknya sang jenderal tidak mau topik itu berkembang menjadi liar dan melebar ke mana-mana. Beliau kemudian segera memberikan keterangan bahwa arloji yang digunakannya bukanlah arloji mahal seharga 1,1 milyar. Tetapi arloji yang digunakannya meski terlihat sama, harganya hanya 5 juta. Itu artinya arloji itu kw-kwan alias palsu.

Penjelasan sang jenderal tentu tidak menyelesaikan masalah,  justru memunculkan masalah baru. Orang-orang kembali bertanya, pejabat tinggi Indonesia koq menggunakan barang palsu yang pasti ilegal. Ini kan contoh yang tidak baik. Pantas saja pemalsuan di Indonesia sangat meraja lela. Karena ada contoh, dari pejabat tinggi pula. Ini seperti pembenaran bagi pemalsuan. Kita sama mahfum, bahwa pemalsuan itu melanggar hukum. Yang benar aja, pejabat tinggi ngajari rakyat melanggar hukum.

Apa yang menimpa Jenderal Moeldoko ini merupakan kejadian yang melahirkan kondisi bagai buah simalakama. Dimakan mati ayah, tak dimakan mati emak. Dibilang asli bermasalah, dikatakan palsu juga tetap bermasalah. Mengapa?

Karena beliau seorang pejabat tinggi. Pejabat tinggi itu pasti menjadi sorotan. Karena ia menjadi semacam perwakilan dari pemerintah bahkan negara di mata publik. Konsekuensinya bila ia melakukan sesuatu yang dirasa kurang pantas pastilah memunculkan kehebohan. Oleh sebab itu para pejabat mesti sangat memerhatikan etika, kepantasan dan memiliki sensitivitas yang baik.

Pejabat seharusnya jadi teladan bagi berbagai kebaikan. Kita dulu memiliki Panglima ABRI Jenderal M. Jusuf. Ia sangat dihormati, diteladani, dan sampai kini dikenang karena kesederhanaan dan kejujurannya.

Para pejabat yang dapat menahan diri, menunjukkan perilaku yang terpuji dan baik, tampil sederhana, akan menjadi teladan bagi rakyat banyak. Juga menjadi motivator bagi rakyat untuk berbuat yang terbaik. Karena melihat para pejabat melakukan hal yang sama.

Cermatilah media sosial, betapa marah rakyat pada Djoko Susilo, Akil, Atut, Wawan, Nazaruddin, dan Angelina Sondakh. Kemarahan itu antara lain karena mereka  sangat berlebihan. Menonjolkan kemewahan yang sangat melampaui batas. Keadaan yang bersebalikan dengan kondisi sebagaian rakyat yang sangat miskin.

Menonjolkan kemewahan pastilah membuat rakyat marah, sebab mereka akan menuduh kemewahan itu kemungkinan besar merupakan hasil kejahatan atau penyelahgunaan kekuasaan. Tentu saja kondisi ini akan menimbulkan sinisme kepada para pejabat. Dampaknya rakyat menjadi semakin tak percaya pada para pejabat. Ketidakpercayaan itu tentulah akan sangat merugikan, karena membuat rakyat akhirnya tidak percaya pada pemerintah.

Ketidakpercayaan pada pemerintah merupakan akar dari semua bentuk perlawanan. Mulai dari apatisme, cuek bebek, sinisme, sampai perlawanan terbuka dengan cara tak patuh lagi pada berbagai aturan dan kebijakan yang dibuat pemerintah. Tentulah kondisi seperyi ini tidak baik bagi negara bangsa ini.

Jadi pejabat itu pastilah enak. Oleh sebab itu banyak orang menghalalkan segala cara agar bisa jadi pejabat. Tetapi jangan pernah lupa, para pejabat itu menjadi sorotan masyarakat. Sedikit saja ada kesalahan, atau ketidakpantasan, maka ia akan menuai kemarahan bahkan hujatan. Bila kita lihat media sosial, itulah yang sedang terjadi pada Jenderal Moeldoko. Sangat tidak baik, pejabat yang mestinya memiliki wibawa, dihormati, dan dijadikan teladan, malah jadi bulan-bulanan, dan bahan ejekan. Bagaimanapun kondisi ini menurunkan wibawa pemerintahan.

PEJABAT ADALAH TELADAN, MESTINYA MEREKA MENAMPILKAN YANG TERBAIK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd