Minggu, 27 April 2014

CALEG GAGAL

Apakah Anda tidak kenal nama-nama ini? Marzuki Alie, Roy Suryo, Sutan Bathoegana, Luhut Sitompul, Ramadhan Pohan, Priyo Budi Santoso, Suswono, Didik J. Rachbini, Lukman Hakim Saiguddin, Taufik Kurniawan, Andi Nurpati, Suhardi, Angel Lelga, Destiara Talita, Inggrid Kansil, Nurul Arifin, Derry Drajat, Camel Petir, Arzeti Bilbina, Vena Melinda, Farhat Abbas, Charles Bonar Sirait, Ridho Rhoma, Vicky Rhoma.

Menurut berbagai khabar di media, mereka tidak lolos ke Senayan. Beragam dugaan dan tafsir mengapa mereka tidak lolos bisa diberikan oleh siapa pun. Khusus untuk tokoh dari Partai Demokrat rasanya bisa dipastikan ada kaitannya dengan penurunan suara yang sangat drastis dari partai tersebut.

Menjadi orang terkenal di tingkat nasional ternyata bukan jaminan untuk dipilih rakyat. Bisa jadi rakyat di daerah pemilihan kurang mengenal calon, meski ia tokoh nasional. Boleh jadi sebaliknya, mereka justru sangat mengenal dan memberi hukuman pada calon yang selama menjabat dinilai bereputasi buruk. Ada perilakunya yang memuakkan dan menjijikkan. Bila kegagalan para calon yang dulu adalah anggota dewan karena rakyat menghukum, ini pertanda baik dalam politik kita.

Paling tidak penurunan suara luar biasa Partai Demokrat yang menyebabkan tokoh-tokohnya gagal ke Senayan, diduga kuat karena rakyat menunjukkan sikapnya yang tegas sebagai ungkapan kekecewaan. Meskipun tampaknya orang-orang Partai Demokrat belum mau mengakuinya.

Kita juga jangan mengesampingkan kemungkinan bahwa apa yang kita lihat sebagai hasil pemilihan ini bisa diduga diwarnai politik uang. Bila penyebabnya politik uang maka sebenarnya telah terjadi anomali yang sangat membahayakan sistem politik dan negara ini.

Kejahatan politik uang hanya bisa diberantas jika masyarakat mau sungguh-sungguh membantu dan aparat serius menanganinya. Politik uang memang harus diberantas habis karena menjadikan politik sekadar transaksi alias jual beli yang menghasilkan orang stres bila kalah, dan membuka peluang jadi koruptor bagi yang menang. Bila untuk dapat lolos menjadi anggota legislatif harus menggunakan banyak uang, siapa yang menjamin mereka tidak mencari uang kembali dan keuntungan saat menjadi anggota legislatif?
Politik uang juga membuat calon yang tidak bermutu dan tidak amanah, bahkan bajingan bisa menjadi anggota dewan. Apa yang bisa diharapkan dari anggota dewan yang menghalalkan segala cara untuk bisa menang?

Memang tidak gampang untuk memberikan interpretasi atas pilihan rakyat.  Kita tidak bisa menyatakan dengan pasti apa saja faktor-faktor yang menjadi pertimbangan untuk menentukan pilihan. Didik J. Rachbini rasanya sangat dikenal. Ia sering muncul di media. Sewaktu pemilihan Gubernur DKI Jakarta suara pemilih pasangannya juga tergolong tidak sedikit. Ia guru besar yang amanah dan cerdas, reputasinya sangat baik. Tetapi ia juga diperkirakan tak akan terpilih lagi. Ini memang agak sulit dijelaskan. Beda dengan Luhut Sitompul dan Sutan Bathoegana. Rasanya banyak orang bersujud syukur mereka tidak terpilih lagi.

Sementara itu Aceng Fikri, mantan Bupati Garut yang dikenal karena kawin sirinya yang sangat menghebohkan, yang jadi cibiran dan hujatan banyak orang sampai dilengserkan dari jabatan bupati, malah menang jadi anggota DPD Jawa Barat. Kita tidak tahu apa yang membuatnya menang. Apakah karena ia memiliki tim sukses yang tangguh dan solid atau ada faktor lain? Pelawak Oni SOS juga terpilih jadi DPD Jabar. Ia memang sangat terkenal di Jabar. Mungkin kedekatannya dengan rakyat dan gayanya yang merakyat membuatnya menang. Boleh jadi ada di antara pemilihnya yang memilih dia untuk tunjukkan bahwa Indonesia adalah negeri dagelan, dan hanya para komedian yang pantas tampil. Menariknya calon anggota DPD Jabar terdiri dari para tokoh berkaliber dalam berbagai bidang, dan mereka kalah semua.

Ada juga kegagalan yang tidak mudah dimengerti, menyangkut Nurul Arifin dan Roy Suryo. Rasanya Nurul Arifin adalah salah seorang dari sangat sedikit politisi perempuan yang bisa dikategorikan sangat baik. Ia cerdas, rasional dan objektif. Tidak seperti kebanyakan politisi wanita yang fikirannya tidak lebih panjang dari rambutnya, asal jeplak dan cuma menang dandan dan penampilan fisik. Nurul Arifin kalah, sungguh mengherankan. Tetapi itulah faktanya.

Roy Suryo mungkin kader Partai Demokrat yang berpredikat baik, di antara yang tidak banyak jumlahnya. Ia cerdas, bila omong jelas, dan kinerjanya sebagai Menpora tidak mengecewakan. Ia berhasil menyelesaikan kemelut rumit PSSI dan sepak bola kita mulai menapak naik. Ia juga terlihat santun, tidak suka menyerang seperti kebanyakan sejawat di partainya. Ia sungguh bintang di antara kader partainya yang terlalu menetek dan menghamba pada SBY. Apalagi dia bukan orang biasa, di depan namanya ada KRMT. Tetapi msayarakat kampung halamannya Yogya emoh memilihnya. Papan reklamenya yang super besar dan mewah berisi fotonya bersama istri dan kalimat-kalimat yang santun rupanya tak mampu meyakinkan orang Yogya. Aku mencoba mencari tahu, sejumlah tukang becak, pengasong, tukang parkir, dan pedagang kecil di Malioboro bilang, dia sombong sejak jadi menteri. Beberapa teman yang bergelar guru besar dari beberapa perguruan tinggi ternama di Yogya menyebutnya arogan. Mereka bersyukur dia tidak jadi. Putri Pak Harto, mantan istri Prabowo yang lama sudah tidak tampil malah menang. Sejumlah keluarga keraton Yogya juga gagal.

Mungkin memang telah terjadi perubahan dalam masyarakat kita terkait dengan pertimbangan-pertimbangan menentukan pilihan. Para pengamat politik mencoba menjelaskan berbagai kemungkinan yang semuanya bersifat spekulatif dan kira-kira.

Bisa jadi yang terbaik adalah melakukan penelitian empiris yang berskala nasional dan mendalam untuk mendapatkan penjelasan yang akurat berdasarkan fakta dan data langsung dari masyarakat. Penelitian itu dimaksudkan untuk merumuskan sistem politik yang lebih baik, yang berakar dari realitas sosio-kultural masyarakat kita. Sistem politik yang tidak berbiaya tinggi. Sebab politik berbiaya tinggi lebih memberi peluang bagi mereka yang berduit banyak, bukan mereka yang terbaik.

Dulu kita pernah menonjolkan kedaulatan partai, artinya partailah yang sepenuhnya menentukan siapa bakal calon yang potensial jadi anggota legislatif. Kita tahu anomalinya, hanya elit partai dan kelompoknya saja yang menguasai lembaga terhormat itu. Saat itu berkembanglah politik dinasti. Kita tidak pernah kenal dan tahu reputasinya, tiba-tiba istri dan anak menteri jadi caleg, calon jadi lagi. Rapat di lembaga terhormat itu seperti arisan keluarga jadinya.

Sekarang kedaulatan lebih besar diberikan kepada rakyat dengan memilih orang. Tetapi politik dinasti juga masih berkembang. Malah politik uang makin marak. Harapan kita yang terpilih adalah calon terbaik, juga tak terpenuhi.

NEGERI INI TAMPAKNYA BUTUH LEBIH DARI REFORMASI.

1 komentar:

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd