Kamis, 01 Mei 2014

BUKAN POLITIK TRANSAKSIONAL?

Sekarang lagi demam silaturahmi politik. Para elit partai politik sedang intens melakukan silaturahmi, temu muka, sowan, berkomunikasi, berdialog, dan membangun saling pemahaman. Pastilah dalam rangka menghadapi pemilihan presiden. Tak mungkinlah para elit partai politik bertemu hanya untuk membicarakan Piala Dunia Brazil atau pertandingan liga Inggris dan Spanyol yang lagi seru. Apalagi membicarakn kasus kekerasan seksual di JIS dan kekerasan yang mengakibatkan kematian di STIP.

Kita tidak tahu dan tidak pernah tahu apakah saat melakukan komunikasi dan penjajakan itu para elit partai politik itu sungguh memperhitungkan harapan orang-orang yang telah memilih partainya. Sudah pasti ada sejumlah alasan mengapa seseorang memilih PDIP dan tak memilih PKS, misalnya. Rasanya para elit politik itu memang tak memperdulikan aspirasi pemilihnya saat suara pemilih sudah didapatkan.

Yang kini kita saksikan adalah bagaimana kedaulatan rakyat yang diamanahkan pada partai yang dipilih telah berubah menjadi kedaulatan partai sepenuhnya. Artinya, partai yang telah mendapatkan suara, menggunakan kekuatan suara itu untuk melakukan negosiasi, tawar-menawar sesuai dengan keinginan dan tujuan-tujuan, serta kepentingan segelintir elit partai yang memegang kuasa paling besar di partai. Apa yang menjadi harapan pemilihnya tampaknya sama sekali tak lagi diperhitungkan.

Wajar bila para pemilih menunjukkan kekecewaannya karena sudah merasa dikibuli, bahkan dikhianati. Mungkin kondisi inilah yang membuat pendukung fanatik Bang Haji Rhoma marah bangets. Mereka ramai-ramai memilih  karena menginginkan si abang jadi andalan PKB dalam pemilihan presiden. Malah si abang merasa tak lagi diperhatikan.

Kuatnya kepentingan elit partai bukan saja mengabaikan aspirasi pemilih, bahkan seringkali membuat para elit itu berbenturan satu sama lain. Benturan paling keras terjadi di PPP. Sampai saling memecat. Pemicunya adalah syahwat kuasa sang ketua umum yang berkehendak menjalin koalisi tanpa memperhatikan aturan partai. Keberanian dan tak adanya rasa malu untuk melanggar aturan sendiri, pastilah karena kuatnya kepentingan. Ada kalkulasi politik kuasa di situ.

Benturan sebenarnya juga terjadi di Golkar. Tetapi karena Golkar lebih piawai mengelola konflik, sejauh ini kelihatan bisa dikelola. Tetapi sudah terbukti dalam dua kali pemilihan presiden, pada waktunya Golkar juga akan terbelah. Keterbelahan itu pastilah karena syahwat untuk terus berada dalam lingkar kuasa. Golkar memang tak punya keberanian menjadi oposisi. Tak punya nyali berada di luar kekuasaan.

Sejatinya komunikasi, sowan, silaturahmi, benturan, dan keterbelahan partai politik berakar pada politik transaksional. Jual beli kekuatan untuk berbagi bagian kekuasaan. Biasanya etika, moralitas, kepatutan, dan rasionalitas sering diabaikan. Yang penting mendapat bagian kekuasaan. Entah seremah apapun.

Lucunya, para tokoh partai selalu membantah bahwa mereka melakukan politik transaksional alias dagang sapi. Dalam wawancara dengan media selalu dikesankan mereka sedang mencari yang terbaik bagi bangsa. Padahal komunikasi ke berbagai partai adalah upaya membuat sejumlah kesepakatan bagi-bagi kuasa.

Lihat saja nanti setelah pemilihan presiden, bagaimana perilaku partai yang calonnya kalah. Berapa partai yang sungguh-sungguh mau dan bersedia jadi partai oposisi, dan berapa partai yang akan melakukan manuver untuk mendapatkan bagian kekuasaan.

Bila memang ukurannya kepentingan negara dan bangsa, rasanya tidak perlu segelintir elit politik itu melakukan serangan, kampanye hitam terhadap lawan yang diperhitungkan bisa mengalahkannya.  Jauh lebih baik mereka membangun kekuatan dengan cara berkoalisi secara terbuka mengedepankan program dan siapa saja yang akan menjadi pembantu presiden untuk mewujudkan program itu.

Jadi partai politik tidak usah berpura-pura. Katakan saja secara terbuka, partai kami bekoalisi dengan partai A karena memiliki visi, misi, dan tujuan yang selaras. Dan partai kami memajukan si X sebagai menteri ini, si B menteri itu karena memiliki kapasitas dan integritas yang teruji. Dengan demikian sejak mula rakyat tahu, bila ia memilih presiden dari partai A, siapa saja yang akan menjadi anggota kabinetnya. Rakyat bisa membuat penilaian dan pilihan yang rasional. Karena tahu kabinet berisi orang-orang terbaik.

Tak usahlah berpura-pura seperti sekarang, sehingga transaksi politiknya benar-benar gelap dan sama sekali tak terukur. Pastilah lebih bagus bila sejak awal segalanya dibuat terbuka bagi rakyat.

Rakyat pun sangat paham bahwa semua komunikasi politik yang sedang berlangsung sekarang ini cuma dagang sapi kekuasaan. Siapa mendapatkan apa bila ikut serta dalam koalisi. Mana ada partai politik membangun koalisi tidak mengharapkan apa-apa, hanya bermodalkan keikhlasan seperti yang diungkap seorang ketua umum partai di media massa. Rakyat tahu pernyataan itu sepenuhnya omong kosong.

Daripada dagang sapi di tempat gelap dan dihiasi pula oleh pernyataan-pernyataan penuh manipulasi dan tipu-tipu. Mengatasnamakan bangsa dan negara padahal yang dimaksud dan diperjuangkan adalah kepentingan pribadi dan/atau kepentingan partia. Pasti lebih baik berterus terang. Melakukan transaksi yang transparan, rasional dan objektif. Cara ini akan membuat rakyat bisa menentukan pilihan dengan cara yang rasional dan objektif pula. Konsekuensinya partai politik dan calon presiden sejak mula sudah mempersiapkan calon-calon menteri yang merupakan orang-orang pilihan.

Bila dalam pemilihan legislatif kita berani menampilkan nama calon sehingga rakyat bisa mencari tahu siapa dia sebelum memilih. Mengapa tidak berani melakukannya dalam pemilihan presiden. Jadi sejak mula rakyat tahu bukan saja calon presiden dan wakil presidennya, juga calon-calon anggota kabinet lainnya. Rasanya cara ini akan melahirkan kabinet terbaik.

TRANSPARANSI POLITIK AKAN MELAHIRKAN  PEMIMPIN TERBAIK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd