Senin, 22 September 2014

LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG

Messi, Gerard, Pirlo, Van Persie, Rooney, CR7, Robben dan sejumlah pemain bintang lain selalu membuat gol spektakuler yang menentukan kemenangan timnya melalui tendangan langsung. Melalui tendangan langsung terbukti lebih banyak gol tercipta dibandingkan tendangan tidak langsung.

Para pemain lebih suka tendangan langsung daripada tidak langsung, dan lawan juga lebih takut pada tendangan langsung dibandingkan tidak langsung. Mengapa?

Tendangan langsung memberi kebebasan dan kesempatan lebih banyak kepada pemain untuk memilih arah dan kekuatan tendangan, cara menendang, dan strategi mengecoh pemain bawah lawan yang menjadi pagar hidup serta kiper. Tendangan langsung merupakan ujian dan kesempatan bagi pemain untuk tunjukkan kemampuan, kecerdasan dan kecanggihannya, bukan saja untuk ciptakan gol, tetapi gol yang spekatakuler, indah, berkelas dan tak terduga. Tendanganlangsung memberikan peluang bagi pemain untuk ekspresikan dan aktualisasikan dirinya sebagai pemain bintang yang hebat dan berbahaya.

Tidak demikian halnya dengan tendangan tak langsung. Pemain tergantung pada pemain lain yang minimal harus menyentuh bola sebelum ditendang. Kerap terjadi, pemain yang bertugas menyentuh bola lebih dulu, melakukan sentuhan atau operan yang tidak selaras dengan posisi penendang dan arah yang diinginkannya untuk menciptakan gol. Ketidakserasian inilah yang membuat tendangan tidak langsung menghasilkan lebih sedikit gol dibandingkan tendangan langsung. Lagi pula lawan lebih mudah mengantisipasi arah tendangan karena bisa menebak arah bola sebab sudah disentuh atau dioper lebih dulu.

Itulah sebabnya para penonton pun lebih suka, tertarik dan asyik menyaksikan tendangan langsung. Tendangan langsung merupakan drama dalam sepak bola sebagimana halnya tendangan pinalti yang juga merupakan tendangan langsung.

Sebagai sebentuk tindakan, tendangan langsung dan tidak langsung memiliki kelebihan dan kekurangan, atau plus minus. Begitupun halnya dengan pilkada langsung dan tidak langsung yang kini menghebohkan wacana politik kita.

Sejatinya tidak ada sistem dan cara yang sempurna di dunia ini. Apalagi bila menyangkut tatakelola negara yang sangat rumit. Bahkan sistem yang diyakini dirumuskan dari kitab suci dan pernah dipraktikkan oleh nabi pun pasti memiliki kelemahan. Karena perumusan dan pelaksanaannya secara praktis dilakukan oleh manusia yang memang lekaterat dengan khilaf dan kesalahan.

Karena itu dalam konteks Islam misalnya, negara-negara yang secara resmi menyatakan diri sebagai negara Islam memiliki sistem kenegaraan dan tatakelola pemerintahan yang tidak sama. Ketidaksamaan ini menegaskan, meskipun mereka mendasarkan diri pada sumber yang sama, namun memiliki perbedaan saat memberi tafsir atas apa yang terdapat dalam sumber yang sama itu. Dalam hal ini sumber itu adalah Al Quran dan Sunnah Rasul.

Jika dikaji dengan cermat pemikiran tentang kekhilafahan yang diyakini sebagai model yang dipraktikkan oleh Rasul dan para sahabat dalam tulisan banyak ulama seperti Abul Ala Maududi dan pemikir Islam  seperti Ibn Taymiyyah, serta pemikir lain sejak zaman dulu hingga kini, akan terlihat banyaknya perbedaan pendapat. Perbedaan ini tentulah menegaskan bahwa perbedaan tetap ada meski sumber rujukannya sama.

Perbedaan itu mengisyaratkan bahwa model, sistem, dan pola tatakelola pemerintahan itu hakikinya memang berbeda, dan pastilah ada kelebihan dan kekurangan di dalamnya. Karena itu perdebatan tentang model, sistem dan tatakelola pemerintahan tidak boleh secara sederhana dan sempit  mengkaji plus dan minusnya saja. Harus juga dilihat konteks politik, budaya masyarakat penggunanya, kemanfaatannya, dan beragam dimensi tentang pelaksanaan, hasil, pengaruh dan dampaknya. Pendekatan seperti ini menjadi mutlak bila beragam model dan sistem itu telah pernah digunakan.

Pilkada langsung dan tidak langsung sudah pernah dilaksanakan di Indonesia. Pilkada tidak langsung digunakan saat sistem politik Indonesia berada di bawah kendali rezim otoriter orde baru. Pilkada bahkan pilpres lebih merupakan upacara atau ritual demokrasi yang sekadar mau tunjukbuktikan bahwa negeri ini merupakan negara demokratis. Dulu Gus Dur menyebut negara ini seolah-olah demokrasi. Demokrasi ecek-ecek.

Pilkada tidak langsung dalam praktik nyatanya merupakan bentuk politik transaksional antar elit yang sama sekali tidak pernah memperhatikan apalagi menuruti kehendak rakyat banyak sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Hasilnya lebih banyak merupakan  rekayasa dan transaksi penguasa tertinggi saat itu dengan pendukung utama rezim otoriter yaitu Golkar. TNI-Polri dan Korpri tentulah ikut menentukan.

Akibatnya masyarakat tidak pernah tahu bagaimana proses itu berlangsung, siapa yang dijagokan, dan apa kriteria yang menjadi dasar penentuan dan pemilihannya. Sungguh, urusan pimpinan rakyat diputuskan secara sangat tertutup, jauh dari realitas dan aspirasi masyarakat. Seringkali terjadi, orang yang kurang dikenal dan tidak berasal dari satu daerah tertentu, tiba-tiba jadi bupati atau wakikota di daerah itu.

Bila saat itu terkesan para kepala daerah hasil pilkada tidak langsung tidak sekorup sekarang haruslah difahami beberapa fakta sosial yang melingkupinya. Pertama, hukum lebih mudah diatur dan direkayasa dibandingkan sekarang. Penegakan hukum hanya keras dan tegas pada masyarakat, tidak demikian halnya untuk para pejabat dan petinggi. Kini keadannya tidaklah seburuk itu. Paling tidak ada tiga menteri aktif yang telah diproses hukum oleh KPK dan ratusan kepala daerah aktif yaitu bupati, walikota, dan gubernur pindah tempat tinggal ke penjara karena kasus korupsi. Bahkan ada sejumlah jenderal polisi aktif yang dijebloskan ke penjara. Yang masih belum atau kurang tersentuh adalah militer. Ini menunjukkan adanya perbaikan dan kemajuan.

Kedua, kontrol masyarakat melalui lembaga swadaya masyarakat dan kebebasan media tidak dapat berfungsi optimal karena aturan dan tekanan yang diberlakukan oleh rezim otoriter. Sehingga banyak kasus korupsi menguap atau tidak terungkap. Berbeda dengan kondisi sekarang yang serba bebas dan transparan. Itulah sebabnya sekarang ini semua persoalan yang terkait dengan pejabat publik bisa diungkap secara bebas dimana pun dan dengan cara apapun.

Wajar bila salah satu tuntutan reformasi seiring jatuh terjerembabnya Suharto adalah pemilihan langsung kepala daerah dan presiden sebagai langkah yang benar untuk mengembalikkan hak kedaulatan rakyat yang telah dirampok oleh rezim otoriter yang menggunakan Pancasila sebagai titik tolaknya.

Amien Rais sebagai salah seorang tokoh reformasi juga bersikap sangat keras agar pilkada dan pilpres tidak langsung segera diganti dengan pilkada dan pilpres langsung. Ternyata perubahan mendasar ini telah mengubah wajah perpolitikan dan sistem tatakelola negara secara keseluruhan. Pemilihan langsung telah melahirkan sejumlah pimpinan yang berkualitas dan seringkali berusia sangat muda. Sesuatu yang tidak pernah terjadi pada pemilihan tidak langsung.

Rakyat menjadi lebih antusias berpartisipasi memilih para pemimpin dan juga perduli pada benyak hal yang menyangkut kehidupan publik. Sementara pimpinan daerah yang dipilih secara langsung tampak lebih sungguh-sungguh memperhatikan aspirasi masyarakat dan merealisasikan janji-janji politiknya. Para pemimpin ini sadar, masyarakat yang memilihnya bisa bertindak langsung untuk memprotesnya bila ia tidak sungguh-sungguh. Paling kurang, rakyat tidak akan memilihnya lagi pada periode berikutnya.

Pastilah, sebagai sesuatu yang baru, pemilihan langsung ini juga membawa sejumlah masalah. Masalah paling menonjol adalah terjadinya bentrokan antar masyarakat pada beberapa pilkada. Biaya politik tinggi yang berpotensi menimbulkan korupsi adalah fakta yang tak perlu dibantah sebagai salah satu akibat yang muncul.

Namun, menjadi sangat aneh, setelah kalah dalam pilpres, pendukung calon presiden yang kalah memperjuangkan agar pilkada dikembalikkan seperti saat rezim otoriter orde baru yakni menjadi tidak langsung lagi. Susah tidak mengaitkan dua fenomena ini karena memang begitulah faktanya.

Keanehan itu makin menyeruak terkait dengan argumentasi yang digunakan. Tindakan mereka itu dengan segala argumentasi yang digunakan, mirip dengan melihat orang kena kanker di kaki, bukan kaki yang diobati atau diamputasi, tetapi orangnya dibunuh.

Pilkada langsung memang memunculkan sejumlah masalah. Mestinya yang diusahakan adalah bagaimana mengatasi masalah-masalah itu dalam upaya meningkatkan kualitas pilkada langsung tersebut. Paling tidak kita bisa bercermin pada negara-negara demokratis yang mencapai keadaan yang baik sekarang ini, juga tidak didapatkan secara instan. Butuh proses yang memerlukan waktu yang tidak pendek.

Khusus untuk Amien Rais , sikap berbalik dan ketidakkonsistenannya terhadap pilkada langsung mungkin berakar pada fakta bahwa dia dan keluarganya tidak pernah menang dalam kompetisi pemilihan langsung ini. Boleh jadi fakta ini menegaskan, meski dikenal dan terkenal, Amien Rais dan keluarganya memang tak diinginkan rakyat. Kita tidak tahu apa sebabnya.

Oleh karena itu kita berharap, persoalan pilkada ini sungguh tidak asal diputuskan. Apalagi  yang mengusahakan perubahan, melakukannya setelah calon presidennya kalah dalam pilpres. Semoga mereka arif dan hati-hati.

Kita berfikir apa yang sudah baik, semestinya terus diperbaiki sehingga berbagai dampak buruknya dapat terus dikurangi dan ditiadakan. Pengalaman panjang selama orde baru seharusnya jadi rujukan agar kita semua sangat hati-hati menentukan dan memutuskan berbagai urusan publik.

Kita memang harus terus berubah. Tetapi perubahan itu harus diupayakan menuju perbaikan dan peningkatan. Bukannya mundur ke masa lalu. Masa yang penuh tipu-tipu, kezaliman, dan berbagai tindakan yang melecehkan kedaukatan rakyat.

JANGAN PERNAH MELECEHKAN DAN MEMPERMAIKAN KEDAULATAN RAKYAT.

3 komentar:

  1. Ma'mun raka arief
    P.IPS A 2014
    4915141016

    Betul pak, saya sangat setuju sama analogi 'Tendangan langsung dan Tidak langsung'. Penonton akan lebih terhibur dengan adanya tendangan langsung, apabila tendangan tersebut goal maka semua penonton akan ikut berselebrasi dan bersuka cita. Itu artinya mereka akan percaya pada pemain tersebut, bahwa pemain tersebut mampu untuk mencetak goal lagi. Sama halnya dengan pilkada langsung, apabila para pemimpin tsb mampu menggapai tujuan dan visi misinya. Maka, seluruh rakyat yg memilih bahkan juga yg tidak memilihnya akan ikut bahagia dan bersuka cita. Seperti halnya saya yg pecinta Arsenal, dan tidak menolak untuk suka dengan cara tendangan langsungnya CR7. Itu lah yg dinamakan perbedaan yg indah :)
    Terimakasih pak

    BalasHapus
  2. Saya bingung dengan dunia politik di Indonesia. Politik di Indonesia ibarat ungkapan "Hidup segan, mati tak mau" . Saya bilang seperti itu karena politik di Indonesia sebenarnya ada dan hidup. Tapi, terkadang orang terlibat disana atau orang-orang yang berpolitik itu membuat politik itu hancur, berantakan, berambisi, haus akan kekuasaan.
    Lucu sekali dunia politik ini. Pemimpin A membuat kampanye, lalu ada beberapa orang yang antusias dan memakai atribut yang menandakan bahwa orang itu memilih pemimpin A sebagai jagoannya. Lalu gunanya dibuat sekat atau kotak dalam TPS apa? kalau kita sudah tahu orang itu memilih pemimpin A. Bukankah memilih partai politik bersifat rahasia? Sungguh Pak, saya tidak mengerti tentang politik negeri ini. Ada lagi orang yang sibuk menjagokan pemimpin ini dan itu dengan rusuh di dunia maya, bahkan dunia nyata sampai-sampai hanya gara-gara perbedaan partai politik mereka rusuh dan ribut. Ada kubu ini dan itu. Politik terkadang rumit, bukan terkadan tapi cenderung terlalu sering dibuat rumit.

    Triyani Ambar Sari. PENDIDIKAN IPS B 2014

    BalasHapus
  3. Yaps memang benar dengan adanya kebebasan memilih langsung dri pada tidak membuat hasil yg berbeda. Penonton sama supporter aja setuju sama tendangan langsung. Tetapi bila dalam sepak bola hal yg langsung itu memang ciri khas mereka. Berbeda dengan pilkada yg dilakukan secara langsung dan tak langsung. Mengapa bila langsung pasti ujung-ujungnya main belakang. Pada korupsi lah . Politik dan politik. Sungguh aneh indonesia. Jiwa pemimpin aja kek bocah, tpi sudah lahh suara rakyat lebih baik dri pada pemerintah .karna permasalahan kedaulatan rakyat ialah nomor satu. Demokrasi dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat mana nih demokrasi itu ? . Hidup Rakyat Indonesia.

    (Chun cun T.K) P.IPS A

    BalasHapus

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd