Rezim otoriter orde baru yang dikomandoi Suharto selalu menyatakan bahwa mereka berkuasa, menjalankan pemerintahan dan membangun sistem kenegaraan berdasarkan UUD 45 dan Pancasila. Tatkala Petisi 50 yang diprakarsai antara lain oleh M. Natsir dan Ali Sadikin melakukan kritik terhadap Suharto dan kebijakan pemerintahannya, Suharto menyebut mereka melawan dan musuh Pancasila. Suharto rupanya merasa dirinya adalah personifikasi atau jelmaan Pancasila yang hidup. Sehingga kritik terhadapnya disamakan dengan ancaman terhadap Pancasila.
Suharto selalu menggunakan sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, sebagai basis untuk berbagai keputusan penting terkait dengan pemilihan kepala daerah dan presiden serta berbagai keputusan penting lainnya. Bahkan Suharto sangat menekankan hasil permusyawaratan yang bulat. Artinya tidak boleh ada perbedaan pendapat di dalamnya. Ia tidak menerima hasil permusyawaratan yang lonjong, yang berisi perbedaan pendapat meski sedikit saja.
Dengan cara itulah Suharto membangun sebuah sistem ketatanegaraan yang gampang direkayasa bersenjatakan politik uang, ancaman dan intimidasi. Susah dilupakan bagaimana Suharto menggembosi PPP karena ketua umumnya H.J. Naro memberanikan diri mewacanakan mau mengajukan diri sebagai calon wakil presiden. Baru wacana saja sudah digembosi.
Suharto menjadikan UUD 45 sebagai aturan yang "suci" dan tak boleh diubah. Atas dasar pemikiran itu ia mendorong konsensus nasional yang memberinya hak untuk mengangkat sepertiga anggota MPR dan perwakilan TNI di DPR dan MPR untuk menjamin UUD 45 tidak diubah. Pernyatannya ini bisa diperiksa dalam buku Memori Jenderal Yoga. Bahkan ada ucapan ia akan menculik anggota DPR agar tidak memenuhi syarat jika ingin mengubah UUD 45. Padahal dalam UUD 45 perubahan itu dimungkinkan. Jadi, jika orang dekat Suharto diduga terlibat penculikan bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Karena memang mentalnya suka menghalalkan segala cara. Apapun dilakukan demi kuasa mengatasnamakan rakyat, UUD 45, dan Pancasila.
Dengan cara mendasarkan diri pada UUD 45 dan Pancasila, Suharto melanggengkan kekuasaannya. Mengapa bisa seperti itu? Karena pada waktu itu hanya Suharto dan pemerintah yang boleh menafsirkan dan memberi makna pada UUD 45 dan Pancasila. Dipaksakannya azas tunggal Pancasila yang mengakibatkan pelanggaran HAM berat berupa pembantain rakyat di Tanjung Priok, juga dinyatakan sebagai konsekuensi logis dari pengamalan Pancasila. Mereka yang menolak azas tunggal Pancasila, terutama sebagian umat Islam, dituduh mbalelo atau membangkang pada Pancasila dan boleh serta harus dihabisi. Inilah sekelumit fakta tentang orde baru dan Suharto.
Memanipulasi UUD 45 dan Pancasila memang menjadi salah satu karakteristik rezim otoriter orde baru yang didukung penuh oleh Golkar. Dengan cara itu mereka melakukan apa saja untuk langgengkan kekuasaan. Lembaga legislatif sepenuhnya dikendalikan dan dijadikan stempel untuk membenarkan semua tindakan rezim yang ternyata lebih banyak sengsarakan rakyat, yang mewariskan pada Indonesia hutang luar negeri yang menggunung dan rapuhnya perekonomian.
Kini ada fihak yang berpendapat bahwa pilkada langsung tidak sesuai dengan Pancasila yang memiliki sila musyawarah mufakat. Kita harus sangat hati-hati dengan cara berargumen seperti ini. Sebab sangat kental aroma orde barunya. Pastilah yang mengucapkannya antek orde baru. Orang-orang yang terbukti kalah dalam banyak pemilihan langsung karena tidak diinginkan oleh mayoritas rakyat Indonesia.
Jika mau konsisten, seharusnya tidak ada partai oposisi yang mengambil posisi berhadap-hadapn dengan pemerintah. Bukankah partai oposisi itu tidak sesuai dengan sila permusyawaratan?
Namun selama ini, kita sudah terbiasa dengan kehadiran oposisi di parlemen. Pada pemerintahan SBY, yang tidak bersedia ikutan pemerintah menempatkan diri jadi oposisi. Kini ada oposisi yang tergabung dalam koalisi merah putih.
Seharusnya pihak yang menolak pilkada langsung dengan alasan bertentangan dengan asas musyawarah mufakat, juga menolak kehadiran koalisi partai oposisi dengan alasan yang sama. Jika mereka menolak pilkada langsung, dan menerima bahkan menjadi oposisi terhadap pemerintah, ketahuan betul belangnya. Tampak betul ketidakkonsistenannya. Menggunakan Pancasila seenaknya dan demi kepentingan kekuasaan semata.
Terlepas dari persoalan di atas, marilah kita lihat pentingnya kehadiran partai oposisi. Oposisi yang kritis yang secara terus menerus "memelototi" pemerintah sangat dibutuhkan agar pemerintah benar-benar diawasi dan dijaga supaya sungguh-sungguh mengurusi rakyat. Bukan membuat rakyat kurus, tetapi menjadikan rakyat sejahtera.
Oposisi kuat akan membuat pemerintah efektif. Oleh karena itu kehadiran koalisi merah putih harus dilihat secara positif. Apapun niat dan tujuannya. Bahkan bila mereka berniat dan bertujuan menjatuhkan pemerintah. Mengapa?
Pemerintah memang harus dikontrol dengan sangat ketat. Agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang. Kekuasaan harus diawasi dan dijaga agar tidak menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Oposisi secara legal bisa lakukan pengawasan dan kontrol itu. Bila pemerintah menyalahgunakan kekuasaan, terbuka kemungkinan untuk dijatuhkan. Tidak ada salahnya pemerintah yang sah dijatuhkan bila memang ada pelanggaran yang memungkinkannya secara konstitusional untuk dijatuhkan. Kata kuncinya adalah konstitusional dan legal.
Baik pemerintah dan oposisi harus bekerja dalam aturan main yang ada. Aturan main yang mengikat keduanya sebagai lembaga negara. Keduanya sama-sama bekerja dalam pengawasan rakyat, pers yang bebas dan adanya pengadil yaitu Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian ketakutan sejumlah orang atas kehadiran koalisi merah putih adalah sikap paranoid yang berlebihan dan tidak perlu. Kita berharap koalisi merah putih tetap solid dan kuat sebagai pengontrol dan penyeimbang pemerintah.
Persoalan pokoknya justru adalah apakah koalisi merah putih ini bisa tetap solid dan kuat? Jika kita perhatikan perilaku partai politik selama ini rasanya sulit untuk mengharapkan koalisi merah putih tetap solid dan kuat. Padahal untuk membuat pemerintah efektif, bekerja sungguh-sungguh dan tidak menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan, oposisi yang kuat dan solid sangat dibutuhkan.
Percayalah rakyat mengharapkan yang terbaik dari semua yang telah dipilihnya, baik itu anggota dewan maupun presiden dan wakil presiden. Semua yang telah dipilih rakyat seyogianya memberikan yang terbaik bagi rakyat dan bangsa.
Dalam perjalanan waktu telah terbukti bahwa rakyat sangat sadar dan cerdas untuk menunjukkan sikap dan mengambil keputusan, menilai dan menghukum. Cermati apa yang dialami Partai Demokrat. Pada pemilu 2009 mereka adalah partai pemenang. Menang dalam pileg dan pilpres. Namun pada 2014 mereka kalah sekalah-kalahnya. Rakyat menghukum mereka atas berbagai perilaku dan capaian yang tidak sesuai dengan harapan rakyat. Kadernya banyak yang terlibat kasus korupsi, dan capaian pemerintahan SBY juga jauh dari janji dan harapan. Kesenjangan bahkan makin melebar dan parah. Rakyat ternyata memperhatikan dengan seksama apa yang dilakukan oleh partai politik dan para politisi. Rakyat menilai dan menghukum mereka yang berperilaku dan berkinerja buru.
Oleh karena itu kita percaya dan berharap koalisi merah putih sebagai oposisi dan pemerintahan Joko Wi-JK juga bekerja dengan baik dan sungguh-sungguh. Semuanya dilihat, diawasi, dinilai dan akan dihukum bila tidak memenuhi harapan rakyat. Selamat bekerja oposisi dan pemerintah. Percayalah,
OPOSISI YANG SOLID DAN KUAT AKAN MENDORONG PEMERINTAHAN MENJADI EFEKTIF.
Saat pertama kali munculnya pemberitaan tentang pembahasan RUU Pilkada tidak langsung di banyak media, saya sungguh gamang. Apakah pembahasan itu memang benar-benar bagian dari agenda kinerja dewan perwakilan periode 2009-2014 yang belum terselesaikan, ataukah memang sengaja dicetuskan oleh teknokrat-teknokrat yang memiliki kepentingannya tersendiri? Entah. Lucu sekali negeri ini. Kami yang dibawah melihat mereka sibuk dengan urusannya sendiri. Ber-label-kan atas kepentingan rakyat, mereka semena-mena memutar uang-uang rakyat. yang miskin makin miskin, yang kaya makin kaya. Kaya raya.
BalasHapusSoekarno’s one of our founder parents ,right? Bapak bangsa. Manusia yang disegani oleh semua orang. Seorang yang pandai dalam berpolitik luar negeri, sehingga kita bisa diakui baik secara kedaulatan maupun nilai “hormat” oleh bangsa-bangsa maju di dunia. Ada sebuah kesamaan Soekarno dengan Raja-Raja di nusantara kita dahulu kala, memiliki jabatan tertinggi dan diseggani oleh semua orang dan yang paling mencolok adalah sama-sama beristri banyak. Rupa-rupanya ia juga bekerja sama dengan PKI untuk melindungi kekuasannya. Saya hampir tak percaya, Soekarno bisa se-immoral itu. Lalu ada Soeharto setelahnya. Seorang Jendral TNI AD yang dipercaya mengemban jabatan kepresidenan di negeri ini. Seorang yang keras dan cenderung otoriter. Ia hampir sama dengan diktator-dikatator negara-negera komunis, seperti Kim Jong-il dari Korea Utara.
Dan sekarang, pergantian masa pemerintahan dari SBY ke Jokowi penuh dengan drama. Orang yang menjadi pusat perhatian saat ini adalah Prabowo dan koalisinya. Seorang intelektual koalisi merah putih pernah diwawancarai di media dan berkata, “kami akan tetap solid, dan koalisi ini akan tetap menjadi oposisi di pemerintahan. Sampai mati!” begitu katanya. Menurut saya, adanya pencetusan RUU Pilkada tidak langsung mempunyai benang merah dengan kalahnya Prabowo di pilpres. Jika semua partai pendukung koalisi merah putih mendukung RUU Pilkada tidak langsung, maka mereka (karena menang di pileg) ingin menempati dan menguasi jabatan-jabatan kepala daerah. Dari situ probowo bisa mengakomodir suara rakyat lewat mobilisasi masa oleh kepala daerah yang dipilih tidak langsung. Dan prabowo kemungkinan akan menang di pilpres 2019.
TITA NURMALA – P.IPS B 2014
4915144096