Waktu sekolah dasar dulu, guru pernah menjelaskan apa itu demokrasi yang berasal dari bahasa Yunani. Dasar katanya adalah demoas bermakna rakyat dan cratein yang berarti kedaulatan atau kekuasaan. Jadi demokrasi itu adalah kedaulatan rakyat. Presiden Amerika Serikat Abraham Linclon menyatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat.
Maknanya rakyalah yang menentukan. Bukan sekelompok orang yang merasa diri hebat dan serba tahu yang disebut elit. Siapa pun orang itu, pun bila ia telah dipilih rakyat. Rakyat berhak menentukan apa saja yang sangat menentukan bagi hidupnya. Salah satu yang menentukan itu adalah pemimpin atau penguasa yang bertugas untuk mengusahakan dan menjaga, serta memajukan kehidupan rakyat yang sejahtera.
Bila hak rakyat yang memegang kedaukatan untuk menentukan pemimpin diambil alih oleh orang yang dipilih rakyat, ini berarti telah terjadi perampokan hak dan kedaulatan rakyat. Itu maknanya demokrasi telah mati.
Inilah yang terjadi dalam sidang paripurna DPR pada 25.9.2014. Jangan lupakan tanggal ini. Tanggal matinya demokrasi di Indonesia. Jangan pula lupa partai politik yang menginginkan rakyat tak lagi memiliki kedaulatn untuk memilih pemimpinnya yaitu partai yang tergabung dalam koalisi merah putih yang terdiri dari Gerindra, Golkar, PKS, PAN, dan PPP. Koalisi yang kalah dalam pilpres 2014 dan tetap mau mencoba berkuasa dengan cara ini.
Kita juga jangan melupakan Partai Demokrat, partai yang didirikan dan dipimipin oleh SBY, partai yang ketua umum dan kedernya banyak yang masuk penjara karena korupsi. Karena Partai demokrat keluar sidang yang menyebabkan matinya demokrasi.
Jangan lupakan juga PPP dan PKS yang ikut koalisi merah putih, ketua umum dan presiden partainya adalah tersangka dan terpidana kasus korupsi. Jangan juga lupakan Prabowo Subianto yang kalah pilpres dan komandan partai Gerindra, serta Partai Golkar adalah para pendukung orde baru, orde otoriter yang memang membuat dan mempertahankan peraturan pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
Kita tak bakalan lupa mengapa dulu orde baru menggunakan segala cara agar kepala daerah dipilih oleh DPRD dan presiden dipilih oleh MPR, agar mereka lebih mudah dan bisa mengatur segelintir orang untuk terus berkuasa. Dengan demikian mereka bisa menggunakan kekuasaan seenaknya seperti yang telah terjadi selama orde baru.
Rasanya, tidak salah jika kini banyak orang yang menduga bahwa dikembalikannya cara-cara orde baru ini karena terbukti jika rakyat yang memilih, mereka tak bakalan bisa jadi pemimpin. Paling tidak pemilihan Gubernur DKI dan pilpres kemarin telah buktikan itu.
Mereka yang kini mengembalikan pemilihan kepala daerah menjadi tidak langsung dan hanya dipilih oleh segelintir orang yang gampang disogok dan diintimidasi adalah para pengecut yang tidak berani bertarung dengan melibatkan rakyat. Karena mereka sudah kalah dalam pertarungan yang melibatkan rakyat sebagai pemilih.
Prabowo Subianto, Amien Rais dan Aburizal Bakrie yang mendukung pilkada tidak langsung adalah orang-orang yang kalah saat bertarung menjadi presiden yang melibatkan rakyat sebagai pemilih. Aburizal bahkan tidak berani maju sebagai calon presiden karena jajak pendapat yang melibatkan rakyat menunjukkan betapa rakyat tidak menginginkannya. Meskipun ia sudah habis-habisan beriklan.
Argumentasi yang dikemukakan para pengusung pilkada tak langsung sebenarnya sama sekali tak penting dan gampang dibantah. Amien Rais bilang pilkada langsung itu rawan politik uang. Jika rakyat yang jumlahnya banyak bisa dipengaruhi politik uang, bukankah lebih gampang menggunakan politik uang terhadap anggota dewan yang jumlahnya lebih sedikit?
Apalagi jika dikaitkan dengan sikap partai politik yang selalu memecat kadernya yang tidak patuh pada keputusan partai. Meskipun keputusan partai bertentangan dengan suara mayoritas rakyat seperti yang dilakukan Golkar memecat kadernya yang tidak sejalan dalam paripurna UU Pilkada kemarin.
Bisa diduga bahwa dalam pilkada tidak langsung pimpinan partailah yang akhirnya menentukan. Ini bermakna, pemimpin rakyat akan ditentukan oleh segelintir elit yang belum tentu sejalan dengan aspirasi rakyat. Begitulah yang terjadi selama orde baru. Akibatnya pemimpin yang dipilih bukannya berjuang untuk rakyat, tetapi berjuang untuk partai yang menguasai suara di DPRD.
Itulah sebabnya mayoritas kepala daerah menolak pilkada tidak langsung dan melawan partai mereka yang mendukung pilkada tidak langsung. Mengapa mereka menolak dan melawan? Sebab, mereka sepenuhnya sadar bahwa para kepala daerah produk pilkada tidak langsung hanya akan menjadi alat partai untuk kepentingan partai, bukan kepentingan rakyat. Itulah yang terjadi pada orde baru. Karena itu tidak mengherankan bila Partai Golkar yang paling bersemangat untuk memenangkan pilkada tidak langsung. Karena selama orde baru, mereka telah menikmati enaknya menguasai daerah yang kepala daerahnya kader Golkar. Kebiasaan itulah yang sampai kini mereka pelihara. Tetapi karena keadaan sudah berubah, tidak mengherankan jika kepala daerah yang terlibat korupsi paling banyak berasal dari Golkar.
Sejumlah pemberitaan menunjuktegaskan fakta ini. Beberapa berita ditampilkan di bawah ini.
Liputan6.com, Jakarta: Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, keterlibatan partai politik masih kental dalam praktik korupsi. Sepanjang 2012, 44 kader partai politik terjerat kasus korupsi.
Anggota Partai Golkar tercatat paling banyak terjerat kasus korupsi diikuti Partai Demokrat dan PDI Perjuangan. Anggota tim investigasi ICW Tama S. Langkun mengatakan, "Kenapa Partai Golkar? Partai ini sudah lama berkuasa. Bicara soal kepala daerah, mayoritas masih dari Partai Golkar. Jadi, semakin banyak sebuah partai menjadi kepala daerah atau berada di DPRD, semakin besar kemungkinan korupsinya."
Sebelumnya, Sekretaris Kabinet Dipo Alam mengeluarkan data, sepanjang Oktober 2004 sampai September 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan 176 izin pemeriksaan bagi kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi.
Partai Golkar juga menempati peringkat teratas dengan 36 persen diikuti PDI Perjuangan, Partai Demokrat, dan partai-partai lain ( 5 Oktober 2012).
TEMPO.CO, Jakarta - Politikus senior dari Partai Golkar, Akbar Tandjung, mengingatkan bahwa partainya lebih selektif dalam memilih kepala daerah. Seleksi ketat partai ini diyakini akan mengurangi jumlah kepala daerah yang terlibat dalam kasus korupsi. "Partai harus menerapkan sistem yang ketat untuk mencegah meluasnya kasus korupsi oleh kepala daerah," kata Akbar, saat dihubungi, Jumat. 28 September 2012.
Pernyataan Akbar ini didasari pengumuman Kementerian Sekretaris Negara, yang disampaikan sekretaris kabinet, Dipo Alam, tadi siang, soal kinerja kepala daerah. Dipo menyebutkan, partai yang kepala daerahnya paling banyak terlibat dalam kasus hukum adalah Golkar, PDI Perjuangan, dan Demokrat. "Data ini bukan untuk membuka aib orang, tapi mari sama-sama mengawal anggaran," kata dia.
Sekretariat mencatat, sepanjang masa pemerintahannya, Presiden SBY telah menerbitkan 176 izin pemeriksaan terhadap pejabat dan anggota Dewan yang terlibat dalam kasus hukum. Sebanyak 79 persen di antaranya adalah kasus korupsi, sedangkan sisanya kasus pidana lain. Sebagian besar kasus melibatkan kepala daerah yang diusung Golkar. Dalam masa kepemimpinannya, Presiden SBY telah menerbitkan izin pemeriksaan bagi 64 politikus Golkar. (28 September 2012)
Dari dua pemberitaan di atas terbukti, yang menyebabkan banyaknya korupsi yang dilakukan kepala daerah bukanlah pilihan langsung kepala daerah. Tetapi terkait dengan asal kepala daerah dan tradisi partai pengusungnya.
Aneh betul menyalahkan pilihan langsung kepala daerah sebagai penyebab tunggal banyaknya kaSus korupsi yang dilakukan kepala daerah hasil pemilihan langsung. Terbukti yang paling banyak terkena kasus korupsi adalah kader Golkar. Ini terjadi karena mereka menerapkan kebiasaan selama orde baru pada zaman reformasi. Jadi bukan cara pemilihannya yang mendorong terjadinya korupsi, tetapi asal kader dan partai pengusungnya. Jangan salahkan rakyat yang memilih. Ini sepenuhnya salah partai politiknya.
Berdasarkan survey dari lembaga survey yang dapat dipercaya menunjukkan mayoritas rakyat menolak pilkada tak langsung. Karena itu rakyat harus menunjukkan penolakan. Dulu banyak rakyat Indonesia melawan orde baru. Orde yang melanggengkan pilkada tak langsung yang rugikan rakyat. Maka saatnya kini untuk melawan secara terbuka para antek orde baru yang tampaknya hendak mengembalikan cara-cara dan sistem orde baru.
RAKYAT MELAWAN TAK BISA DIKALAHKAN.
Asyia Laely
BalasHapusP.ips b
4915142821
Menurut saya, sebenarnya pemilihan langsung ataupun tidak langsung keduanya memiliki sisi negatif dan positif
Dilihat dari sisi positifnya pemilihan langsung memang sesuai dengan asas kita, yaitu asas demokrasi namun dilihat dari sisi negatifnya dikhawatirkan akan adanya kecurangan di wilayah-wilayah serta membutuhkan banyak uang negara pula
Sedangkan pemilihan tidak langsung dilihat dari sisi positifnya tidak mengeluarkan uang negara begitu banyak, tapi juga dikhawatirkan akan adanya pihak-pihak yang melakukan kecurangan demi sebuah jabatan
Saya setuju dengan artikel yang bapak buat. Saat ini pemerintahan negara ini semakin terpuruk. Tak ada lagi yang mementingkan nasib rakyat Indonesia,tapi kader-kader politik itu hanya memikirkan bagaimana cara mereka menguasai negeri ini secara perlahan-lahan tanpa campur tangan dari rakyat. Bangsa ini menjadi bangsa yang kembali pada bangsa dimana sepenuhnya kekuasaan ditunjukkaan untuk kalangan tertentu, tak ada lagi suara rakyat yang didengar. rakyat menunggu sosok pemimpin yang benar-benar bisa membangkitkan Indonesia menjadi negeri yang tidak dipandang sebelah mata. Semuanya musnah karna kekuasaan,karna keinginan yang tinggi untuk menguasai negeri ini,rakyat harus mengambil hak suaranya untuk membangun kehidupan yang lebih layak dan sejahtera. Semua rakyat Indonesia harus bersatu padu melawan hal-hal yang dapat merugikan bangsa ini. Terima kasih ( Mega Sukmawati P.IPS A 2014 )
BalasHapusSaya setuju dengan artikel yang bapak buat. Saat ini pemerintahan negara ini semakin terpuruk. Tak ada lagi yang mementingkan nasib rakyat Indonesia,tapi kader-kader politik itu hanya memikirkan bagaimana cara mereka menguasai negeri ini secara perlahan-lahan tanpa campur tangan dari rakyat. Bangsa ini menjadi bangsa yang kembali pada bangsa dimana sepenuhnya kekuasaan ditunjukkaan untuk kalangan tertentu, tak ada lagi suara rakyat yang didengar. rakyat menunggu sosok pemimpin yang benar-benar bisa membangkitkan Indonesia menjadi negeri yang tidak dipandang sebelah mata. Semuanya musnah karna kekuasaan,karna keinginan yang tinggi untuk menguasai negeri ini,rakyat harus mengambil hak suaranya untuk membangun kehidupan yang lebih layak dan sejahtera. Semua rakyat Indonesia harus bersatu padu melawan hal-hal yang dapat merugikan bangsa ini. Terima kasih ( Mega Sukmawati P.IPS A 2014 )
BalasHapusNama : Taufik hidayatulloh
BalasHapusNIM :4915145638
Kelas : P.IPS
ternyata novel ini sangat terang-terangan dalam mengupas topik bahasan.Di tulisan ini juga sangat berani dalam membahas topik
namun apakah ada konsepkoensinya jika menulis terlalu terbuka seperti ini??
dinovel ini ada beberapa ejaan yang salah
NAMA : YULIA CITRA
BalasHapusKELAS : P.IPS B 2014
Berbicara mengenai RUU PILKADA saya termasuk salah seorang yang tidak menyetujui keputusan pilkada tidak langsung. Karena, tentu kita semua mengetahui bahwa negara Indonesia merupakan negara demokrasi (berkedaulatan rakyat) dimana keputusan terbesar terdapat di tangan rakyat.
Saya sangat prihatin dengan pemerintah Indonesia yang sangat mudah merubah kebijakan tanpa memikirkan secara matang aspek lingkungan dan aspirasi orang banyak. Belum lama ini kita disibukan dengan permasalahan perubahan kurikulum dari ktsp 2006 menjadi kurikulum 2013, saya merasakan keluhan beberapa siswa dengan adanya pergantian kurikulum ini, menurut mereka ktsp 2006 saja belum mampu mereka serap dengan maksimal, kemudian mereka harus dipaksakan mengerti dan menggunakan kurikulum 2013 yang menuntut mereka untuk lebih mandiri dan aktif memecahkan persoalan pelajaran. Tentu ini malah menjadi masalah baru untuk mereka dan makin memberatkan mereka.
Kemudian saat ini timbul kebijakan baru bahwa pilkada tidak lagi dilakukan secara langsung namun diwakilkan oleh DPRD, tentu untuk sebagian orang kebijakan ini sangat mengecewakan. Bukan hanya mematikan suara rakyat. Namun, alat rakyat untuk ikut serta dalam menyuarakan pendapatnya sudah dicabut dan tidak ada lagi. Kali ini bukan hanya segelintir orang yang merasakan kekecewaan namun banyak orang. Saya harap pemerintah lebih bijak lagi membuat keputusan. Jangan hanya memandang satu aspek, namun akan lebih baik bila keputusan yang dibuat berdasarkan beberapa aspek dengan mengutamakan aspirasi rakyat dan orang banyak.
Nama : Tri Arung Wirayudha
BalasHapusJurusan : Pendidikan IPS (A) 2014
Pantas jika mayoritas rakyat menolak mentah-mentah pilkada tidak langsung karena dengan berlakunya sistem pilkada tersebut berarti sama saja kembali ke zaman kegelapan era Orde Baru. Tapi justru para wakil rakyat tidak menggubris penolakan dari mayoritas rakyat dan bahkan akhirnya mengesahkan UU Pilkada... Memalukan!!
Dan sangat pantas jika rakyat ramai-ramai menghujat para wakil rakyat terutama Partai Demokrat dan SBY yang dianggap mementingkan ego. Suara-suara rakyat yang menghendaki UU Pilkada dibawa ke MK semakin marak. Jika MK membatalkan UU Pilkada yang cacat hukum itu, menurut saya itulah kemenangan rakyat yang sebenarnya.
Nama: Eka Puji Haryani
BalasHapusP. IPS B 2014
Memang adanya pemilihan UU Pilkada menjadi pembicaraan minggu-minggu ini. Apalagi dengan adanya semacam drama dari tiap parpol.
Mereka adalah wakil rakyat seharusnya benar-benar mewakili rakyat bukan malah lebih mementingkan dirinya sendiri dan kelompoknya. Jika benar Pilkada di pilih oleh DPRD maka rakyat seperti sudah tidak dianggap ada. Saya prihatin dengan pemerintahan di negara ini.
saya amat sanat tidak setuju dengan pilkada tak langsungk karena menurut saya hak saya untuk memilih siapa yg berhak untuk memimpin dan mengaspirasi suara saya sebagai rakyat dan dilihat dari sidangnya benar kata gusdur dpr adalah taman kanak kanak benar itu semua mereka hanya ribut demi kepentingan golongan mereka msing masing jangan pernah sebut negara indonesia sebagai negara demokrasi lagi jika hak rakyat untuk berdemokrasi dirampah oleh petinggi petinggi yang mewakili suara golonganya dan bukan rakyatnya
BalasHapuspokoknya kalo sampe Kepala Daerah dipilih oleh DPRD disetujui, kepung aja Gedung DPRD, daripada ntar kembali ke masa Orba... sia sia tuh perjuangan Korban Trisakti, Mahasiswa yang serbu Senayan, dan korban 98 lainnya.. udah capek2 ganti sistem Orba, eh malah balik lagi ke jaman dulu. bahaya nih... tapi menurut saya kalau selevel bupati sama walikota mendingan enggak usah ada DPRD dan pemilihan langsung, jadi ditunjuk gubernur & DPRD tingkat I
BalasHapusmales sih bupati/walikota milih juga, malahan bikin sering berantem, tuh dijakarta walikota juga dipilih gubernur, oke-oke aja masih jalan kan....
Achamd Ramadhan PIPS 2014
BalasHapusTulisan bapak sangat bagus. Saya jadi mengetahui bahwa demokrasi di Indonesia akan mati jika rakyat tidak bisa memilih pemimpin.
Caroline
BalasHapusP.IPS B'14
saya sependapat dengan tulisan ini, menurut saya hasil sidang paripurna DPR pada 25.9.2014 telah mematikan demokrasi Indonesia. Saya pikir setelah terpilihnya kepala daerah lewat dpr akan merebak kasus2 korupsi dimanamana. Makin banyak fasilitas di kota yg tak terurus karena dananya digelapkan. Rakyat akan semakin tersiksa karena keputusan dpr ini. Saya sangat kecewa dengan keputusan dpr saat ini.
Anggun Trihapsari
BalasHapus4915142820
P.IPS B 2014
Benar apa yang dikatakan oleh Bapak, pilkada tidak langsung hanya akan mematikan demokrasi, untuk apa ada KPU bila pilkada saja harus diwakilkan? Pilkada ini hanya akan mengambil hak asasi manusia dalam keikutsertaan dalam pemilu. Jika pilkada saja harus diwakilkan, mending sekalian saja ubah negara menjadi sistem monarki. Tetapi jika dipikirkan kembali, mungkin pilkada tidak langsung memiliki bebrapa sifat positif. Contonya adalah mengurangi biaya anggaran untuk keperluan pemilu dan mencegah terjadinya kriminalitas. Kita semua tahu bahwa pada pemilu yang lalu, banyak terjadi kasus pemaksaan dalam hak suara, suap suara, perwakilan suara pada orang buta huruf, hingga melibatkan kekerasan (pembunuhan) dalam pemilu. Terlebih lagi, bukankah dengan kita tidak menyetujui pilkada tidak langsung, dapat disimpulkan bahwa kita sebagai rakyat sendiri mengakui secara tidak langsung bahwa kita pun tidak mempercayai Pimpinan yang telah kita pilih sendiri?
Tetapi tetap saja, saya pribadi lebih setuju dan mendukung untuk memilih secara langsung. Tentu saya yakin, rakyat indonesia juga demikian.
Rijalul Fahmi
BalasHapus4915145529
P.IPS B 2014
rijaluljalul.blogspot.com
Assalamualikum wr wb
Menurut saya pemilihan kepala daerah yang tidak langsung itu ada sisi negatifnya dan ada pula sisi positifnya, negatifnya memang kita tidak bisa mengatuhui dan memelih orang yang akan menjadi pemimpin kita, dan kita hanya mempercayai itu kepada elit politik di DPR yang belum tentu dapat dipercaya dan mewakili suara rakyat, itu menyebabkan matinya demokrasi dan menyebabkan kita seakan –akan kembali lagi ke jaman orde baru.
Namun jangan dilihat dari sisi negatifnya saja, ada sisi positifnya dimana kiat bisa menghemat dana APBD dan dana APBN selain itu pula masih banyak diluar sana masyarakat Indonesia yang belum mengerti cara memilih seperti contohnya di daerah Indonesia timur, selain itu kita juga bisa mencegah kecurangan karena di PILKADA saja masih banyak kecurangan banyak orang dibayar untuk memilih salah satu bupati tertentu, adanya serangan fajar dan lain lain.
Saran saya untuk pemerintah lebih baik jangan langsung mengubah PILKADA dari langsung ke tidak langsung harusnya jika ingin mengubahnya lakukan terlebih dahulu didaerah tertetu sebagai percontohan jika pilkada tidak langsung didaerah tersebut berhasil, kemudian bisa dilanjutkan ke seluruh Indonesia.
Saya sebenarnya juga kecewa dengan pemilihan kepala daerah yang tidak langsung saya tidak bisa lagi memilih kepala daerah, mengetahui siapa yang akan memimpin daerah saya, dan ini pasti akan banyak kecurangan dimana partai yang berkuasa pasti akan mengusai pemipin daerah, tapi apa boleh buat palu sudah di ketuk, undang-undang PILKADA harus segera dijalankan semoga saja wakil-wakil kita di DPR bisa benar-benar mewaliki rakyat bukan bener-benar mewakili kepentingan partai apa lagi kepentingan dirinya sendiri.
Wasalamualaikum wr wb
Nama saya Fardani Ghina H
BalasHapusJurusan PIPS B 2014.
Menurut saya itu lah manusia saat mereka memiliki kesempatan mereka tak peduli mereka acuh mereka tidak serius mereka sia-siakan, namun saat sudah kehilangan. Mereka baru sadar jika itu penting untuknya, seperti Pilkada. Setelah rakyat kehilangan suara untuk memilih. Rakyat baru sadar betapa pentingnya pilkada langsung, betapa pentingnya suara-suara mereka untuk memilih pemimpinnya. Dulu saat rakyat diberikan kesempatan untuk memilih banyak rakyat yg lebih memilih untuk golput, banyak rakyat yang memilih pemimpin hanya karna embel-embel sifatnya tegas lah dan juga hanya dari segi fisiknya saja. Tapi tidak dilihat sisi latar belakangnya secara detail. Sekarang sudah resmi jika pilkada akan dilakukan secara tidak langsung. Menurut saya Mereka telah merampas hak suara kita. Dan pilkada tidak langsung brarti melawan UUD 45 pasal 18 saya yakin jika ini benar-benar terjadi akan banyak demo-demo dan kerusuhan-kerusuhan yang terjadi seperti masa orde baru.
Tetapi bukankah lebih baiknya jika semua kembali ketangan rakyat. Biarkan rakyat yg menentukan tujuan kedepan bangsa ini. Bukankah maksud demokrasi itu dari, oleh dan untuk rakyat? Biarkan kami sendiri yg menentukan karena jika RAKYAT MELAWAN TAK BISA DIKALAHKAN.(Zikri S.R-P.IPS B 2014)
BalasHapusAssalamua'alaikum, wr, wb, Pak Nusa.
BalasHapusMenurut saya polemik terjadi nya kesenjangan demokrasi atau bahkan matinya demokrasi di Indonesia sudah menjadi perbincangan yg "capek" jika terus dibahas karena pada akhirnya pemerintah pun menyetujui pemilihan tidak langsung tersebut.
Disisi lain memang benar demokrasi tidak langsung atau yg lebih nyaman di sebut dengan demokrasi keterwakilan, yang di anggap sesuai dengan sila ke 4 dalam Pancasila menjadi salah satu dasar diadakan nya pilkada tidak langsung.
Namun disisi lain pula kita seakan menonaktifkan sementara peranan KPU/Komisi Pemilihan Umum yg seharusnya bekerja utk pemilu dan meredam aspirasi rakyat yg memiliki hak utk memilih.
Ah, alangkah runyam nya politik di negeri ini. Tetapi sebagai rakyat, kita bisa menyampaikan aspirasi penolakan, tetapi kembali lagi bahwa yg hanya bisa kita lakukan adalah mengikuti segala aturan pemerintah yg telah di tetapkan.
Terimakasih, Wasslamua'laikum, wr, wb.
Afda Fauziyah / 4915142818 / IPS A 2014