Politik adalah strategi, kompetisi, negosiasi, komunikasi, transaksi demi dan untuk kekuasaan. Karena itu partai politik dan politisi sering terlihat seperti bunglon yang terus berubah warna sesuai dengan perubahan kepentingan yang sedang dikejar. Pagi hari membuat pernyataan yang akan dikoreksi di siang hari, dan dibantah pada sore hari, serta diralat di malam hari.
Hari ini berada di sana, besok sudah pindah posisi di sini. Ke sana dan ke sini, beralih, zig zag, putar haluan, jalan memutar, pindah-pindah tempat sangatlah biasa dilakukan partai politik dan para politisi. Etikanya bagai karet, moralnya tak lebih hanya kepentingan. Tujuan hakikinya adalah kekuasaan meski seringkali ditopengi dengan kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Karena itu meprakirakan perilaku, pilihan-pilihan, keputusan, kebijakan, strategi dan niat partai politik serta politisi lebih sulit daripada memprakirakan cuaca.
Marilah kita perhatikan dengan cermat dan hati-hati hubungan Mega-SBY, Mega-Prabowo, Golkar-PDIP, Gerindra-Demokrat, serta politisi dan partai-partai lain, dinamiknya sangat luar biasa. Susah memetakannya dengan pengukuran akurat model matematika dan statistik. Jika menggunakan istilah penyair Amir Hamzah, raja sastra Melayu, mungkin yang paling tepat untuk menggambarkannya adalah ungkapan bertukar tangkap dengan lepas dan rindu-dendam. Kadang sangat mirip dengan ABG yang lagi jatuh cinta. Kasmaran dan kebencian susah dibedakan, dan cepat sekali berubah. Gayanya malu-malu kucing, jinak-jinak merpati, genit-genit angsa yang kelihatan menghindar tapi sering nyosor.
Lebih seru lagi menyaksikan tingkah pola dan perilaku mereka saat sedang berkompetisi seperti pilpres yang baru saja berlalu. Saling serang, bahkan dengan cara yang tak pantas serta menjijikkan dipertontonkan kepada publik. Kita bukan saja menjadi merasa mual, bahkan sering kali menjadi jijik dan terheran-heran, terperangah tak percaya.
Dalam suasana kompetisi itulah sangat nyata terlihat bagaimana perilaku dan karakter para politisi kita. Siapa yang matang dan dewasa, yang mampu kendalikan diri serta tetap tenang dan santai dalam suasana penuh tingkai pangkai, kampanye hitam dan fitnah. Siapa yang terus saja mencarut, memaki, membuat pernyataan-pernyataan bodoh dan tidak bermutu sebagai penampakan asli ketidakmampuan menahan diri dan kelola emosi. Dalam situasi itu semua gelar akademik, dan beragam kehormatan yang melekat bisa tak berfungsi dan tak berguna. Yang menonjol justru segala keburukan, irasionalitas, hilangnya rasa malu dan kepekaan sosial. Tak heran bila inkonsistensi, kemunafikan, pragmatisme berlebihan, dan asal jeplak menjadi tontonan yang sungguh memuakkan dan menjijikkan. Apa boleh buat baru sebatas itulah politik kita.
Namun, apapun keadaannya kita sangat berharap bahwa para politisi itu bisa tetap menjaga tatakrama. Menunjukkan pada rakyat bahwa mereka masih saling menghormati, salaing menghargai dan berusaha membangun saling pemahaman dan pengertian. Tidak hanya bersibuk dan berkutat dengan kuasa dan kekuasan serta bagi-bagi kursi. Dalam konteks itulah kita menyambut baik pertemuan Jokowi, Hatta Radjasa dan Surya Paloh. Kehadiran Petinggi PAN dan PPP dalam munas PDIP.
Silaturahmi dan komunikasi para politisi, apalagi mereka yang kemarin berkompetisi secara ketat, paling kurang membuat rakyat percaya bahwa semuanya baik-baik saja dan masih dalam kendali, serta membuka kemungkinan untuk mencari jalan, strategi, dan solusi yang terbaik bagi rakyat. Menjaga tatakrama, itulah kuncinya.
Dalam konteks itulah sangat disayangkan ketidakhadiran Joko Wi-JK saat ketua umum Partai Gerindra sakit dan meninggal. Terutama Joko Wi. Joko Wi bisa datang sebagai sesama alumnus UGM. Bagi saya pribadi, sikap Joko Wi dalam hal yang satu ini sungguh sangat tidak pantas. Ia telah mencontohkan sesuatu yang buruk bagi bangsa ini.
Apa salahnya datang menjenguk dan melayat? Politik boleh berbeda, kubu bisa berhadapan. Namun, saat seorang saudara sebangsa sedang didera sakit parah dan akhirnya meninggal, mengapa sampai hati untuk tidak datang? Sebenarnya inilah saat Joko Wi melepas semua atribut dan topeng politik, datang sebagai seorang manusia. Sangat disayangkan Joko Wi tidak melakukannya. Ini rapor merah pertama bagi Joko Wi.
Setara dengan itu adalah sikap Mega terhadap SBY. Rasanya sudah berkali-kali SBY mengirim sinyal perlunya komunikasi dilakukan. Tetapi Mega tampaknya tetap berdiri pada kekokohan sikapnya yang bisa jadi kurang baik bagi bangsa ini. Bukankah membangun bangsa tidak dapat dilakukan sendirian? Kebersamaan itu pasti lebih bagus. Mengapa tidak melepaskan diri dari pengalaman buruk masa lalu. Bukankah hidup mengarah ke depan. Sungguh ini soal kejernihan hati dan kematangan kepribadian. Jangan sampai orang nyeletuk, yang sebenarnya tidak mau bekerja sama itu siapa?
Kita setidaknya bisa mencontoh Ali Sadikin dan A.M. Fatwa. Keduanya sangat menderita dengan sikap politik orde baru terutama Suharto. Namun saat keluarga Suharto dan Suharto sendiri mendapat musibah, mereka datang dan menunjukkan rasa simpati. Inilah tanda kematangan. Seberapa sakit pun masa lalu menorehkan luka, untuk apa dibiarkan menjadi borok yang bernanah dan beraroma busuk di masa kini?
Dari penuturan M. Natsir, M. Roem, Osman Raliby, Sjafrudin Prawiranegara, Soedjatmoko, Subadio Satrosatomo, Soedarpo Sastrosatomo, Sarbini, Rosihan Anwar dijelaskan bahwa mereka tetap menjaga hubungan baik dengan para tokoh yang berseberangan garis politik dan ideologinya. Karena melampaui pertarungan politik, silaturahmi, hubungan baik sebagai sesama manusia, sesama warga negara yang hendak memberikan yang terbaik bagi negara bangsa tetaplah harus dipelihara.
Negara bangsa besar ini tidak bisa dikelola oleh segelintir orang, betapa pun hebatnya mereka. Gotong royong dalam keikhlasan adalah keniscayaan yang harus terus diusahakan dan dipraktikkan. Apapun suasana politiknya,
MORALITAS ADALAH PANGLIMA.
Nama : Sandra Puspita Sari
BalasHapusKelas : P.IPS B
No.reg : 4915144094
Saya setuju dengan postingan bapak diatas bahwa gotong royong dalam keikhlasan adalah keniscayaan yang harus terus diusahakan dan dipraktikk
an. Seperti yang telah kita ketahui, saat ini moral bangsa Indonesia semakin menurun.
Pertanyaan :
Menurut bapak bagaimana cara untuk meminimalisir keadaan yang seperti itu ? apakah dibiarkan saja atau ada cara lain yang lebih tepat ?
Terimakasih
Politik tak ubahnya seperti “makan siang”. Atau lebih tepatnya “tak ada makan siang yang gratis” dibalik “makan siang” tersebut, pasti ada agenda-agenda penting di balik itu. Entah, kekuasaan, kepentingan perorangan, dan lain sebagainya. Politik soal “saya dapat apa, kamu dapat apa”, “saya ambil apa, kamu ambil apa” atau “saya bagian ini, kamu bagian itu”. Di politik tidak ada istiliah kawan-lawan, yang ada hanya “kepentingan”. Jadi sungguh wajar jika sikap berpolitik sangat dinamis dan berubah-ubah seenaknya. Tidak ada aturan pasti dalam politik. Yang menang hanya orang yang mendukung terhadap hal yang dominan, dan itu semua kembali lagi pada “kepentingan”. Banyak mahasiswa mengatakan, “politik itu kotor, lumpur yang kotor, kotaran yang lebih kotor” jadi apakah benar politik itu tak bertata-krama-kah? Seorang politisi sejati takkan pernah mengatakan seperti itu, sikap dan tingkah lakunya lah yang mengatakan politik-itu-seperti-apa. Namun di negeri yang kita cintai ini, hanya sedikit politisi sejati. Politisi yang mengambil keputusan, dan mengarahkan resiko kedalam dirinya. Saya rasa Jokowi sadar betul akan kekhilafannya. Namun rakyat sepertinya tak menghukum Jokowi atas “miss” sikapnya itu. Kita lihat nanti kedepannya akan seperti apa efek sikap Jokowi itu.
BalasHapusTITA NURMALA – P.IPS B 2014
4915144096
Saya setuju dengan pendapat bapak,,walaupun berbeda kepentingan seharusnya para politisi bisa berhungan baik dengan politisi lain...memberikan dukungan ketika mereka sedang mengalami musibahh..bisa membedakan mana urusan politik mana urusan yang lain..meskipun beda idiologi tetapi hubungan baik antar sesama harus tetap di jaga..keren pak tulisan bapak....Nabila chairina p.ips a 2014
BalasHapusSeperti pemilu kemaren para politisi mendukung jokowi, untuk mendapatkan bangku di pemerintahan. Akan tetapi tidak mudah untuk mendapatkan bangku tersebut. Karena satu bangku yang disediakan harus di nilai dari seberapa banyak timnya mendukung jokowi. Maka dari itu timbal balik masih berlaku di dunia ini. Walaupun begitu, yang penting satu tujuan memakmurkan rakyat.
BalasHapuszharotul zanah
BalasHapusP.IPS B 2014
4915142804
seharusnya mereka berada disana untuk menyuarakan hak rakyat, memiliki prinsip agar tidak terombang ambing dan benar-benar mengamalkan sila-sila dalam pancasila. tidak menjadikan politik sebagai kepenting pripadi sehingga tidak mudah membolak-balikan haluan. mereka tetap konsisten bukan dengan prinsip "dapat apa saya disana (untuk kepentingan pribadi)."
dan saat berbicara tentang pandangan yang berbeda wajar saja sebab kita memiliki pendapat yang beragam dan saling menghargai. akan tetapi selepas itu kita memang harus menjaga hubungan baik kita terhadap sesama manusia seprti yang ajarkan dalam agama. dan yang telah nabi Muhammad contoh kan.
saya setuju dengan artikel ini, semoga dapat menyadarkan kita semua.
Ya memang benar sekali politisi di indonesia berbeda saat zaman reformasi ini, dalam hal persaingan sehat saja terjadi pertontonan yg menjijiikan. Nah kita kutip diatas tertulis " kejernihan hati dan kematangan diri " . Mana politisi indonesia semuanya buruk seperti halnya orang yg tdk normal saja , serta sifat mereka yg seperti kanak-kanakan banget mereka. Lalu mengapa sih ada kampanye hitam dan fitnah. Lagi lagi agama lah yg kurang dimantapkan dalam kehidupan sehari- hari. Sungguh Bodoh sekali mereka lupa dengan apa agama itu. Agama itu yg mengatur supaya manusia sesuai dengan jalurnya. Jadii lebih baik politisi indonesia ituu secara baik-baik sajalah . Apagunanya coba berbuat hal yg tidak baik. Katanya sesuai pedoman hidup pancasila kok. Bnyk yg menyimpang. Beda sekali dengan orla ya.
BalasHapus(Chuncun T.K ) P.IPS A
Tidak bisa dipungkiri,saat ini negara kita sudah berusia 69 tahun. Tahun yang semakin menua dan seharusnya makin bisa menjadi contoh bagi negara lain yg berusia lebih muda. Indonesia didirikan dan dimerdekakan dengan penuh perjuangan dan gotong royong tanpa sedikitpun membedakn ras. Untuk beberapa waktu negara ini mengalami kejayaan dan dihargai oleh bangsa lain karena masyarakatnya yang santun,ramah,dan mempunyai ketegasan sehingga tiada satu negara pun yang berani meremehkan bangsa ini. Namun kejayaan itu hanya berlangsng singkat, perlahan-lahan rasa empati dan simpati terhadap orang lain mulai memudar. Saling sikut, menghina, dan lain-lain sudah menjadi fenomena umum untuk mendapatkan apa yg dimau. Jangan sampai negara ini mengganti hukumnya menjadi hukum rimba "siapa yg kuat dia yg berkuasa". Parpol bukan lg menjdi ajang silaturahmi namun menjadi ajang bermusuhan. Bukankah partai itu hanya wadah untuk saling menyatukan bukan wadah untuk saling berkuasa? Masyarakat saat ini sudah semakin cerdas,mereka bisa menilai mana pemimpin yg benar&salah. Bukankah bersama lebih baik dari pada sendiri? Bahkan kita hidup didunia ini harus ada bantuan org lain. Maka dari itu teruslah juga berhubungan baik antar sesama manusia tanpa membedakan ras mereka. Jadilah pelopor persatuan dan tetap terus jaga moral dan nama baik bangsa ini di mata dunia. Karena kita adalah bangsa yang bertatakrama.(Zikri S.R-P.IPS B 2014)
BalasHapus