Dilihat dari asalnya hanya ada dua jenis gelar. Gelar yang diberi tanpa usaha apapun yaitu gelar karena keturunan seperti raden, tengku dan teuku, serta gelar yang didapat karena usaha dan prestasi. Termasuk dalam jenis kedua adalah gelar akademik dan gelar karena memenangkan suatu kompetisi.
Gelar akademik seharusnya hanya bisa didapatkan dengan usaha keras mengikuti proses yang panjang dan bertingkat-tingkat. Terdapat sejumlah persyaratan dan indikator yang harus dipenuhi. Karena itu tidak mudah untuk mendapatkannya, dan tidak semua orang bisa memperolehnya.
Namun sudah sejak lama diketahui ada praktik-praktik kotor dengan cara menerabas dan instan mendapatkan ijazah. Bukan hanya untuk sarjana (S1), bahkan magister (S2), dan doktor (S3). Macam-macam strategi yang dilakukan seperti membuat kelas jauh, kelas eksekutif yang memadatkan kuliah hanya beberapa jam. Sudah pasti, yang memanfaatkannya adalah orang-orang banyak duit dan para pejabat. Bukan hanya perguruan tinggi swasta yang menyelenggarakan, bahkan perguruan tinggi negeri yang mencontohkannya.
Memang negeri ini membutuhkan banyak lulusan S2 dan S3 untuk melakukan kerja profesional tingkat tinggi yang mengharuskan dimilikinya kompetensi tinggi dengan kualifikasi pendidikan maksimal. Tetapi tentu saja, kebutuhan itu tidak dapat dijadikan alasan menyelenggarakan proses pendidikan instan untuk sekadar mendapatkan gelar.
Pendidikan adalah upaya yang menekankan pentingnya proses dan hasil. Konsekuensinya adalah proses pembelajaran yang membutuhkan penyerapan, asimilasi, intergrasi dalam rangkaian memilah, memilih dan mengolah hakikinya memang tidak dapat dilakukan secara instan. Namun, apa boleh buat, nalar dan praktik instan dalam pendidikan sudah menjamur di mana-mana. Tragisnya, banyak pejabat sebagai tokoh publik yang menjadi teladan justru yang paling banyak melakukannya. Termasuk pejabat yang mengurusi bidang pendidikan.
Tampaknya gelar menjadi lebih penting daripada kompetensi yang melekat dalam gelar itu. Itulah sebabnya orang memakai gelarnya bagi berbagai keperluan yang kurang relevan untuk menunjukkan gengsi sosial. Agaknya mereka percaya bahwa semakin banyak gelar yang dipajang, semakin hebatlah si empunya nama yang ditambahi berbagai gelar itu.
Pentingnya gelar itu membuat segelintir orang sampai hati melakukan apa saja untuk mendapatkannya. Kadang jabatan dan kedudukan juga dimanfaatkan untuk mendapatkan gelar tersebut.
Ambillah contoh Irjen Kemdikbud dan Presiden SBY. Paling tidak saya pribadi tidak pernah tahu kapan mereka mengajar dan di mana, apa karya ilmiah mereka dan dimuat di jurnal yang mana? Tiba-tiba terbetik berita mereka telah menjadi profesor. Sedangkan ribuan dosen perguruan tinggi yang telah puluhan tahun mengajar, melakukan penelitian, mempublikasikan karya ilmiah, dan melakukan pengabdian kepada masyarakat, sangat sulit menjadi guru besar. Kebanyakan usul mereka ditolak karena alasan-alasan teknis yang remeh temeh. Semua pengadian dan pengorbanan mereka yang luar biasa bagi pendidikan tampaknya sama sekali diabaikan. Banyak yang frustrasi dan kehilangan harapan, sementara masa pensiun semakin mendekat. Sungguh tragis, yang benar-benar mengabdi tidak dihargai. Sedangkan yang tidak jelas pengabdiannya dalam bidang pendidikan, juga tidak jelas apakah memenuhi standar yang telah ditetapkan bisa menjadi profesor.
Saat Rhoma Irama mendapat gelar profesor kehormatan, Mendikbud ikutan mengecamnya. Ini seperti pepatah kata, kontainer di pelupuk mata tak dilihat, sepeda di seberang benua dipelototi.
Gelar memang telah mempesona banyak orang. Mereka yang terpesona meyakini bahwa gelar itu memang dapat meninggikan harkat dan martabat diri. Meski di mata masyarakat banyak belum tentu seperti itu pemahamannya. Malah seringkali orang yang memiliki gelar serenceng, yang lebih panjang dari namanya malah dicemooh karena omongannya sama sekali tidak menggambarkan gelar yang melekat pada namanya.
Selain terpesona pada gelar, mereka juga menggunakan gelar seenaknya. Mestinya gelar itu digunakan layaknya sandal jepit. Digunakan jika memang diperlukan dan pada tempat serta konteks yang benar-benar tepat. Rasanya kita tidak pernah menggunakan sandal jepit saat menghadiri undangan resepsi pernikahan. Pastilah tidak cocok dan tidak pantas. Mestinya gelar juga tidak digunakan untuk sembarang keperluan.
Gelar akademik seharusnya digunakan untuk keperluan akademik dan yang berkaitan dengan keakademikan. Bila tidak, untuk apa menggunakannya?
Gelar juga seharusnya menunjukkan ketinggian nalar sesuai dengan gelar itu. Jangan sampai terjadi misalnya seorang profesor doktor harus ditegur berkali-kali oleh pramugari karena belum mematikan handphonenya dan terus saja menggunakannya padahal pesawat akan tingal landas. Sebagai profesor doktor, si pemilik gelar pastilah tahu bahaya menggunakan handphone dalam pesawat. Jadi seharusnya tidak perlu sampai dingingatkan oleh pramugari, berkali-kali pula. Jika sampai terjadi, lantas apa bedanya dengan orang berpendidikan rendah yang baru pertama sekali naik pesawat?
Namun apa boleh buat, masih banyak orang yang suka mencantumkan semua gelar di depan dan belakang namanya, meskipun perilakunya sama sekali tidak menggambarkan gelar itu. Ada orang bergelar Prof. Dr. KH yang jadi koruptor. Sementara yang hanya bergelar haji, sangat banyak yang menjadi tersangka dan terpidana kasus korupsi, seperti Suryadharma Ali dan Luthfi Hasan Ishaaq, MA.
Agaknya memang banyak orang yang mengejar gelar dan tidak perduli pada berbagai konsekuensi yang melekat pada gelar itu. Juga banyak orang yang menggunakan gelar itu untuk macam-macam keperluan yang sama sekali tidak "nyambung".
GELAR HANYALAH ATRIBUT, YANG PENTING ADALAH KOMPETENSI.
Nama : Sandra Puspita Sari
BalasHapusKelas : P.IPS B 2014
No.reg : 4915144094
Assalamu'alaikum pak. Saya ingin mengomentari tulisan bapak.
Saya setuju dengan tulisan bapak, saat ini banyak sekali orang yang menginginkan gelar akan tetapi mereka mendapatkan gelar tersebut dengan cara yang tidak instan. Mereka tidak peduli dengan baik tidaknya tindakan yang mereka tempuh. Orang yang seperti itu menurut saya sudah mencemarkan nama baiknya sendiri dan tidak menghargai usaha orang lain yang sudah bekerja keras dan berusaha untuk mendapatkan gelar.
Pertanyaan :
Bagaimana cara untuk membuat generasi muda supaya tidak tergiur dengan gelar yang didapatkan secara instan tanpa melalui serangkaian usaha ?
Terimakasih.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar saya mengenai tulisan bapak yaitu, saya baru tahu untuk mendapatkan gelar itu tidak sesulit yang dibayangkan. Jika uang sudah berkuasa, gelar seperti barang yang diobral saja. Padahal negara ini butuh pemimpin yang tidak hanya gelar yang diperbanyak, tetapi kompetensi adalah yang paling penting. Para pejabat hanya gila gelar untuk gengsi semata. Benar-benar kacau negeri ini. Bahkan presiden pun seperti itu dan secara tidak langsung mencontohkannya.
BalasHapusMiftahul Falah
BalasHapusP.ips B
Waktu itu bapak pernah bercerita tentang pelayan nasi padang yang kecewa terhadap tingkah laku yang di lakukan oleh anggota DPR. Orang yang berpendidikan rendah saja tau, kalau perbuatan seperti itu tidak perlu dilakukan apalagi mereka sudah bergelar doktor dan profesor. dari situ sudah bisa dilihat, mana yang gelarnya di dapatkan dengan prestasi dan usaha, dan gelarnya yang di dapatkan secara instan. sebanyak apapun gelar dan jabatan yang dimiliki, belum tentu kepribadian baik ia miliki juga.
Gelar memang menjadi cermin bagaimana sosial ekonomi seseorang yang memilikinya. Semakin panjang gelar dinamanya maka makin merasa hebat seseorang itu. Saya juga merasa heran mengapa orang orang yang memiliki pendidikan yang tinggi malah yang melakukan tindakan yang melanggar peraturan-peraturan. Bukannya mereka memiliki cukup banyak ilmu dan perilaku yang baik sehingga dia lulus dengan berbagai banyak gelar di belakangnya nama mereka. Apakah mereka tidak malu dengan gelar yang mereka raih?. Saya rasa tidak, karena mereka berfikiran gelar adalah salah satu bentuk agar mereka menjadi penguasa dan bebas melakukan tindakan apapun bukan untuk menerapkan ilmu yang mereka dapatkan dalam kehidupan. Akan terlihat dari tingkat laku, dan cara berfikir mereka, mana seseorang yang mendapatkan gelar dengan cara usaha dan dengan cara instan.
BalasHapusSRI RAHAYU
P.IPS A (4915141019)
Asyifa Laely
BalasHapusP.ips B
4915142821
Ya, kini kebanyakan orang hanya menggunakan gelar hanya karena gengsi belaka, hanya untuk dikatakan hebat oleh orang lain, padahal kehebatan seseorang bukan diukur dari seberapa panjang gelar yang ia miliki tetapi seperti yang bapak katakan seberapa besar pengabdian ia kepada masyarakat dan bagaimana ia bisa bermanfaat bagi banyak orang.
Tulisan bapak yang mengatakan "Dilihat dari asalnya gelar hanya ada dua" membuat saya teringat dengan kata2 seorang guru sewaktu SMA, beliau katakan "gelar yang paling tinggi adalah almarhum/ah" Dari sini bisa kita simpulkan bahwa, apapun gelar kita, sebanyak apapun gelar tersebut akhirnya juga akan menjadi almarhum/ah.
Viddyaningsih
BalasHapusP.IPS A 2014
Ass. tulisan yang pak nusa buat memang sesuai fakta yang berada di zaman sekarang khususnya indonesia, mengapa ? karena memang banyak orang-orang di indonesia yang mempunyai nama dengan berbagai gear namun prilaku dan akhlaknya tidak mencerminkan gelarnya , aneh memang tapi itulah realita orang-orang di indonesia , pada dasarnya memang wajar bersikap seperti itu karena pada dasarnya manusia ambisius agar bisa diakui keberadaaanya oleh orang lain dengan sejuta kehebatannya yang dimiliki, kehebatan yang sbenernya tak pantas untuk dipamerkan akan lebih bermanfaat utuk dirasakan manfaatnya untuk banyak orang . orang-orang yang berambisius itu memang pada dasaranya tak menyadari dirinya bahwa tindakannya salah . dan saya menyetujui tulisan yang pak nusa buat ini .
tulisan yang pak nusa ini bagus karena memberikan suatu kontribusi fenomena fakta yang berada di sebuah kenyataannya .
Khilva Aini Humaedi
BalasHapus4915142822
P.IPS B 2014
Sungguh tidak adil banyaknya orang-orang yang mempunyai gelar tetapi hanya gelar yang dimiliki secara instan hanya untuk kepentingannya semata. Malangnya gelar sarjana ini banyak digunakan oleh orang-orang penting di negara ini. Secara tidak tahu diri mereka mendapat gelar seperti itu padahal banyak orang-orang yang banyak perjuangan untuk mendapatkan gelar sarjana. Mereka yang menggunakan cara instan menurut saya sangat tidak tahu diri. Seharunya mereka mencoba usaha lebih lagi untuk mendapatkan gelar.
Saat ini gelar seolah bukanlah lambang dari kompetensi yang dimiliki. Banyak orang-orang berduit yang mendapat gelar dengan mudah dan digunakan hanya untuk pamer sehingga dipandang menjadi seorang yang berintelektual, padahal sesungguhnya nol besar! Sedangkan orang-orang yang susah payah mengejar gelarnya dengan cara halal dan berkompetensi justru malah sulit. Padahal sesungguhnya mereka lebih pantas mendapat gelar itu dari pada orang-orang tak berkompeten yg memasang gelar didepan atau belakang namanya tanpa mengenal tempat hanya untuk mendapatkan sanjungan.(Zikri S.R-P.IPS B 2014)
BalasHapusNadea Uzmah
BalasHapusP.IPS B 2014
Sangat disayangkan, negeri ini sudah rusak. Dimana pendidikan, yang berperan penting untuk pembangunan negara dan kesejahteraan negara disalahgunakan oleh beberapa orang yang hanya memikirkan gengsinya. Mereka berbondong-bondong mengejar gelar dengan cara instan. Untuk apa gelar jika tidak menghasilkan tenaga yang profesional? Bukannya menghasilkan para wakil rakyat yang profesional dan amanah, malah menghasilkan para koruptor. Sungguh memprihatinkan
Assalamualaikum pak
BalasHapusSaya Ma'mun Raka Arief
P.IPS A'14
Biasa itu pak, para pejabat kan senengnya pamer-pamer. Semua hal yang baru didapat pasti dipamer-pamerkan. Uang adalah segalanya buat mereka, instan adalah jalan terbaik ditengah so' kesibukannya. Mereka tidak sadar bahwa itu semua hanya titipan dari penciptanya.
Terimakasih pak
Noviana Winarsih P.IPS B 2014
BalasHapusMenurut saya, artikel Bapak yang satu ini mencerminkan keadaan yang ada pada saat sekarang ini dimana gelar dan jabatan tak lagi mencerminkan pribadi yang memiliki pengetahuan dan nalar yang tinggi. Gelar dan jabatan dijadikan sebagai ajang pamer belaka untuk mengukuhkan diri sebagai yang "terbaik" daripada yang lainnya. Padahal tidak semua dari gelar itu didapat secara murni, melainkan didapat dengan cara "menembak".
Saya setuju dengan Bapak yang mengemukakan bahwa gelar dan jabatan harus digunakan sesuai dengan tempatnya karena seseorang harus bisa menempatkan dan menyesuaikan diri dimanapun ia berada.
Dian Halimatussa'diyah P.IPS B 2014. Menurut saya ya memang orang-orang mendapatkan gelar hanya untuk terkenal, menyandang jabatan tinggi, meninggikan harta dan martabat dirinya, namun tidak dipergunakan untuk hal-hal yang mendidik. Seperti halnya yang ada dicerita tersebut orang yang bergelar profesor doktor saja sikapnya sama dengan orang kampung yang baru pertama naik pesawat. Karena itu banyak orang-orang yang mengandalkan gelar hanya untuk terkenal, namun mereka tidak malu dengan perilakunya yang sama sekali tidak sesuai dengan gelar yang ada didepan atau belakang namanya.
BalasHapusNAMA : Yulia Citra
BalasHapusKELAS : P.IPS B2014
Kebanyakan dari kita lebih bangga memiliki banyak gelar tanpa dibarengi dengan kualitas dari diri kita. Seharusnya kita bercermin dari negara lain yang lebih mengutamakan keahlian mereka dan menyampingkan gelar panjang di nama mereka. Bukankah dengan banyak gelar akan banyak pula orang lain yang mengoreksi kita tanpa kita ketahui. Seharusnya koreksi dari orang lain itu kita jadikan sebagai motivasi agar kita dapat menyesuaikan antara gelar dan keahlian tidak berat sebelah.
Saat ini telah berhembus kabar bahwa Indonesia akan memasuki era pasar bebas, dimana akses warga asing untuk bekerja dan membangun lapangan kerja di Indonesia akan mudah terjadi. Disinilah seharusnya keprihatinan pemerintah agar lebih ketat menanggapi kualitas SDM nya. Seharusnya untuk mengahadapi era pasar bebas tersebut, mulai saat ini pemerintah harus lebih meningkatkan mutu pendidikan SDM di Indonesia, menghapus akses curang untuk mendapat gelar secara instan dan melatih SDM sesuai dengan bakat dan minat. Sehingga saat kita memasuki era pasar bebas tersebut, kualitas SDM kita dapat sebanding dengan kualitas SDM warga asing. Serta antara gelar dan keahlian tadi seimbang.
Namun, pada kenyataannya lebih bermanfaat orang yang tidak memiliki gelar namun memiliki keahlian dibanding orang yang memiliki gelar namun keahlian yang dimiliki nihil.
Yumna Adzillah
BalasHapusP.IPS B 2014
4915144089
Saya pernah mendengar sesorang berkata 'ilmu tanpa iman gak ada gunanya'. Mungkin disinilah bukti dari perkataan orang itu. Setinggi apapun ilmu yang dimiliki seseorang, jika hanya untuk mendapat gelar yang tidak sesuai dan disalahgunakan, maka ilmu dan gelar yang diraihnya akan sia2 dan tidak berguna bagi banyak orang. Mungkin iman yang dimaksud adalah komitmen yang kuat untuk tidak menyalahgunakan ilmu dan gelar yang telah diraih orang itu.
Sebagian masyarakat sudah mengerti tentang pentingnya gelar dan apa tanggung jawab si penyandang gelar itu. Banyak juga dari mereka yang percaya kepada orang-orang yang memiliki gelar yang banyak, bahkan ada yang menjadi pendukung fanatik. Jika masyarakat tahu bahwa si pemilik gelar itu meraih gelarnya dengan cara yang salah, atau menyalahgunakan gelarnya untuk kepentingan yang sifatnya tidak bermanfaat atau malah merugikan banyak orang, maka sudah tidak diragukan lagi akan banyak masyarakat yang marah dan kecewa karena merasa ditipu dan dibodohi. Disatu sisi, akan semakin banyak juga calon-calon penipu yang muncul karena menganggap si pemilik gelar itu sebagai contoh.
Hal yang mengherankan adalah bagaimana seseorang bisa sangat bangga dan sombong dengan gelar yang didapat, padahal belum tentu itu adalah hasil kerja kerasnya dan dipergunakan dengan baik?
Nama Windarti
BalasHapusJurusan PIPS B 2014
Praktik jual beli ijasah disebabkan karena mahalnya biaya pendidikan tinggi di indonesia dan jalan pintas menjadi pilihan sebagian orang, seolah-olah gelar sudah menjadi tujuan akhir, bukan sebagai langkah awal untuk mengembangkan diri berikutnya. Hal tersebut bisa membuat mental masyarakat menjadi bobrok. Jika kejadian ini tetap terjadi, tak heran korupsi merajalela. Lantas bagaimana upaya dan solusi untuk mengatasi maraknya kasus jual beli ijazah tersebut??
Nama : Fakhri Rizqi Ekaputera
BalasHapusKelas : P.IPS 2014 B
No.reg : 4915144088
Saya setuju dengan tulisan bapak yang berjudul "GELAR DAN SANDAL JEPIT". Saat ini banyak orang yang menginginkan gelar tapi mereka melakukannya dengan cara yang salah hanya untuk mendapatkan gelar tersebut. Mereka tidak peduli dengan baik tidaknya perilaku yang mereka lakukan.
Tulisan anda memotivasi saya untuk mendapat gelar melalui cara yang benar. Karena saya tidak mau menjadi salah satu dari mereka yang mendapatkan gelar dengan cara yang salah atau yang mempergunakan gelarnya dengan salah.
Reza Priyantama
BalasHapusP.IPS B 2014
4115144105
Banyak orang yang ingin medapatkan apa yang ia inginkan dengan cara yang instan layaknya mie goreng. Mereka yang berduitlah yang melakukan cara kotor seperti itu. Mereka tidak ingin ribet dan berlama-lama mendapatkan gelar yang mereka inginkan, mereka hanya membayar uang yang besar dan mengikuti proses mendapatkan gelar dengan cara yang asal-asalan.
Padahal walaupun namanya mie instan, kita perlu memasaknya dahulu sampai matang, merebus air sampai mendidih baru mie siap disajikan. Seandainya orang-orang yang bapak maksud di dalam tulisan bapak tersebut berjuang keras dalam proses mendapatkan gelar,mungkin saja mereka akan menjadi orang yang sangat berguna di dalam masyarakat. Gelar itu merupakan hasil dari kerja keras, ada usaha ada hasil.
Rijalul Fahmi
BalasHapus4915145529
P.IPS B 2014
assalamualaikum wr wb
saya ingin berkomentar dengantulisan bapa, memang benar sekali yang dikatakan bapa gelar sarjana, magister, bahkan doktor mudah sekali didapatkan mereka yang punya banyak uang bisa beli gelar gelar itu dengan mudah tanpa harus menempuh perkuliahan, padahal mereka yang membeli gelar-gelar tersebut adalah pejabat-pejabat yang ingin kenaikan pangkat, masalahnya mereka ini kan pejabat negara pemimpin kita bagaimana mereka bisa berkerja dan memimpin rakyat kalau gelar yang mereka dapat adalah gelar yang mereka beli, yang pasti gelar tersebut tak ada ilmunya, percuma saja kalau gelar yang banyak namun tak ada ilmunya bagaimana nasib bangsa ini kalau misalkan semua petinggi kita berpendidikan tinggi namun gelar kependidikannya itu gelar yang mereka beli, ini harus ada peran dari instansi terkait seperti perguruan tinggi yang harus berani tidak mudahnya memberikan gelar-gelar tersebut kepada orang yang tidak memiliki peran dalam kependidikan dan pengabdian kepada masyarakat apalagi melakukan praktek jual beli gelar kepada orang yang memiliki uang banyak.
wasalamualaikum wr wb
Ass. Saya Syafrida Dea dari P.IPS A
BalasHapusSaya setuju dengan tulisan bapak, karena sekarang banyak orang yang mendapatkan gelar secara instan hanya untuk keeksistensiannya dan kegengsiannya. Karena pandangan orang awam sekarang orang hebat itu adalah orang yang memiliki gelar yang banyak seperti Prof, Ir, DR dll. Padahal orang yang memiliki gelar yang sangat banyak belum tentu kemampuan dan potensinya sangat tinggi. Seperti pejabat sekarang, pendidikan mereka memang sangat tinggi dengan gelar yang banyak tetapi perilaku mereka seperti orang yang tidak berpendidikan. karena kemampuan yang mereka raih tidak diimbangi dengan keimanan yang kuat. sehingga gelar yang mereka raih berubah menjadi "tersangka" karena perbuatan keji mereka.
Terimakasih
gelar juga djadikan untuk mengincar suatu jabatan, sebagai contoh seorang yang bergelar S1 menjadi supir busway. Maka banyak orang mencari cara untuk mendapatkan gelar S2 dan S3 secara instan demi mendapatkan jabatan yang lebih tinggi dari supir busway. Mengambil satu lagi contoh, seorang pegacara, Farhat Abbas, kenapa seorang pengacara memakai jasa juru bicara? untuk apa dia menjadi pengacara kalau tidak bisa berbicara di depan umum yang apalagi itu tentang masalahnya sendiri. Dimana ilmunya? Hasil belajar sampai menjadi pengacara? Pikirkanlah hal itu.
BalasHapusArif Akbar
4915144102
PIPS B 2014
Assalamua'laikum wr,wb, Pak Nusa.
BalasHapusMengenai artikel yang satu ini lagi lagi saya setuju dengan semua pendapat Bapak.
Lebih baik orang yg memiliki gelar sedikit tetapi dimanfaatkan dengan sikap yg terdidik, karena sejatinya sikap yg baik lebih diberarti utk diri dan dalam menjalani kehidupan di masyarakat nanti. Daripada orang yg memiliki gelar banyak tetapi dimanfaatkan hanya untuk pemuas diri sesaat yang justru dilakukan dengan sikap yang dapat merugikan orang banyak.
Karena seharusnya orang yg berpendidikan memiliki sikap yg terdidik, dan hanya manusia merugi yg pengetahuan nya terdidik namun memiliki sikap yang perlu dididik
Terimakasih, wassalamua'laikum, wr,wb.
Afda Fauziyah / 4915142818 / IPS A 2014
Nama : Firaas Azizah
BalasHapusKelas : P.Ips A
Kode : 4915141031
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Saya setuju dengan pendapat bapak, bahwa gelar hanya sebagai atribut agar seseorang diakui sebagai seorang yang berpendidikan padahal perilaku mereka banyak yang tidak sesuai dengan gelar mereka. Semakin tinggi gelar yang mereka peroleh dan semakin banyak pengeluaran uang yang mereka keluarkan untuk bisa mendapatkan gelar lebih tinggi maka, semakin tinggi pula jabatan yang mereka dapatkan padahal banyak diantara mereka yang mendapatakan gelar tidak melalui proses tetapi dengan uang mereka bisa mendapatkan gelar itu secara instan. Padahal masih banyak para gelar tertinggi yang mendapatkan gelar tersebut secara murni tetapi di Indonesia, mereka terasingkan diakibatkan adanya praktek-praktek menyuap untuk bisa mendapatkan kekuasaan tertinggi. Semakin banyak penguasa yang beridentitas gelar instan maka, negara ini akan semakin hancur karena tidak adanya pengetahuan yang mereka miliki hanya uang yang membuat mereka bisa mendapatkan kekuasaan tinggi.
Kesalahan yang terjadi dinegeri ini adalah memandang dan menghormati orang yang memiliki gelar,sehingga banyak orang berduit yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan gelar instan. Dan juga tuntutan perkembangan zaman yang mengharuskan tenaga kerja terdidik bergelar setinggi-tingginya. Tetapi banyak orang indonesia yang malas dan inginnya serba instan.
BalasHapusHaryani
P.IPS A 2014
4915141015
Sangat licik sekali jika memperoleh gelar sarjana, magister, dan doktor dengan cara cepat. Hanya dengan membeli gelar mereka para pemilik uang banyak bisa naik jabatan dengan mudah. Itu sangat curang sekali, mereka tidak berpikir bahwa orang lain yang mau dapat gelar itu harus membuat skripsi dan tesis dengan susah payah dan kerja keras. Sedangkan mereka dengan belajar sistem kebut bisa langsung dapat gelar.
BalasHapusSungguh orang yang mendapat gelar dengan cara instan itu merugi. Karena jika mereka mendapatkan sesuatu dengan mudah, maka mereka akan kehilangan sesuatu dengan mudahnya.
Triyani Ambar Sari P.IPS B 2014
Nama: Kun Khaerina Hapsari
BalasHapusKelas : P.IPS A 2014
4915141047
Telah menjadi rahasia umum, bahwa saat ini masyarakat lebih suka hal yg instan dibandingkan mengikuti prosesnya terlebih dahulu. Padahal melalui proses, kita bisa mengetahui dan merasakan, bagaimana beratnya mendapatkan gelar tersebut. Mental dan moral kita pun ikut terlatih. Sehingga, kita tidak akan semena-mena dengan gelar yg diperoleh. Buat apa mendapatkan gelar berentetan tetapi etika tidak dipergunakan dalam bermasyarakat? Apa dengan gelar tersebut bisa berkuasa dgn leluasa? TIDAK. diatas langit masih ada langit.
Nama: hesti mardiana
BalasHapusKelas: p.ips A 2014
No reg: 4915141039
Saya sependapat dengan bapak bahwa saat ini gelar hanyalah sebagai atribut saja. Banyak pejabat-pejabat yang memiliki gelar tetapi perulaku mereka tidak sebanding dengan gelar-gelar yang dimilikinya. Wajar jika itu terjadi karena nereka mendapatkan gelarnya dengan cara yang instan. Mereka memiliki gelar hanya untuk menunjukkan eksistensinya dan mereka adalah orang-orang yang berduit yang bisa mendapatkan apa saja yang mereka inginkan termasuk gelar sebagai professor ataupun doktor.
Achamad Ramadhan.
BalasHapusSaya baru menetahui setelah membaca tulisan bapak bahwa seseorang dapat memperloleh gelar sarjana dengan instan. Seharusnya gelar sarjana di peroleh sesuai dengan prosedur-prosedur yang berlaku. Saya sebagai mahasiswa harus berjuang keras demi mendapatkan gelar sarjana, tetapi di satu sisi ada oknum-oknum yang hanya dengan membayar sejumlah uang dapat memperoleh gelar sarjana dengan mudah. Saya berharap praktik-praktik kecurangan tersebut di negri ini dapat di hapuskan.