Minggu, 05 Oktober 2014

MELONGOK MERAPI DARI KETINGGIAN

Meskipun Malioboro, Borobudur, dan Keraton Kesultanan menjadi pusat kunjungan, banyak disambangi para turis, dan menjadi semacam pusat perhatian dan kesenangan. Namun, pusat kendali Jogjakarta adalah Gunung Merapi. Dinamika Jogjakarta sangat ditentukan oleh polah Merapi. Jogjakarta adalah Merapi. Merapi adalah Jogjakarta.

Bagi kebanyakan orang Jogjakarta, Merapi bukanlah sekadar gunung. Merapi menjadi ruh geliat Jogjakarta. Bila Merapi diam dalam tapa samadi, Jogjakarta menikmati kehidupan normal yang indah dalam keharmonisan. Namun, bila Merapi mulai batuk, Jogjakarta waspada. Menanti apakah Merapi akan muntah. Bila akhirnya Merapi muntah, Jogjakarta akan repot dan berkabung.

Jogjakarta hidup dalam denyut nafas Merapi. Merapi sungguh telah mengajarkan pada orang Jogjakarta untuk hidup berdampingan dengan bencana dan penderitaan. Bahwa bencana dan penderitaan adalah bagian yang memang ada dalam hidup. Bencana dan penderitaan sepenuhnya merupakan keniscayaan. Namun, bencana dan penderitaan bagaimanapun parah dan mengerikannya adalah bagian dari kesuburan dan kebahagiaan yang lebih panjang dan awet. Merapi telah mengajarkan pada banyak orang Jogjakarta bahwa berkah dan bencana adalah satu dan sama.

Cuaca cerah, tampaknya pilot sengaja terbang tak jauh dari Merapi. Sungguh indah dan mempesona. Pada ujungnya ada semacam tungku yang terus mengeluarkan asap. Semacam pendiangan bagi temperatur dingin yang selalu meyelimuti Merapi. Ke bawah sedikit, yang membentuk seperti kubah, terlihat warna yang berbeda. Inilah bagian yang meledak dan pecah bila Merapi erupsi. Tepat di bawahnya, hamparan hijau membentang sangat luas. Dari kejauhan mirip orang yang botak tepat di tengah kepala yang masih ditumbuhi rambut tebal di sekelilingnya.

Agaknya semua lahan yang kemarin mengering dan menghitam digerus bara Merapi yang tumpah ruah, telah mulai hijau. Inilah yang terlihat dari jendela pesawat. Pada ketinggian sepertiga dari kaki Merapi tampak barisan rumah dengan warna agak terang keputihan di kelilingi warna hijau yang lebih luas. Terlihat ada perbedaan dibandingkan dengan sebelum erupsi terakhir yang sangat parah limpahan magma panasnya.

Sebelum erupsi, deretan rumah itu lebih tinggi dari sekarang, jumlahnya pastilah lebih banyak. Tampaknya erupsi terakhir telah membuat sejumlah wilayah tak lagi layak dan aman untuk tetap ditempati. Memang erupsi terakhir telah dengan sangat luar biasa menggerus banyak bagian yang tadinya dihuni oleh penduduk yang menikmati kesuburan Merapi. Memang begitulah siklus hidup penduduk yang mendiami gunung berapi. Menikmati kesuburan dan kemarahan si gunung secara bergantian.

Dalam cerah cuaca, Merapi tampak berdiri kokoh, menjulang tinggi mencapai sejumput awan yang berkejaran. Sangat terasa betapa kecil manusia. Dari ketinggian ini pastilah Borobudur, Keraton Kesultanan dan Malioboro sama sekali tak terlihat. Inilah perbandingan nyata antara Merapi dan ketiga karya cipta manusia itu.

Alam bagaimana pun selalu lebih perkasa dan memiliki potensi yang besar untuk memghancurkan manusia dan karya ciptanya. Karena itu bukan hal yang mengherankan bila tidak sedikit orang Jogja yang menghayati, bukan sekadar mengetahui secara kognitif, apa makna Merapi, lebih dari sekadar gunung secara fisik.

Pendekatan keilmuan yang bersifat santifik mungkin bisa menjelaskan banyak hal tentang Merapi. Meskipun bukan semua hal. Dalam pandangan keilmuan, Merapi dan apa yang terjadi di dalam perutnya merupakan proses-proses alam yang sebagian bisa dipahami dan diukur dengan peralatan canggih yang kemudian menjadi dasar untuk membuat beragam prediksi tentang polah Merapi. Walaupun prediksi itu tidak selalu tepat.

Namun, bagi sebagian orang Jogja, polah Merapi tidak sepenuhnya merupakan proses alam yang terukur. Ada interaksi antara perilaku manusia yang ada di sekitar Merapi, Jogjakarta, bahkan Jawa dan Indonesia dengan polah Merapi. Bentuk interaksi itu dihayati sebagai hubungan antar makhluk, bukan hubungan manusia dengan benda mati. Merapi itu bukan benda mati seperti batu. Ia hidup, bertumbuh, dan mereaksi perilaku manusia. Bila manusia menjaga perilakunya, menghormati alam sebagai bagian tak terpisahkan dari hidup dan kehidupannya, maka alam pun akan memberinya lebih banyak perlindungan dan keuntungan. Memang interaksi ini lebih bersifat mitis mitologis daripada rasional logis. Sesuatu yang bersifat lebih misteri daripada argumentasi. Sesuatu yang dihayati melalui rasa dan intuisi tinimbang pemahaman kognisi.

Modernitas memang telah menggerus cara penghayatan seperti itu dengan penjelasan rasional, logis, empiris. Ada perbedaan bahkan pemisahan antara alam dan manusia. Inilah yang menjadi nalar eksplorasi yang berujung pada ekspoitasi. Alam sungguh dihayati sebagai benda mati yang bisa dan biasa diperlakukan seenaknya. Cara pandang dan penghayatan yang ditanamkan modernitas inilah yang menjadi akar penghancuran alam selama abad-abad yang panjang.

Modernitas yang telah memberi pada manusia lebih banyak anomali dan luka daripada kemajuan, tampaknya telah mulai dilampaui. Dalam pemikiran pasca modernitas yang lebih dikenal dengan posmoderen, pandangan tradisional yang sarat dengan mitologi kembali mendapat tempat. Dalam konteks inilah lahir sejumlah teori seperti teori dunia kecil yang menunjuktegaskan ketergantungan dan interaksi niscaya antara manusia dan alam, dan pandangan bahwa alam dan manusia merupakan kesatuan organis, bagai satu tubuh yang hanya bisa dibedakan tetapi tak mungkin dipisahkan.

Posmo menegaskan pandangan ini karena hakikinya penghayatan mitis dan pemikiran logis, mitos dan logos bukanlah dua hal yang terpisah apalagi bertentangan, tetapi suatu cara pemahaman dan penghayatan yang meskipun berbeda, namun bisa saling memperkaya dan melengkapi, bahkan bagai dua sisi dari mata uang yang sama.

Dalam tautan inilah pandangan sebagian orang Jogja yang menghayati bahwa Merapi adalah bagian dari hidup mereka dan terdapat interaksi sesama makhluk antara mereka dan Merapi, bukanlah sesuatu yang aneh dan mesti diributkan. Ini adalah cara manusia membangun pemahaman dan menjalani penghayatan hidup yang ditandai oleh saling menghormati dalam keselarasan. Tak ada maksud untuk menuhankan atau meninggikan alam sebagai pengganti Tuhan. Merapi lebih dipahami dan dihayati sebagai tanda keberadaan Tuhan. Dalam kitab suci pun ditegaskan bahwa wahyu Tuhan bisa berupa kitab suci dan alam yang terbentang untuk dipelajari dan dimaknai.

ALAM ADALAH TANDA KEBERADAAN TUHAN.

7 komentar:

  1. Fitri Rizka Maulia (4915141028)
    P.IPS A 2014.
    Saya sangat suka dengan kegiatan tafakkur alam, tafakkur itu berarti berfikir maka tafakkur alam itu berfikir tentang alam, menghayati alam, lebih dekat dengan alam. Kegiatan itu membuat saya sadar betapa besarnya kuasa Allah, terbukti dengan ciptaan-ciptaannya yang Subhanallah Indah luar biasa. sama seperti orang-orang jogjakarta yang senantiasa menghayati merapi dan tetap tinggal disekitarnya meski telah di bombardir dengan bencana meletusnya merapi yang meluluhlantahkan tempat tinggalnya, tapi jika telah terbiasa mereka tidak akan pindah. mereka akan tetap menghayati merapi. Hal tersebut dapat membuat kita lebih menghargai hidup,dan dapat membuat kita lebih dalam bersyukur pada sang pencipta. karena hubungan manusia itu terbagi menjadi tiga, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam.

    BalasHapus
  2. Anggun trihapsari
    4915142820
    P.IPS B / 2014


    Membaca tulisan bapak membuat saya penasaran akan Jogjakarta dan Gunung Merapi itu sendiri. Saya belum pernah kesana, dan tulisan bapak membuat saya membayangkan keindahan Gunung Merapi dari ketinggian. Subhanallah.
    Cara kita percaya bahwa Tuhan itu benar keberadaannya ialah dengan melihat bukti kekuasaannya, yaitu alam semesta beserta isinya. Tuhan sudah begitu amat baik dengan menciptakan bumi yang sudah tersedia apapun didalamnya. oleh karena itu, baiknya kita menjaga alam dan tidak merusaknya.

    BalasHapus
  3. Saya pernah bermimpi suatu saat akan mendaki gunung Merapi, gunung yang tampaknya segan untuk di sapa. Pengalaman saya ke Jogjakarta memang tak sebanding dengan Bapak. Terhitung sampai sekarang, hanya dua kali saya menginjakkan kaki di tanah Sri Sultan X itu.
    Saat pertama kali ke Jogjakarta sekitar tahun 2012 yang lalu, saya menjelajah Jogjakarta bersama seorang teman. Mulai dari situs-situs yang memang sudah terkenal seperti, Malioboro, Keraton Jogja, bahkan sampai alun-alun kidulnya. Namun, ada satu pengalaman yang sampai sekarang tetap membekas dihati. Saya memberanikan diri untuk mencoba trip yang lebih jauh, yaitu ke Merapi. Ya, gunung Merapi. Berkat kebaikan seorang teman, saya bisa melihat Merapi lebih dekat. Saya menelusuri Kaliurang, tempat dimana aliran lahar Merapi lewat. Dan ini tak terlihat seperti aliran sungai, lebih mirip seperti pusat penambangan pasir. Tak ada air sungainya, semua tertutup oleh material vulkanik Merapi. Dinding-dinding sungai kini seperti di zaman purba, tingginya puluhan meter dengan ditutupi pasir dan tumbuh-tumbuhan merambat, bahkan ada pohon besar yang tumbuh disana. Takjub sekali. Saya hanya tahu kondisi Merapi pasca erupsi di televisi, namun sekarang saya bisa merasakan dan melihat secara jelas sisa-sisa aliran laharnya. Eksotis.
    Lalu saya melanjutkan perjalanan ke arah barat setelah sebelumnya melewati jembatan kecil ditengah sungai Kaliurang. Disana mulai tampak Merapi yang gagah berdiri. Diselimuti kabut pagi yang cukup tebal, namun tetap indah dan jelas terlihat. Saya mulai mendekat, melewati desa-desa yang luluh lantah ditinggal penghuninya karna erupsi. Banyak pohon salak liar di kanan-kiri jalan yang sempit. Saat itu, saya menuju desa Quraan, desa dengan jarak sekitar 3-4km dari puncak gunung. Sangat dekat bukan? Jalanan yang semakin menanjak, berkelok-kelok, tanjakan yang curam sepertinya bukan halangan. Lalu saya berhenti disebuah titik dimana tempat para korban erupsi berkumpul. Titik tempat evakuasi dini yang dilakukan oleh para relawan waktu itu. Kemudian saya hirup banyak-banyak udara bersih disana. Ah, rasanya saya seperti mereka waktu itu. Kalang kabut. Lari sana-sini. Mencari keluarga yang tertinggal karna belum dievakuasi, atau menangis mengasihani diri. Sungguh agung ciptaan Tuhan YME atas semesta beserta isinya yang tiada terkira.
    Kadang kita lupa kita ini siapa, terlalu sibuk di perkotaan dengan urusan masing-masing. Merasa dirinya paling “sanggup” dalam segala hal. Tapi kenyatannya, kita ini tidak lebih dari sekedar noktah hitam diantara tinggi menjulangnya gunung. Pada hakikatnya manusia diciptakan untuk berdampingan dengan alam, tanpa kompromi tanpa merusak.
    TITA NURMALA-P.IPS B 2014

    BalasHapus
  4. NAMA : YULIA CITRA
    KELAS : P.IPS B 2014

    Saya mendapatkan informasi baru yang secara langsung membuat saya lebih penasaran dengan Jogjakarta terutama dengan merapi nya. Walaupun pengalaman yang tertulis di blog bapak hanyalah sekedar melihat merapi dari ketinggian, namun secara tidak langsung melalui tulisan ini saya terbawa untuk berimajinasi seakan-akan saya berada di sana, menikmati indahnya alam pegunungan yang belum pernah saya rasakan. Setelah membaca blog ini dapat disimpulkan begitu menariknya ciptaan Tuhan yang seharusnya menyadarkan kita agar lebih menjaga dan merawatnya sehingga keindahan ini akan terus ada, serta alam yang indah ini akan terus dapat beriringan dengan kita sebagai penikmatnya.
    Tulisan ini tidak hanya sekedar berbagi pengalaman namun juga dapat menjadi info bahkan dorongan sehingga orang lain penasaran dan ingin mencoba langsung merasakan melihat ke elokan merapi. Jujur setelah membaca blog ini saya sangat antusias untuk melihat merapi lebih dekat, walaupun entah kapan akan kesampaian namun mulai saat ini saya telah memasukan ekspedisi mendaki merapi menjadi salah satu dari 100 mimpi saya. Saya harap bapak dapat lebih banyak lagi membuat tulisan tentang pengalaman bapak sehingga dapat memberi manfaat kepada orang lain yang belum tentu dapat merasakannya untuk mengenal keistimewaan ciptaan-ciptaan Tuhan lainnya selain Merapi, namun tulisan bapak akan lebih realistis bila bapak selipkan gambar agar pembaca lebih mudah mengenal keadaan yang bapak maksud sebagai keindahan

    BalasHapus
  5. Khilva Aini Humaedi
    4915142822
    P.IPS 2014
    saya suka melihat tulisan bapak yang ini. karena tulisan bapak berisi tentang keindahan alam yang telah diciptakan oleh tuhan kita.saya sangat ingin melihat gunung merapi dariketinggian, saya ingin melihat keindahan yang telah bapak paparkan dalam tulisan ini. itu adalah salahsatu bukti dari keagungan tuhan yang maha esa.

    BalasHapus
  6. Jogja tidak kalah dengan Bali, Jogja memang kota yang sangat indah dan akan selalu dirindukan. Orangnya yang ramah, makanannya yang khas dan beragam, serta tempat wisata yang membuatnya selalu ramai dikunjungi wisatawan dan menambah devisa negara. Merapi memang bagian dari jogja, walaupun ketika erupsi membuat warga jogja berkabung namun dibalik itu merapi membawa berkah yang amat banyak untuk semua bukan hanya warga jogja namun juga rakyat indonesia. Pasirnya yang melimpah, hasil perkebunannya yang segar, itu sebagian dari apa yang telah merapi berikan pada kita semua.
    4915142819-p.ips b 2014

    BalasHapus
  7. Setuju sekali sama artikel bapak, memang benar warga jogja dengan merapi adalah satu kesatuan yg berkesinambungan, oleh sebab itu merapi adalah interaksi antara manusia dan alam . Entah ini adalah kehidupan nyata dan real . Oleh karena itu alam adalag bagian kita dan kita adalah alam itu sendiri. Inilah kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Hidup merapi.... hidup warga jogja .....

    (Chun cun T.K )
    P.ips A
    4915141017

    BalasHapus

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd