Pemahaman empatis
sangat penting untuk membangun hubungan, strategi bagi pengambilan keputusan,
dan merumuskan solusi bagi beragam masalah. Bukan saja pada tingkat pribadi.
Terlebih pada tingkat pemerintah dan negara. Karena pemerintah dan negara
berkutat dengan urusan masyarakat banyak. Dengan demikian bila tidak tepat
merumuskan keputusan dam solusi, akibatnya benar-benar merugikan masyarakat
dalam jumlah yang sangat besar.
Dalam cara pandang
inilah kita bisa belajar dari kasus Waduk Kedung Ombo. Berikut ini diuraikan
laporan Elsam, khusus tentang kasus Waduk Kedung Ombo.
Proyek
Kedung Ombo dimulai tahun 1985, yang menuntut pembebasan lahan yang cukup luas
di daerah Kedung Ombo Jawa Tengah. Proyek yang dimaksudkan untuk meningkatkan
pengamanan dan pengendalian banjir di Jawa Tengah ini membutuhkan areal kurang
lebih 5.898 hektare, yang terdiri dari lahan 1.500 tanah perhutani, 730 sawah,
2.655 tanah tegalan, 985 hektare tanah pekarangan dan 30 hektare tanah kuburan.
Daerah
yang akan kena proyek ini meliputi beberapa desa di Kecamatan Kemusu, Boyolali.
Sebagian lahan yang harus dikosongkan juga berada di Kecamatan Miri dan Sumber
Lawang, Sragen. Selain itu, juga ada satu kecamatan di Kabupaten Grobogan yang
akan kena proyek ini. Semuanya berada di provinsi Jawa Tengah. Total ada 20
desa yang efektif bakal ditenggelamkan untuk pembangunan waduk ini.
Hasil
studi Elsam dan Lawyer Committee for Human Rights ini menemukan banyak kasus
pelanggaran HAM dalam pelaksanaan program tersebut. Dalam proyek waduk Kedung
Ombo, pelanggaran HAM yang ditemukan sebagai berikut: (1) Tak adanya musyawarah
yang dilakukan pemerintah dalam proses pembebasan lahan. Dalam penentuan harga,
Pemerintah secara sepihak menetapkan harga tanpa mendengar masukan dari
masyarakat, (2) Intimidasi dan teror terhadap warga yang tak bersedia menerima
ganti rugi serta tak mau mengikuti tawaran pemerintah untuk ikut program
transmigrasi. Warga yang bertahan ini diberi "label" pembangkang dan
dicap sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).
Laporan Elsam di
atas dengan sangat tegas menunjukkan bahwa rezim Orde Baru di bawah komando
Suharto bukan saja mengabaikan aspirasi dan hak-hak rakyat. Bahkan bertindak
lebih jauh dengan melakukan teror melibatkan aparat.
Liputan
6.com (15 September 2001) melaporkan teror masih berlanjut, Sebab, belakangan
ini, sejumlah warga kerap diteror untuk segera meninggalkan rumah mereka.
Seorang warga Paris Harjanto membenarkan aksi teror tersebut. Paris mengatakan,
aksi teror kepada warga sudah pada tahap meresahkan. Padahal, mereka telah
kehilangan tanah dan hidup serba kekurangan. Sedangkan, pemerintah tetap tak
memenuhi permintaan ganti rugi pembebasan tanah yang layak dari warga.
Rupanya
penderitaan rakyat tampaknya berlanjut. Dalam Detik Forum (13 April 2011) ada
tulisan berikut, Waduk Kedungombo dibangun tahun 1987 menggunakan utang Bank
Dunia US$ 156 juta. Sebanyak 37 desa di 3 kabupaten, Sragen, Grobogan, dan
Boyolali, ditenggelamkan untuk waduk ini.
Warga
protes. Uang ganti rugi lahan Rp 250 per meter sangat tidak manusiawi. Ismail,
Gubernur Jawa Tengah saat itu, diduga menyunat uang ganti rugi karena besaran
yang ditetapkan Menteri Dalam Negeri Rudini Rp 3.000 per meter.
Dua
puluh tiga tahun berlalu. Warga korban Waduk Kedungombo masih dibekap
kemiskinan. Kondisi rumah warga dan kandang sapi hampir sama. Reot, kusam, dan
pengap.
Jangan dikira
warga Kedung Ombo yang dipaksa transmigrasi lebih baik. Mereka pun menderita.
Republika On Line (13 November 2008) menulis,
Kehidupan
Warga Trans Bedol Desa Kedung Ombo Memprihatinkan
BENGKULU -- Sebagian Warga transmigran asal
Boyolali Jawa Tengah yang ikut program transmigrasi bedol desa akibat
pembangunan waduk Kedung Ombo dan ditransmigrasikan ke Kecamatan Lubuk Pinang
Muko-Muko, Bengkulu, sebagian hidup memprihatinkan.
Kordinator
Solidaritas Kemiskinan Masyarakat Kedung Ombo Bengkulu (SKMKOB), Purwasi Ahmad
Nur, Rabu, menyatakan, kondisi lahan tempat usaha mereka berupa tanah gambut
sangat menyulitkan warga untuk bertani, karena tanah tersebut dalam kondisi
basah dan bila ingin diolah harus dikeringkan terlebih dahulu dengan biaya
mahal.
Kini
warga Kedong Ombo hidup dengan kondisi seadanya. Harapan mereka untuk bisa
hidup layak seperti di daerah asal dengan ikut transmigrasi belum tergapai.
"Warga bekerja apa saja dengan kemauan keras asalkan hasil yang diterima
halal. Itulah yang dilakukan sekarang," ujarnya.
Sudah bisa
dipastikan bahwa pembangunan Waduk Kedung Ombo demi dan untuk kepentingan
masyarakat. Tetapi persoalannya adalah apakah layak melaksanakannya dengan cara
"belah bambu"? Jika kita membelah bambu, ada bagian yang ditarik ke
arah atas dan ada yang diinjak agar bambu bisa
terbelah. Artinya ada rakyat yang diuntungkan, dan ada rakyat yang
dirugikan.
Apakah pantas,
rakyat yang dirugikan dilanggar hak-haknya dan tidak didengar aspirasinya?
Bukankah semestinya mereka mendapat perhatian lebih dan tidak dirugikan? Mereka
yang menjadi korban seharusnya mendapatkan prioritas merasakan keuntungan dari
proyek tersebut. Bukan jadi korban berkali-kali dan berkepanjangan.
Jika proyek besar
itu dilaksanakan dengan pemahaman empatis, maka akan muncul solusi
menang-menang atau untung-untung, bukan untung -rugi dan menang-kalah. Pastilah
rakyat yang kalah dan rugi. Karena pemahan empatis membuka peluang untuk
perbincangan yang jujur, tidak manipulatif, dan perumusan kesepakatan yang
didasarkan pada ketulusan, pun bila ada yang harus berkorban.
Rakyat, di mana
dan kapan pun tidak pernah meminta banyak dan selalu rela berkorban lebih dulu.
Namun, janganlah karena sikap itu mereka terus menerus dikorbankan, dijadikan
tumbal kebijakan pembangunan dan pertumbuhan.
Dalam kasus Waduk
Kedung Ombo, rakyat kecil yang rela berkorban, bukan saja tidak diperhatikan
haknya, diabaikan aspirasi dan suara nuraninya, juga dibiarkan menderita, boleh
jadi sepanjang usianya. Sungguh ini memberi pelajaran,
zharotul zanah
BalasHapusP'IPS B 2014
4915142804
mereka menumbangkan hak rakyat. mereka tidak mengenal lagi rakyat yang sesungguhnya butuh perlindungan. mereka hanya mementingkan kepentingan pribadi dibanding kepentingan rakyat. mereka seakan berbuat paling benar.
Padahal jika yang mereka bangun adalah untuk rakyat, seharusnya mereka juga memperhatikan hak rakyat. kehadiran pemerintah jika menurt saya adalah untuk melindungi kepentingan rakyat sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD1945. jika seperti ini maka mereka tidak lagi menjalankan perannya. mereka hanya menjadikan kekuasaan sabagai alat untuk menguasai negara.
saran saya, jadilah negarawan yang perduli hak rakyat. mereka adalah mahluk Allah. jika Allah saja selalu memberikan hak hambanya, mengapa kita mengabaikannya. mereka ada di dalam NKRI juga butuh perlindungan bukan untuk ditindas seperti ini.
trimakasih pa, hanya ini yang bisa saya berikan tanggapan.
Nama : Sartika Oktaviani
BalasHapusNim : 4915127073
P.IPS 2012 B
Pemahaman empatis sangat dibutuhkan dalam pengambilan keputusan, empatis merupakan dimana kita sebagai seorang individu mengetahui mendalam permasalahannya bahkan ikut terlibat atau andil langsung dalam permasalahan tersebut.
Ketidak pahaman akan masalah dan tidak berempati dapat menimbutlkan pengambilan keputusan yang salah bahkan bisa merugikan orang lai, seperti contoh kasus yang sudah dipaparkan mengenai proyek waduk kedung ombo proyek tersebut terdapat beberapa pelanggaran HAM yang telah dilakukan dimulai dari suara rakyat yang diabaikan hingga warga dieksekusi paksa dan ketidak layakan lokasi transmigrasi yang diarahkan pemerintah hak mereka terampas.
Kurangnya pemehaman empatis dari pemerintah dalam kasus ini membuat pengambilan keputusan yang di pilih kurang tepat dan merugikan serta mencederai hak rakyat.
Penyelesaian suatu konflik memerlukan penentuan keputusan yang jelas dan efektif. Pembuatan keputusan adalah tugas manajemen. Keputusan yang salah atau tergesa-gesa akan menimbulkan konflik baru. Ditambah lagi, dengan laju kegiatan bisnis modern yang ditandai langkah serba cepat cenderung menghasilkan konflik.
BalasHapusTanggung jawab yang dipikul bersama meningkatkan rasa memiliki terhadap sesuatu. Kesempatan untuk berpartisipasi meningkatkan kemungkinan individu berusaha mencegah datangnya konflik yang lebih besar. Kita dapat juga membagi tanggung jawab kepemimpinan dengan mengharapkan anggota tim dalam situasi tertentu berpikir seperti manajer. Minta kepada mereka untuk memberikan respon yang kreatif untuk saat-saat tertentu guna meningkatkan kerjasama daripada membuat keputusan sendiri. Tanggung jawab yang terbagi itu penting untuk membuat suatu titik yang mana menciptakan empati bahwa tidak ada seorang pun yang harus memecahkan masalah sendiri dan setiap orang memiliki tanggung jawab untuk memecahkan isu yang terjadi.