Selasa, 30 Desember 2014

AIR ASIA HILANG KONTAK: MUSIBAH DAN KEMANUSIAAN KITA

Heboh. Semua pemberitaan terfokus hanya pada satu berita. Air Asia rute Surabaya-Singapura hilang kontak. Seperti biasa, macam-macam orang dengan beragam latar belakang diwawancarai. Berkembang penjelasan yang sangat spekulatif tentang penyebab hilangnya kontak dan berbagai kemungkinan yang menimpa Air Asia yang membawa penumpang dari berbagai negara.

Basarnas dibantu TNI dan beragam kekuatan lain melakukan pencarian. Tawaran bantuan untuk ikut mencari datang dari seluruh dunia. Pastilah tidak mudah mencari pesawat yang hilang kontak. Pesawat Malaysia yang dulu hilang kontak, sampai hari ini tidak diketahui keberadaannya. Pesawat itu amat kecil dibandingkan samodra yang sangat luas. Seperti sebutir pasir di pantai atau setetes air dalam samodra. Karena itu sangat tidak mudah mencaritemukan pesawat yang hilang di samodra luas dan dalam.

Musibah memang bisa datang kapan saja, di mana saja, dan menimpa siapa saja, tanpa pandang bulu atau tebang pilih. Penyebab musibah pun sangat tidak terbatas. Bisa berupa pesawat hilang kontak dan kemudian tidak diketemukan lagi, tanah longsor, angin puting beliung, kebakaran, erupsi gunung berapi , banjir, dan beragam sebab lain.

Musibah merupakan kejadian yang secara nyata menunjukkan bahwa manusia tidak dapat menentukan arah, tujuan, dan akhir hidupnya. Musibah menohok manusia. Membenturkan manusia pada realitas paling dalam betapa lemah dan rentan manusia itu. Manusia bisa dan boleh merencanakan apa saja. Namun, tak pernah ia secara pasti dan mandiri menentukan apa yang akan terjadi akhirnya.

Berhadapan dengan musibah, manusia tak lebih hanya serpihan tulang, onggokan daging yang sama sekali tak berdaya. Bila berbenturan dengan musibah, manusia mirip kaleng bekas minuman ringan yang dilindas traktor, rapuh, tak berdaya dan mudah remek. Hancur berantakan.

Setiap kali musibah meluluhlantakkan manusia, ia seperti memberi isyarat sangat keras bahwa hidup manusia seperti debu dalam angin, atau botol plastik dalam gelombang samodra raya. Manusia adalah bagian dari alam, yang meskipun diberi akal untuk mengatasi alam, mengatasi beragam keterbatasannya, antara lain melalui ilmu dan teknologi. Tetaplah manusia itu makhluk tak berdaya.

Dengan segala kelebihan yang dimilikinya, manusia selalu kalah, dikalahkan, diremuk redam oleh musibah. Musibah menempatkan manusia dalam situasi batas. Situasi yang tak terbantahkan, situasi yang menegaskan bahwa manusia sangat terbatas dan lemah, sangat lemah.

Oleh karena semua manusia, tanpa terkecuali, pernah dan sangat potensial menghadapi dan diremukkan musibah, persoalannya adalah bagaimana sikap kita menghadapinya. Musibah bersifat niscaya, pasti dan tak terelakkan. Cara kita meresponnya menjadi sangat penting dan sekaligus menunjukkan siapa kita sesungguhnya.

Sebagian manusia suka berandai-andai saat musibah melibasnya. Bila saja anak saya tidak naik Air Asia, seandainya ia berangkat bukan pada hari itu, jika ia tetap di sini bersama saya, ia tidak akan terkena musibah ini. Pada tingkat tertentu cara fikir seperti ini bisa dianggap wajar sebagai mekanisme untuk mengurangi beban yang sangat berat terasa.

Namun, bila terus saja berandai-andai dan tak mau berdamai dengan kenyataan bahwa musibah itu telah terjadi dan merenggut orang yang dicintai, boleh jadi musibah itu akan menyebabkan lebih banyak korban. Semacam efek domino. Korban akan terus bertambah. Karena ketidakmampuan atau ketidakmauan menerima kenyataan yang pahit dan sangat melukai, seringkali bisa membuat luka bertambah parah. Seperti luka di atas luka. Luka yang diasamgarami. Pedih, perih, nyeri dan bisa melumpuhkan.

Ada pula yang terus mempertanyakan. Mengapa anakku yang menjadi korban? Mengapa bukan aku saja? Bukankah ia masih sangat muda dan masih memiliki lebih banyak kesempatan dan harapan dibandingkan aku yang telah renta dan tak lagi banyak guna? Mengapa dia, dia yang begitu baik, yang telah memberikan hidupnya untuk kepentingan banyak orang, mengapa bukan orang-orang jahat yang masih berkeliaran di luar sana, yang hanya menimbulkan kesusahan banyak orang? Sungguh ini tidak adil!

Berhentilah menilai dari perspektif diri sendiri. Hati-hatilah menyikapi masa depan yang tak pernah kita ketahui apa isinya dan kejadian apa saja yang mungkin muncul di situ. Ingatlah, manusia tak pernah bisa tentukan segala hal. Ia lebih banyak ditentukan. Meski sakit dan amat pahit kita harus terima bahwa tak ada kebetulan dalam Catatan Langit. Percayalah, "mesin pencabut nyawa" tak pernah salah memilih. "Mesin" itu hanya menjalankan fungsinya secara mekanis, ia sudah diprogram oleh Programer yang pasti tak bisa khilaf.

Ingatlah, kita tak memiliki kemampuan seperti Nabi Khidir yang dengan pasti mengetahui apa yang akan terjadi pada masa depan. Karena itu Nabi Khidir menenggelamkan kapal, membunuh seorang anak, dan merehab rumah yang telah berantakan. Oleh sebab itu, meski sulit, lebih baik buka hati dan fikiran, meski air mata tak terbendung, rasakan dan hayati musibah ini secara positif.

Meskipun kita sangat mencintai siapa pun yang direnggut oleh musibah, mungkin dengan cara yang teramat tragis, Sang Maha Pecinta ternyata lebih cinta padanya. Karena itu ia berpulang ke rahmatNya. Orang yang kita cintai itu kembali ke rumah Bapa. Bukankah ramatNya yang kita kejar dan ingin dapatkan? Bukankah rumah Bapa adalah sebaik-baiknya rumah?

MESKI MUSIBAH MENYAKITKAN DAN SANGAT MELUKAI, NAMUN DAPAT MEMBUAT KITA LEBIH DEKAT PADA SANG MAHA PENENTU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd