Senin, 29 Desember 2014

ISIS, RADIKALISME, KORUPSI, DAN KITA


Isis semakin kejam, brutal dan menjijikkan. Mereka makin seenaknya membunuh orang. Tragisnya justru  makin menonjolkan citra bahwa mereka adalah pejuang Islam yang sesungguhnya. Hanya orang yang kerasukan iblis yang percaya bahwa ISIS itu sungguh Islam.

Dalam Islam ada etika dan tataaturan terkait dengan perang. Sejatinya Islam adalah agama perdamaian dan hanya membolehkan perang dengan persyaratan yang sangat ketat. Perang merupakan tindakan terakhir jika memang sangat memaksa.

ISIS bukan melakukan perang, tetapi pembantaian membabi buta atas nama Islam. Karena itulah ISIS harus dilawan. ISIS dan ideologi yang diusungnya harus dilawanhancurkan setuntas-tuntasnya.

Dalam konteks keindonesiaan, ISIS memasuki babak baru. Aktivis ISIS asal Indonesia sudah berani melakukan tantangan dan ancaman terbuka. Bersamaan dengan itu ada sejumlah orang Indonesia, bahkan yang terdiri dari satu keluarga menjual rumahnya untuk ikut berperang bersama ISIS.

Kita tak usah panik, tetapi perlu waspada dan meningkatkan berbagai upaya untuk memerangi pengaruh ISIS dan pemikiran radikal yang tampaknya mengakar sangat kuat pada kelompok tertentu di negeri ini. Dalam konteks keindonesiaan, ISIS hanyalah puncak gunung es yang menegaspastikan bahwa kelompok radikal memang ada, masih hidup dan terus berbiak. Ada atau tidak ada ISIS.

Karena itu pendekatan keamanan itu mutlak, penting, dan harus lebih keras tegas, tetapi sama sekali belum cukup. Harus ada upaya sistematis yang memperbaiki banyak bidang kehidupan sekaligus.

Radikalisme tidak pernah muncul tiba-tiba. Ia tumbuh kembang dalam konteks sosial yang ditandai oleh kemiskinan, ketidakadilan sosial ekonomi, ketidakpastian dan ketidakadilan hukum, pendidikan yang gagal, dan penghayatan agama yang dangkal. Jadi, radikalisme tidak pernah dipicu hanya oleh satu dua alasan.

Jangan pernah berfikir radikalisme hanya tumbuh di kalangan kaum miskin dengan pendidikan rendah. Radikalisme juga tumbuh mekar di kalangan kaum terpelajar. Di banyak perguruan tinggi, tidak sedikit mahasiswa bahkan dosen yang kini menjadi eksponen utama gerakan-gerakan yang selalu menyerang ideologi negara Pancasila.
Seorang teman, guru besar sosiologi dari universitas ternama pernah diundang menjadi narasumber di sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta. Ia kaget dan terheran-heran saat menghadiri acara tersebut. Panitia dan pesertanya menunjukkan cara bicara dan perilaku yang menggambarkan bahwa mereka bukan bagian dari keindonesiaan. Mereka seenaknya melecehkan NKRI, Pancasila, dan demokrasi. Ungkapan dan pertanyaan-pertanyaan mereka sungguh tak lagi mencerminkan bahwa mereka generasi muda Indonesia yang memiliki ikatan emosional dengan keindonesiaan.

Jika kita cermati selama kampanye pilpres dan kontroversi pengangkatan Ahok sebagai Gubernur DKI, bukankah sangat jelas kelihatan, kelompok radikal telah membonceng, memanfaatkan kedua hal itu untuk melancarkan serangannya bukan saja kepada Jokowi dan Ahok. Tetapi lebih kepada Pancasila dan keindonesiaan. Menggunakan agama secara anarkis untuk menyerang orang adalah bagian dari strategi kaum radikal menunjukkan dirinya.

Sialnya ada bagian dari kekuatan politik legal yang rela bekerja sama dengan kelompok radikal ini untuk kepentingan kekuasaan. Bukankah ini tragis dan mengerikan? Memanfaatkan radikalisme untuk tujuan jangka pendek? Tidakkah cara-cara ini justru membuat kelompok radikal dan ideologi radikalisme itu merasa mendapatkan panggung untuk unjuk gigi?

Inilah akibatnya jika politisi karbitan yang orientasinya hanya kekuasaan mendapat kesempatan menjadi peserta aktif dalam pertarungan politik di negeri ini. Politisi hedonik yang menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dan tidak memikirkan efek jangka panjang memanfaatkan kelompok dan ideologi radikalisme demi memperoleh kekuasaan.

Dalam kaitan ini harus diakui keberadaan Densus 88 belumlah mencukupi. Kita mungkin membutuhkan Densus 99 yang secara terencana, terstruktur dan terukur melakukan "perang ideologi" terhadap berbagai kelompok radikal yang telah tersebar, boleh jadi di pemerintahan dan parlemen.

Bersamaan dengan itu Pemerintahan Jokowi-JK terus mengusahakan peningkatan kesejahteraan rakyat, penegakkan hukum, dan menumbuhsuburkan pendidikan yang mencerahkan, bukan pendidikan yang bersibuk dengan proyek pengadaan buku dan modul pelatihan serta melahirkan kurtilas alias kurikulum tidak jelas.

Karena radikalisme merupakan ideologi perlawanan yang bagai virus akan terus beranak pinak dalam konteks sosial dan pemikiran yang kumuh, terisolasi, pengap, dan membunuh harapan. Radikalisme adalah oase bagi mereka yang diabaikan, dilecehkan, dikalahkan, dan tidak memperoleh kesempatan untuk secara sehat mengaktualisasikan dirinya.

Radikalisme bisa berakar pada tafsir anarkis terhadap agama tertentu. Juga bisa tumbuh dari dahaga kenikmatan dunia untuk memperoleh segalanya. Jangan lupa, korupsi adalah radikalisme dalam bentuk lain. Bahkan boleh jadi akan memberi dampak jangka panjang yang lebih buruk dibandingkan radikalisme ideologi yang memunculakn terorisme.

Korupsi juga lahir dari kekumuhan pemikiran dan emosi karena dibekap oleh keinginan kuat menikmati semua yang bersifat material-duniawi. Korupsi adalah ketamakrakusan yang radikal, yang berakar dari kekumuhan moral.

Jangan sampai terjadi, kita perangi habis radikalisme ideologi yang melahirkan teroris, dan mengabaikan teroris yang tak kalah mengerikan yaitu koruptor.

RADIKALISME YANG MEWUJUD MENJADI TERORISME DAN KORUPTOR HARUS DIPERANGI SECARA RADIKAL, SAMPAI KE AKARNYA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd