Dalam rentang waktu pendek terjadi longsor di Banjarnegara, angin puting beliung di Bandung, dan erupsi Gunung Gamalama di Ternate Maluku Utara. Longsor mengakibatkan 94 orang meninggal dan puluhan yang belum ditemukan. Puting beliung menerbangkan satu nyawa, dan erupsi mengganggu kehidupan keseharian. Masyarakat terganggu aktivitasnya karena debu. Semua penerbangan dibatalkan.
Ketiga peristiwa itu memiliki kesamaan yaitu sama-sama bencana alam. Tetapi ada perbedaannya. Puting beliung dan erupsi tidak dapat diketahui kapan terjadinya. Puting beliung juga tidak dapat ditebak di mana akan terjadi. Keduanya merupakan bencana alam yang kemunculannya sangat mendadak, tak terduga. Tak ada campur tangan manusia dalam kedua bencana alam ini. Sepenuhnya bersifat alami. Bila pun ada pengaruh manusia, pastilah secara tidak langsung.
Longsor juga terjadi secara tak terduga. Meskipun kebanyakan terjadi saat musim penghujan. Hujan deras dan lama merupakan pemicu utama terjadinya longsor. Meski aspek alami seperti jenis dan sifat tanah ikut memberi kontribusi bagi terjadinya longsor, namun longsor sering terjadi karena ulah manusia.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat dua penyebab terjadinya longsor Banjarnegara. Faktor alam dan ulah manusia.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengumumkan analisis penyebab longsor di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Banjarnegara.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho mengatakan pihaknya telah melakukan analisis penyebab longsor bekerja sama dengan Ikatan Ahli Bencana Indonesia dan sejumlah ahli asal Universitas Gadjah Mada (UGM).
"Dusun Jemblung memang salah satu desa di Indonesia yang berpotensi longsor. Di Banjarnegara ada sekitar 20 kecamatan yang memiliki potensi sedang-tinggi longsor," ujarnya dalam konferensi pers di kantor pusat BNPB, Jalan Juanda, Jakarta Pusat, Senin (15/12).
Ia menjelaskan, material penyusun Bukit Telogolele, Dusun Jemblung adalah endapan vulkanik tua sehingga solum tanah tebal dan ada pelapukan. Selain itu, kemiringan lereng Bukit Telogolele juga cukup curam, yakni lebih dari 60 persen.
Meski tingkat kemiringannya tinggi, tak ada terasering di bukit tersebut. Ditambah, tanaman yang tumbuh di Bukit Telagalele adalah tanaman semusim (palawija) yang ditanam dengan tidak rapat. (15.12.2014)
Pada bagian akhir penjelasan disebutkan tidak adanya terasering dan adanya tanaman semusim adalah ujud perilaku manusia terhadap alam. Mestinya pada bagian tanah yang miring, pohon-pohon besar dibiarkan tumbuh agar akarnya bisa mengikat dan memperkuat struktur tanah. Namun manusia justru memanfaatkannya untuk menambah penghasilan dengan menanam palawija, dan tidak memikirkan akibat jangka panjanjannya.
Di Dieng dan Bromo, para sepuh meyakini longsor besar-besaran pasti terjadi, hanya soal waktu. Para sepuh berpendapat begitu karena semua bagian tanah, termasuk yang sangat miring sudah dirambah habis. Pohon-pohon tinggi ditebangi agar tersedia lahan untuk menanam kentang dan bunga kol serta daun bawang yang memberikan keuntungan. Untuk meningkatkan keuntungan digunakan bahan-bahan kimia secara berlebihan yang sangat merusak tanah dalam jangka panjang.
Kebanyakan manusia memang sering tergoda untuk mendapatkan keuntungan secara instan, dalam jangka pendek, dan kurang memikirkan akibat jangka panjang. Cara pandang dan praktik hidup seperti ini jika berkaitan dengan alam akibatnya akan sangat fatal dan mengerikan.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat kejadian longsor yang tinggi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa di samping faktor alami, terdapat faktor yang disebabkan oleh manusia yang berperilaku salah terhadap alam. Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM memberitakan,
Sebagian besar longsor yang terjadi di Indonesia biasanya berupa aliran debris dan banjir bandang. Peristiwa longsor dari tahun ke tahun semakin berisiko karena dapat dipastikan setiap tahun terjadi bersamaan dengan datangnya musim hujan . Dalam beberapa waktu terakhir jumlah kejadian longsor semakin besar intensitasnya dan cakupan dampaknya semakin luas terutama di kawasan gunung api yang sudah tidak aktif.
“Hal ini terjadi karena di kawasan tersebut banyak yang digunakan sebagai pemukiman dan aktivitas ekonomi,” kata Ir. Amien Widodo, M.Si., staf pengajar di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Sabtu (26/3 pada) saat ujian promosi program doktor di KPTU Fakultas Teknik UGM.
Penelitian di atas dan banyak penelitian lain menunjuktegaskan bahwa perilaku manusia yang sangat mendahulukan kepentingan ekonomi, dan kurang memperhatikan lingkungan telah sangat merusak alam, sekaligus merugikan manusia sendiri. Karena sikap manusia yang salah ini, selain longsor, erupsi gunung berapi juga sangat sering menimbulkan korban jiwa.
Sikap seperti ini sebenarnya dapat dikategorikan sebagai korupsi terhadap alam. Artinya alam dieksploitasi secara tidak tepat, sangat berlebihan yang berakibat rusaknya alam dan kerugian pada manusia sendiri.
Negara ini telah memiliki sejumlah aturan yang tegas dan jelas tentang perlindungan alam dan sanksi yang berat bagi perusak lingkungan. Seharunya peristiwa berulang yang menyebabkan tewasnya sejumlah besar orang membuat Pemerintah bersikap tegas dan melaksanakan program yang terstruktur dan terukur untuk mengembalikan keasrian alam dan memindahkan warga yang menempati lahan yang sangat berbahaya untuk ditinggali. Jangan dipindahkan setelah terjadi bencana yang memakan puluhan bahkan ratusan korban tewas seperti longsor Banjarnegara ini.
PEMERINTAH BERKEWAJIBAN MENJAGA ALAM DAN KESELAMATAN WARGA NEGARA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd