Minggu, 25 Januari 2015

KARL MARX: HUKUM ADALAH ALAT KEKUASAAN

Hukum hakikinya adalah alat untuk menjaga keutuhan masyarakat, penopang tegaknya keadilan, dan merupakan pemerincian konkret dari moralitas masayarakat. Atas dasar pemikiran itulah negara didasarkan pada hukum bukan kekuasaan. Karena hukum bisa memberikan kepastian bagi tegaknya keadilan.

Namun Karl Marx tampaknya sama sekali tidak percaya bahwa hukum berfungsi semulia itu. Berdasarkan kenyataan yang dilihat dan dirasakannya, Marx yakin bahwa hukum bukan cermin dan pemerincian moral masyarakat, tetapi merupakan cermin dan kehendak dari mereka yang berkuasa. Sebagai akibatnya hukum lebih sering menjadi pemicu merebaknya konflik di dalam masyarakat. Dalam situasi ini mereka yang berkuasalah yang mendapat keuntungan.

Tidak mengherankan bila kemudian hukum kerap menjadi pemantik api kerusuhan dan keterpecahan masyarakat. Konflik menjadi tak terhindarkan. Biasanya mereka yang berkuasa akan memanfaatkan hukum untuk menghancurkan kelompok lain, terutama mereka yang lemah. Dalam pandangan Marx, kondisi ini merupakan salah satu akar dari pertentangan kelas.

Dalam realitas seperti inilah terbukti bahwa hukum hanyalah alat kekuasaan. Mereka yang berkuasa menggunakan hukum untuk berbagai kepentingan kekuasaan dan keuntungan mereka sendiri. Hukum bisa dimelarkan ke mana saja sesuai dengan kepentingan mereka.

Konsekuensinya hukum tak lebih dari rumusan kepentingan dan moralitas penguasa. Aspirasi, kebutuhan dan kepentingan kelompok lain dalam masyarakat, terutama mereka yang lemah sama sekali tak mendapat tempat, bahkan celah dalam sistem hukum formal. Dalam konteks sosial politik seperti inilah Marx mendorong kaum lemah dengan kata-katanya yang menggema sampai kini, hanya ada satu kata, lawan!

Hari-hari belakang ini kini secara nyata melihat dan merasakan apa yang Marx lihat dan rasakan. Saat dua penegak hukum yaitu KPK dan Polri berseteru. Tampak sekali hukum sekadar menjadi alat untuk saling menyerang dan menghancurkan.

Polisi menangkap Wakil Ketua KPK, Bambang Wijayanto (BW). Diduga cara penangkapannya melanggar etika. Mantan Wakapolri bahkan menyebut cara yang digunakan terhadap BW mirip cara preman jalanan.

Penangkapan BW berjarak tidak lama setelah KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai calon tunggal Kapolri. Akibatnya BG belum dilantik oleh Presiden Jokowi sebagai Kapolri. Karena itu apapun alasan yang digunakan Polri dalam penangkapan BW, sulit untuk membantah bahwa ada kausalitas atau kaitan sebab-akibat dengan penetapan BG sebagai tersangka.

Kini masyarakat terbelah. Tuduh menuduh marak di media sosial. Polisi dituduh telah menyalahgunakan wewenangnya. Melakukan aksi balas dendam terhadap KPK.

Sebagian masyarakat juga tidak kalah semangat menuduh KPK menyalahgunakan wewenang dan berpolitik. Alasannya adalah mengapa BG baru ditetapkan sebagai tersangka setelah ditetapkan jadi calon tunggal Kapolri? Bukankah kasusnya sudah lama? Bukankah saat sebelum penentuan kabinet, KPK sudah memberinya rapor merah? Mengapa tidak saat itu saja ditetapkan jadi tersangka? Mengapa harus menunggu seseorang akan menjadi pejabat baru ditetapkan jadi tersangka?

Artinya cara KPK dan Polisi menetapkan tersangka dalam kasus BG dan BW ini setali tiga uang, sebangun betul. Sama-sama mendadak. Wajar jika berkembang berbagai spekulasi bahwa kepentingan politik sangat menggarami keputusan-keputusan hukum yang dibuat dua lembaga penegakan hukum itu.

KPK menyatakan bahwa BG dapat rapor merah saat namanya diusulkan mengisi kabinet. Kita tidak mengerti apa makna rapor merah dalam pandangan KPK. Ketidakpastian makna dari ungkapan-ungkapan seperti inilah yang telah ikut memicu kekisruhan yang kini kita saksikan.

Paling tidak Kompolnas pun meyakini bahwa rapor merah itu tidak bermakna bahwa BG sudah jadi tersangka. Karena itu mereka tetap mengusulkan BG menjadi calon Kapolri.

Namun, di balik semua formalitas yang mencuat ke permukaan, pasti ada kepentingan politik dari kelompok yang merasa memiliki kekuatan besar. Indikasi itu sangat kentara dari sikap para petinggi PDIP dan NasDem yang melakukan berbagai cara untuk terus memaksakan BG segera dilantik jadi Kapolri.

Apalagi BW ditetapkan jadi tersangka sesaat setelah PLT Sekjen PDIP Hasto membuka kisah kontak Abraham Samad dengan dirinya menegosiasikan jabatan calon wakil presiden. Sangat kental warna serangannya.

Tampaknya apa yang dilakukan Hasto dan Polri mau menunjukkbuktikan bahwa pimpinan KPK tidak bersih, bermasalah dan tidak pantas dipercaya. Paling tidak cara ini bisa memberi keseimbangan informasi tentang rekening gendut sejumlah oknum perwira tinggi Polri.

Mengerikan. Kasus perseteruan KPK versus Polri yang terjadi untuk ketiga kalinya ini bisa berakhir mengerikan bila Presiden Jokowi tidak mengambil tindakan yang tepat, cermat, tegas dan segera.

Karena, berbeda dengan dua kasus sebelumnya, kali ini pemicu perseteruan menyangkut orang pertama di Polri yaitu Kapolri yang belum dilantik karena terkendala oleh status tersangka yang ditetapkan oleh KPK. Tampaknya semua soal teknis hukum dikalahkan oleh kepentingan politik yang lebih besar. Hukum sungguh telah dikangkangi dan diinjak-injak.

Semua ini terjadi karena politik kembali menjadi panglima. Para politisi menggunakan kuasa untuk menentukan dan memastikan posisi-posisi penting dalam pemerintahan, terutama yang mengelola hukum disuakan agar berada dalam genggaman mereka.

Menteri Hukum dan HAM adalah kader PDIP. Jaksa Agung merupakan mantan politisi NasDem. Hakim Mahkamah Konstitusi yang mewakili pemerintah diduga dekat dengan PDIP. Calon Kapolri yang disodorkan Presiden Jokowi tampaknya didukung kuat PDIP dan NasDem.

Jangan salahkan jika sebagian rakyat mulai membuat dugaan, hukum akan "dimainkan" oleh kekuasaan. Bahkan ada yang bertanya, apakah ini imbas PDIP puasa sepuluh tahun?

Semuanya kini sangat tergantung pada sikap Presiden Jokowi yang menjadi presiden karena pilihan rakyat. Ia mesti menunjukkan secara tegas dan nyata, kepada siapa berfihak. Apakah tunduk pada berbagai kepentingan partai politik yang mendukungnya atau berfihak pada rakyat Indonesia.

INDONESIA HEBAT JIKA HUKUM TIDAK MENJADI ALAT KEKUASAAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd